Senin, 22 Juli 2013

GUARDIAN ANGEL (31)


THIS IS MY HEART FEELING (31)  


­Seperti biasa, Riri datang ke dapur sekolah. Kali ini untuk memberikan jawaban kepada Ferdi atas pernyataan cintanya dulu. Ferdi sudah menunggu disana, tak sabar menanti jawaban Riri. Walaupun Riri pernah berjanji supaya mereka pacaran setelah kenaikan kelas 3, tapi ia tidak begitu yakin.
Betapa senangnya ia ketika melihat Riri datang.
“Baiklah, aku akan mengatakannya. Tapi, jangan kecewa,” ujarnya.
Ferdi mengangguk. Dalam hati ia sudah berpikir tentang kemungkinan penolakan yang akan terjadi.
“Mmm... Bagiku, ini terlalu cepat. Maksudku, bagaimana kita berteman lebih dulu. Aku tidak ingin ada penyesalan. Lagipula, di kelas 3 ini, aku akan fokus dengan UN dan PTN. Saat itu, mungkin aku tidak akan sempat untuk bermain-main, dan...”
“Baiklah,” potong Ferdi cepat. “Aku mengerti,” katanya sambil tersenyum membuat Riri tak mampu berkata-kata lagi. “Aku juga berpikir seperti itu. Tapi, aku tidak akan menyerah, loh!!!”
Riri tertawa kecil. “Baiklah, tunjukkan padaku seberapa besar usahamu.”

~~~~~~~~
“Loe dapat peringkat berapa?” tanya Aldi pada Reza.
Reza menoleh sebentar, lalu kembali menatap rapornya.
“Gak sehebat loe! Tapi, setidaknya gue dapat 20 besar dari 34 murid di kelas kita,” jawabnya.
“Yakin?” tanya Aldi ragu.
“Ya iyalah. Masa gue bohong,” serunya sebal.
“Bukan soal peringkat,” jelas Aldi,”tapi soal Devi.”
“Devi?” tanya Reza bingung.
“Gak nyesel?”
Reza mendengus seraya berkata dengan sebal, “Ya enggaklah! Buat apa gue menyesal untuk orang kayak dia. Mending loe urus diri loe sendiri. Btw, loe udah bilang ke Alin soal itu?”
Aldi menatap lurus tanaman yang ada di depannya sambil mengangkat bahu.
“Entahlah... Gue sendiri gak yakin. Mungkin, ini sesuatu yang gak penting.”
“Yakin?” tanya Reza seolah membeo pertanyaan Aldi tadi. “Gak nyesel?” sambungnya. “Lebih baik loe jujur ama perasaan loe sendiri,” ujar Reza sambil menepuk-nepuk bahu Aldi pelan.
 “Simpan aja kata-kata loe itu buat loe sendiri.”
Aldi beranjak pergi dari sana meninggalkan Reza yang terkekeh.

~~~~~~~~
Terik matahari di siang bolong membuat Devi panas. Bukan hanya membuat dirinya yang panas, tapi hatinya ikutan memanas membuatnya ingin cepat-cepat sampai di rumah, lalu berendam dengan di dalam es untuk mendinginkannya.
Lagi-lagi si KURUS itu bertingkah lagi, membuat kepalanya mendidih.
“Arrrgghhh.... Sudahlah, lupakan. Semakin diingat, semakin bikin panas,” serunya sebal.
“Devi, tunggu!”
Dessy berlari mengejar Devi sebelum ia sempat pergi dengan motornya.
“Ada apa, Des?”
“Ini,” Dessy memberikannya surat.
“Dari siapa?” tanya Devi penasaran.
“Reza,” serunya penuh semangat.
Devi jadi kehilangan rasa penasarannya dan beranjak pergi.
“Buang aja!”
“Serius? Gak mau baca isinya?” tanya Dessy membangkitkan rasa penasaran Devi lagi.
“Yakin.”
“Beneran mau dibuang? Gak nyesel?” tanya Dessy lagi.
“Sebenarnya itu surat dari siapa, sih?” tanya Devi kesal.
“Baca aja sendiri,” seru Dessy sambil meletakkan surat itu di tangan Devi, lalu pergi dari tempat itu.
Dengan malas Devi membuka surat itu dan membacanya.

Tuhan, jika kami diperkenankan untuk bertemu kembali... Semoga tak ada perpisahan yang menyedihkan lagi. Tapi, jika tidak, buatlah kisah hidup kami masing-masing menjadi indah. Sesungguhnya hanya Engkau yang mengetahui garis-garis hidup kami.

Devi langsung meremas kertas itu dan membuangnya ke sembarang tempat. Ketika ia baru saja ingin melajukan motorya, sebuah sms dari Alin mengagetkannya.

From : Alinda J
To     : Devi

Suratnya kenapa dibuang? Itu dari Bagas, loh????
Hahahaha J

“Sial!” umpat Devi.

~~~~~~~~
“Riri, dari tadi kamu kemana aja?” tanya Rahma.
Riri hanya menggeleng tanpa melepaskan pandangannya dari jalan. Ia tidak ingin ada orang yang tahu pembicaraanya dengan Ferdi tadi.
“Sudah sampai,” seru Riri saat mereka sudah sampai di depan rumah Rahma.
Rahma turun dari motor Riri dan berjalan masuk ke rumahnya. Namun, ia berhenti di depan pintu saat melihat ada sebuah bingikisan besar menghalangi pintu rumahnya.
“Itu apa?” tanya Riri pada Rahma.
“Entahlah. Mungkin punya orangtuaku...” Rahma berhenti sebentar. Memastikan tulisan yang ada disitu benar. “Untukku?” gumamnya tak percaya.
Riri mematikan mesin motornya dan turun untuk menghampiri Rahma. Ketika dibuka, ternyata itu adalah lukisan yang menggambarkan Rahma.
“Ini...”
“Kenapa?” tanya Rahma penasaran.
“Oh, tidak! Umm... Sepertinya, aku harus pulang sekarang. Bye...”
Riri langsung pergi meninggalkan Rahma. Ia tahu lukisan itu. Lukisan yang mirip ia lihat waktu itu. Itu adalah lukisan yang dibuat Heri untuk Rahma. Dan ia pun tahu, ternyata, selama ini Heri menyukai Rahma.

~~~~~~~~
Alin memandangi bintang-bintang dari beranda kamarnya dengan sedih. Entah mengapa ia selalu teringat Fakhri saat melihat satu per satu bintang muncul lalu menghilang. Walau kejadian waktu itu menjadi beban pikirannya. Fakhri memang sudah lama meninggal, tapi tetap saja ia merasa kalau Fakhri masih ada dalam hidupnya.
“Sedang apa?” tanya Aldi yang entah sejak kapan sudah berada di dalam kamarnya.
Alin yang tersentak kaget, namun sama sekali tidak menoleh ke arah Aldi. Ia hanya tetap memandangi bintang tanpa ingin menghiraukan Aldi. Ia sedang tidak berminat meladeni Aldi.
“Kamu teringat Fakhri?” tanya Aldi sambil berdiri disamping Alin ikut memandangi bintang.
“Nggak!” elaknya. Memang benar ia sedang memikirkan Fakhri, tapi tidak sepenuhnya benar. Sebenarnya, ia juga sedang memikirkan hal lain. Dan itu lebih mengganggu pikirannya dibandingkan memikirkan Fakhri.
Beberapa saat mereka berdua hanya larut dalam diam. Hanya suara jangkrik yang menemani mereka.
“Anu...” kata mereka bersamaan.
“Duluan, deh!” kata Alin.
“Umm... Aku hanya ingin bilang kalau lusa nanti aku akan pergi ke London,” ujarnya.
“London?” seru Alin tanpa menoleh sama sekali.
“Ya. Mulai kelas 3 sampai kuliah aku akan berada disana. Itu... sudah lama kunantikan,” jelasnya.
“Sudah lama?” tanya Alin seolah tak percaya. “Begitu.”
“Yah... mungkin kita nanti akan jarang bertemu. Tapi... Aku akan berusaha menelponmu untuk memberi kabarku disana,” katanya Aldi sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia sedikit malu, tapi ia mencoba untuk memberanikan diri untuk mengatakannya.
“Oh!”
Hanya itu yang bisa Alin katakan. Itu tidak tahu harus berkata apa lagi.
“Tadi, kamu mau bilang apa?” tanya Aldi. Sebenarnya ia sedikit kesal dengan jawaban Alin. Reaksinya terlalu dingin. Tapi, mungkin ia harus lebih bersabar lagi. Ia tahu ada banyak yang Alin pikirkan.
“Tak ada. Umm... sebenarnya tadi aku hanya ingin bertanya mengapa kamu datang kesini. Itu saja...” ujar Alin.
“Oh...” seru Aldi kecewa. “Kalau begitu, aku balik dulu.” Aldi pun berjalan keluar dari kamar Alin.
Kamar terasa sangat sepi saat Aldi pergi. Alin langsung terduduk begitu Aldi keluar dari kamarnya. Sebenarnya, ada sesuatu yang ingin ia katakan. Tetapi, begitu mendengar Aldi akan pergi jauh, itu menghentikan niatnya.
Dan kini ia tidak bisa menahannya lagi. Sesuatu yang dari tadi ditahannya kini memberontak dan mulai menyeruak keluar. Ia tidak bisa menahannya lagi. Membiarkan air mata itu mengalir berharap bisa mengurangi semua beban dihati dan pikirannya.

~~~~~~~~

Kamis, 02 Mei 2013

GUARDIAN ANGEL (30)


SERPIHAN MASA LALU (30)


Kelas-kelas tampak sepi. Namun, lapangan sekolah hampir terisi seluruhnya. Acara classmeeting tahun ini tampak berjalan lancar dan meriah. Ada banyak stan-stan di setiap sudut sekolah. Panggung besar yang berada ditengah-tengah lapangan tampak berdiri megah dan indah hasil karya anak-anak dari seluruh klub seni. Mereka bekerja sama untuk membuat acara classmeeting berjalan dengan sukses.
Vivi tampak sangat antusias berlari-lari mengelilingi sekolah. Ia berlari bukan karena ia terlalu senang melihat pemandangan di sekolahnya-menurutnya, sikap itu terlalu kampungan-, tapi demi mencari Alin. Ia melihat Alin tampak sibuk membawa setumpuk kertas dan beberapa alat tulis lainnya ke ruang kelas mereka.
“ALLIIINNN…..” panggil Vivi senang sambil meloncat ke punggung Alin.
Alin beserta alat perangkat yang ia bawa terjatuh tanpa ampun bersama Vivi yang tampak nyaman jatuh menimpa Alin.
“Auuww… Vivi. Kau berat sekali,” gerutu Alin. Vivi tampak merasa bersalah. “Kau tak sadar betapa langsingnya dirimu dibandingku,” tambah Alin.
Vivi langsung merengut. “Yeee…. maaf. Sengaja tadi. Tapi, gak niat sampai jatuh. Tapi, beratku sudah turun banyak, loh! Jadi, gak berat-berta amat.”
“Emangnya berapa ton, sih?” tanya Alin penasaran. Ia kembali berjalan menuju ruang kelasnya.
“Mmm…. kira-kira sekitar 30…. ons,” jawab Vivi sambil cengar-cengir.
Alin berusaha menahan tawanya.
“Kenapa? Mau ngejek?” tanya Vivi garang. Tapi, ia hanya bercanda.
“Nggak, kok! Lumayan juga, tuh, turun 3 kilo. Daripada gak sama sekali?”
Spontan Vivi langsung meneloyor kepala Alin tanpa ampun.
Sesampainya di ruang kelas, tampak murid-murid XI A sedang mempersiapkan diri untuk bidang lomba mereka masing-masing.
Satria, dengan gaya lebaynya yang khas, ia mulai menangis sambil berteriak kencang membaca puisinya.
Sasha, Rina, Rahmat, dan Putra mulai sibuk dengan mading mereka. Mereka mulai menata satu per satu artikel, puisi, cerpen, foto, beserta pernak-pernik untuk menghiasi mading mereka.
Alin, Devi, Dessy, Aldi, Bintang, dan Reza sibuk menyusun artikel mereka.
Riri dan Beni tampak sibuk mempersiapkan diri dan mental mereka.
Cika sendiri sedang duduk diam karena wajahnya sibuk di polesi berbagai macam alat-alat kosmetik oleh Miss Erma. Harap-harap cemas ia menunggu kedatangan Reihan yang sampai saat itu belum datang.
“Aduh, Reihan dimana, ya? Kok belum datang juga. Setengah jam lagi kita udah mulai, loh!” gerutu Miss Erma. Beliau menebarkan pandangannya ke seluruh isi kelas. “Robby,” perintah Miss Erma, “Kamu hubungi Reihan sekarang.”
Robby mengangguk patuh dan mulai menghubungi Reihan. Kemudian, ia kembali dengan wajah gelisah.
“Miss, gawat!!! Orangtuanya bilang kalau Reihan kecelakaan. Jadi, dia tidak bisa ikut lomba. Bagaimana ini Miss?” kata Robby.
Cika tampak khawatir sekaligus lega. Lega, karena ia tidak akan bersanding dengan Reihan. Khawatir, mendengar Reihan kecelakaan. Rasanya, saat itu juga ia ingin berlari ke rumah sakit untuk melihat keadaan Reihan. Tapi, mengingat Reihan dan dia sudah putus, ia mengurungkan niatnya.
“Kalau gitu, kamu kesini,” perintah Miss Erma. Cika bangkit dari kursinya berganti dengan Robby. “Kamu saja yang menggantikan Reihan.”
“Hah?”
Robby dan Cika hanya bisa patuh menuruti permintaan Miss Erma.

~~~~~~~~
Sinar matahari ternyata cukup menyengat kulit. Keringat-keringat mulai mengucur ke seluruh tubuh. Alin duduk di bangku taman yang nampak sepi sambil memandang langit biru yang dihiasi sinar matahari.
Sebuah payung menghalangi pandangannya sekaligus mengalihkan perhatian dari langit ke orang yang memayunginya.
“Jangan melihat matahari secara langsung. Itu tidak baik untuk mata,” kata Aldi. Ia duduk di samping Alin. Tangannya masih memayungi Alin.
Alin hanya tertunduk. Tiba-tiba ia teringat kata-kata Bintang saat di rumah sakit.

“Antara kamu dan Aldi, sebenarnya ada apa, sih?” tanya Bintang dengan tampang penasaran.
Alin menyerngit bingung.
“Maksudmu? Aku benar-benar tidak mengerti.”
Bintang menghela napas panjang. “Dia aneh.” Alin menaikkan satu alisnya tak mengerti. “Dia berubah jadi pendiam. Apa yang sebenarnya telah terjadi saat aku dan Reza pergi mencari bantuan?”
Alin terdiam cukup lama. Ia berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi saat itu. Namun, kemudian Alin menggeleng.
“Kau benar-benar tidak tahu?” tanya Bintang ragu.
Alin menggeleng lagi.
“Kalau gitu, coba tolong tanyakan apa yang telah mengganggu pikirannya. Mungkin, jika denganmu, dia mau mengatakannya.”

“Bagaimana keadaanmu?” tanya Aldi memecah lamunan Alin.
Alin menoleh sebentar, lalu kembali menunduk.
“Tadi, aku lihat Vivi menimpamu tadi. Apa kamu baik-baik saja?” tanya Aldi lagi.
Alin mengangguk. Mereka kembali terdiam dan hanyut dalam kebisuan.
“Ada yang mengganggu pikiranmu?” tanya Alin setelah berhasil mengumpulkan keberanian untuk berbicara.
Aldi menyerngit bingung.
“Bintang bilang kamu aneh sepulang dari pondok. Ada apa?” Dari kemarin Alin jadi penasaran dengan apa yang Aldi pikirkan.
Aldi terdiam cukup lama, kemudian menggeleng. “Tak ada. Lebih tepatnya tidak penting.”
“Alin,” panggil Vivi sambil berlari menghampiri Alin. Ia masih belum sadar kalau ada Aldi di sebelah Alin. “Ayo kita ke lapangan. Sebentar lagi kelas kita tampil.”
Alin mengangguk. Ia bangkit dari tempat duduknya dan pamit pada Aldi. Vivi juga pamit. Ia sempat meminta maaf karena merasa telah mengganggu waktu mereka.
“Tak apa,” kata Alin. “Lagipula, kami tidak membicarakan hal penting.”
“Benarkah? Lalu, bagaimana dengan keadaanmu? Aku dengar kamu habis jatuh dari tebing,” Vivi tampak merasa bersalah.
“Tidak apa, aku sehat-sehat saja. Dokter bilang, aku hanya keseleo sedikit. Tidak ada tulang yang patah, kok! Lagipula, aku ini wanita hebat yang tahan banting.”
Vivi tertawa mendengar ocehan Alin. “Waw… Alin sekarang pandai membual. Kau lucu sekali. Hahaha…”
Mereka berdua terus tertawa sampai Aldi melihat mereka berdua menghilang diantara ratusan orang yang sibuk dengan urusan mereka masing-masing.
“Ada yang mengganggu pikiranmu?”
Pertanyaan Alin kembali terngiang di telinganya. Ia ingin menjawab ‘Tentu’. Tapi, tidak mungkin ia lakukan karena itu semua berkaitan dengan Alin.

~~~~~~~~
Para peserta fashion show mulai maju satu per satu . Cika menunggu dengan gusar di belakang panggung bersama Robby. Ia takut saat ia berada diatas panggung, ia akan membuat kesalahan.
“Jangan terlalu gugup! Kita harus bisa bersikap santai,” kata Robby member nasihat.
Cika hanya menghela napas panjang. Masalahnya bukan sesepele itu. Justru Robby-lah yang membuatnya gugup. Ia takut kalau-kalau si Vina and the genk akan berbuat yang macam-macam nanti padanya.
“Tenang aja,” kata Robby lagi, “mereka tak akan berbuat hal yang aneh-aneh.”
Ia merasa agak lega mendengar kata-kata Robby. Setidaknya, ia bebas dari terror Vina and the genk.
“Kalau gitu, kita tampil sekarang,” seru Cika percaya diri.
Mereka berdua berjalan ke atas panggung dengan pede. Tak peduli dengan apa yang orang yang katakana, bagaimana pandangan orang-orang, mereka akan terus maju dengan rasa percaya diri yang meluap-luap di dada mereka.

~~~~~~~~
“Kamu kenal dengan Fakhri?”
Pertanyaan Dessy membuat Aldi menoleh kaget. Kemudian, ia kembali meringkas buku-bukunya ke dalam tas.
“Bukannya gue tahu saat Alin kecelakaan dulu?” jawab Aldi.
“Bukan… Bukan itu maksudku.” Dessy menggaruk-garuk kepalanya bingung. “Maksudku kenal, lebih dari sekedar tahu,” kata Dessy berusaha menjelaskan.
“Ya, begitulah!” jawab Aldi singkat.
“Benarkah?” seru Dessy tak percaya. “Berarti kamu tahu kalau Alin suka Fakhri?” tanya Dessy.
Aldi menyerngit bingung. “Maksud loe? Gue gak ngerti!”
Sontak Dessy menutup mulutnya cepat. Berarti, ia sudah memberitahu Aldi tentang Alin. Ia benar-benar merasa bodoh.
“Lupakan…” kata Dessy tiba-tiba. “Lupakan semua yang tadi telah kukatakan padamu. Oke?”
Tanpa menunggu jawaban dari Aldi, Dessy langsung kabur entah kemana. Aldi hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tingkah Dessy.
“Mana bisa lupa, kan?”
Aldi mengangkat tasnya ke bahu, kemudian berjalan keluar kelas menuju perpustakaan.

~~~~~~~~
Setelah kepergian Alin dan Aldi, taman sekolah menjadi sepi. Reza dan Devi duduk berdampingan di kursi taman. Namun, ada banyak jarak yang memisahkan mereka berdua. Di depan mereka, berdiri Miss Erma yang menatap mereka dengan penuh selidik seolah-olah mereka adalah sepasang pelaku pembunuhan.
“Ini memang mendadak. Saya juga kaget. Tapi, hanya kalian berdua yang bisa saya andalkan,” tukas Miss Erma.
Reza terlihat ingin menolak, sedangkan Devi langsung bergidik ngeri.
“Miss, boleh protes?” tanya Reza yang lebih mirip permintaan bunuh diri.
“Jadi, kamu mau protes?” Miss Erma malah bertanya balik dengan nada sedikit mengancam. Reza langsung mengurungkan niatnya.
“Baiklah, Miss,” kata Devi membuat Reza menoleh bingung. “Kami akan melakukannya.”
Miss Erma menatap Devi senang. Beliau langsung memeluk Devi erat.
“Thank you, Dev! Kamu benar-benar membantu XI A. Kalau gitu, kalian latihan sekarang. Buruan, sudah tidak ada waktu lagi.”
Devi mengangguk patuh. Setelah Miss Erma sudah tidak terlihat, Reza langsung menyerbu Devi dengan tatapan curiga.
“Tenang saja,” kata Devi yang sepertinya mengerti dengan sikap anehnya itu. “Aku punya rencana.”

~~~~~~~~
Sekolah ini penuh dengan hiruk-pikuk siswa-siswi serta para guru. Ada juga para pengurus sekolah lain yang turut serta dalam acara classmeeting. Semua orang mulai larut dalam musik yang menggema seantero sekolah.
“Oke... Ini saat yang kita nanti-nantikan!” kata sang MC semangat. “Siapa disini fansnya REZA?” tanya sang MC.
Orang-orang, terutama para cewek, berteriak dengan histerisnya.
“Baiklah... Mari kita sambut peserta dari kelas XI A.”
Sambutannya cukup meriah. Reza dan Devi naik ke atas panggung dengan wajah bangga. Entah apa yang mereka rencanakan yang pasti itu tidak akan merugikan kelasnya.
Musik mulai bergema menyandungkan nada-nada indah. Devi bernyanyi dengan riangnya. Lagu yang ia bawa membuat semua orang terpana. Semua orang, tanpa terkecuali. Musik dan suara merdunya seakan menjadi kolaborasi yang sangat sempurna. Alin melihat Devi dengan wajah sumringah.
“Ah, akhirnya mereka duet juga,” kata Vivi pada Alin.
Alin mengangguk setuju. Dilihatnya ekspresi wajah Vina dan genknya yang begitu terpukau dengan penampilan mereka. Itu membuatnya semakin terkikik. Segitu hebatnya penampilan Devi dan Reza sampai membuat mereka terbungkam?

~~~~~~~~
“Devi, kalian keren,” puji Rahma sambil mengancungkan dua jempolnya pada Devi dan Reza.
“Terima kasih, terima kasih,” kata Devi malu. Ia mengambil minumnya yang ada di dalam tas.
“Devi... Keren banget,” kata Alin antusias. “Apalagi, waktu lihat ekspresinya Vina dkk. Ugh, bikin ngakak abis, deh!” cerocosnya.
“Vina? Oya? Memangnya gimana ekspresinya?” tanya Dessy penasaran.
“Ya begitulah. Aku tak melihatnya cukup lama. Tapi, cukup membuatku tertawa,” kata Alin masih belum menjawab pertanyaan Dessy.
“Ayolah, katakan! Kami penasaran,” seru Avril. Semua orang mengangguk setuju.
“Baiklah, baiklah.” Dengan gaya soknya, Alin mulai bercerita tentang apa yang ia lihat.
“Benarkah? Ah, sayang sekali. Aku tidak bisa melihatnya secara langsung,” kata Sasha menyesal.
“Benarkah?” giliran Avril yang berkata seperti itu. “Yes, akhirnya kita bisa membuat si cocor bebek dan genknya seperti itu. Kamu hebat, Dev!” pujinya.
“Kalau begitu, aku berhasil,” seru Devi. Kini semua mata beralih padanya. “Aku berhasil membuatnya cemburu.”
Semua tertawa senang. Tentu saja. Sekarang, si Vina dan genknya sudah menjadi musuh besar kelas XI A. Bukan itu saja, bahkan anak kelas sebelas lain pun banyak yang tidak menyukainya, walau tidak semuanya.
“Ya ampun, kalian ini. Gak ada henti-hentinya membenci mereka,” kata Reza.
“Yee… salah mereka sendiri. Kenapa juga mereka bikin banyak musuh di sekolah,” kata Sasha sewot.
Semua mengangguk setuju. Satu lawan banyak, gak mungkin menang.
“Sudahlah,” kata Cika berusaha menenangkan teman-temannya. “Yang berlalu biarkan berlalu. Mending kita semua ke lapangan. Sebentar lagi pengumuman lomba akan segera diumumkan.”
Semua bergerak menuju lapangan. Benar juga, semua orang juga sudah berjalan ke lapangan. Namun, sebagian lagi sudah pulang. Hanya beberapa karena mereka harus mengikuti lomba lain di luar sekolah.
“Rahma, aku tidak lihat dia dari tadi. Kamu lihat?” bisik Devi.
Rahma menggeleng. “Tunggu… Aku sms adikku dulu.”
Devi menebarkan seluruh pandangannya ke seluruh sekolah mencari-cari seseorang. Kemanakah gerangan?

~~~~~~~~
Riri duduk di dapur sekolah. Ia butuh tempat untuk menyendiri. Kelas terlalu banyak orang, apalagi di lapangan. Ia sempat tidak bisa konsentrasi dalam lombanya.
“Woi, Riri,” panggil Beni membuatnya menoleh. “Yee… ngelamun aja. Buruan kumpul di lapangan. Yang lain udah pada nunggu, tuh!”
“Duluan aja! Aku akan menyusul nanti,” balasnya.
Beni tidak pergi juga. Ia masih menunggu Riri disana. Riri benar-benar terganggu dengan tingkah Beni.
“Kenapa masih disitu?” tanya Riri dingin.
“Nungguin elo!” jawab Beni membuat Riri salting.
“Terserah,” kata Riri malas. Ia terus membaca buku yang ia baca sedari tadi dan berpura-pura tidak menyadari kehadiran Beni. Namun, melihat Beni tetap bersikeras ia benar-benar merasa terganggu. Akhirnya ia menyerah juga.
“Baiklah,” seru Riri malas.
Ia pun berjalan menuju lapangan dengan kesal. Saking kesalnya, tanpa sadar ia menabrak Heri yang baru saja keluar dari kelas.
‘Bruukk’
Semua barang yang Heri bawa terjatuh, termasuk buku gambar A3. Buku gambar itu terbuka, memperlihatkan sebagian gambar yang ia buat. Riri baru saja ingin mengambilnya. Namun, Heri sudah lebih dulu mengambilnya.
“Jangan sentuh barang-barangku!” katanya dingin.
Riri mendelik kesal. Di bantuin malah protes.
“Ya sudah!” kata Riri tak kalah dingin.
Ia pun segera menyusul Beni yang sudah tiba di lapangan. Tapi, ada yang mengganggu pikirannya dengan gambar tadi.
“Bukankah itu gambar….”

~~~~~~~~
“Dan juara pertama lomba menyanyi adalah… XI A”
Semua melompat kegirangan. Akhirnya, XI A memenangkan semua lomba yang mereka ikuti. Juara 3 untuk lomba fashion show single putra dan putri. Juara 2 untuk lomba fashion show couple, membuat artikel, dan mading. Dan juara 1 untuk lomba membaca puisi dan menyanyi.
“Baiklah, kepada para pemenang di mohon untuk naik ke atas panggung,” pinta sang MC.
Riri, Beni, Cika, Bintang, Sasha, dan Satria naik ke atas panggung. Reza pergi entah kemana. Begitu juga dengan Devi.
“Mereka berdua kemana, sih?” tanya Miss Erma.
Semua menggeleng tidak tahu.
“Oke, kalau begitu Robby kamu yang menggantikan mereka,” perintah Miss Erma.
Robby baru saja ingin protes. Tapi, Miss Erma sudah lebih dulu menatapnya tajam. Hari ini ia selalu saja menjadi peran pengganti.
“Kalian ada yang melihat mereka berdua?” tanya Miss Erma.
Vivi melirik Dessy, Dessy melirik Alin, Alin melirik Rahma. Mereka bergantian melirik, membuat Miss Erma curiga.
“Kalian ada yang melihat mereka berdua?” ulang Miss Erma dengan nada lebih tinggi.
Semua langsung menggeleng takut.
“Umm… mungkin ke toilet kali, Miss!” seru Dessy.
“Sudahlah,” Miss Erma terlihat tidak peduli.
Alin melirik Dessy dan Rahma dengan tampang penasaran.
“Kemana mereka berdua di saat seperti ini? Apa mereka pergi berdua?” tanya Alin. Sepertinya itu adalah pertanyaan yang bodoh.
“Mana mungkin,” seru Rahma cepat. “Aku rasa itu mustahil,” tambahnya.
“Oh, berarti kamu tahu dimana mereka?” tanya Dessy penasaran.
“Devi iya, Reza enggak,” jawabnya.
“Lalu, kemana mereka?” tanya Alin tak kalah penasaran.
Rahma terdiam sambil tersenyum misterius.
“RAHASIA.”

~~~~~~~~
Akhirnya, setelah berminggu-minggu tidak ketemu. Setelah berhari-hari tak melihatnya, akhirnya ketemu juga.
“Bagas, tunggu!” seru Devi.
Bagas menoleh dan melihat Devi berlari mengejarnya.
“Ada apa, kak?” tanya Bagas. Ia baru saja ingin keluar gerbang dan pergi meninggalkan sekolah.
“Kamu marah sama aku?” tanya Devi to the point.
Bagas menggeleng cepat.
“Lalu, kenapa kamu tidak pernah sms lagi denganku? Kenapa kamu terkesan seperti sedang menjauhiku?” tanya Devi bertubi-tubi.
“Hanya itu yang bisa kulakukan,” jawabnya membuat Devi menyerngit bingung. “Aku tidak bisa terus menerus memikirkan kakak. Aku harus bisa melupakan kakak,” jelasnya.
“Kenapa? Apa karena aku telah menolakmu? Bagaimana kalau aku tidak menolakmu?”
Dalam hati, Devi benar-benar menyesali semua yang pernah ia ucapkan, termasuk kata-kata yang ia katakan tadi. Bagaimana bisa ia terkesan sedang mengemis cinta? Itu benar-benar bukan gayanya.
“Tidak,” jawab Bagas. “Kurasa kakak sudah melakukan hal yang benar. Lebih baik kakak menolakku daripada aku hancur lebih lama lagi.”
Devi terlihat semakin bingung. Apa maksud pembicaraannya?
“Mulai hari ini, aku akan pindah ke Bali,” kata Bagas yang sepertinya bisa membaca pikiran Devi. “Ayahku pindah tugas ke Bali. Semenjak ibuku meninggal, aku hanya tinggal bersama ayah kandungku, ibu tiriku, dan kakakku. Tak ada lagi saudaraku disini. Jadi, aku akan ikut mereka ke Bali.”
Mereka berdua terdiam. Tak ada satu pun yang ingin memecah kesunyian ini. Hanya ada bunyi jantung yang berdetak seolah-olah ia akan pecah sebentar lagi.
“Benarkah? Sejak kapan kamu tahu hal ini?” tanya Devi ingin tahu.
“Semalam. Jadi sekarang, aku tinggal mempersiapkan diri untuk pergi,” kata Bagas sambil memaksakan seulas senyum di bibirnya.
“Kalau begitu, hati-hati! Semoga kamu bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik disana,” ujar Devi.
Bagas tertawa, sedangkan Devi menyerngit bingung.
“Kakak ngomong seperti itu selah-olah aku akan mati sebentar lagi,” kata Bagas menjawab kebingungan Devi.
Mereka kembali terdiam. Untuk sesaat, ia ingin memeluk Devi satu kali saja. Tapi, itu sama sekali tidak bisa ia lakukan.
“Kalau begitu, aku pergi dulu. Sebentar lagi pesawatku akan berangkat.”
Matahari siang menyinari mereka dengan gembira. Namun, suasana hati mereka tak seperti matahari. Devi menatap kepergian Bagas dengan hati yang sesak. Bagaimana bisa perpisahan menjadi suatu hal yang menyakitkan seperti ini?
Disisi lain, Reza tampak sedih melihat Devi yang seperti itu.
“Bro, loe gak mau hibur kesana buat hibur dia?” tanya Aldi yang entah sejak kapan ada dibelakangnya.
“Gila, loe!” kata Reza hampir berteriak. Untung saja, ia masih bisa mengendalikan volume suaranya. “Yang ada suasana makin tambah kacau.”
Aldi mengangguk mengerti.
“Sepertinya kamu sangat menyukainya?” goda Aldi.
“Ukh, mana mungkin!” seru Reza sebal sambil berlalu.

~~~~~~~~
Hari sudah sore. Sekolah sudah sepi satu jam yang lalu. Tapi, Alin masih berada di sekolah. Jemputannya lama sekali. Karena bosan menunggu, ia sengaja berjalan mengelilingi sekolah. Ia melangkahkan kakinya menuju ruang musik. Entah kenapa, kakinya selalu saja ingin melangkah ke ruang ini.
Alin baru saja hendak pergi meninggalkan ruangan itu ketika ia mendengar ada musik yang membuatnya mematung. Musik itu… Musik itu taka sing lagi buatnya.
Aldi tampak serius memainkan pianonya. Jemarinya terus menari dengan indah diatas tuts piano. Alin melangkahkan kakinya ke dalam dan langsung duduk di samping Aldi.
“Yang tadi itu apa?” tanya Alin penasaran.
“Tadi itu lagu Moonlight Sonata dari Beethoven,” jawabnya sambil terus bermain piano.
“Dulu, aku sering mendengar ibumu memainkan ini sebelum tidur. Ah, aku benar-benar merindukan beliau,” kata Alin.
Aldi berhenti bermain dan menoleh ke arah Alin.
“Aku juga,” balasnya.
“Mainkan sekali lagi,” pinta Alin.
Aldi menuruti perintah Alin. Ia kembali memainkan lagu tadi untuk Alin. Alin tampak menikmati permainan Aldi. Saking terbawa suasana, tanpa sadar ia tertidur dan jatuh ke bahu Aldi. Aldi berhenti dan melihat Alin yang tertidur di bahunya. Mungkin ia terlalu lelah. Ia meneliti wajah Alin dan tertawa.
“Kamu lucu… Kau tahu berapa lama aku menahan perasaanku? Tak terhitung berapa lama aku menanti dirimu. Walaupun kau ada disini, mengapa pikiranmu selalu terbang kea lam lain? Ke alam dimana dia berada sekarang. Bisakah kamu melihat ke arahku saja?” tanya Aldi. Ia membelai rambut Alin pelan.
“Aku antar kamu pulang.”
Aldi menggendong Alin. Dalam pelukannya, Alin memandang sekolah yang sudah sepi itu sebentar, lalu ia kembali memejamkan matanya.
“Apakah itu masalahmu, Aldi?” tanya Alin dalam hati.
Sambil berpura-pura tidur, ia biarkan Aldi mengantarnya pulang. Yang penting, ia bisa mengetahui satu hal. Perasaan Aldi, dan tentang masa lalu yang tak pernah ia lupakan.

~~~~~~~~
Ini adalah hari yang paling mendebarkan buat Riri dan semuanya. Hari pembagian rapor sudah tiba. Semua orang tampak gelisah. Tapi, bukan itu yang menjadi masalah Riri. Ia tak perlu khawatir dengan nilai rapornya. Ia yakin hasinya tak akan mengecewakan. Tapi, ia khawatir tentang Ferdy. Bukankah hari ini ia akan menjawab pernyataan Ferdi waktu itu? Atau, lebuh tepat menerima.
“Riri, ayahmu sudah keluar,” kata Avril.
Semua orang langsung menyerbu Ayah Riri dan Riri.
“Bagaimana? Peringkat berapa?” tanya Cika.
“Peringkat 4,” kata Riri sedikit kecewa. Walaupun nilainya naik, tapi peringkatnya turun dari 3 ke 4.
Cika menepuk bahu Riri pelan.
“Yang sabar. Tahun depan kamu pasti bisa lebih baik lagi,” hiburnya.
Riri mengangguk mengerti. Tapi, bukan itu yang ia khawatirkan. Berkali-kali dalam hati ia selalu memikirkan tentang Ferdy. Apa yang akan ia lakukan?

~~~~~~~~
Rapor sudah dibagikan. Semua orang terlihat bahagia. Ada juga yang tidak hanya karena nilai mereka atau peringkat mereka yang menurun. Sebagian lagi tidak peduli dengan nilai rapor mereka. Bukankah libur panjang telah menanti?
“Peringkat berapa, Vi?” tanya Alin pada Vivi.
Vivi hanya diam, tak ingin memberitahu. Alin menatapnya dengan penuh harap. Ia benar-benar penasaran dengan rapor teman sekelasnya.
“Kamu?” VIvi malah bertanya balik pada Alin.
“Yee… Aku duluan yang tanya. Kamu dulu yang jawab, baru aku jawab,” kata Alin.
“Alin peringkat 7. Kamu peringkat berapa?” kata Bintang.
Alin langsung mencubit Bintang karena telah memberitahu peringkatnya pada Vivi. Padahal, ia ingin Vivi yang memberitahu peringkatnya lebih dulu.
“Bintang gak asik, deh! Mentang-mentang kamu peringkat 2…”
“Hah? Bintang peringkat 2? Hebat, donk!” puji Vivi.
Alin memutar-mutar bola matanya malas.
“Jangan dipuji, deh, Vi! Nanti dia besar kepala,” seru Alin
“Cieee… yang iri?” goda Bintang di sambut dengan cubitan dari Alin.
“Aku 17,” bisik Vivi di telinga Alin.
“Benarkah? Hebat, dong!”
Giliran Alin yang memujinya.
“Huh, apa hebatnya? Kalau aku masuk 10 besar, itu baru hebat.”
Alin menepuk bahu Vivi pelan.
“Tak apa. Masih ada tahun depan,” katanya. “Oya, dimana Devi dan yang lain?” tanya Alin.
Vivi menggeleng, sedangkan Bintang mengangkat bahunya tidak tahu. Lalu, dimana mereka?

~~~~~~~~

Devi sedang duduk sambil menangis. Dessy dan Rahma yang duduk disampingnya hanya bisa menepuk-nepuk bahunya pelan.
“Sudahlah,” kata Dessy. “Jangan ditangisi. Masih ada tahun depan, kok, untuk memperbaikinya. Peringkat turun bukan berarti nilaimu turun, kan?”
Rahma mengangguk setuju. Apa yang dikatakan Dessy ada benarnya.
“Tapi, aku takut mamaku marah,” ujar Devi.
Sebenarnya, bukan itu yang membuatnya ingin menangis hari ini. Memang ia sedih karena peringkatnya turun. Tapi, ada yang lebih membuatnya sedih sampai ingin menangis.
Bagas. Bagas yang membuatnya menangis. Dia sudah pergi jauh dan tak akan kembali, Lalu, bagaimana dengan perasaanya. Apa ia bisa melupakannya?
Disisi lain, lagi-lagi Reza mengintipnya. Ada rasa sedih yang menyelimutinya.
“Daripada loe ikutan sedih, gimana loe hibur dia sekarang?” usul Aldi.
Lagi-lagi Aldi mengikutinya. Ia bingung mengapa Aldi terus mengikutinya.
“Dari kemarin loe ngikutin gue terus, ya? Kenapa loe gak ada bosan-bosannya?” tanya Reza sebal.
Aldi hanya mengangkat bahunya.
“Kenapa loe gak urus Alin aja? Bukannya loe suka dia?” tanya Reza.
“Iya, aku suka dia. Tapi, ini belum saatnya. Suatu hari nanti, dia pasti jadi milikku,” jawab Aldi pasti. “Kalo loe?” tanya Aldi balik.
Reza terdiam. “Mungkin, gue gak bakal pernah bilang. Kami gak mungkin bisa menyatu. Tapi, perasaan ini biar gue simpan sendiri,” jawab Reza.
Ia kembali melihat Devi. Dalam hati ia berharap, semoga Devi bisa menemukan kebahagiaannya sendiri.

~~~~~~~~
Ferdi dan Riri duduk saling berhadapan di meja dapur sekolah. Ferdi sudah memasakkan beberapa makanan untuk Riri. Hari ini hari special untuknya. Jadi, ia harus bisa mempersiapkan segalanya.
“Lalu, bagaimana menurutmu?” tanya Ferdi memecah kesunyian.
Riri tersentak kaget, dan mendongak.
“Oh, enak,” jawabnya. Ia tahu bukan itu yang Ferdi harapkan dari jawabannya.
“Bukan itu. Tapi, tentang pernyataanku waktu itu. Bagaimana?” tanya Ferdi.
Riri terdiam cukup lama. Ia harus bisa memikirkan segala resiko yang akan ia dapat setelahnya. Setelah dipikir matang-matang, ia menjawabnya.
“Baiklah,” kata Riri.  “Aku akan menjawabnya. Tapi, jangan kecewa,” kata Riri.
Ferdi mendengar dengan seksama. Dalam hati ia berharap, semoga yang Riri katakan tidak membuatnya kecewa.

~~~~~~~~

Rabu, 24 April 2013

GUARDIAN ANGEL (29)


REAL VOICE ʃƪ˘) (29)



Semua seperti mimpi buruk. Dikejar oleh penjahat yang berbahaya. Tersesat di jalan yang menyeramkan. Lalu, kehilangan seorang teman. Bagaimana pun, tak ada seorang yang pun menginginkan hal ini terjadi.
“Alliiinn…” panggil Devi dan Dessy bergantian. Bintang dan Aldi juga ikutan. Tapi, semua sama. Hasilnya NIHIL.
“Bagaimana ini? Alin menghilang? Apa yang harus kita lakukan?” tanya Dessy panik. Air matanya tak bisa berhenti mengalir.
“Ini juga lagi mikir,” jawab Reza.
“Dari tadi kalian terus bilang ‘lagi mikir’. Kalian kelamaan mikir. Kalau terjadi sesuatu dengan Alin bagaimana? Kita harus bilang apa sama ortunya?” ujar Dessy.
Bintang mendesah kuat, sedangkan Devi dari tadi sibuk mencari sesuatu di tasnya. Ia baru sadar kalau sedari tadi ia membawa tas. Buku yang Reza pegang tadi pun Reza tinggal di padang rumput. Hanya sebuah buku tulis milik Bintang yang ia bawa. Aldi sendiri dari tadi sibuk meraba-raba sesuatu di kantongnya.
“Kamu punya sesuatu yang berguna, Dev?” tanya Aldi pada Devi.
Devi mengangguk ragu. “Maybe. Aku hanya punya tali tambang, garam, pisau, garpu, sendok…”
“Loe sebenarnya mau ngapain, sih? Kok, bawa peralatan makanan. Jangan-jangan, loe juga bawa piring sama gelas juga,” kata Reza penuh selidik.
“Ya nggaklah! Gue sendiri juga bingung kenapa barang-barang ini ada di dalam tas gue,” sahut Devi sebal. Ia kembali memeriksa isi tasnya. “Aku juga bawa senter, peralatan tulis, kaca, dan terakhir snack-snack.”
Semua menyerngit bingung.
“Snacknya apa aja?”s tanya Aldi.
“Ada satu pack permen, keripik singkong, roti-roti, biskuit…”
“Gila. Loe mau pergi cari materi atau piknik, sih?” komentar Reza lagi.
Devi berusaha untuk tidak mendengar kata-kata Reza lagi. Kalau itu dibiarkan, lama-lama ia bisa darah tinggi.
‘Ya sudah, kalau gitu gue minta sebungkus roti dan biskuit. Tali tambang, garam, sama kacanya gue pinjam. Senternya loe cuma bawa satu, ya?”
“Nggak. Ada 4. Kamu mau pinjam?” tanya Devi.
“Gue pinjam 2, ya. Buat persiapan aja,” kata Aldi. “Oya, kalau ada sesuatu, kalian lapor, ya.”
“Memangnya kamu mau kemana?” tanya Bintang.
“Nyusul Alin ke bawah. Gue gak bisa berdiam diri aja,” kata Aldi. Ia mulai memasang tali tambang ke pohon. Ular yang tadi mereka lihat sudah di bunuh Aldi dan Bintang. Bangkainya pun sudah mereka buang jauh-jauh. Setelah selasai, ia menaburkan garam di sekitar. Takut ular yang lain muncul lagi.
“Tapi, bagaimana caranya kita berhubungan?” tanya Dessy yang baru sadar kalau ponsel mereka hampir lowbat. Walaupun punya Devi dan Aldi masih aktif, tapi pulsa mereka tidak mencukupi. Lagipulam sinyalnya pun sama sekali tidak ada.
“Dengan ini.” Aldi mengeluarkan 3 buah walkie-talkie. 2 buah ia berikan pada Devi. Yang satunya lagi ia pegang sendiri. “Kalau ada perubahan, cepat hubungi gue.”

~~~~~~~~
“Pada akhirnya, tak ada yang salah, tak ada yang benar. Semua itu hanyalah sebuah kesalahpahaman. Bagaimanapun, kita harus bisa menerima semuanya.”
Alin menyerngit bingung. Kata-kata yang keluar dari mulut neneknya itu cukup sulit untuk di pahami.
“Tapi, bagaimana caranya kita bisa mengetahui kebenaran itu?” tanya Alin.
Beliau berjalan mendekat. Diambilnya tangan Alin, lalu ia letakkan ke dada.
“Disini. Dengan hati.”
“Neneeekk…” teriak Alin.
Ia tersadar dari mimpinya. Saat ia bangun, hari sudah gelap. Butuh waktu lama untuk matanya beradaptasi dengan lingkungan sekitar dan menyadari bahwa ia berada di tempat asing. Pohon-pohon yang menjulang tinggi mengelilinya. Nyanyian gagak membuat suasana mencekam. Alin bergidik ngeri. Bagaimana bisa ia terjebak disini?
Seperti kaset rusak, memori itu terulang. Dikejar penjahat, tersesat, ular, dan…
“Aaarrrghhh….” Alin merasakan kepalanya berdenyut-denyut. Sakit. Bukan hanya kepalanya yang sakit, tapi seluruh tubuhnya, mulai dari tangan hingga kakinya. Ia mencoba untuk berdiri, tapi sia-sia. Terjatuh dari ketinggian lebih dari 5 meter membuat seluruh badannya sakit.
Ia memandang keatas. Sungguh sebuah keajaiban baginya ia masih hidup setelah jatuh dari ketinggian 5 meter itu. Mungkin juga lebih. Tapi, itu tak penting baginya. Yang terpenting adalah bagaimana caranya ia keluar dari tempat ini. Jika tidak, ia akan menjadi santapan lezat hewan-hewan yang ada dihutan ini.
Tak jauh dari tempatnya berbaring, ada sebuah tongkat yang mungkin bisa ia gunakan. Dengan susah payah, ia menggapai tongkat kayu itu.
‘Kreeseekk’
Terdengar suara ranting kering diinjak. Jantung Alin langsung bekerja 3 kali lebih cepat. Rasa takut menyerangnya. Tapi, ia masih bisa mengatur semua emosinya.
‘Guk.. guk..’
“Anjing?” gumam Alin heran.
Ia menghela napas lega. Ternyata hanya seekor anjing. Anjing itu kembali berjalan mendekati Alin. Dengan mulut menganga dan liur menetes, ia menatap Alin dengan tajam seolah ia bisa menelan Alin dengan tubuh utuh.
“Sial, itu bukan anjing baik,” batin Alin kesal.
Sekuat tenaga ia melawan anjing itu. Pertarungan antara gadis malang yang terluka vs anjing yang kelaparan ini berlangsung sangat seru. Mereka sama-sama kuat dan sama-sama lemah. Tapi, jika ini tidak segera di selesaikan, tenaganya akan terkuras habis, dan akhirnya ia akan menjadi santapan lezat anjing lapar ini.
“Uukk…” anjing itu tampak kesakitan ketika seseorang menendangnya dengan keras. Alin mendongak dan melihat Aldi sedang bertarung dengan anjing itu.
“Aldi, jangan…” teriak Alin saat Aldi ingin menusuk perut anjing dengan  kaca.
Aldi menghentikan gerakannya. Dibiarkannya anjing itu kabur. Yang terpenting, ia segera menolong Alin.
“Kamu gak pa-pa?” tanya Aldi.
Alin mendengus. “Ya enggaklah, bego! Dimana-mana, orang pasti sedang ‘TIDAK BAIK-BAIK SAJA’ saat ia terjatuh.. uuhuukk.. uhuukk…”
“Iya, deh! Aku salah. Yang penting, kamu selamat. Bisa berdiri?”
Alin menggeleng cepat. Jangankan berdiri, menggerakkan tangannya saja ia harus menahan sakit.
“Sakit? Lutut dan tanganmu berdarah,” Aldi menunjuk lutut dan lengan Alin.
Padahal ia sudah mengenakan baju lengan panjang dan jeans panjang. Tapi, masih ada luka di lengan kanan dan lututnya. Bahkan, jeansnya sampai robek. Aldi tampak mengeluarkan sesuatu dari kantong jaketnya yang ternyata kain bekas. Dengan cepat ia mengobati luka Alin dengan ekstra hati-hati.
“Selesai,” seru Aldi senang. Alin terdiam sambil memandangi lukanya. “Maaf, mungkin kamu gak suka. Tapi, aku harus melakukan ini.”
Aldi menggendong tubuh Alin dengan pelan, takut jika ia melakukan dengan gegabah akan memperburuk keadaan.
Alin masih diam. Bahkan, ia tak sanggup menatap wajah Aldi. Ia terus berpikir kalau Aldi jahat. Ia yang menyebabkan kecelakaan Arli. Dan…
 “Lihatlah dengan mata hati. Dan dengarkan suara hait itu. Kelak, kita akan mengetahui kebenarannya.”
Alin memegang dadanya sambil memejamkan kedua matanya. Dalam diam, ia bisa mendengar suara detak jantung Aldi, merasakan ketulusan Aldi, dan kejujurannya. Dan ia pun mengetahui kebenarannya…

~~~~~~~~
“Dev, aku mau tanya sesuatu,” kata Dessy pelan. Devi sampai mendekat pada Dessy untuk mendengar kata-kata Dessy.
“Apa?” tanya Devi tak kalah pelannya.
“Kamu sebenarnya mau kemana, sih? Persiapanmu kok matang banget? Sampai bawa peralatan makan lagi?” tanya Dessy heran.
Devi nyengir-nyengir tidak jelas, membuat Dessy semakin heran.
“Umm… sebenarnya, aku berniat kabur dari rumah. Tapi, setelah kejadian hari ini, aku jadi ingin tinggal dirumah saja.”
Dessy tertawa mendengar alasan dari mulut Devi. Kabur? Benar-benar bukan Devi yang biasanya.
“Ada masalah apa?” tanya Dessy yang sepertinya mengerti alasan Devi kabur.
 “Aaaarrrgghh… biasa. Kakakku yang biasa cari masalah. Lama-lama aku jadi kesal sendiri, pengen kabur dari rumah. Tapi, karena aku sedang mengalami hal ini, sepertinya aku harus berpikir ulang untuk kabur dari rumah.”
Dessy tertawa mendengar alasan Devi. Lucu. Tapi, ia bisa mengerti perasaan Devi. Walau ia tidak punya kakak, tapi ia punya adik yang ‘Super Duper’ menyebalkan.
“Devi, awas… Ada cicak,” teriak Dessy tiba-tiba.
Tanpa melihat, ia langsung melompat kedepan dan bersembunyi di balik punggung seseorang.
“Woy, loe lagi ngapain, sih? Cari kesempatan, ya?” tanya Reza yang sedang sibuk menyalakan api dengan Bintang.
Devi mengangkat kepalanya dan terperanjat ke belakang. Bagaimana bisa?
“Iiisssshhh… males banget, deh, gue! Ngapain juga gue mau cari kesempatan sama loe. MIMPI…” balas Devi. Ia benar-benar kaget saat ia tahu kalau ia tadi sampai memegang bahu Reza. Iiiihhh… membayangkannya saja udah ngeri banget.
Samar-samar ia bisa mendengar kalau dari tadi Dessy dan Bintang dari tadi tertawa cekikikan seperti kuntilanak. Ia menjadi semakin bete.
‘Kreesseekk… kreessseeeekk…’
Bintang merogoh kantong jaketnya mengambil walkie talkie.
“Ya, halo, dengan Bintang. Bagaimana? Kamu sudah menemukan Alin?”
“Iya. Sekarang, dia sedang bersamaku. Maaf, tapi, bisakah kalian kemari?”
“Dimana?” tanya Bintang bingung sambil celingukan.
“Aku beri isyarat dengan lampu senter. Jika kalian melihat, tolong dibalas.”
Bintang celingukan dan melihat kurang lebih 200 meter di bawah jurang ia bisa melihat lampu senter yang tadi bergerak memberi isyarat. Bintang pun membalas dengan morse lighting. ‘Kami kesana sekarang’.
“Tadi itu apa?” tanya Devi.
“Itu semacam kode, Dev. Kalau tidak salah namanya mo… mo…
Morse lighting,” kata Bintang saat Dessy tampak kesulitan menyebutnya.
“Ya, itu dia. Jadi, Aldi bilang apa?”
“Kita ketempat mereka sekarang. Alin sudah ditemukan dan sekarang ada bersama Aldi,” ujar Bintang.
“Benarkah? Syukurlah…” seru Dessy dan Devi berbarengan.
“Kalau gitu, kita kesana sekarang,” seru Reza. Yang lain mengangguk setuju.

~~~~~~~~
Malam berlabuh di langit kelam. Senyum bulan tak lagi bahagia. Cahaya bintang tak lagi benderang. Hilang. Semuanya hilang hanya dengan satu gulungan hitam yang berubah menjadi merah. Dan… tess… tesss… tess… Hujan turun diluka perih. Tak dapat terobati dalam waktu singkat. Semua kenangan indah hanya masa lalu yang pahit. Seperti kopi. Manis. Namun, sebenarnya pahit.
“Ada apa?” tanya Vivi. Tak biasanya Rahma datang kerumahnya. Ia memang satu genk dengan Rahma. Tapi, ia tak begitu akrab. Dan sekarang, ia berada dirumahnya sambil bersimbah air mata dan hujan. Bingung. Biasanya ia akan pergi menghampiri Dessy atau Devi. Tapi, mengapa sekarang dia ada disini?
“Dessy, Devi, dan Alin lagi pergi. Cika dan Riri juga,” kata Rahma yang seperti membaca pikiran Vivi.
‘Oh,” seru Vivi canggung. “Umm… kalau gitu, masuk aja kedalam kamarku. Kamu harus ganti baju dulu supaya tidak masuk angin.”
Vivi menuntun Rahma ke kamarnya, lalu memberinya handuk. Setelah itu, ia memberinya susu hangat.
“Ini. Minumlah selagi hangat.”
Rahma menerima gelas itu lalu meneguknya sampai habis.
“Pelan-pelan, Rahma. Masih panas,” ingat Vivi.
Tapi, Rahma sama sekali tidak menghiraukannya. Ia terus meneguk minuman itu sampai habis.
“Panas…” desisnya.
Vivi hanya bisa menggeleng bingung.
“Lalu, apa rencanamu? Mau nginap disini dulu?” tanya Vivi.
“Mungkin… Kalau kamu gak keberatan atau merasa terganggu.”
“Oh, nggak, kok! Santai aja. Anggap rumah aku, ya!” kata Vivi sambil nyegir.
Rahma menggangguk.
Vivi berjalan menghampiri meja belajarnya untuk mengambil ponselnya yang dari tadi terus berbunyi minta diangkat.
“Sebentar, ya…” Vivi keluar kamarnya, lalu mengangkat teleponnya. “Ya, ada apa?”
“Kamu tahu dimana Rahma?” sahut seseorang di seberang telepon.
“Ya, Cik! Dia lagi dirumahku. Memangnya kenapa?”
Orangtuanya dari tadi telpon aku sibuk nyariin Rahma. Katanya, dia kabur dari rumah… Oke, kalau gitu, aku kesana sekarang…”
“Jangan! Kayaknya, dia lagi kacau banget. Mending, besok pagi aja kamu kesini. Bilang aja sama ortunya kalau dia baik-baik aja. Mungkin, dia butuh waktu untuk berpikir,” ujar Vivi. “Oke, kalau gitu, sampai ketemu besok.”
Vivi menutup teleponnya dan hendak kembali kekamarnya. Tapi, saat ia membalikkan badannya, ia kaget melihat Rahma yang sudah berdiri dibelakangnya.
“Vi, mungkin aku harus ceritain sesuatu ke kamu.”

~~~~~~~~
‘Praanngg’ bunyi gelas pecah membangunkan Rahma dari tidurnya. Ia bangkit dari ranjangnya dan mengintip suasana diluar kamarnya.
“Kapan lagi kalian mau bayar hutangnya? Kalian sudah nunggak 5 bulan. Mau sampai kapan kalian nunggak?” tanya seorang rentenir dengan garang. Dua anak buahnya yang bertampang seram hanya menyengir tidak jelas.
“Saya mohon beri waktu 1 minggu lagi. Saya janji saya akan melunasi semua hutang anda,” kata ibu Rahma dengan nada memohon.
“Oke, kita beri waktu 1 minggu lagi. Kalau tidak, anda tahu sendiri apa resiko yang harus anda tanggung.”
Mata rentenir itu mengarah tepat kearah Rahma dengan pandangan menyelidik membuat Rahma bergidik ngeri. Cepat-cepat Rahma menutup pintu kamarnya, berusaha menghindari diri dari rentenir tak punya hati.
“Anak anda yang bernama Rahma itu harus bekerja ditempat saya… sebgai pelayan bar.”
Seolah-olah ada ribuan jarum yang menghujam hatinya sampai ke ulu, membuat lututnya lemas tak mampu lagi menopang tubuhnya yang tinggi itu. Tanpa sadar, air mata keluar dari pelupuk matanya.
‘Braaakk’ pintu dihempas begitu kuat hingga menimbulkan getaran disetiap sudut rumahnya. Rahma bangkit dari keputus asaanya. Sekuat tenaga ia melangkah keluar dari kamarnya, memaandang wajah ibunya yang semakin hari semakin tua. Wajah lelahnya itu tak lagi menarik simpati Rahma. Hanya satu yang bergerumuh dihatinya. KECEWA.
“Jadi, ibu berniat menjual Rahma pada rentenir gila itu? Ibu sengaja? Apakah itu yang ibu inginkan?” tanya Rahma bertubi-tubi tanpa memberi celah pada ibunya untuk berbicara. “Ibu senang? Ini yang ibu inginkan? Ibu macam apa namanya kalau seperti itu?”
Ibunya baru saja ingin berbucara. Tapi, Rahma langsung melangkah keluar rumah tanpa mendengar sepatah kata pun dari ibunya.

~~~~~~~~
Ketika Dessy dan yang lainnya sampai di pondok kayu yang lebih mirip kandang sapi, tapi sama sekali tidak ada bau seperti hewan ternak ataupun kotoran. Lagipula, jika tempat bau pun, Aldi tak mungkin mengajak mereka ketempat itu. Dan Alin tampak tidur nyenyak di pangkuan Aldi.
“Ugh… so sweetnya….” seru Devi dengan nada sedikit menggoda.
Dessy langsung menyikut Devi untuk menyuruhnya diam. Bintang dan Reza pura-pura memeriksa keadaan sekitar mereka saat melihat Aldi dan Alin berdua saja sedang tertidur. Tapi, mendengar suara Devi tadi yang ternyata begitu keras tersentak kaget dan langsung terbangun.
“Uh… oh… kalian sudah datang,” kata Aldi sedikit meracau. Ia membutuhkan sedikit waktu untuk mengumpulkan nyawa.
“Padahal, baru beberapa menit yang lalu loe nelpon. Dan sekarang, loe malah asyik berduaan dengan Alin. Loe nyari kesempatan dalam kesempitan, ya?” cerocos Devi sambil berjalan mendekati Aldi dan Alin.
“Apa? Kalian bercanda? gue udah nunggu lebih dari setengah jam tahu! Dan gue hampir mati kebosanan,” protes Aldi.
Devi mendengus. ”Tapi, gak mungkin bosan. Kan ada Alin yang nemenin,”  seru Devi tak mau kalah.
Aldi baru saja ingin membalas perkataan Devi saat Bintang dan Reza dengan sikap yang aneh masuk kedalam pondok.
“Sssttt… jangan berisik. Diluar, aku dan Reza melihat seseorang yang sangat mencurigakan. Mungkin dia salah satu dari penjahat yang kita lihat tadi siang,” jelas Bintang. Yang lain langsung terdiam.
“Kalau begitu, kita harus menyusun rencana sekarang.”
Dengan pelan Aldi memindahkan kepala Alin dari pangkuannya ke tas digunakannya sebagai bantal. Devi memeriksa isi tasnya, tahu kalau Aldi akan bertanya padanya tentang apa yang ada saat ini. Pisau, garpu, sendok, peralatan tulis, kaca, sisa tali tambang, dan beberapa snack. Dessy mengeluarkan kameranya dari dalam tas, tali rafia, pisau pramuka, payung lipat, slayer, dan beberapa snack. Bintang sendiri hanya ada kamera dan setumpuk buku. Aldi punya walkie talkie dan pistol mainan yang itu pun ia curi dari markas penjahat. Reza sama sekali tak membantu.
“Kalian mau cari materi atau piknik, sih?” seru Reza untuk menutupi rasa malunya yang sama sekali tidak membawa apa-apa.
“Oh, setidaknya kami membawa sesuatu yang mungkin bisa membantu. Bukan kayak loe, yang hanya membawa diri. Bahkan, badan loe yang hanya setipis papan pun sama sekali gak membantu,” tukas Devi yang berhasil membuat Reza speechless.
Suasana kembali normal saat Aldi mulai menceritakan susunan rencananya.
“Kalian berdua,” Aldi menunjuk Reza dan Bintang bergantian,”Kalian pergi mencari bantuan. Jangan pernah kembali sampai kalian mendapat bantuan,” perintah Aldi. Ia membekali mereka tali rafia, pisau milik Dessy, dan beberapa snack. Lalu, mereka berdua pergi untuk mencari bantuan.
“Dan kalian,” seru Aldi pada Dessy dan Devi,”Mari kita buat kejutan untuk tamu baru kita.”

~~~~~~~~
Suasana didalam pondok sangat gelap. Jadi, tak heran jika pria setengah baya yang diduga salah satu komplotan dari penjahat yang ditemui Aldi dan kawan-kawan tadi siang. Entah bagaimana caranya Dessy dan Devi bisa membuat pria itu masuk ke dalam perangkap mereka. Dan perlahan, pria itu mendekat…
‘Kroosaaakk….’
Bunyi itu bukan hanya mengagetkan pria itu, tetapi Devi dan Dessy.
“Gawat, kita melupakannya,” seru Dessy setengah berteriak. Tapi, Aldi dengan cepat membekap mulut Dessy dan Devi yang juga ingin mengatakan hal yang sama.
“Tenang, dia hanya kita jadikan umpan,” kata Aldi membbuat Dessy dan Devi bergidik ngeri.
“Loe…” Devi menatap Aldi dengan penuh amarah.
“Tenang,” kata Aldi sebelum amarah Devi mulai meluap. “Aku tak kan pernah membiarkan pria itu menyentuh Alin sedikit pun.”
Ia kelihatannya bersungguh-sungguh mengatakan itu, membuat Devi dan Dessy kembali tenang.
“Oke, kita pegang kata-katamu,” seru Dessy semangat.

Pria itu berjalan mendekati benda gelap yang tak terlihat jelas yang sedang bersandar di dinding. Perlahan ia mendekat dan kaget melihat orang yang sepertinya masih hidup ada disana.
“Te… man… te.. man…” racau Alin. Perlahan ia membuka matanya dan melihat tubuh pria itu dan siluet cahaya perak dari tangannya.
“Aaarrrggghhh….” rintih Alin saat ia bergerak untuk menghindari diri dari pisau.
Tadi, ia melihat ada sesuatu yang terbang dan menjatuhkan pisau yang dipegang penjahat itu. Tubuhnya hanya berpindah sejauh 5 centi dari tempat semula, dan itu membuat sekujur tubuhnya sakit akibat gerakan yang tiba-tiba.
“Damn…” rutuk pria itu. Pria itu ingin mengambil pisau yang berada di dekat Alin. Tapi, Alin dengan sigap mengambil pisau itu sebelum pria itu mengambilnya.
“Kau…” Alin ingin melawan. Tapi, dengan tubuh lemahnya itu, ia langsung mengurungkan niatnya dan membiarkan-secara tidak sengaja- penjahat itu merebut pisau darinya.
“Hai, anak ingusan. Jangan sok jagoan, loe! Baru gede dikit, mau ngelawan gue sendirian. Emang loe bisa apaan, hah?” kata pria itu dengan garang, memandang Alin seolah ia adalah anak kucing yang tersesat mencari induknya.
Di sudut lainnya, Devi berusaha menyuruh Aldi untuk melakukan sesuatu. Tapi, Aldi hanya diam, menunggu saat yang tepat.
“Are you crazy?” tanya Dessy geram. “Aku akan kesana se…”
Dessy menghentikan langkahnya, memandang Aldi senang karena akhirnya ia maju, menghajar pria jahat itu hingga terjatuh, membuat Alin terkejut.
“Oh, ternyata ada orang lain selain dirimu…” kata penjahat itu sambil terkekeh. Ia bangkit dan bersiap menghajar Aldi, namun Aldi dapat menangkisnya. “Tak semudah itu, bocah…” Ia meninju perut Aldi membuatnya jatuh tersungkur.
“Al…dii….” teriak Alin. Tapi, yang terdengar hanya seperti bisikan.
Pria itu mengambil pisau yang tadi sempat terjatuh, lalu mengarahkannya pada Aldi, bersiap untuk menusuknya. Lalu, seperti tersihir oleh kekuatan gaib, bergerak maju kedepan, menangkis serangan dari pria penjahat.
“Rasakan ini…” Alin meninju perut pria itu sekuat yang ia bisa, menendangnya, membuang pisau itu sejauh mungkin. Yang lain terperangah. Bagaimana bisa Alin berlari melindungi Aldi, sedangkan ia sendiri tadi begitu sulit  untuk bergerak akibat jatuh dari tebing.
Dessy dan Devi langsung menyerbu pria itu, mengikatnya dengan tali, lalu menyeretnya ke sudut ruangan.
“Alin, kamu baik-baik saja?” tanya Aldi.
“Ya,” jawab Alin sambil tersenyum.
Perlahan, penglihatan Alin mulai memudar. Samar-samar ia melihat seseorang yang ia rasa tak akan pernah ia temui lagi.
“Kamu hebat, Lin!” seru Fakhri sambil mencium pipi Alin lembut. Alin bisa merasakan semuanya. Kehadiran Fakhri, kehangatannya, dan ciumannya tadi masih membekas dihatinya, membuat Alin menitikkan air matany.
“Fakhri… Aku kangen…” kata Alin hampir seperti bisikan.
Darah segar mengalir dari lengan Alin, membuat semuanya panik. Kemudian, ia pingsan begitu saja.

~~~~~~~~
Bau obat-obatan sepertinya bukan hal baru bagi Alin. Ia sudah sadar, tapi ia sengaja berpura-pura tidur saat teman-temannya masuk ke ruang tempat ia dirawat.
“Alin, kamu kasihan banget, sih! Padahal, baru aja jatuh dari tebing, eh, udah kena sabetan lagi. Kayak pepatah ‘Udah jatuh, ketimpa tangga pula,’” kata Devi.
“Yee… dia gak kayak gitu juga kali. Tapi, Alin hebat. Padahal dia jatuh dari tempat yang lumayan tinggi. Tapi, sama sekali tidak ada tulangnya yang rusak. Cuma keseleo dikit ama luka,” kata Dessy kagum.
“Iya, ya… Btw, mana yang lain?” tanya Devi sambil celingukan.
“Maksud kamu Reza, Bintang, dan Aldi?” tanya Dessy balik.
Devi mengangguk. “Iya, kecuali Reza. Dia mau mati juga aku gak peduli.”
Dessy terkikik. “Iya, iya… Tadi, mereka pulang sebentar buat ganti baju. Ntar, mereka balik lagi. Tapi, kalau Reza kayaknya gak balik lagi.”
“Baguslah,” celetuk Devi.
Bunyi pintu terbuka membuat Dessy dan Devi menoleh. Bisa ditebak siapa yang datang.
“Hai,” sapa Bintang pada Dessy dan Devi. Tapi, sepertinya itu lebih mengarah untuk Dessy.
“Oh, hai…” balas Dessy antusias. Aldi yang berada disamping Bintang sampai terkikik melihatnya. Tapi, Dessy berusaha untuk mengabaikannya. “Reza mana?”
“Kayaknya gak bakal balik lagi,” jawab Bintang.
“Oh, baguslah,” kata Devi senang.
Devi menarik Dessy berjalan ke pintu keluar.
“Kami pulang dulu, ya.”
Bintang mengangguk. Keduanya menghilang dari ruangan. Aldi masih berdiri menatap Alin lama.
“Aldi, bisakah aku minta tolong?” tanya Bintang. Aldi mengangguk. “Kalau begitu, tolong belikan roti dan buah-buahan untuk Alin.”
Aldi mengangguk lagi. Diambilnya duit dari tangan Bintang, kemudian berlari mencari toko roti dan buah.
Kini, giliran Bintang menatap Alin lama. Ia menarik kursi yang ada didekatnya ke samping ranjang Alin.
“Bangunlah!” seru Aldi. “Tak ada siapa-siapa lagi disini.”
Sepertinya Bintang sadar kalau Alin sudah sadar.
“Kau tahu?” tanya Alin datar.
Bintang mengangguk pasti. “Yap!!! Daripada itu, ada yang ingin ku tanyakan padamu. Ini… tentang Aldi”

~~~~~~~~