(╥_╥) TEARDORPS IN MY HEART♡ (27)
Kebisingan
menyelimuti ruang kelas XI A. Itu adalah hal yang biasa terjadi dalam
sehari-hari. Tapi, kesunyian yang menyelimuti Aldi adalah suata hal yang aneh
buat Alin. Dari kemarin pagi, saat ia bangun dari tidur sampai sekarang, Aldi
tak banyak bicara padanya. Walaupun kemarin ia sempat shock karena ternyata ia
bangun bukan dari ranjangnya, melainkan dari ranjang Aldi. Ia ingin mengucapkan
terima kasih padanya. Tapi, ia sungkan.
“Hei,
kemarin, aku dengar kamu di anterin Bintang, ya, kerumah sakit?” tanya Rahma
yang tampak sedang asyik bergosip di bangku belakang.
“Hah?
Tau darimana?” tanya Dessy malu.
‘Oppsss’,
Alin berusaha memberi kode pada Rahma supaya tidak memberitahu Dessy kalau iya
yang bilang. Tapi, ia terlambat 5 detik.
“Alin”
jawab Rahma santai.
‘Gubrakk’
Alin langsung menyembunyikan dirinya. Tapi, lagi-lagi ia kalah cepat.
“Alin”
panggil Dessy dengan senyum Devilnya.
‘Glekh’
Alin menoleh takut kearah Dessy. Dalam hati ia berharap semoga ia bisa selamat
dunia akhirat.
“Alllliiiiiiinnnnnnnnn…
Kamu mau mati, ya? Kenapa kamu bilang, sih??? Malu, tau!” oceh Dessy sambil
mencubit kedua pipi Alin gemas. Alin pasrah saja.
Tak
lama, bel pulang berbunyi dan itu benar-benar menyelamatkannya dari amukkan
Dessy yang mungkin berlangsung lama. Setelah selesai beres-beres-karena tadi
sempat beres-beres buku 15 menit sebelum bel-Alin langsung kabur keluar kelas.
Ia tidak peduli dengan teriakan Dessy yang sudah memekakkan telinga. Yang
penting, ia menjauh dulu dari Dessy.
“Mau
pulang bareng? Sepertinya Bintang sudah pulang duluan tadi” suara Aldi
mengagetkan Alin. Alin hampir saja terjungkir kebelakang, kalau saja Aldi tidak
menahannya dengan cepat.
“Kamu
mengagetkanku” kata Alin setelah ia berhasil menguasai dirinya.
“Maaf,”
seru Aldi. Wajah Aldi tiba-tiba berubah merah saat ia menyadari kalau dari tadi
Alin memandanginya dengan tatapan yang membuatnya GE-ER. “Ke, kenapa kamu
memandangiku seperti itu?”
“Kamu,
akhirnya bicara banyak denganku. Aku senang” kata Alin jujur.
Aldi
melengos,”Jadi, mau pulang bareng, gak?”
Alin
tampak berpikir. Tapi, setelah mendengar namanya dipanggil-panggil oleh Dessy,
ia langsung mengangguk dan mengajak Aldi kabur.
~~~~~~~~
Dessy
terus berceloteh panjang lebar pada Alin yang kelihatan sangat bosan
mendengarnya. Tiba-tiba saja Alin menarik lengan baju Bintang pelan sambil
menatapnya dengan penuh harap.
“Bintang,
tolong suruh Dessy berhenti menceramahiku, dong?” pinta Alin. “Aku sudah sudah
tak tahan lagi mendengarnya” tambahnya.
“Gak
usah, Bintang! Dia kan udah mempermalukan kita. Jadi, gak usah di bela. Biar
dia tau rasa, deh!” omel Dessy.
Tapi,
Alin tak mudah menyerah. Ia terus memaksa Bintang untuk menyuruh Dessy
berhenti. Dan Bintang akhirnya menyerah.
“Udahlah,
Des! Kasihan Alin. Lagian, dia kan udah minta maaf” bujuk Bintang. Dessy
merengut. Bintang pun mendekat, lalu membisikkan sesuatu ke telinga Dessy.
“APA???
ALIN TIDUR DI KAMAR ALDI???” teriak Dessy tak percaya.
‘Glekh’
Aldi yang sedang serius mengerjakan soal Fisika langsung tersedak mendengar
teriakan Dessy. Sedangkan, Alin langsung mengejar Bintang yang sudah berlari
mengelilingi rumah Alin. Suasana jadi hening. Aldi menoleh dan mendapati Dessy
sedang memandangi Alin dan Bintang bergantian dengan tatapan… cemburu.
“Kamu
suka Bintang? Kamu cemburu lihat Alin dan Bintang akrab?” tanya Aldi.
Wajah
Dessy langsung memerah. Pertanyaan Aldi benar-benar mengena dihati. Apa
ekspresi wajahnya begitu kelihatan sehingga Aldi sendiri tahu?
“Tentu
saja” seru Aldi yang sepertinya bisa membaca pikiran Dessy. “Tingkahmu,
sikapmu, cara kamu memandang Bintang. Mungkin, semua orang tahu kalau kamu
menyukai Bintang” ujarnya.
Dessy
mendesah, sedangkan Aldi kembali melanjutkan kegiatannya yang tadi sempat
tertunda.
“Apa
dia juga tahu?” tanya Dessy.
“Hah?”
tanya Aldi. Sepertinya ia tidak mendengar apa yang Dessy katakan.
“Apa
dia tahu perasaanku? Kalau semua orang bisa tahu, apa dia juga tahu?”
“Soal
itu, aku tidak tahu. Kadang, kita bisa mengetahui apa yang sedang orang yang
kita suka ingin lakukan. Tapi, kita tak pernah tahu, apa yang dia pikirkan
tentang kita, atau bagaimana perasaan orang itu. Kita tidak bisa menebak.
Karena, hati dan perasaan itu, hanya mereka sendirilah yang tahu” ujar Aldi.
Dessy
menatap Aldi lama. “Kamu sendiri? Apakah kamu suka dengan Alin?”
Aldi
terdiam. Bahkan, dunia pun terasa berhenti hanya mendengar pertanyaan aneh dari
Dessy itu. Tapi, ia bersikap seolah tak terjadi apapun. Mendengar apapun.
“Tidak.”
~~~~~~~~
Aldi
meletakkan satu per satu buku-buku yang ada dipelukannya ke atas rak buku.
Masih ada banyak lagi buku-buku yang belum ia susun, tetapi tangannya sudah
pegal-pegal. Alin yang juga tampak sibuk menyusun buku juga sudah tampak letih.
“Kenapa
aku jadi ikutan bantu, sih?” gerutu Aldi.
“Ya
udah. Kalau gak mau bantu, pergi aja sana. Aku juga gak mau ditolongin orang
seperti kamu” balas Alin dingin.
Aldi
mendecak, “Ck… ya udah, aku bantu sampai selesai”
“Ikhlas
gak?” tanya Alin.
“Iya,”
jawab Aldi sebal.
Alin
hanya tersenyum melihat wajah bete Aldi. Sudah lama ia tidak melihat ekspresi
wajah Aldi yang bisa membuatnya tertawa. Akhir-akhir ini, Aldi kelihatan aneh
dan menjadi pendiam.
“Wow,
album foto. Pengen lihat wajah Alin waktu kecil, deh!” seru Aldi.
Alin
membalikkan badannya dan melihat Aldi sedang menatap album itu dengan semangat.
Jantung Alin langsung berdetak tak karuan.
“JANGAN!!!”
Alin langsung merebut album itu dari Aldi. Tapi, Aldi malah berlari menghindar
darinya. “Aldi… balikin…” kata Alin sambil berusaha menggapai album yang ada
ditangan Aldi.
“Gak
nyampe, ya?” tanya Aldi. Aldi dan Alin memang beda 15 cm. Ditambah lagi, ia
sengaja menginjit supaya Alin tidak bisa merebut Album itu dari tangannya.
“Aldiii…
Awas, kau”
‘Brruuuk’
album itu jatuh tepat mengenai kepala Alin.
“Auuw…
berat” kata Aldi. Ia membuka matanya dan melihat Alin menimpa tubuhnya. Untuk
beberapa saat mereka saling bertatapan.
“Umm..
sorry…” kata Alin sambil bangkit, lalu memungut album yang jatuh tepat disampingnya. “A, aku keluar
sebentar. Kamu, cepat selesaikan ini semua. Bye”
‘Blamm’
pintu ditutup dengan keras. Aldi hanya tertawa melihat sikap Alin yang gugup
dengan pipi bersemu merah. Sangat lucu. Ia melihat tumpukan buku yang masih
bertumpuk. Sesaat ia mendesah. Ia berjalan, lalu berhenti. Pandangannya terpaku
pada sebuah foto yang diduga jatuh dari album yang dibawa Alin tadi. Ia
membalikkan foto itu dan melihat foto seorang nenek yang sedang duduk dikursi
goyang. Warna fotonya sangat kusam karena sudah lama sehingga wajahnya tidak
sangat kelihatan. Tapi, hanya sekilas, Aldi merasa ia pernah melihatnya. Dan
tiba-tiba saja sebersit kisah masa lalu masuk lagi kedalam ingatannya,
berputar-putar seperti kaset macet. Tapi, kenyataan itu belum juga terjawab.
Dan semuanya kembali terulang, membingungkan.
~~~~~~~~
‘Blaamm’
pintu tertutup rapat. Dalam ruang redup dan hening itu, Alin berdiri didepan
pintu. Agak lama, sampai ia benar-benar bisa menguasai detak jantungnya yang
tadi terus berdentum-dentum bagai hujan batu.
Ditatapnya
lama bingkai foto itu. Sudah lama ia mencari bingkai foto itu. Sejak itu,
dimana ia merasa dunia baru hadir untuk dirinya, mama dan papanya selalu
melarang dia untuk melihat album-album foto. Tak pernah membicarakan bagaimana ia
saat masa lalu. Dan tiba-tiba saja, ia sudah tumbuh seperti ini. Pernah suatu
kali mama, papa, kakaknya, bahkan Bintang menyebutkan nama seseorang yang tak
pernah ia dengar. Tapi, setiap kali ia tanya siapa itu, tak ada satupun yang
menjawab.
Dan
satu-satunya jawaban itu, mungkin bisa ia temukan di sana. Di album foto yang
sedang ia genggam.
“Alin?
Kamu, ngapain?” suara Bintang benar-benar mengejutkannya. Bahkan, album foto
yang tadi ia pegang terlepas begitu saja. “Ah, itu… kamu melihatnya?” tanya
Bintang khawatir.
Alin
menggeleng cepat. Bintang langsung merebut album itu cepat.
“Jangan
pernah melakukan ini lagi” kata Bintang dingin.
Alin
berdiri kaku dalam diam. Ia menggigit bibirnya, berusaha menahan tangis yang
saat ini mungkin sudah tidak bisa ia bedung lagi.
“Kenapa?
Kenapa kalian selalu begitu? Apa yang kalian rahasiakan dariku? Dan, siapa itu
Arlina? Ka, kalian… Arrrghh sudahlah…” Alin berlari begitu saja ke dalam
kamarnya, lalu menutup pintu kamarnya dengan keras.
Aldi
keluar setelah mendengar keributan itu dan mendapati Bintang sedang berdiri
kaku dengan wajah pucat. Melihat itu, Aldi menjadi khawatir.
“A,
ada apa, Tang? Ada apa ini semua? Kenapa Alin ngamuk gitu?” tanya Aldi
penasaran.
“Aku,
aku sama sekali tidak bisa memberitahunya tentang ini. Tentang dia”
“Memangnya
kenapa?”
“Karena,
itu bisa membuat ingatannya hilang. Dan aku benar-benar tidak ingin itu terjadi
padanya. Tapi, aku juga tidak tahan melihatnya yang seperti itu” jelas Bintang.
Aldi
hanya bisa berdiri diam, tak tahu harus berkata apa. Bahkan, untuk bergerak
pun, ia tak mampu.
~~~~~~~~
Tak
terasa satu minggu telah berlalu. 6 hari penuh ditemani buku-buku berakhir hari
ini. Semua rasa penat ang ada di pundak sedikit demi sedikit mulai berterbangan
kelangit bebas. Wajah-wajah ceria itu kembali mewarnai wajah mereka.
“Akhirnya,
selesai juga. Uwaaa… rasanya senang sekali” seru Devi saat mereka sedang
berkumpul dikantin untuk mengisi perut mereka yang tadi sempat terkuras karena
ulangan.
“Hahaha…
bener banget” seru Rahma semangat.
Alin
hanya tersenyum samar mendengarnya. Ia tampak serius dengan siomaynya. Jadi, ia
tidak terlalu mempedulikan seruan-seruan yang keluar dari mulut teman-temannya.
Udah biasa. Yang terpenting, perutnya harus segera terisi.
Alin
memandang sekelilingnya. “Tumben Cika, Riri, dan Vivi gak ikut ngumpul?”
“Aahh…
kalau Riri dan Vivi kan emang udah biasa gak ngumpul bareng. Tapi, kalau Cika,
sih, gak tau, ya!” sahut Rahma.
“Iya,
ya. Akhir-akhir ini 7 AppLe gak pernah ngumpul bareng lagi” tambah Devi.
Alin
dan Dessy mengangguk setuju.
“Tapi,
tak apalah. Kupikir kita tak perlu membuat grup. Lebih baik mereka berbaur
dengan orang lain. Bergabung dengan siapa pun juga boleh. Lagipula, aku masih
sakit hati jika teringat dengan kata-kata Reza” ujar Devi.
“Kata-kata
Reza? Emangnya dia ngomong apaan?” tanya Dessy penasaran.
“Dia
bilang, grup kita gak pernah berbaur dengan orang-orang dikelas. Kita ini
seperti apa, ya? Kayak gak butuh orang lain, gitu. Dia buta apa? Gak lihat
kalau kita sering ngumpul juga bareng Sasha dkk, Elda dkk, atau Avril dkk. Kita
juga ikut gabung dengan Ben kalau kelas lagi kosong” jelas Rahma berapi-api.
“Udahlah.
Gak usah dibahas lagi. Bikin selera makanku hilang, nih, kalau udah keinget
sama orang rese’ itu” Devi mendecak sebal.
Rahma
bangkit dari tempat duduknya, lalu membayar semua makanan dan minumannya. Alin
dan Dessy juga ikutan. Devi sudah lebih dulu membayarnya. Semua orang sudah
sepi dan saatnya mereka pulang.
“Umm…
Devi, kamu pulang duluan aja. Aku masih ada urusan. Maaf, ya” seru Alin,
kemudian ia berlari meninggalkan ketiga temannya.
“Dia
kenapa, ya?” tanya Dessy penasaran.
“Entahlah…
Mungkin penting kali, ya! Udahlah, mending pulang. Udah siang, nih!” desak
Rahma sambil berjalan menuju tempat parkir.
~~~~~~~~
“Ada
apa? Kenapa tiba-tiba kamu mau bertemu denganku?” tanya Alin saat mereka sudah
ada di atas motor. Akhir-akhir ini Aldi benar-benar aneh. Ia benar-benar tidak
tahu apa yang Aldi pikirkan.
“Jangan
berisik! Ikuti saja aku” sahut Aldi.
Ia
terus melajukan motornya dengan kecepatan sedang sampai mereka berhenti didepan
sebuah rumah mewah yang sudah tua. Sepertinya sudah lama tak dihuni. Buktinya,
rumput-rumput liar itu tumbuh subur di sekeliling rumah itu.
“Ini
rumah lamaku. Semenjak kejadian itu, kami pergi dari rumah ini. Rumah ini sama
sekali tidak dijual. Lagipula, tak ada yang berani menempatinya. Rumah ini selalu
dirawat. Tapi, sepertinya akhir-akhir ini tukang itu tak datang” jelas Aldi.
Lalu,
kami berpindah dari rumah ke sebuah jalan sepi tak jauh dari rumah lama Aldi.
Dan ia kembali bercerita.
“Ini
tempat dimana Iin tertabrak”
Alin
diam membisu. Ekspresi wajahnya tiba-tiba berubah. Ia membeku. Dan wajahnya
memucat. Tapi, Aldi tidak peduli dengan perubahan Alin. Kemudian, ia mengajak
ke sebuah pemakaman dimana tempat Fakhri dimakam. Disini juga ia bertemu Devi
yang saat itu sedang melayat ke pemakaman papanya.
Aldi
terus membawa Alin hingga mereka sampai ke pemakaman yang mungkin tempat mama
Aldi dimakamkan.
“Ini
makam mamaku” ujar Aldi. “Dan ini makam Iin, adik angkatku yang dulu pernah aku
cerita padamu”.
“Aldi,
ada apa denganmu? Kenapa kamu tiba-tiba begini? Aku, aku sama sekali tidak
mengerti apa maksudmu. Apa maumu sebenarnya?”. Suara Alin bergetar. Ia tidak
mampu menyembunyikan rasa takutnya yang terus menjalari tubuhnya. Takut.
Gelisah. Sakit. Dan ia sendiri tidak tahu mengapa ia bisa menjadi seperti ini.
“Karena
aku tidak percaya kalau Iin sudah meninggal. Entah mengapa, sosok Iin terus
muncul dalam kehidupanku” Aldi menatap Alin lekat-lekat. “Dan entah mengapa,
sosok Iin itu ada dalam dirimu” ujar Aldi.
Alin
menunduk, “Aldi… Ja, jangan bilang kalau aku ini adik angkatmu itu”
Aldi
mengangguk. Alin bisa melihat keseriusan diwajah Aldi. Dia sama sekali tidak
bercanda. Senang, tapi pedih dan menyakitkan. Dan rasa sakit itu kembali
menyerangnya. Seolah sudah lama terkubur oleh masa lalu yang kelam.
“Tidak.
Aku bukan dia. Kamu salah orang” Alin berbalik dan hendak meninggalkan tempat
itu. Tapi, Aldi menahannya. Alin merasa sudah tak tahan lagi. “Bukankah kamu
juga cerita kalau Iin itu sudah meninggal?”
Pertanyaan
itu berhasil membungkam Aldi. Tapi, Aldi tidak menyerah.
“Ini”
ia mengeluarkan sebuah foto yang ia dapatkan dari rumah Alin dan
menunjukkannya. “Ini nenekmu, kan?”
Alin
mengangguk. “Memang. Lalu?”
“Beliau
adalah nenek Iin. Dan aku yakin, kamu adalah Iin. Aku… Lin… Alin… Kamu kenapa?”
Tubuh
Alin tiba-tiba melemah, lalu jatuh pingsan. Tanpa pikir panjang, Aldi langsung
membawanya kerumah sakit.
~~~~~~~~
‘Titt…
titt…’ bunyi detak jantung Alin seperti ritme sendu yang mengundang takut.
Semuanya, Aldi, keluarga Alin, Bintang, Devi dkk, dan Lidya hadir memenuhi
koridor rumah sakit. Begitu mendengar Alin pingsan, semuanya jadi khawatir.
“Alin
kenapa, Di? Kok, tiba-tiba dia pingsan?” tanya Bintang. Ia melirik jam
tangannya sekilas. “Bahkan, sudah 5 jam berlalu, dan dia belum sadar juga”
“Gu,
gue… Gue sendiri juga gak tahu” sahut Aldi yang kelihatannya juga panik. Ia
gugup sekaligus takut saat tiba-tiba ia melihat Alin pingsan.
“Memangnya
kalian tadi ngapain?” tanya Bintang penuh selidik.
“Gue,
gue hanya ngajak dia jalan-jalan kerumah lama gue, lalu ke makam nyokap gue.
Dan gue nyeritain dia sesuatu. Aarrrrghhh, ini semua salah gue” kata Aldi
frustasi. Ia tidak tau bagaimana jalan ceritanya. Tapi, ia tahu penyebab ini
semua adalah dia. Andai saja waktu itu dia gak maksa Alin…
Bintang
menyeret Aldi kesudut rumah sakit yang sepi, lalu menatapnya dengan penuh
selidik. “Kalian cerita apa? Apa kamu katakan pada Dinda?”
Aldi
terdiam. Ia mengusap dahinya pelan. “Aku bilang dia mirip Iin, adik angkatku.
Oh, dan aku juga menunjukkan foto ini”
Aldi
mengeluarkan foto yang tadi ia tunjukkan pada Alin.
“Lalu?
Tolong ceritakan lebih lengkap” desak Bintang.
Aldi
mulai bercerita tentang masa lalunya pada Bintang. Tentang bagaimana ia bangun
dan melihat mamanya sudah tak berada didunia ini lagi, lalu cerita tentang
kecelakaan Iin dan sampai ia mendengar sendiri tentang kabar kematian Iin.
“Didi?
Kamu Didi, kan?” pertanyaan Bintang mengejutkan Aldi.
“Bintang,
kamu tau sesuatu?”
“Dulu,
nenek pernah bilang kalau Dinda punya teman kecil. Namanya Didi. Beliau bilang
aku harus mengatakan ini padamu”. Aldi menatap Bintang dengan penuh rasa
penasaran. “Iin yang kamu maksud, belum meninggal. Yang waktu itu kamu lihat,
mungkin Arlina, kembaran Dinda”.
Ada
sebersit pelita yang menerangi hatinya. Ternyata, dugaannya selama ini benar.
Iin belum meninggal. Tapi, siapa itu Arlina? Kalau benar kembarannya, pantas
saja ia salah mengira. Tapi, mengapa Iin sama sekali tidak mengenalinya?
“Semenjak
kecelakaan Arlina yang sekaligus telah merenggut nyawanya itu, semenjak itu
Alin kehilangan semua ingatannya. Dokter bilang itu karena ia terlalu shock.
Kami semua tidak tau apa yang membuat dia shock. Bahkan, ingatannya hilang
sebelum kami memberitahu kalau Arlina meninggal.
“Dokter
bilang, ingatannya kembali jika kami bercerita tentang masa lalunya. Tapi, itu
membuatnya semakin parah. Lalu, kami memutuskan untuk tidak bercerita apapun
lagi padanya. Termasuk tentang Arlina”. Bintang tampak serius memandang Aldi.
“Jadi, jangan pernah ungkit-ungkit lagi masa lalumu itu”
Bintang
berbalik meninggalkan Aldi yang bengong. Ini semua seperti mimpi buruk. Padahal
ia sudah berhasil menemukan Iin yang ia cari lama ini. Tapi, kenapa malah
menjadi seperti ini?
~~~~~~~~
Malam
sudah semakin gelap. Semua orang sudah mulai beranjak pulang. Dokter bilang
kalau Alin sudah siuman, tapi harus menjalani beberapa perawatan. Jika ingin
melihatnya, datang saja besok.
“Cika,
ada apa? Kok dari tadi lesu?” tanya Dessy dengan penuh selidik.
Cika
hanya menggeleng pelan. “Tidak apa-apa. Mungkin, aku kecapean kali, ya.
Sepertinya, aku harus cepat-cepat pulang. Yuk! Yang lain, kita duluan, ya!”
seru Cika pada Devi dan yang lainnya.
“Oh,
ya! Hati-hati, ya!” sahut Rahma.
Cika
mengangguk. Devi sendiri tampak sibuk dengan handphonenya.
“Aku
juga. Aku duluan, ya!” seru Devi, lalu pergi begitu saja.
Dessy
yang sedari tadi dengan manis mengikuti Cika akhirnya membuka mulut.
“Cika,
kamu ada masalah? Apa ini ada kaitannya dengan Reihan?” tanya Dessy saat mereka
sudah berada di atas motor.
Cika
menggeleng, tapi Dessy tidak percaya.
“Aku
tahu kamu, karena aku sebangku denganmu. Kemarin, aku juga lihat, kok, kamu dan
Reihan bertengkar di belakang kelas waktu semua udah pada pulang.”. Dessy diam
sebentar. “Ceritakan saja. Aku janji gak bakal bilang siapa-siapa”.
Cika
menghela napas kuat. Berat. Semuanya terasa berat. Ia pikir, ini semua bisa ia
lalui dengan mudah. Tapi, semuanya tak semudah yang ia bayangkan.
“Aku
sudah putus dengan Reihan. Dia yang memutuskanku. Alasannya, aku sendiri juga
tidak tahu” ujar Cika cepat.
“Oh..”
hanya itu yang keluar dari mulut Dessy.
Cika
diam. Tiba-tiba saja ia menghentikan motornya didepan sebuah warung bakso yang
sudah menjadi langganannya.
“Kita,
makan dulu, yuk! Aku lapar, nih!” ajak Cika.
Dessy
menurut saja. Mereka duduk dibangku kosong di dekat jendela. Dengan begitu,
mereka bisa melihat pemandangan jalan saat malam. Jam dinding di warung itu
menunjukkan pukul 8 malam. Tapi, sedari tadi Dessy tak pernah berhenti menguap.
“Ngantuk?”
tanya Cika.
“Sepertinya,”
jawab Dessy sekenanya. “Atau, aku hanya ingin menguap saja”
Diluar,
kendaraan masih banyak yang berlalu lalang. Sorot lampu motor yang menyinari
jalanan terlihat begitu sendu. Begitulah kira-kira Cika. Dessy ingin bertanya
lebih banyak lagi, sebenarnya. Tapi, melihat kondisi Cika yang seperti ini, ia
jadi tidak berani. Jadi, ia hanya bisa menunggu Cika sendiri yang membuka
mulut.
“Hiks…
Seharusnya, dia bisa memberiku alasan yang jelas bukan? Tapi, mengapa bisa
seperti ini? Padahal… padahal…” air mata Cika mengalir tanpa bisa dibendung
lagi. Ia menangis sambil membunyikan wajahnya dengan telapak tangan.
Dessy
menggenggam tangan Cika sambil mengelus-elusnya pelan.
“Tenanglah,
Cik. Semuanya pasti bisa kamu lalui. Umm… memang agak sulit, tapi aku yakin
kamu bisa,” hibur Dessy san itu benar-benar berhasil untuk Cika.
~~~~~~~~
Devi,
Dessy, Rahma, Riri, dan Vivi yang tampak sibuk bergosip di bangku belakang
tiba-tiba saja berhenti saat mereka melihat Alin muncul dari pintu kelas.
“Alin
udah sehat? Gak sakit lagi?” tanya Devi tampak khawatir.
Alin
menggeleng sambil memasang seulas senyum dibibirnya. Ia berjalan ke bangkunya
sambil meletakkan tasnya di atas mejanya. Ia berbalik kebelakang.
“Waw,
kayaknya ada yang seru, nih! Gosip apa? Hotnews,
gak?” serbu Alin.
“Kayaknya
dia benar-benar udah sehat. Lihat aja, tuh orang udah kembali semangat,”
celetuk Vivi di sambut sebuah jitakan dari Alin.
“Udah,
ah! Jangan bahas aku! Mending, bahas apa yang kalian bahas” kata Alin galak.
“Btw, kalian udah tau belum tentang Cika?” tanya Alin dengan volume kecil.
“Nah,
itu dia. Kita lagi bahas itu. Mari gabung,” ajak Devi.
“Hah?
Jadi bener? Gimana kronologi ceritanya?” tanya Alin.
“Ya,
aku juga kurang tau. Katanya, Cika diputus tanpa alasan” sahut Dessy.
“Hah?
Masa’? Tapi, menurutku nih, Reihan tuh kayaknya udah gak cinta lagi sama Cika.
Soalnya, akhir-akhir ini, aku sering banget lihat dia deketin Avril,” ujar
Devi.
“Ck,
Reihan tuh tega, ya! Padahal, waktu itu dia bilang gak bakal ngelepasin Cika
selamanya. Iiiissshh… Bulshit dah tuh orang,” kata Riri.
Vivi
mengangkat bahunya tak tahu-menahu. Devi sibuk mengutak-atik hpnya, memeriksa
sms. Kemudian, dia senyum-senyum sendiri.
“Kenapa?”
tanya Dessy penasaran.
Devi
menggeleng. Baru saja Rahma ingin mendesaknya, bel masuk keburu berbunyi.
Semuanya sibuk keluar kelas menuju
lapangan upacara.
“Nanti
cerita, ya!” bisik Alin pelan dan Devi mengangguk.
Alin
menyempatkan diri melirik bangku disebelahnya yang masih kosong. Tadi pagi, ia
sempat memperhatikan rumah didepannya. Ia pikir, Aldi sudah pergi. Ternyata, ia
tidak datang. Sejenak, ia berdiri diam. Namun, Vivi segera menyadarkannya dan
buru-buru pergi ke lapangan untuk upacara bendera.
~~~~~~~~
Kak, pulang sekolah
nanti kita ketemuan di dalam gedung olahraga indoor.
“Kira-kira
di baca gak, ya? Gimana kalau nanti dia sudah ganti nomor? Atau, dia gak tau
kalau itu dariku? Aduh, kalau gak datang, gimana, ya?” tanya Bagas pada dirinya
sendiri. Sedari tadi, ia sibuk mondar-mandir di dalam ruangan.
‘Krriieeek’
pintu ruangan terbuka dan Bagas menoleh kilat melihat siapa yang datang. Tapi,
wajahnya langsung berubah bete melihat siapa yang datang.
“Belum
pulang, ya?” tanya penjaga sekolah. “Kalau begitu, cepat selesaikan urusanmu,
lalu pulanglah” kata penjaga sekolah itu dengan nada mengusir.
Bagas
hanya mengangguk gak jelas sambil memasang senyum paksa. Ia duduk di
tengah-tengah ruangan sambil sibuk mengutak-atik hpnya.
‘Krriieekk’
bunyi pintu terbuka yang kedua kalinya ini tak ia hiraukan. Ia berpikir pasti
penjaga itu lagi dan ia membiarkannya.
“Maaf,
sudah menunggu lama?” suara Devi langsung membuyarkan Bagas.
Bagas
tersentak kaget. Ia bangkit dari duduknya dan berdiri dengan canggung. Beberapa
saat, mereka tampak larut dalam sunyi.
“Umm…
begini, kak. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan,” kata Bagas memecah
kesunyian. Ia merogoh-rogoh sakunya dan mengeluarkan sesuatu. “Oh, maaf.” Bagas
tampak sibuk berbicara di teleponnya. Devi sendiri sibuk dengan teleponnya yang
baru saja berbunyi.
“Maaf
ya, kak. Tadi, teman aku yang telepon,” ujarnya saat Bagas dan Devi selesai
dalam urusan telepon mereka masing-masing.
“Oh,
gak papa. Aku juga baru aja telpo-telponan. Btw, mau ngomong apa tadi?” Devi
tampak penasaran. Dalam hati ia deg-degan gara-gara ingat dengan kata-kata Alin
dan Rahma.
“Mungkin, dia mau nembak
kamu, kali. Buktinya, dia minta ketemuan sepulang sekolah,” ujar Rahma
semangat.
“Iya… Aku setuju banget
sama Rahma. Berarti, kamu harus mempersiapkan dirimu dulu sebelum kamu bertemu
dia,” kata Alin tak kalah semangat.
Devi
meremas-remas tangan, berusaha untuk tetap tenang. Apa pun yang terjadi,
pokoknya dia harus siap.
“Sebenarnya,
dari pertama kali aku lihat kakak disini, aku jadi tertarik dengan kakak. Kakak
yang setiap waktu selalu datang kesini, walaupun aku sendiri gak tahu apa yang
ingin kakak lakukan, tapi aku selalu memperhatikannya.”
Perasaan
Devi sangat senang bercampur malu. Senang, karena Bagas ternyata diam-diam
memperhatikannya. Malu, karena ia ketahuan kalau setiap Bagas latihan, ia
selalu datang.
“Maka
dari itu, aku ingin mengatakan sesuatu pada kakak. Aku suka kakak. Maukah kakak
menjadi pacarku?” Bagas berlutut di depannya sambil membelikan sebuah kotak
kecil yang ternyata berisi kalung. “Kalau iya, terimalah kalung ini. Jika
tidak, buang saja.”
Jantung
Devi serasa berhenti berdetak mendengar perkataan Bagas. Dan kinii, ia bingung
harus memilih antara ‘IYA’ atau ‘TIDAK’.
~~~~~~~~
Malam
ini begitu sunyi bagi Alin. Dari hari kemarin, ia terus kepikiran sesuatu yang
membuat kepalanya pusing. Air dingin yang menenggelamkan kakinya tak ia
hiraukan. Begitu juga dengan angin malam yang dinginnya menusuk rusuk.
“Alin.”
Suara
itu menyadarkan Alin dari lamunannya. Ia melihat keseberang kolam melihat Aldi
yang tampak khawatir berlari menghampirinya. Alin langsung bangkit dan berlari
masuk kedalam rumahnya. Dan ternyata, Aldi menyusulnya. Sayangnya, Alin selalu
kalah cepat sehingga Aldi bisa menyusulnya dan menahannya.
“Kamu
kenapa, sih? Kok main kabur aja?” tanya Aldi.
“Gak
papa,” jawab Alin dingin. Ia berusaha melepaskan diri dari Aldi, tapi Aldi
terlalu kuat untuk dilawan. “Apa maumu? Ada yang ingin kamu bicarakan padaku?”
“Ya,”
seru Aldi tak kalah dingin. Ia mengendurkan pegangannya, tapi tak dilepasnya. “Ini,
tentang waktu itu.”
Alin
memalingkan wajahnya, menolak untuk melihat wajah Aldi. Bukannya hanya itu, ia
juga ingin menyembunyikan air matanya yang sudah ada dipelupuk mata.
“Alin,
lihat aku,” perintah Aldi. Ia memegang wajah Alin sambil menatap matanya
lekat-lekat. “Aku Didi. DIDI, teman kecilmu. Apakah kamu ingat aku?”
Alin
menangis dalam diam sambil sesenggukan. Ia hanya bisa menggeleng, tak mampu
bicara.
“Ayolah,
In! Cobalah untuk mengingatku lagi. Ayo, In!” paksa Aldi.
Alin
mencoba melepas diri dari Aldi, dan ia berhasil.
“Ya,
sekarang aku ingat! Aku ingat semuanya. Juga tentang kecelakaan itu. Dan asal
kamu tahu saja, aku tak sudi mengingatmu sebagai teman masa kecilku, tapi
sebagai pembunuh saudara kembarku. Dan gara-gara kamu, aku kehilangan dia untuk
selamanya.” Alin perlahan mundur, berusaha menjauh dari Aldi. “Asal kamu tahu,
Di, aku lebih suka kehilangan ingatanku selamanya daripada aku mengingat
kembali hal pedih itu.” Alin berlari memasuki kamarnya dan meninggalkan Aldi
sendirian.
‘Blaamm’
Ruang
gelap itu menyelimuti diri Alin. Beberapa kali ia memikirkannya, berulang kali
ia mengingatnya, tapi iatak pernah menemukan jawabannya. Ini semua terasa aneh.
Tapi, setitik luka itu telah menggores kisah masa lalunya yang kelam. Begitu
pedih dan menyakitkan. Ia tak tahu, ini semua akan menjadi seperti ini.
Tak
pernah terbayangkan olehnya ini semua akan terjadi. Ia meringkuk disudut
tergelap sambil menangis dalam diam. Setelah beberapa saat, ia merogoh
kantongnya, mengambil hp, lalu menelepon.
“Bintang,
bisa kesini sekarang?” pinta Alin disela-sela tangisnya dan ia langsung
mematikan teleponnya. Kemudian, kembali menangis.
~~~~~~~~