►▌REAL VOICE (˘ʃƪ˘) ▌ (29)
Semua
seperti mimpi buruk. Dikejar oleh penjahat yang berbahaya. Tersesat di jalan
yang menyeramkan. Lalu, kehilangan seorang teman. Bagaimana pun, tak ada
seorang yang pun menginginkan hal ini terjadi.
“Alliiinn…”
panggil Devi dan Dessy bergantian. Bintang dan Aldi juga ikutan. Tapi, semua
sama. Hasilnya NIHIL.
“Bagaimana
ini? Alin menghilang? Apa yang harus kita lakukan?” tanya Dessy panik. Air
matanya tak bisa berhenti mengalir.
“Ini
juga lagi mikir,” jawab Reza.
“Dari
tadi kalian terus bilang ‘lagi mikir’. Kalian kelamaan mikir. Kalau terjadi
sesuatu dengan Alin bagaimana? Kita harus bilang apa sama ortunya?” ujar Dessy.
Bintang
mendesah kuat, sedangkan Devi dari tadi sibuk mencari sesuatu di tasnya. Ia
baru sadar kalau sedari tadi ia membawa tas. Buku yang Reza pegang tadi pun
Reza tinggal di padang rumput. Hanya sebuah buku tulis milik Bintang yang ia
bawa. Aldi sendiri dari tadi sibuk meraba-raba sesuatu di kantongnya.
“Kamu
punya sesuatu yang berguna, Dev?” tanya Aldi pada Devi.
Devi
mengangguk ragu. “Maybe. Aku hanya
punya tali tambang, garam, pisau, garpu, sendok…”
“Loe
sebenarnya mau ngapain, sih? Kok, bawa peralatan makanan. Jangan-jangan, loe
juga bawa piring sama gelas juga,” kata Reza penuh selidik.
“Ya
nggaklah! Gue sendiri juga bingung kenapa barang-barang ini ada di dalam tas
gue,” sahut Devi sebal. Ia kembali memeriksa isi tasnya. “Aku juga bawa senter,
peralatan tulis, kaca, dan terakhir snack-snack.”
Semua
menyerngit bingung.
“Snacknya
apa aja?”s tanya Aldi.
“Ada
satu pack permen, keripik singkong,
roti-roti, biskuit…”
“Gila.
Loe mau pergi cari materi atau piknik, sih?” komentar Reza lagi.
Devi
berusaha untuk tidak mendengar kata-kata Reza lagi. Kalau itu dibiarkan,
lama-lama ia bisa darah tinggi.
‘Ya
sudah, kalau gitu gue minta sebungkus roti dan biskuit. Tali tambang, garam,
sama kacanya gue pinjam. Senternya loe cuma bawa satu, ya?”
“Nggak.
Ada 4. Kamu mau pinjam?” tanya Devi.
“Gue
pinjam 2, ya. Buat persiapan aja,” kata Aldi. “Oya, kalau ada sesuatu, kalian
lapor, ya.”
“Memangnya
kamu mau kemana?” tanya Bintang.
“Nyusul
Alin ke bawah. Gue gak bisa berdiam diri aja,” kata Aldi. Ia mulai memasang
tali tambang ke pohon. Ular yang tadi mereka lihat sudah di bunuh Aldi dan
Bintang. Bangkainya pun sudah mereka buang jauh-jauh. Setelah selasai, ia
menaburkan garam di sekitar. Takut ular yang lain muncul lagi.
“Tapi,
bagaimana caranya kita berhubungan?” tanya Dessy yang baru sadar kalau ponsel
mereka hampir lowbat. Walaupun punya
Devi dan Aldi masih aktif, tapi pulsa mereka tidak mencukupi. Lagipulam
sinyalnya pun sama sekali tidak ada.
“Dengan
ini.” Aldi mengeluarkan 3 buah walkie-talkie. 2 buah ia berikan pada Devi. Yang
satunya lagi ia pegang sendiri. “Kalau ada perubahan, cepat hubungi gue.”
~~~~~~~~
“Pada akhirnya, tak ada
yang salah, tak ada yang benar. Semua itu hanyalah sebuah kesalahpahaman.
Bagaimanapun, kita harus bisa menerima semuanya.”
Alin menyerngit bingung.
Kata-kata yang keluar dari mulut neneknya itu cukup sulit untuk di pahami.
“Tapi, bagaimana caranya
kita bisa mengetahui kebenaran itu?” tanya Alin.
Beliau berjalan mendekat.
Diambilnya tangan Alin, lalu ia letakkan ke dada.
“Disini. Dengan hati.”
“Neneeekk…”
teriak Alin.
Ia
tersadar dari mimpinya. Saat ia bangun, hari sudah gelap. Butuh waktu lama untuk
matanya beradaptasi dengan lingkungan sekitar dan menyadari bahwa ia berada di
tempat asing. Pohon-pohon yang menjulang tinggi mengelilinya. Nyanyian gagak
membuat suasana mencekam. Alin bergidik ngeri. Bagaimana bisa ia terjebak disini?
Seperti
kaset rusak, memori itu terulang. Dikejar penjahat, tersesat, ular, dan…
“Aaarrrghhh….”
Alin merasakan kepalanya berdenyut-denyut. Sakit. Bukan hanya kepalanya yang
sakit, tapi seluruh tubuhnya, mulai dari tangan hingga kakinya. Ia mencoba
untuk berdiri, tapi sia-sia. Terjatuh dari ketinggian lebih dari 5 meter
membuat seluruh badannya sakit.
Ia
memandang keatas. Sungguh sebuah keajaiban baginya ia masih hidup setelah jatuh
dari ketinggian 5 meter itu. Mungkin juga lebih. Tapi, itu tak penting baginya.
Yang terpenting adalah bagaimana caranya ia keluar dari tempat ini. Jika tidak,
ia akan menjadi santapan lezat hewan-hewan yang ada dihutan ini.
Tak
jauh dari tempatnya berbaring, ada sebuah tongkat yang mungkin bisa ia gunakan.
Dengan susah payah, ia menggapai tongkat kayu itu.
‘Kreeseekk’
Terdengar
suara ranting kering diinjak. Jantung Alin langsung bekerja 3 kali lebih cepat.
Rasa takut menyerangnya. Tapi, ia masih bisa mengatur semua emosinya.
‘Guk..
guk..’
“Anjing?”
gumam Alin heran.
Ia
menghela napas lega. Ternyata hanya seekor anjing. Anjing itu kembali berjalan
mendekati Alin. Dengan mulut menganga dan liur menetes, ia menatap Alin dengan
tajam seolah ia bisa menelan Alin dengan tubuh utuh.
“Sial,
itu bukan anjing baik,” batin Alin kesal.
Sekuat
tenaga ia melawan anjing itu. Pertarungan antara gadis malang yang terluka vs
anjing yang kelaparan ini berlangsung sangat seru. Mereka sama-sama kuat dan
sama-sama lemah. Tapi, jika ini tidak segera di selesaikan, tenaganya akan
terkuras habis, dan akhirnya ia akan menjadi santapan lezat anjing lapar ini.
“Uukk…”
anjing itu tampak kesakitan ketika seseorang menendangnya dengan keras. Alin
mendongak dan melihat Aldi sedang bertarung dengan anjing itu.
“Aldi,
jangan…” teriak Alin saat Aldi ingin menusuk perut anjing dengan kaca.
Aldi
menghentikan gerakannya. Dibiarkannya anjing itu kabur. Yang terpenting, ia
segera menolong Alin.
“Kamu
gak pa-pa?” tanya Aldi.
Alin
mendengus. “Ya enggaklah, bego! Dimana-mana, orang pasti sedang ‘TIDAK
BAIK-BAIK SAJA’ saat ia terjatuh.. uuhuukk.. uhuukk…”
“Iya,
deh! Aku salah. Yang penting, kamu selamat. Bisa berdiri?”
Alin
menggeleng cepat. Jangankan berdiri, menggerakkan tangannya saja ia harus
menahan sakit.
“Sakit?
Lutut dan tanganmu berdarah,” Aldi menunjuk lutut dan lengan Alin.
Padahal
ia sudah mengenakan baju lengan panjang dan jeans panjang. Tapi, masih ada luka
di lengan kanan dan lututnya. Bahkan, jeansnya sampai robek. Aldi tampak
mengeluarkan sesuatu dari kantong jaketnya yang ternyata kain bekas. Dengan
cepat ia mengobati luka Alin dengan ekstra hati-hati.
“Selesai,”
seru Aldi senang. Alin terdiam sambil memandangi lukanya. “Maaf, mungkin kamu
gak suka. Tapi, aku harus melakukan ini.”
Aldi
menggendong tubuh Alin dengan pelan, takut jika ia melakukan dengan gegabah
akan memperburuk keadaan.
Alin
masih diam. Bahkan, ia tak sanggup menatap wajah Aldi. Ia terus berpikir kalau
Aldi jahat. Ia yang menyebabkan kecelakaan Arli. Dan…
“Lihatlah
dengan mata hati. Dan dengarkan suara hait itu. Kelak, kita akan mengetahui
kebenarannya.”
Alin
memegang dadanya sambil memejamkan kedua matanya. Dalam diam, ia bisa mendengar
suara detak jantung Aldi, merasakan ketulusan Aldi, dan kejujurannya. Dan ia
pun mengetahui kebenarannya…
~~~~~~~~
“Dev,
aku mau tanya sesuatu,” kata Dessy pelan. Devi sampai mendekat pada Dessy untuk
mendengar kata-kata Dessy.
“Apa?”
tanya Devi tak kalah pelannya.
“Kamu
sebenarnya mau kemana, sih? Persiapanmu kok matang banget? Sampai bawa
peralatan makan lagi?” tanya Dessy heran.
Devi
nyengir-nyengir tidak jelas, membuat Dessy semakin heran.
“Umm…
sebenarnya, aku berniat kabur dari rumah. Tapi, setelah kejadian hari ini, aku jadi
ingin tinggal dirumah saja.”
Dessy
tertawa mendengar alasan dari mulut Devi. Kabur? Benar-benar bukan Devi yang
biasanya.
“Ada
masalah apa?” tanya Dessy yang sepertinya mengerti alasan Devi kabur.
“Aaaarrrgghh… biasa. Kakakku yang biasa cari
masalah. Lama-lama aku jadi kesal sendiri, pengen kabur dari rumah. Tapi,
karena aku sedang mengalami hal ini, sepertinya aku harus berpikir ulang untuk
kabur dari rumah.”
Dessy
tertawa mendengar alasan Devi. Lucu. Tapi, ia bisa mengerti perasaan Devi.
Walau ia tidak punya kakak, tapi ia punya adik yang ‘Super Duper’ menyebalkan.
“Devi,
awas… Ada cicak,” teriak Dessy tiba-tiba.
Tanpa
melihat, ia langsung melompat kedepan dan bersembunyi di balik punggung
seseorang.
“Woy,
loe lagi ngapain, sih? Cari kesempatan, ya?” tanya Reza yang sedang sibuk
menyalakan api dengan Bintang.
Devi
mengangkat kepalanya dan terperanjat ke belakang. Bagaimana bisa?
“Iiisssshhh…
males banget, deh, gue! Ngapain juga gue mau cari kesempatan sama loe. MIMPI…”
balas Devi. Ia benar-benar kaget saat ia tahu kalau ia tadi sampai memegang
bahu Reza. Iiiihhh… membayangkannya saja udah ngeri banget.
Samar-samar
ia bisa mendengar kalau dari tadi Dessy dan Bintang dari tadi tertawa cekikikan
seperti kuntilanak. Ia menjadi semakin bete.
‘Kreesseekk…
kreessseeeekk…’
Bintang
merogoh kantong jaketnya mengambil walkie
talkie.
“Ya,
halo, dengan Bintang. Bagaimana? Kamu sudah menemukan Alin?”
“Iya. Sekarang, dia
sedang bersamaku. Maaf, tapi, bisakah kalian kemari?”
“Dimana?”
tanya Bintang bingung sambil celingukan.
“Aku beri isyarat dengan
lampu senter. Jika kalian melihat, tolong dibalas.”
Bintang
celingukan dan melihat kurang lebih 200 meter di bawah jurang ia bisa melihat
lampu senter yang tadi bergerak memberi isyarat. Bintang pun membalas dengan morse lighting. ‘Kami kesana sekarang’.
“Tadi
itu apa?” tanya Devi.
“Itu
semacam kode, Dev. Kalau tidak salah namanya mo… mo…”
“Morse lighting,” kata Bintang saat Dessy
tampak kesulitan menyebutnya.
“Ya,
itu dia. Jadi, Aldi bilang apa?”
“Kita
ketempat mereka sekarang. Alin sudah ditemukan dan sekarang ada bersama Aldi,”
ujar Bintang.
“Benarkah?
Syukurlah…” seru Dessy dan Devi berbarengan.
“Kalau
gitu, kita kesana sekarang,” seru Reza. Yang lain mengangguk setuju.
~~~~~~~~
Malam
berlabuh di langit kelam. Senyum bulan tak lagi bahagia. Cahaya bintang tak
lagi benderang. Hilang. Semuanya hilang hanya dengan satu gulungan hitam yang
berubah menjadi merah. Dan… tess… tesss… tess… Hujan turun diluka perih. Tak
dapat terobati dalam waktu singkat. Semua kenangan indah hanya masa lalu yang
pahit. Seperti kopi. Manis. Namun, sebenarnya pahit.
“Ada
apa?” tanya Vivi. Tak biasanya Rahma datang kerumahnya. Ia memang satu genk
dengan Rahma. Tapi, ia tak begitu akrab. Dan sekarang, ia berada dirumahnya sambil
bersimbah air mata dan hujan. Bingung. Biasanya ia akan pergi menghampiri Dessy
atau Devi. Tapi, mengapa sekarang dia ada disini?
“Dessy,
Devi, dan Alin lagi pergi. Cika dan Riri juga,” kata Rahma yang seperti membaca
pikiran Vivi.
‘Oh,”
seru Vivi canggung. “Umm… kalau gitu, masuk aja kedalam kamarku. Kamu harus
ganti baju dulu supaya tidak masuk angin.”
Vivi
menuntun Rahma ke kamarnya, lalu memberinya handuk. Setelah itu, ia memberinya
susu hangat.
“Ini.
Minumlah selagi hangat.”
Rahma
menerima gelas itu lalu meneguknya sampai habis.
“Pelan-pelan,
Rahma. Masih panas,” ingat Vivi.
Tapi,
Rahma sama sekali tidak menghiraukannya. Ia terus meneguk minuman itu sampai
habis.
“Panas…”
desisnya.
Vivi
hanya bisa menggeleng bingung.
“Lalu,
apa rencanamu? Mau nginap disini dulu?” tanya Vivi.
“Mungkin…
Kalau kamu gak keberatan atau merasa terganggu.”
“Oh,
nggak, kok! Santai aja. Anggap rumah aku, ya!” kata Vivi sambil nyegir.
Rahma
menggangguk.
Vivi
berjalan menghampiri meja belajarnya untuk mengambil ponselnya yang dari tadi
terus berbunyi minta diangkat.
“Sebentar,
ya…” Vivi keluar kamarnya, lalu mengangkat teleponnya. “Ya, ada apa?”
“Kamu tahu dimana
Rahma?” sahut seseorang di seberang telepon.
“Ya,
Cik! Dia lagi dirumahku. Memangnya kenapa?”
“Orangtuanya dari tadi telpon aku sibuk
nyariin Rahma. Katanya, dia kabur dari rumah… Oke, kalau gitu, aku kesana
sekarang…”
“Jangan!
Kayaknya, dia lagi kacau banget. Mending, besok pagi aja kamu kesini. Bilang
aja sama ortunya kalau dia baik-baik aja. Mungkin, dia butuh waktu untuk
berpikir,” ujar Vivi. “Oke, kalau gitu, sampai ketemu besok.”
Vivi
menutup teleponnya dan hendak kembali kekamarnya. Tapi, saat ia membalikkan
badannya, ia kaget melihat Rahma yang sudah berdiri dibelakangnya.
“Vi,
mungkin aku harus ceritain sesuatu ke kamu.”
~~~~~~~~
‘Praanngg’ bunyi gelas
pecah membangunkan Rahma dari tidurnya. Ia bangkit dari ranjangnya dan
mengintip suasana diluar kamarnya.
“Kapan lagi kalian mau
bayar hutangnya? Kalian sudah nunggak 5 bulan. Mau sampai kapan kalian
nunggak?” tanya seorang rentenir dengan garang. Dua anak buahnya yang
bertampang seram hanya menyengir tidak jelas.
“Saya mohon beri waktu 1
minggu lagi. Saya janji saya akan melunasi semua hutang anda,” kata ibu Rahma
dengan nada memohon.
“Oke, kita beri waktu 1
minggu lagi. Kalau tidak, anda tahu sendiri apa resiko yang harus anda
tanggung.”
Mata rentenir itu
mengarah tepat kearah Rahma dengan pandangan menyelidik membuat Rahma bergidik
ngeri. Cepat-cepat Rahma menutup pintu kamarnya, berusaha menghindari diri dari
rentenir tak punya hati.
“Anak anda yang bernama
Rahma itu harus bekerja ditempat saya… sebgai pelayan bar.”
Seolah-olah ada ribuan
jarum yang menghujam hatinya sampai ke ulu, membuat lututnya lemas tak mampu
lagi menopang tubuhnya yang tinggi itu. Tanpa sadar, air mata keluar dari
pelupuk matanya.
‘Braaakk’ pintu dihempas
begitu kuat hingga menimbulkan getaran disetiap sudut rumahnya. Rahma bangkit
dari keputus asaanya. Sekuat tenaga ia melangkah keluar dari kamarnya,
memaandang wajah ibunya yang semakin hari semakin tua. Wajah lelahnya itu tak
lagi menarik simpati Rahma. Hanya satu yang bergerumuh dihatinya. KECEWA.
“Jadi, ibu berniat
menjual Rahma pada rentenir gila itu? Ibu sengaja? Apakah itu yang ibu
inginkan?” tanya Rahma bertubi-tubi tanpa memberi celah pada ibunya untuk
berbicara. “Ibu senang? Ini yang ibu inginkan? Ibu macam apa namanya kalau
seperti itu?”
Ibunya baru saja ingin
berbucara. Tapi, Rahma langsung melangkah keluar rumah tanpa mendengar sepatah
kata pun dari ibunya.
~~~~~~~~
Ketika
Dessy dan yang lainnya sampai di pondok kayu yang lebih mirip kandang sapi,
tapi sama sekali tidak ada bau seperti hewan ternak ataupun kotoran. Lagipula,
jika tempat bau pun, Aldi tak mungkin mengajak mereka ketempat itu. Dan Alin
tampak tidur nyenyak di pangkuan Aldi.
“Ugh…
so sweetnya….” seru Devi dengan nada
sedikit menggoda.
Dessy
langsung menyikut Devi untuk menyuruhnya diam. Bintang dan Reza pura-pura
memeriksa keadaan sekitar mereka saat melihat Aldi dan Alin berdua saja sedang
tertidur. Tapi, mendengar suara Devi tadi yang ternyata begitu keras tersentak
kaget dan langsung terbangun.
“Uh…
oh… kalian sudah datang,” kata Aldi sedikit meracau. Ia membutuhkan sedikit
waktu untuk mengumpulkan nyawa.
“Padahal,
baru beberapa menit yang lalu loe nelpon. Dan sekarang, loe malah asyik
berduaan dengan Alin. Loe nyari kesempatan dalam kesempitan, ya?” cerocos Devi
sambil berjalan mendekati Aldi dan Alin.
“Apa?
Kalian bercanda? gue udah nunggu lebih dari setengah jam tahu! Dan gue hampir
mati kebosanan,” protes Aldi.
Devi
mendengus. ”Tapi, gak mungkin bosan. Kan ada Alin yang nemenin,” seru Devi tak mau kalah.
Aldi
baru saja ingin membalas perkataan Devi saat Bintang dan Reza dengan sikap yang
aneh masuk kedalam pondok.
“Sssttt…
jangan berisik. Diluar, aku dan Reza melihat seseorang yang sangat
mencurigakan. Mungkin dia salah satu dari penjahat yang kita lihat tadi siang,”
jelas Bintang. Yang lain langsung terdiam.
“Kalau
begitu, kita harus menyusun rencana sekarang.”
Dengan
pelan Aldi memindahkan kepala Alin dari pangkuannya ke tas digunakannya sebagai
bantal. Devi memeriksa isi tasnya, tahu kalau Aldi akan bertanya padanya
tentang apa yang ada saat ini. Pisau, garpu, sendok, peralatan tulis, kaca, sisa
tali tambang, dan beberapa snack. Dessy mengeluarkan kameranya dari dalam tas,
tali rafia, pisau pramuka, payung lipat, slayer, dan beberapa snack. Bintang
sendiri hanya ada kamera dan setumpuk buku. Aldi punya walkie talkie dan pistol mainan yang itu pun ia curi dari markas
penjahat. Reza sama sekali tak membantu.
“Kalian
mau cari materi atau piknik, sih?” seru Reza untuk menutupi rasa malunya yang
sama sekali tidak membawa apa-apa.
“Oh,
setidaknya kami membawa sesuatu yang mungkin bisa membantu. Bukan kayak loe,
yang hanya membawa diri. Bahkan, badan loe yang hanya setipis papan pun sama
sekali gak membantu,” tukas Devi yang berhasil membuat Reza speechless.
Suasana
kembali normal saat Aldi mulai menceritakan susunan rencananya.
“Kalian
berdua,” Aldi menunjuk Reza dan Bintang bergantian,”Kalian pergi mencari
bantuan. Jangan pernah kembali sampai kalian mendapat bantuan,” perintah Aldi.
Ia membekali mereka tali rafia, pisau milik Dessy, dan beberapa snack. Lalu,
mereka berdua pergi untuk mencari bantuan.
“Dan
kalian,” seru Aldi pada Dessy dan Devi,”Mari kita buat kejutan untuk tamu baru kita.”
~~~~~~~~
Suasana
didalam pondok sangat gelap. Jadi, tak heran jika pria setengah baya yang
diduga salah satu komplotan dari penjahat yang ditemui Aldi dan kawan-kawan
tadi siang. Entah bagaimana caranya Dessy dan Devi bisa membuat pria itu masuk
ke dalam perangkap mereka. Dan perlahan, pria itu mendekat…
‘Kroosaaakk….’
Bunyi
itu bukan hanya mengagetkan pria itu, tetapi Devi dan Dessy.
“Gawat,
kita melupakannya,” seru Dessy setengah berteriak. Tapi, Aldi dengan cepat
membekap mulut Dessy dan Devi yang juga ingin mengatakan hal yang sama.
“Tenang,
dia hanya kita jadikan umpan,” kata Aldi membbuat Dessy dan Devi bergidik
ngeri.
“Loe…”
Devi menatap Aldi dengan penuh amarah.
“Tenang,”
kata Aldi sebelum amarah Devi mulai meluap. “Aku tak kan pernah membiarkan pria
itu menyentuh Alin sedikit pun.”
Ia
kelihatannya bersungguh-sungguh mengatakan itu, membuat Devi dan Dessy kembali
tenang.
“Oke,
kita pegang kata-katamu,” seru Dessy semangat.
Pria
itu berjalan mendekati benda gelap yang tak terlihat jelas yang sedang
bersandar di dinding. Perlahan ia mendekat dan kaget melihat orang yang
sepertinya masih hidup ada disana.
“Te…
man… te.. man…” racau Alin. Perlahan ia membuka matanya dan melihat tubuh pria
itu dan siluet cahaya perak dari tangannya.
“Aaarrrggghhh….”
rintih Alin saat ia bergerak untuk menghindari diri dari pisau.
Tadi,
ia melihat ada sesuatu yang terbang dan menjatuhkan pisau yang dipegang
penjahat itu. Tubuhnya hanya berpindah sejauh 5 centi dari tempat semula, dan
itu membuat sekujur tubuhnya sakit akibat gerakan yang tiba-tiba.
“Damn…”
rutuk pria itu. Pria itu ingin mengambil pisau yang berada di dekat Alin. Tapi,
Alin dengan sigap mengambil pisau itu sebelum pria itu mengambilnya.
“Kau…”
Alin ingin melawan. Tapi, dengan tubuh lemahnya itu, ia langsung mengurungkan
niatnya dan membiarkan-secara tidak sengaja- penjahat itu merebut pisau
darinya.
“Hai,
anak ingusan. Jangan sok jagoan, loe! Baru gede dikit, mau ngelawan gue
sendirian. Emang loe bisa apaan, hah?” kata pria itu dengan garang, memandang
Alin seolah ia adalah anak kucing yang tersesat mencari induknya.
Di
sudut lainnya, Devi berusaha menyuruh Aldi untuk melakukan sesuatu. Tapi, Aldi
hanya diam, menunggu saat yang tepat.
“Are
you crazy?” tanya Dessy geram. “Aku akan kesana se…”
Dessy
menghentikan langkahnya, memandang Aldi senang karena akhirnya ia maju,
menghajar pria jahat itu hingga terjatuh, membuat Alin terkejut.
“Oh,
ternyata ada orang lain selain dirimu…” kata penjahat itu sambil terkekeh. Ia
bangkit dan bersiap menghajar Aldi, namun Aldi dapat menangkisnya. “Tak semudah
itu, bocah…” Ia meninju perut Aldi membuatnya jatuh tersungkur.
“Al…dii….”
teriak Alin. Tapi, yang terdengar hanya seperti bisikan.
Pria
itu mengambil pisau yang tadi sempat terjatuh, lalu mengarahkannya pada Aldi,
bersiap untuk menusuknya. Lalu, seperti tersihir oleh kekuatan gaib, bergerak
maju kedepan, menangkis serangan dari pria penjahat.
“Rasakan
ini…” Alin meninju perut pria itu sekuat yang ia bisa, menendangnya, membuang
pisau itu sejauh mungkin. Yang lain terperangah. Bagaimana bisa Alin berlari
melindungi Aldi, sedangkan ia sendiri tadi begitu sulit untuk bergerak akibat jatuh dari tebing.
Dessy
dan Devi langsung menyerbu pria itu, mengikatnya dengan tali, lalu menyeretnya
ke sudut ruangan.
“Alin,
kamu baik-baik saja?” tanya Aldi.
“Ya,”
jawab Alin sambil tersenyum.
Perlahan,
penglihatan Alin mulai memudar. Samar-samar ia melihat seseorang yang ia rasa
tak akan pernah ia temui lagi.
“Kamu
hebat, Lin!” seru Fakhri sambil mencium pipi Alin lembut. Alin bisa merasakan
semuanya. Kehadiran Fakhri, kehangatannya, dan ciumannya tadi masih membekas
dihatinya, membuat Alin menitikkan air matany.
“Fakhri…
Aku kangen…” kata Alin hampir seperti bisikan.
Darah
segar mengalir dari lengan Alin, membuat semuanya panik. Kemudian, ia pingsan
begitu saja.
~~~~~~~~
Bau
obat-obatan sepertinya bukan hal baru bagi Alin. Ia sudah sadar, tapi ia
sengaja berpura-pura tidur saat teman-temannya masuk ke ruang tempat ia
dirawat.
“Alin,
kamu kasihan banget, sih! Padahal, baru aja jatuh dari tebing, eh, udah kena
sabetan lagi. Kayak pepatah ‘Udah jatuh, ketimpa tangga pula,’” kata Devi.
“Yee…
dia gak kayak gitu juga kali. Tapi, Alin hebat. Padahal dia jatuh dari tempat
yang lumayan tinggi. Tapi, sama sekali tidak ada tulangnya yang rusak. Cuma
keseleo dikit ama luka,” kata Dessy kagum.
“Iya,
ya… Btw, mana yang lain?” tanya Devi sambil celingukan.
“Maksud
kamu Reza, Bintang, dan Aldi?” tanya Dessy balik.
Devi
mengangguk. “Iya, kecuali Reza. Dia mau mati juga aku gak peduli.”
Dessy
terkikik. “Iya, iya… Tadi, mereka pulang sebentar buat ganti baju. Ntar, mereka
balik lagi. Tapi, kalau Reza kayaknya gak balik lagi.”
“Baguslah,”
celetuk Devi.
Bunyi
pintu terbuka membuat Dessy dan Devi menoleh. Bisa ditebak siapa yang datang.
“Hai,”
sapa Bintang pada Dessy dan Devi. Tapi, sepertinya itu lebih mengarah untuk
Dessy.
“Oh,
hai…” balas Dessy antusias. Aldi yang berada disamping Bintang sampai terkikik
melihatnya. Tapi, Dessy berusaha untuk mengabaikannya. “Reza mana?”
“Kayaknya
gak bakal balik lagi,” jawab Bintang.
“Oh,
baguslah,” kata Devi senang.
Devi
menarik Dessy berjalan ke pintu keluar.
“Kami
pulang dulu, ya.”
Bintang
mengangguk. Keduanya menghilang dari ruangan. Aldi masih berdiri menatap Alin
lama.
“Aldi,
bisakah aku minta tolong?” tanya Bintang. Aldi mengangguk. “Kalau begitu,
tolong belikan roti dan buah-buahan untuk Alin.”
Aldi
mengangguk lagi. Diambilnya duit dari tangan Bintang, kemudian berlari mencari
toko roti dan buah.
Kini,
giliran Bintang menatap Alin lama. Ia menarik kursi yang ada didekatnya ke
samping ranjang Alin.
“Bangunlah!”
seru Aldi. “Tak ada siapa-siapa lagi disini.”
Sepertinya
Bintang sadar kalau Alin sudah sadar.
“Kau
tahu?” tanya Alin datar.
Bintang
mengangguk pasti. “Yap!!! Daripada itu, ada yang ingin ku tanyakan padamu. Ini…
tentang Aldi”
~~~~~~~~