Rabu, 24 April 2013

GUARDIAN ANGEL (29)


REAL VOICE ʃƪ˘) (29)



Semua seperti mimpi buruk. Dikejar oleh penjahat yang berbahaya. Tersesat di jalan yang menyeramkan. Lalu, kehilangan seorang teman. Bagaimana pun, tak ada seorang yang pun menginginkan hal ini terjadi.
“Alliiinn…” panggil Devi dan Dessy bergantian. Bintang dan Aldi juga ikutan. Tapi, semua sama. Hasilnya NIHIL.
“Bagaimana ini? Alin menghilang? Apa yang harus kita lakukan?” tanya Dessy panik. Air matanya tak bisa berhenti mengalir.
“Ini juga lagi mikir,” jawab Reza.
“Dari tadi kalian terus bilang ‘lagi mikir’. Kalian kelamaan mikir. Kalau terjadi sesuatu dengan Alin bagaimana? Kita harus bilang apa sama ortunya?” ujar Dessy.
Bintang mendesah kuat, sedangkan Devi dari tadi sibuk mencari sesuatu di tasnya. Ia baru sadar kalau sedari tadi ia membawa tas. Buku yang Reza pegang tadi pun Reza tinggal di padang rumput. Hanya sebuah buku tulis milik Bintang yang ia bawa. Aldi sendiri dari tadi sibuk meraba-raba sesuatu di kantongnya.
“Kamu punya sesuatu yang berguna, Dev?” tanya Aldi pada Devi.
Devi mengangguk ragu. “Maybe. Aku hanya punya tali tambang, garam, pisau, garpu, sendok…”
“Loe sebenarnya mau ngapain, sih? Kok, bawa peralatan makanan. Jangan-jangan, loe juga bawa piring sama gelas juga,” kata Reza penuh selidik.
“Ya nggaklah! Gue sendiri juga bingung kenapa barang-barang ini ada di dalam tas gue,” sahut Devi sebal. Ia kembali memeriksa isi tasnya. “Aku juga bawa senter, peralatan tulis, kaca, dan terakhir snack-snack.”
Semua menyerngit bingung.
“Snacknya apa aja?”s tanya Aldi.
“Ada satu pack permen, keripik singkong, roti-roti, biskuit…”
“Gila. Loe mau pergi cari materi atau piknik, sih?” komentar Reza lagi.
Devi berusaha untuk tidak mendengar kata-kata Reza lagi. Kalau itu dibiarkan, lama-lama ia bisa darah tinggi.
‘Ya sudah, kalau gitu gue minta sebungkus roti dan biskuit. Tali tambang, garam, sama kacanya gue pinjam. Senternya loe cuma bawa satu, ya?”
“Nggak. Ada 4. Kamu mau pinjam?” tanya Devi.
“Gue pinjam 2, ya. Buat persiapan aja,” kata Aldi. “Oya, kalau ada sesuatu, kalian lapor, ya.”
“Memangnya kamu mau kemana?” tanya Bintang.
“Nyusul Alin ke bawah. Gue gak bisa berdiam diri aja,” kata Aldi. Ia mulai memasang tali tambang ke pohon. Ular yang tadi mereka lihat sudah di bunuh Aldi dan Bintang. Bangkainya pun sudah mereka buang jauh-jauh. Setelah selasai, ia menaburkan garam di sekitar. Takut ular yang lain muncul lagi.
“Tapi, bagaimana caranya kita berhubungan?” tanya Dessy yang baru sadar kalau ponsel mereka hampir lowbat. Walaupun punya Devi dan Aldi masih aktif, tapi pulsa mereka tidak mencukupi. Lagipulam sinyalnya pun sama sekali tidak ada.
“Dengan ini.” Aldi mengeluarkan 3 buah walkie-talkie. 2 buah ia berikan pada Devi. Yang satunya lagi ia pegang sendiri. “Kalau ada perubahan, cepat hubungi gue.”

~~~~~~~~
“Pada akhirnya, tak ada yang salah, tak ada yang benar. Semua itu hanyalah sebuah kesalahpahaman. Bagaimanapun, kita harus bisa menerima semuanya.”
Alin menyerngit bingung. Kata-kata yang keluar dari mulut neneknya itu cukup sulit untuk di pahami.
“Tapi, bagaimana caranya kita bisa mengetahui kebenaran itu?” tanya Alin.
Beliau berjalan mendekat. Diambilnya tangan Alin, lalu ia letakkan ke dada.
“Disini. Dengan hati.”
“Neneeekk…” teriak Alin.
Ia tersadar dari mimpinya. Saat ia bangun, hari sudah gelap. Butuh waktu lama untuk matanya beradaptasi dengan lingkungan sekitar dan menyadari bahwa ia berada di tempat asing. Pohon-pohon yang menjulang tinggi mengelilinya. Nyanyian gagak membuat suasana mencekam. Alin bergidik ngeri. Bagaimana bisa ia terjebak disini?
Seperti kaset rusak, memori itu terulang. Dikejar penjahat, tersesat, ular, dan…
“Aaarrrghhh….” Alin merasakan kepalanya berdenyut-denyut. Sakit. Bukan hanya kepalanya yang sakit, tapi seluruh tubuhnya, mulai dari tangan hingga kakinya. Ia mencoba untuk berdiri, tapi sia-sia. Terjatuh dari ketinggian lebih dari 5 meter membuat seluruh badannya sakit.
Ia memandang keatas. Sungguh sebuah keajaiban baginya ia masih hidup setelah jatuh dari ketinggian 5 meter itu. Mungkin juga lebih. Tapi, itu tak penting baginya. Yang terpenting adalah bagaimana caranya ia keluar dari tempat ini. Jika tidak, ia akan menjadi santapan lezat hewan-hewan yang ada dihutan ini.
Tak jauh dari tempatnya berbaring, ada sebuah tongkat yang mungkin bisa ia gunakan. Dengan susah payah, ia menggapai tongkat kayu itu.
‘Kreeseekk’
Terdengar suara ranting kering diinjak. Jantung Alin langsung bekerja 3 kali lebih cepat. Rasa takut menyerangnya. Tapi, ia masih bisa mengatur semua emosinya.
‘Guk.. guk..’
“Anjing?” gumam Alin heran.
Ia menghela napas lega. Ternyata hanya seekor anjing. Anjing itu kembali berjalan mendekati Alin. Dengan mulut menganga dan liur menetes, ia menatap Alin dengan tajam seolah ia bisa menelan Alin dengan tubuh utuh.
“Sial, itu bukan anjing baik,” batin Alin kesal.
Sekuat tenaga ia melawan anjing itu. Pertarungan antara gadis malang yang terluka vs anjing yang kelaparan ini berlangsung sangat seru. Mereka sama-sama kuat dan sama-sama lemah. Tapi, jika ini tidak segera di selesaikan, tenaganya akan terkuras habis, dan akhirnya ia akan menjadi santapan lezat anjing lapar ini.
“Uukk…” anjing itu tampak kesakitan ketika seseorang menendangnya dengan keras. Alin mendongak dan melihat Aldi sedang bertarung dengan anjing itu.
“Aldi, jangan…” teriak Alin saat Aldi ingin menusuk perut anjing dengan  kaca.
Aldi menghentikan gerakannya. Dibiarkannya anjing itu kabur. Yang terpenting, ia segera menolong Alin.
“Kamu gak pa-pa?” tanya Aldi.
Alin mendengus. “Ya enggaklah, bego! Dimana-mana, orang pasti sedang ‘TIDAK BAIK-BAIK SAJA’ saat ia terjatuh.. uuhuukk.. uhuukk…”
“Iya, deh! Aku salah. Yang penting, kamu selamat. Bisa berdiri?”
Alin menggeleng cepat. Jangankan berdiri, menggerakkan tangannya saja ia harus menahan sakit.
“Sakit? Lutut dan tanganmu berdarah,” Aldi menunjuk lutut dan lengan Alin.
Padahal ia sudah mengenakan baju lengan panjang dan jeans panjang. Tapi, masih ada luka di lengan kanan dan lututnya. Bahkan, jeansnya sampai robek. Aldi tampak mengeluarkan sesuatu dari kantong jaketnya yang ternyata kain bekas. Dengan cepat ia mengobati luka Alin dengan ekstra hati-hati.
“Selesai,” seru Aldi senang. Alin terdiam sambil memandangi lukanya. “Maaf, mungkin kamu gak suka. Tapi, aku harus melakukan ini.”
Aldi menggendong tubuh Alin dengan pelan, takut jika ia melakukan dengan gegabah akan memperburuk keadaan.
Alin masih diam. Bahkan, ia tak sanggup menatap wajah Aldi. Ia terus berpikir kalau Aldi jahat. Ia yang menyebabkan kecelakaan Arli. Dan…
 “Lihatlah dengan mata hati. Dan dengarkan suara hait itu. Kelak, kita akan mengetahui kebenarannya.”
Alin memegang dadanya sambil memejamkan kedua matanya. Dalam diam, ia bisa mendengar suara detak jantung Aldi, merasakan ketulusan Aldi, dan kejujurannya. Dan ia pun mengetahui kebenarannya…

~~~~~~~~
“Dev, aku mau tanya sesuatu,” kata Dessy pelan. Devi sampai mendekat pada Dessy untuk mendengar kata-kata Dessy.
“Apa?” tanya Devi tak kalah pelannya.
“Kamu sebenarnya mau kemana, sih? Persiapanmu kok matang banget? Sampai bawa peralatan makan lagi?” tanya Dessy heran.
Devi nyengir-nyengir tidak jelas, membuat Dessy semakin heran.
“Umm… sebenarnya, aku berniat kabur dari rumah. Tapi, setelah kejadian hari ini, aku jadi ingin tinggal dirumah saja.”
Dessy tertawa mendengar alasan dari mulut Devi. Kabur? Benar-benar bukan Devi yang biasanya.
“Ada masalah apa?” tanya Dessy yang sepertinya mengerti alasan Devi kabur.
 “Aaaarrrgghh… biasa. Kakakku yang biasa cari masalah. Lama-lama aku jadi kesal sendiri, pengen kabur dari rumah. Tapi, karena aku sedang mengalami hal ini, sepertinya aku harus berpikir ulang untuk kabur dari rumah.”
Dessy tertawa mendengar alasan Devi. Lucu. Tapi, ia bisa mengerti perasaan Devi. Walau ia tidak punya kakak, tapi ia punya adik yang ‘Super Duper’ menyebalkan.
“Devi, awas… Ada cicak,” teriak Dessy tiba-tiba.
Tanpa melihat, ia langsung melompat kedepan dan bersembunyi di balik punggung seseorang.
“Woy, loe lagi ngapain, sih? Cari kesempatan, ya?” tanya Reza yang sedang sibuk menyalakan api dengan Bintang.
Devi mengangkat kepalanya dan terperanjat ke belakang. Bagaimana bisa?
“Iiisssshhh… males banget, deh, gue! Ngapain juga gue mau cari kesempatan sama loe. MIMPI…” balas Devi. Ia benar-benar kaget saat ia tahu kalau ia tadi sampai memegang bahu Reza. Iiiihhh… membayangkannya saja udah ngeri banget.
Samar-samar ia bisa mendengar kalau dari tadi Dessy dan Bintang dari tadi tertawa cekikikan seperti kuntilanak. Ia menjadi semakin bete.
‘Kreesseekk… kreessseeeekk…’
Bintang merogoh kantong jaketnya mengambil walkie talkie.
“Ya, halo, dengan Bintang. Bagaimana? Kamu sudah menemukan Alin?”
“Iya. Sekarang, dia sedang bersamaku. Maaf, tapi, bisakah kalian kemari?”
“Dimana?” tanya Bintang bingung sambil celingukan.
“Aku beri isyarat dengan lampu senter. Jika kalian melihat, tolong dibalas.”
Bintang celingukan dan melihat kurang lebih 200 meter di bawah jurang ia bisa melihat lampu senter yang tadi bergerak memberi isyarat. Bintang pun membalas dengan morse lighting. ‘Kami kesana sekarang’.
“Tadi itu apa?” tanya Devi.
“Itu semacam kode, Dev. Kalau tidak salah namanya mo… mo…
Morse lighting,” kata Bintang saat Dessy tampak kesulitan menyebutnya.
“Ya, itu dia. Jadi, Aldi bilang apa?”
“Kita ketempat mereka sekarang. Alin sudah ditemukan dan sekarang ada bersama Aldi,” ujar Bintang.
“Benarkah? Syukurlah…” seru Dessy dan Devi berbarengan.
“Kalau gitu, kita kesana sekarang,” seru Reza. Yang lain mengangguk setuju.

~~~~~~~~
Malam berlabuh di langit kelam. Senyum bulan tak lagi bahagia. Cahaya bintang tak lagi benderang. Hilang. Semuanya hilang hanya dengan satu gulungan hitam yang berubah menjadi merah. Dan… tess… tesss… tess… Hujan turun diluka perih. Tak dapat terobati dalam waktu singkat. Semua kenangan indah hanya masa lalu yang pahit. Seperti kopi. Manis. Namun, sebenarnya pahit.
“Ada apa?” tanya Vivi. Tak biasanya Rahma datang kerumahnya. Ia memang satu genk dengan Rahma. Tapi, ia tak begitu akrab. Dan sekarang, ia berada dirumahnya sambil bersimbah air mata dan hujan. Bingung. Biasanya ia akan pergi menghampiri Dessy atau Devi. Tapi, mengapa sekarang dia ada disini?
“Dessy, Devi, dan Alin lagi pergi. Cika dan Riri juga,” kata Rahma yang seperti membaca pikiran Vivi.
‘Oh,” seru Vivi canggung. “Umm… kalau gitu, masuk aja kedalam kamarku. Kamu harus ganti baju dulu supaya tidak masuk angin.”
Vivi menuntun Rahma ke kamarnya, lalu memberinya handuk. Setelah itu, ia memberinya susu hangat.
“Ini. Minumlah selagi hangat.”
Rahma menerima gelas itu lalu meneguknya sampai habis.
“Pelan-pelan, Rahma. Masih panas,” ingat Vivi.
Tapi, Rahma sama sekali tidak menghiraukannya. Ia terus meneguk minuman itu sampai habis.
“Panas…” desisnya.
Vivi hanya bisa menggeleng bingung.
“Lalu, apa rencanamu? Mau nginap disini dulu?” tanya Vivi.
“Mungkin… Kalau kamu gak keberatan atau merasa terganggu.”
“Oh, nggak, kok! Santai aja. Anggap rumah aku, ya!” kata Vivi sambil nyegir.
Rahma menggangguk.
Vivi berjalan menghampiri meja belajarnya untuk mengambil ponselnya yang dari tadi terus berbunyi minta diangkat.
“Sebentar, ya…” Vivi keluar kamarnya, lalu mengangkat teleponnya. “Ya, ada apa?”
“Kamu tahu dimana Rahma?” sahut seseorang di seberang telepon.
“Ya, Cik! Dia lagi dirumahku. Memangnya kenapa?”
Orangtuanya dari tadi telpon aku sibuk nyariin Rahma. Katanya, dia kabur dari rumah… Oke, kalau gitu, aku kesana sekarang…”
“Jangan! Kayaknya, dia lagi kacau banget. Mending, besok pagi aja kamu kesini. Bilang aja sama ortunya kalau dia baik-baik aja. Mungkin, dia butuh waktu untuk berpikir,” ujar Vivi. “Oke, kalau gitu, sampai ketemu besok.”
Vivi menutup teleponnya dan hendak kembali kekamarnya. Tapi, saat ia membalikkan badannya, ia kaget melihat Rahma yang sudah berdiri dibelakangnya.
“Vi, mungkin aku harus ceritain sesuatu ke kamu.”

~~~~~~~~
‘Praanngg’ bunyi gelas pecah membangunkan Rahma dari tidurnya. Ia bangkit dari ranjangnya dan mengintip suasana diluar kamarnya.
“Kapan lagi kalian mau bayar hutangnya? Kalian sudah nunggak 5 bulan. Mau sampai kapan kalian nunggak?” tanya seorang rentenir dengan garang. Dua anak buahnya yang bertampang seram hanya menyengir tidak jelas.
“Saya mohon beri waktu 1 minggu lagi. Saya janji saya akan melunasi semua hutang anda,” kata ibu Rahma dengan nada memohon.
“Oke, kita beri waktu 1 minggu lagi. Kalau tidak, anda tahu sendiri apa resiko yang harus anda tanggung.”
Mata rentenir itu mengarah tepat kearah Rahma dengan pandangan menyelidik membuat Rahma bergidik ngeri. Cepat-cepat Rahma menutup pintu kamarnya, berusaha menghindari diri dari rentenir tak punya hati.
“Anak anda yang bernama Rahma itu harus bekerja ditempat saya… sebgai pelayan bar.”
Seolah-olah ada ribuan jarum yang menghujam hatinya sampai ke ulu, membuat lututnya lemas tak mampu lagi menopang tubuhnya yang tinggi itu. Tanpa sadar, air mata keluar dari pelupuk matanya.
‘Braaakk’ pintu dihempas begitu kuat hingga menimbulkan getaran disetiap sudut rumahnya. Rahma bangkit dari keputus asaanya. Sekuat tenaga ia melangkah keluar dari kamarnya, memaandang wajah ibunya yang semakin hari semakin tua. Wajah lelahnya itu tak lagi menarik simpati Rahma. Hanya satu yang bergerumuh dihatinya. KECEWA.
“Jadi, ibu berniat menjual Rahma pada rentenir gila itu? Ibu sengaja? Apakah itu yang ibu inginkan?” tanya Rahma bertubi-tubi tanpa memberi celah pada ibunya untuk berbicara. “Ibu senang? Ini yang ibu inginkan? Ibu macam apa namanya kalau seperti itu?”
Ibunya baru saja ingin berbucara. Tapi, Rahma langsung melangkah keluar rumah tanpa mendengar sepatah kata pun dari ibunya.

~~~~~~~~
Ketika Dessy dan yang lainnya sampai di pondok kayu yang lebih mirip kandang sapi, tapi sama sekali tidak ada bau seperti hewan ternak ataupun kotoran. Lagipula, jika tempat bau pun, Aldi tak mungkin mengajak mereka ketempat itu. Dan Alin tampak tidur nyenyak di pangkuan Aldi.
“Ugh… so sweetnya….” seru Devi dengan nada sedikit menggoda.
Dessy langsung menyikut Devi untuk menyuruhnya diam. Bintang dan Reza pura-pura memeriksa keadaan sekitar mereka saat melihat Aldi dan Alin berdua saja sedang tertidur. Tapi, mendengar suara Devi tadi yang ternyata begitu keras tersentak kaget dan langsung terbangun.
“Uh… oh… kalian sudah datang,” kata Aldi sedikit meracau. Ia membutuhkan sedikit waktu untuk mengumpulkan nyawa.
“Padahal, baru beberapa menit yang lalu loe nelpon. Dan sekarang, loe malah asyik berduaan dengan Alin. Loe nyari kesempatan dalam kesempitan, ya?” cerocos Devi sambil berjalan mendekati Aldi dan Alin.
“Apa? Kalian bercanda? gue udah nunggu lebih dari setengah jam tahu! Dan gue hampir mati kebosanan,” protes Aldi.
Devi mendengus. ”Tapi, gak mungkin bosan. Kan ada Alin yang nemenin,”  seru Devi tak mau kalah.
Aldi baru saja ingin membalas perkataan Devi saat Bintang dan Reza dengan sikap yang aneh masuk kedalam pondok.
“Sssttt… jangan berisik. Diluar, aku dan Reza melihat seseorang yang sangat mencurigakan. Mungkin dia salah satu dari penjahat yang kita lihat tadi siang,” jelas Bintang. Yang lain langsung terdiam.
“Kalau begitu, kita harus menyusun rencana sekarang.”
Dengan pelan Aldi memindahkan kepala Alin dari pangkuannya ke tas digunakannya sebagai bantal. Devi memeriksa isi tasnya, tahu kalau Aldi akan bertanya padanya tentang apa yang ada saat ini. Pisau, garpu, sendok, peralatan tulis, kaca, sisa tali tambang, dan beberapa snack. Dessy mengeluarkan kameranya dari dalam tas, tali rafia, pisau pramuka, payung lipat, slayer, dan beberapa snack. Bintang sendiri hanya ada kamera dan setumpuk buku. Aldi punya walkie talkie dan pistol mainan yang itu pun ia curi dari markas penjahat. Reza sama sekali tak membantu.
“Kalian mau cari materi atau piknik, sih?” seru Reza untuk menutupi rasa malunya yang sama sekali tidak membawa apa-apa.
“Oh, setidaknya kami membawa sesuatu yang mungkin bisa membantu. Bukan kayak loe, yang hanya membawa diri. Bahkan, badan loe yang hanya setipis papan pun sama sekali gak membantu,” tukas Devi yang berhasil membuat Reza speechless.
Suasana kembali normal saat Aldi mulai menceritakan susunan rencananya.
“Kalian berdua,” Aldi menunjuk Reza dan Bintang bergantian,”Kalian pergi mencari bantuan. Jangan pernah kembali sampai kalian mendapat bantuan,” perintah Aldi. Ia membekali mereka tali rafia, pisau milik Dessy, dan beberapa snack. Lalu, mereka berdua pergi untuk mencari bantuan.
“Dan kalian,” seru Aldi pada Dessy dan Devi,”Mari kita buat kejutan untuk tamu baru kita.”

~~~~~~~~
Suasana didalam pondok sangat gelap. Jadi, tak heran jika pria setengah baya yang diduga salah satu komplotan dari penjahat yang ditemui Aldi dan kawan-kawan tadi siang. Entah bagaimana caranya Dessy dan Devi bisa membuat pria itu masuk ke dalam perangkap mereka. Dan perlahan, pria itu mendekat…
‘Kroosaaakk….’
Bunyi itu bukan hanya mengagetkan pria itu, tetapi Devi dan Dessy.
“Gawat, kita melupakannya,” seru Dessy setengah berteriak. Tapi, Aldi dengan cepat membekap mulut Dessy dan Devi yang juga ingin mengatakan hal yang sama.
“Tenang, dia hanya kita jadikan umpan,” kata Aldi membbuat Dessy dan Devi bergidik ngeri.
“Loe…” Devi menatap Aldi dengan penuh amarah.
“Tenang,” kata Aldi sebelum amarah Devi mulai meluap. “Aku tak kan pernah membiarkan pria itu menyentuh Alin sedikit pun.”
Ia kelihatannya bersungguh-sungguh mengatakan itu, membuat Devi dan Dessy kembali tenang.
“Oke, kita pegang kata-katamu,” seru Dessy semangat.

Pria itu berjalan mendekati benda gelap yang tak terlihat jelas yang sedang bersandar di dinding. Perlahan ia mendekat dan kaget melihat orang yang sepertinya masih hidup ada disana.
“Te… man… te.. man…” racau Alin. Perlahan ia membuka matanya dan melihat tubuh pria itu dan siluet cahaya perak dari tangannya.
“Aaarrrggghhh….” rintih Alin saat ia bergerak untuk menghindari diri dari pisau.
Tadi, ia melihat ada sesuatu yang terbang dan menjatuhkan pisau yang dipegang penjahat itu. Tubuhnya hanya berpindah sejauh 5 centi dari tempat semula, dan itu membuat sekujur tubuhnya sakit akibat gerakan yang tiba-tiba.
“Damn…” rutuk pria itu. Pria itu ingin mengambil pisau yang berada di dekat Alin. Tapi, Alin dengan sigap mengambil pisau itu sebelum pria itu mengambilnya.
“Kau…” Alin ingin melawan. Tapi, dengan tubuh lemahnya itu, ia langsung mengurungkan niatnya dan membiarkan-secara tidak sengaja- penjahat itu merebut pisau darinya.
“Hai, anak ingusan. Jangan sok jagoan, loe! Baru gede dikit, mau ngelawan gue sendirian. Emang loe bisa apaan, hah?” kata pria itu dengan garang, memandang Alin seolah ia adalah anak kucing yang tersesat mencari induknya.
Di sudut lainnya, Devi berusaha menyuruh Aldi untuk melakukan sesuatu. Tapi, Aldi hanya diam, menunggu saat yang tepat.
“Are you crazy?” tanya Dessy geram. “Aku akan kesana se…”
Dessy menghentikan langkahnya, memandang Aldi senang karena akhirnya ia maju, menghajar pria jahat itu hingga terjatuh, membuat Alin terkejut.
“Oh, ternyata ada orang lain selain dirimu…” kata penjahat itu sambil terkekeh. Ia bangkit dan bersiap menghajar Aldi, namun Aldi dapat menangkisnya. “Tak semudah itu, bocah…” Ia meninju perut Aldi membuatnya jatuh tersungkur.
“Al…dii….” teriak Alin. Tapi, yang terdengar hanya seperti bisikan.
Pria itu mengambil pisau yang tadi sempat terjatuh, lalu mengarahkannya pada Aldi, bersiap untuk menusuknya. Lalu, seperti tersihir oleh kekuatan gaib, bergerak maju kedepan, menangkis serangan dari pria penjahat.
“Rasakan ini…” Alin meninju perut pria itu sekuat yang ia bisa, menendangnya, membuang pisau itu sejauh mungkin. Yang lain terperangah. Bagaimana bisa Alin berlari melindungi Aldi, sedangkan ia sendiri tadi begitu sulit  untuk bergerak akibat jatuh dari tebing.
Dessy dan Devi langsung menyerbu pria itu, mengikatnya dengan tali, lalu menyeretnya ke sudut ruangan.
“Alin, kamu baik-baik saja?” tanya Aldi.
“Ya,” jawab Alin sambil tersenyum.
Perlahan, penglihatan Alin mulai memudar. Samar-samar ia melihat seseorang yang ia rasa tak akan pernah ia temui lagi.
“Kamu hebat, Lin!” seru Fakhri sambil mencium pipi Alin lembut. Alin bisa merasakan semuanya. Kehadiran Fakhri, kehangatannya, dan ciumannya tadi masih membekas dihatinya, membuat Alin menitikkan air matany.
“Fakhri… Aku kangen…” kata Alin hampir seperti bisikan.
Darah segar mengalir dari lengan Alin, membuat semuanya panik. Kemudian, ia pingsan begitu saja.

~~~~~~~~
Bau obat-obatan sepertinya bukan hal baru bagi Alin. Ia sudah sadar, tapi ia sengaja berpura-pura tidur saat teman-temannya masuk ke ruang tempat ia dirawat.
“Alin, kamu kasihan banget, sih! Padahal, baru aja jatuh dari tebing, eh, udah kena sabetan lagi. Kayak pepatah ‘Udah jatuh, ketimpa tangga pula,’” kata Devi.
“Yee… dia gak kayak gitu juga kali. Tapi, Alin hebat. Padahal dia jatuh dari tempat yang lumayan tinggi. Tapi, sama sekali tidak ada tulangnya yang rusak. Cuma keseleo dikit ama luka,” kata Dessy kagum.
“Iya, ya… Btw, mana yang lain?” tanya Devi sambil celingukan.
“Maksud kamu Reza, Bintang, dan Aldi?” tanya Dessy balik.
Devi mengangguk. “Iya, kecuali Reza. Dia mau mati juga aku gak peduli.”
Dessy terkikik. “Iya, iya… Tadi, mereka pulang sebentar buat ganti baju. Ntar, mereka balik lagi. Tapi, kalau Reza kayaknya gak balik lagi.”
“Baguslah,” celetuk Devi.
Bunyi pintu terbuka membuat Dessy dan Devi menoleh. Bisa ditebak siapa yang datang.
“Hai,” sapa Bintang pada Dessy dan Devi. Tapi, sepertinya itu lebih mengarah untuk Dessy.
“Oh, hai…” balas Dessy antusias. Aldi yang berada disamping Bintang sampai terkikik melihatnya. Tapi, Dessy berusaha untuk mengabaikannya. “Reza mana?”
“Kayaknya gak bakal balik lagi,” jawab Bintang.
“Oh, baguslah,” kata Devi senang.
Devi menarik Dessy berjalan ke pintu keluar.
“Kami pulang dulu, ya.”
Bintang mengangguk. Keduanya menghilang dari ruangan. Aldi masih berdiri menatap Alin lama.
“Aldi, bisakah aku minta tolong?” tanya Bintang. Aldi mengangguk. “Kalau begitu, tolong belikan roti dan buah-buahan untuk Alin.”
Aldi mengangguk lagi. Diambilnya duit dari tangan Bintang, kemudian berlari mencari toko roti dan buah.
Kini, giliran Bintang menatap Alin lama. Ia menarik kursi yang ada didekatnya ke samping ranjang Alin.
“Bangunlah!” seru Aldi. “Tak ada siapa-siapa lagi disini.”
Sepertinya Bintang sadar kalau Alin sudah sadar.
“Kau tahu?” tanya Alin datar.
Bintang mengangguk pasti. “Yap!!! Daripada itu, ada yang ingin ku tanyakan padamu. Ini… tentang Aldi”

~~~~~~~~