SERPIHAN
MASA LALU (30)
Kelas-kelas
tampak sepi. Namun, lapangan sekolah hampir terisi seluruhnya. Acara classmeeting tahun ini tampak berjalan
lancar dan meriah. Ada banyak stan-stan di setiap sudut sekolah. Panggung besar
yang berada ditengah-tengah lapangan tampak berdiri megah dan indah hasil karya
anak-anak dari seluruh klub seni. Mereka bekerja sama untuk membuat acara classmeeting berjalan dengan sukses.
Vivi
tampak sangat antusias berlari-lari mengelilingi sekolah. Ia berlari bukan
karena ia terlalu senang melihat pemandangan di sekolahnya-menurutnya, sikap
itu terlalu kampungan-, tapi demi mencari Alin. Ia melihat Alin tampak sibuk
membawa setumpuk kertas dan beberapa alat tulis lainnya ke ruang kelas mereka.
“ALLIIINNN…..”
panggil Vivi senang sambil meloncat ke punggung Alin.
Alin
beserta alat perangkat yang ia bawa terjatuh tanpa ampun bersama Vivi yang
tampak nyaman jatuh menimpa Alin.
“Auuww…
Vivi. Kau berat sekali,” gerutu Alin. Vivi tampak merasa bersalah. “Kau tak
sadar betapa langsingnya dirimu dibandingku,” tambah Alin.
Vivi
langsung merengut. “Yeee…. maaf. Sengaja tadi. Tapi, gak niat sampai jatuh.
Tapi, beratku sudah turun banyak, loh! Jadi, gak berat-berta amat.”
“Emangnya
berapa ton, sih?” tanya Alin penasaran. Ia kembali berjalan menuju ruang
kelasnya.
“Mmm….
kira-kira sekitar 30…. ons,” jawab Vivi sambil cengar-cengir.
Alin
berusaha menahan tawanya.
“Kenapa?
Mau ngejek?” tanya Vivi garang. Tapi, ia hanya bercanda.
“Nggak,
kok! Lumayan juga, tuh, turun 3 kilo. Daripada gak sama sekali?”
Spontan
Vivi langsung meneloyor kepala Alin tanpa ampun.
Sesampainya
di ruang kelas, tampak murid-murid XI A sedang mempersiapkan diri untuk bidang
lomba mereka masing-masing.
Satria,
dengan gaya lebaynya yang khas, ia mulai menangis sambil berteriak kencang
membaca puisinya.
Sasha,
Rina, Rahmat, dan Putra mulai sibuk dengan mading mereka. Mereka mulai menata
satu per satu artikel, puisi, cerpen, foto, beserta pernak-pernik untuk
menghiasi mading mereka.
Alin,
Devi, Dessy, Aldi, Bintang, dan Reza sibuk menyusun artikel mereka.
Riri
dan Beni tampak sibuk mempersiapkan diri dan mental mereka.
Cika
sendiri sedang duduk diam karena wajahnya sibuk di polesi berbagai macam
alat-alat kosmetik oleh Miss Erma. Harap-harap cemas ia menunggu kedatangan
Reihan yang sampai saat itu belum datang.
“Aduh,
Reihan dimana, ya? Kok belum datang juga. Setengah jam lagi kita udah mulai,
loh!” gerutu Miss Erma. Beliau menebarkan pandangannya ke seluruh isi kelas.
“Robby,” perintah Miss Erma, “Kamu hubungi Reihan sekarang.”
Robby
mengangguk patuh dan mulai menghubungi Reihan. Kemudian, ia kembali dengan
wajah gelisah.
“Miss,
gawat!!! Orangtuanya bilang kalau Reihan kecelakaan. Jadi, dia tidak bisa ikut
lomba. Bagaimana ini Miss?” kata Robby.
Cika
tampak khawatir sekaligus lega. Lega, karena ia tidak akan bersanding dengan
Reihan. Khawatir, mendengar Reihan kecelakaan. Rasanya, saat itu juga ia ingin
berlari ke rumah sakit untuk melihat keadaan Reihan. Tapi, mengingat Reihan dan
dia sudah putus, ia mengurungkan niatnya.
“Kalau
gitu, kamu kesini,” perintah Miss Erma. Cika bangkit dari kursinya berganti
dengan Robby. “Kamu saja yang menggantikan Reihan.”
“Hah?”
Robby
dan Cika hanya bisa patuh menuruti permintaan Miss Erma.
~~~~~~~~
Sinar
matahari ternyata cukup menyengat kulit. Keringat-keringat mulai mengucur ke
seluruh tubuh. Alin duduk di bangku taman yang nampak sepi sambil memandang
langit biru yang dihiasi sinar matahari.
Sebuah
payung menghalangi pandangannya sekaligus mengalihkan perhatian dari langit ke
orang yang memayunginya.
“Jangan
melihat matahari secara langsung. Itu tidak baik untuk mata,” kata Aldi. Ia
duduk di samping Alin. Tangannya masih memayungi Alin.
Alin
hanya tertunduk. Tiba-tiba ia teringat kata-kata Bintang saat di rumah sakit.
“Antara kamu dan Aldi,
sebenarnya ada apa, sih?” tanya Bintang dengan tampang penasaran.
Alin menyerngit bingung.
“Maksudmu? Aku
benar-benar tidak mengerti.”
Bintang menghela napas
panjang. “Dia aneh.” Alin menaikkan satu alisnya tak mengerti. “Dia berubah
jadi pendiam. Apa yang sebenarnya telah terjadi saat aku dan Reza pergi mencari
bantuan?”
Alin terdiam cukup lama.
Ia berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi saat itu. Namun, kemudian Alin
menggeleng.
“Kau benar-benar tidak
tahu?” tanya Bintang ragu.
Alin menggeleng lagi.
“Kalau gitu, coba tolong
tanyakan apa yang telah mengganggu pikirannya. Mungkin, jika denganmu, dia mau
mengatakannya.”
“Bagaimana
keadaanmu?” tanya Aldi memecah lamunan Alin.
Alin
menoleh sebentar, lalu kembali menunduk.
“Tadi,
aku lihat Vivi menimpamu tadi. Apa kamu baik-baik saja?” tanya Aldi lagi.
Alin
mengangguk. Mereka kembali terdiam dan hanyut dalam kebisuan.
“Ada
yang mengganggu pikiranmu?” tanya Alin setelah berhasil mengumpulkan keberanian
untuk berbicara.
Aldi
menyerngit bingung.
“Bintang
bilang kamu aneh sepulang dari pondok. Ada apa?” Dari kemarin Alin jadi
penasaran dengan apa yang Aldi pikirkan.
Aldi
terdiam cukup lama, kemudian menggeleng. “Tak ada. Lebih tepatnya tidak
penting.”
“Alin,”
panggil Vivi sambil berlari menghampiri Alin. Ia masih belum sadar kalau ada
Aldi di sebelah Alin. “Ayo kita ke lapangan. Sebentar lagi kelas kita tampil.”
Alin
mengangguk. Ia bangkit dari tempat duduknya dan pamit pada Aldi. Vivi juga
pamit. Ia sempat meminta maaf karena merasa telah mengganggu waktu mereka.
“Tak
apa,” kata Alin. “Lagipula, kami tidak membicarakan hal penting.”
“Benarkah?
Lalu, bagaimana dengan keadaanmu? Aku dengar kamu habis jatuh dari tebing,”
Vivi tampak merasa bersalah.
“Tidak
apa, aku sehat-sehat saja. Dokter bilang, aku hanya keseleo sedikit. Tidak ada
tulang yang patah, kok! Lagipula, aku ini wanita hebat yang tahan banting.”
Vivi
tertawa mendengar ocehan Alin. “Waw… Alin sekarang pandai membual. Kau lucu
sekali. Hahaha…”
Mereka
berdua terus tertawa sampai Aldi melihat mereka berdua menghilang diantara
ratusan orang yang sibuk dengan urusan mereka masing-masing.
“Ada yang mengganggu
pikiranmu?”
Pertanyaan
Alin kembali terngiang di telinganya. Ia ingin menjawab ‘Tentu’. Tapi, tidak
mungkin ia lakukan karena itu semua berkaitan dengan Alin.
~~~~~~~~
Para
peserta fashion show mulai maju satu
per satu . Cika menunggu dengan gusar di belakang panggung bersama Robby. Ia
takut saat ia berada diatas panggung, ia akan membuat kesalahan.
“Jangan
terlalu gugup! Kita harus bisa bersikap santai,” kata Robby member nasihat.
Cika
hanya menghela napas panjang. Masalahnya bukan sesepele itu. Justru Robby-lah
yang membuatnya gugup. Ia takut kalau-kalau si Vina and the genk akan berbuat
yang macam-macam nanti padanya.
“Tenang
aja,” kata Robby lagi, “mereka tak akan berbuat hal yang aneh-aneh.”
Ia
merasa agak lega mendengar kata-kata Robby. Setidaknya, ia bebas dari terror
Vina and the genk.
“Kalau
gitu, kita tampil sekarang,” seru Cika percaya diri.
Mereka
berdua berjalan ke atas panggung dengan pede. Tak peduli dengan apa yang orang
yang katakana, bagaimana pandangan orang-orang, mereka akan terus maju dengan
rasa percaya diri yang meluap-luap di dada mereka.
~~~~~~~~
“Kamu
kenal dengan Fakhri?”
Pertanyaan
Dessy membuat Aldi menoleh kaget. Kemudian, ia kembali meringkas buku-bukunya
ke dalam tas.
“Bukannya
gue tahu saat Alin kecelakaan dulu?” jawab Aldi.
“Bukan…
Bukan itu maksudku.” Dessy menggaruk-garuk kepalanya bingung. “Maksudku kenal,
lebih dari sekedar tahu,” kata Dessy berusaha menjelaskan.
“Ya,
begitulah!” jawab Aldi singkat.
“Benarkah?”
seru Dessy tak percaya. “Berarti kamu tahu kalau Alin suka Fakhri?” tanya
Dessy.
Aldi
menyerngit bingung. “Maksud loe? Gue gak ngerti!”
Sontak
Dessy menutup mulutnya cepat. Berarti, ia sudah memberitahu Aldi tentang Alin.
Ia benar-benar merasa bodoh.
“Lupakan…”
kata Dessy tiba-tiba. “Lupakan semua yang tadi telah kukatakan padamu. Oke?”
Tanpa
menunggu jawaban dari Aldi, Dessy langsung kabur entah kemana. Aldi hanya bisa
menggelengkan kepalanya melihat tingkah Dessy.
“Mana
bisa lupa, kan?”
Aldi
mengangkat tasnya ke bahu, kemudian berjalan keluar kelas menuju perpustakaan.
~~~~~~~~
Setelah
kepergian Alin dan Aldi, taman sekolah menjadi sepi. Reza dan Devi duduk
berdampingan di kursi taman. Namun, ada banyak jarak yang memisahkan mereka
berdua. Di depan mereka, berdiri Miss Erma yang menatap mereka dengan penuh
selidik seolah-olah mereka adalah sepasang pelaku pembunuhan.
“Ini
memang mendadak. Saya juga kaget. Tapi, hanya kalian berdua yang bisa saya
andalkan,” tukas Miss Erma.
Reza
terlihat ingin menolak, sedangkan Devi langsung bergidik ngeri.
“Miss,
boleh protes?” tanya Reza yang lebih mirip permintaan bunuh diri.
“Jadi,
kamu mau protes?” Miss Erma malah bertanya balik dengan nada sedikit mengancam.
Reza langsung mengurungkan niatnya.
“Baiklah,
Miss,” kata Devi membuat Reza menoleh bingung. “Kami akan melakukannya.”
Miss
Erma menatap Devi senang. Beliau langsung memeluk Devi erat.
“Thank
you, Dev! Kamu benar-benar membantu XI A. Kalau gitu, kalian latihan sekarang.
Buruan, sudah tidak ada waktu lagi.”
Devi
mengangguk patuh. Setelah Miss Erma sudah tidak terlihat, Reza langsung
menyerbu Devi dengan tatapan curiga.
“Tenang
saja,” kata Devi yang sepertinya mengerti dengan sikap anehnya itu. “Aku punya
rencana.”
~~~~~~~~
Sekolah
ini penuh dengan hiruk-pikuk siswa-siswi serta para guru. Ada juga para
pengurus sekolah lain yang turut serta dalam acara classmeeting. Semua orang mulai larut dalam musik yang menggema
seantero sekolah.
“Oke...
Ini saat yang kita nanti-nantikan!” kata sang MC semangat. “Siapa disini
fansnya REZA?” tanya sang MC.
Orang-orang,
terutama para cewek, berteriak dengan histerisnya.
“Baiklah...
Mari kita sambut peserta dari kelas XI A.”
Sambutannya
cukup meriah. Reza dan Devi naik ke atas panggung dengan wajah bangga. Entah
apa yang mereka rencanakan yang pasti itu tidak akan merugikan kelasnya.
Musik
mulai bergema menyandungkan nada-nada indah. Devi bernyanyi dengan riangnya.
Lagu yang ia bawa membuat semua orang terpana. Semua orang, tanpa terkecuali.
Musik dan suara merdunya seakan menjadi kolaborasi yang sangat sempurna. Alin
melihat Devi dengan wajah sumringah.
“Ah,
akhirnya mereka duet juga,” kata Vivi pada Alin.
Alin
mengangguk setuju. Dilihatnya ekspresi wajah Vina dan genknya yang begitu
terpukau dengan penampilan mereka. Itu membuatnya semakin terkikik. Segitu
hebatnya penampilan Devi dan Reza sampai membuat mereka terbungkam?
~~~~~~~~
“Devi,
kalian keren,” puji Rahma sambil mengancungkan dua jempolnya pada Devi dan
Reza.
“Terima
kasih, terima kasih,” kata Devi malu. Ia mengambil minumnya yang ada di dalam
tas.
“Devi...
Keren banget,” kata Alin antusias. “Apalagi, waktu lihat ekspresinya Vina dkk.
Ugh, bikin ngakak abis, deh!” cerocosnya.
“Vina?
Oya? Memangnya gimana ekspresinya?” tanya Dessy penasaran.
“Ya
begitulah. Aku tak melihatnya cukup lama. Tapi, cukup membuatku tertawa,” kata
Alin masih belum menjawab pertanyaan Dessy.
“Ayolah,
katakan! Kami penasaran,” seru Avril. Semua orang mengangguk setuju.
“Baiklah,
baiklah.” Dengan gaya soknya, Alin mulai bercerita tentang apa yang ia lihat.
“Benarkah?
Ah, sayang sekali. Aku tidak bisa melihatnya secara langsung,” kata Sasha
menyesal.
“Benarkah?”
giliran Avril yang berkata seperti itu. “Yes, akhirnya kita bisa membuat si
cocor bebek dan genknya seperti itu. Kamu hebat, Dev!” pujinya.
“Kalau
begitu, aku berhasil,” seru Devi. Kini semua mata beralih padanya. “Aku
berhasil membuatnya cemburu.”
Semua
tertawa senang. Tentu saja. Sekarang, si Vina dan genknya sudah menjadi musuh
besar kelas XI A. Bukan itu saja, bahkan anak kelas sebelas lain pun banyak
yang tidak menyukainya, walau tidak semuanya.
“Ya
ampun, kalian ini. Gak ada henti-hentinya membenci mereka,” kata Reza.
“Yee…
salah mereka sendiri. Kenapa juga mereka bikin banyak musuh di sekolah,” kata
Sasha sewot.
Semua
mengangguk setuju. Satu lawan banyak, gak mungkin menang.
“Sudahlah,”
kata Cika berusaha menenangkan teman-temannya. “Yang berlalu biarkan berlalu.
Mending kita semua ke lapangan. Sebentar lagi pengumuman lomba akan segera
diumumkan.”
Semua
bergerak menuju lapangan. Benar juga, semua orang juga sudah berjalan ke
lapangan. Namun, sebagian lagi sudah pulang. Hanya beberapa karena mereka harus
mengikuti lomba lain di luar sekolah.
“Rahma,
aku tidak lihat dia dari tadi. Kamu lihat?” bisik Devi.
Rahma
menggeleng. “Tunggu… Aku sms adikku dulu.”
Devi
menebarkan seluruh pandangannya ke seluruh sekolah mencari-cari seseorang.
Kemanakah gerangan?
~~~~~~~~
Riri
duduk di dapur sekolah. Ia butuh tempat untuk menyendiri. Kelas terlalu banyak
orang, apalagi di lapangan. Ia sempat tidak bisa konsentrasi dalam lombanya.
“Woi,
Riri,” panggil Beni membuatnya menoleh. “Yee… ngelamun aja. Buruan kumpul di
lapangan. Yang lain udah pada nunggu, tuh!”
“Duluan
aja! Aku akan menyusul nanti,” balasnya.
Beni
tidak pergi juga. Ia masih menunggu Riri disana. Riri benar-benar terganggu
dengan tingkah Beni.
“Kenapa
masih disitu?” tanya Riri dingin.
“Nungguin
elo!” jawab Beni membuat Riri salting.
“Terserah,”
kata Riri malas. Ia terus membaca buku yang ia baca sedari tadi dan
berpura-pura tidak menyadari kehadiran Beni. Namun, melihat Beni tetap
bersikeras ia benar-benar merasa terganggu. Akhirnya ia menyerah juga.
“Baiklah,”
seru Riri malas.
Ia
pun berjalan menuju lapangan dengan kesal. Saking kesalnya, tanpa sadar ia
menabrak Heri yang baru saja keluar dari kelas.
‘Bruukk’
Semua
barang yang Heri bawa terjatuh, termasuk buku gambar A3. Buku gambar itu
terbuka, memperlihatkan sebagian gambar yang ia buat. Riri baru saja ingin
mengambilnya. Namun, Heri sudah lebih dulu mengambilnya.
“Jangan
sentuh barang-barangku!” katanya dingin.
Riri
mendelik kesal. Di bantuin malah protes.
“Ya
sudah!” kata Riri tak kalah dingin.
Ia
pun segera menyusul Beni yang sudah tiba di lapangan. Tapi, ada yang mengganggu
pikirannya dengan gambar tadi.
“Bukankah
itu gambar….”
~~~~~~~~
“Dan
juara pertama lomba menyanyi adalah… XI A”
Semua
melompat kegirangan. Akhirnya, XI A memenangkan semua lomba yang mereka ikuti.
Juara 3 untuk lomba fashion show single
putra dan putri. Juara 2 untuk lomba fashion
show couple, membuat artikel, dan mading. Dan juara 1 untuk lomba membaca
puisi dan menyanyi.
“Baiklah,
kepada para pemenang di mohon untuk naik ke atas panggung,” pinta sang MC.
Riri,
Beni, Cika, Bintang, Sasha, dan Satria naik ke atas panggung. Reza pergi entah
kemana. Begitu juga dengan Devi.
“Mereka
berdua kemana, sih?” tanya Miss Erma.
Semua
menggeleng tidak tahu.
“Oke,
kalau begitu Robby kamu yang menggantikan mereka,” perintah Miss Erma.
Robby
baru saja ingin protes. Tapi, Miss Erma sudah lebih dulu menatapnya tajam. Hari
ini ia selalu saja menjadi peran pengganti.
“Kalian
ada yang melihat mereka berdua?” tanya Miss Erma.
Vivi
melirik Dessy, Dessy melirik Alin, Alin melirik Rahma. Mereka bergantian
melirik, membuat Miss Erma curiga.
“Kalian
ada yang melihat mereka berdua?” ulang Miss Erma dengan nada lebih tinggi.
Semua
langsung menggeleng takut.
“Umm…
mungkin ke toilet kali, Miss!” seru Dessy.
“Sudahlah,”
Miss Erma terlihat tidak peduli.
Alin
melirik Dessy dan Rahma dengan tampang penasaran.
“Kemana
mereka berdua di saat seperti ini? Apa mereka pergi berdua?” tanya Alin.
Sepertinya itu adalah pertanyaan yang bodoh.
“Mana
mungkin,” seru Rahma cepat. “Aku rasa itu mustahil,” tambahnya.
“Oh,
berarti kamu tahu dimana mereka?” tanya Dessy penasaran.
“Devi
iya, Reza enggak,” jawabnya.
“Lalu,
kemana mereka?” tanya Alin tak kalah penasaran.
Rahma
terdiam sambil tersenyum misterius.
“RAHASIA.”
~~~~~~~~
Akhirnya,
setelah berminggu-minggu tidak ketemu. Setelah berhari-hari tak melihatnya,
akhirnya ketemu juga.
“Bagas,
tunggu!” seru Devi.
Bagas
menoleh dan melihat Devi berlari mengejarnya.
“Ada
apa, kak?” tanya Bagas. Ia baru saja ingin keluar gerbang dan pergi
meninggalkan sekolah.
“Kamu
marah sama aku?” tanya Devi to the point.
Bagas
menggeleng cepat.
“Lalu,
kenapa kamu tidak pernah sms lagi denganku? Kenapa kamu terkesan seperti sedang
menjauhiku?” tanya Devi bertubi-tubi.
“Hanya
itu yang bisa kulakukan,” jawabnya membuat Devi menyerngit bingung. “Aku tidak
bisa terus menerus memikirkan kakak. Aku harus bisa melupakan kakak,” jelasnya.
“Kenapa?
Apa karena aku telah menolakmu? Bagaimana kalau aku tidak menolakmu?”
Dalam
hati, Devi benar-benar menyesali semua yang pernah ia ucapkan, termasuk
kata-kata yang ia katakan tadi. Bagaimana bisa ia terkesan sedang mengemis
cinta? Itu benar-benar bukan gayanya.
“Tidak,”
jawab Bagas. “Kurasa kakak sudah melakukan hal yang benar. Lebih baik kakak
menolakku daripada aku hancur lebih lama lagi.”
Devi
terlihat semakin bingung. Apa maksud pembicaraannya?
“Mulai
hari ini, aku akan pindah ke Bali,” kata Bagas yang sepertinya bisa membaca
pikiran Devi. “Ayahku pindah tugas ke Bali. Semenjak ibuku meninggal, aku hanya
tinggal bersama ayah kandungku, ibu tiriku, dan kakakku. Tak ada lagi saudaraku
disini. Jadi, aku akan ikut mereka ke Bali.”
Mereka
berdua terdiam. Tak ada satu pun yang ingin memecah kesunyian ini. Hanya ada
bunyi jantung yang berdetak seolah-olah ia akan pecah sebentar lagi.
“Benarkah?
Sejak kapan kamu tahu hal ini?” tanya Devi ingin tahu.
“Semalam.
Jadi sekarang, aku tinggal mempersiapkan diri untuk pergi,” kata Bagas sambil
memaksakan seulas senyum di bibirnya.
“Kalau
begitu, hati-hati! Semoga kamu bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik
disana,” ujar Devi.
Bagas
tertawa, sedangkan Devi menyerngit bingung.
“Kakak
ngomong seperti itu selah-olah aku akan mati sebentar lagi,” kata Bagas
menjawab kebingungan Devi.
Mereka
kembali terdiam. Untuk sesaat, ia ingin memeluk Devi satu kali saja. Tapi, itu
sama sekali tidak bisa ia lakukan.
“Kalau
begitu, aku pergi dulu. Sebentar lagi pesawatku akan berangkat.”
Matahari
siang menyinari mereka dengan gembira. Namun, suasana hati mereka tak seperti
matahari. Devi menatap kepergian Bagas dengan hati yang sesak. Bagaimana bisa
perpisahan menjadi suatu hal yang menyakitkan seperti ini?
Disisi
lain, Reza tampak sedih melihat Devi yang seperti itu.
“Bro,
loe gak mau hibur kesana buat hibur dia?” tanya Aldi yang entah sejak kapan ada
dibelakangnya.
“Gila,
loe!” kata Reza hampir berteriak. Untung saja, ia masih bisa mengendalikan
volume suaranya. “Yang ada suasana makin tambah kacau.”
Aldi
mengangguk mengerti.
“Sepertinya
kamu sangat menyukainya?” goda Aldi.
“Ukh,
mana mungkin!” seru Reza sebal sambil berlalu.
~~~~~~~~
Hari
sudah sore. Sekolah sudah sepi satu jam yang lalu. Tapi, Alin masih berada di
sekolah. Jemputannya lama sekali. Karena bosan menunggu, ia sengaja berjalan
mengelilingi sekolah. Ia melangkahkan kakinya menuju ruang musik. Entah kenapa,
kakinya selalu saja ingin melangkah ke ruang ini.
Alin
baru saja hendak pergi meninggalkan ruangan itu ketika ia mendengar ada musik
yang membuatnya mematung. Musik itu… Musik itu taka sing lagi buatnya.
Aldi
tampak serius memainkan pianonya. Jemarinya terus menari dengan indah diatas
tuts piano. Alin melangkahkan kakinya ke dalam dan langsung duduk di samping
Aldi.
“Yang
tadi itu apa?” tanya Alin penasaran.
“Tadi
itu lagu Moonlight Sonata dari Beethoven,” jawabnya sambil terus bermain piano.
“Dulu,
aku sering mendengar ibumu memainkan ini sebelum tidur. Ah, aku benar-benar
merindukan beliau,” kata Alin.
Aldi
berhenti bermain dan menoleh ke arah Alin.
“Aku
juga,” balasnya.
“Mainkan
sekali lagi,” pinta Alin.
Aldi
menuruti perintah Alin. Ia kembali memainkan lagu tadi untuk Alin. Alin tampak
menikmati permainan Aldi. Saking terbawa suasana, tanpa sadar ia tertidur dan
jatuh ke bahu Aldi. Aldi berhenti dan melihat Alin yang tertidur di bahunya.
Mungkin ia terlalu lelah. Ia meneliti wajah Alin dan tertawa.
“Kamu
lucu… Kau tahu berapa lama aku menahan perasaanku? Tak terhitung berapa lama
aku menanti dirimu. Walaupun kau ada disini, mengapa pikiranmu selalu terbang
kea lam lain? Ke alam dimana dia berada sekarang. Bisakah kamu melihat ke
arahku saja?” tanya Aldi. Ia membelai rambut Alin pelan.
“Aku
antar kamu pulang.”
Aldi
menggendong Alin. Dalam pelukannya, Alin memandang sekolah yang sudah sepi itu
sebentar, lalu ia kembali memejamkan matanya.
“Apakah
itu masalahmu, Aldi?” tanya Alin dalam hati.
Sambil
berpura-pura tidur, ia biarkan Aldi mengantarnya pulang. Yang penting, ia bisa
mengetahui satu hal. Perasaan Aldi, dan tentang masa lalu yang tak pernah ia
lupakan.
~~~~~~~~
Ini
adalah hari yang paling mendebarkan buat Riri dan semuanya. Hari pembagian
rapor sudah tiba. Semua orang tampak gelisah. Tapi, bukan itu yang menjadi
masalah Riri. Ia tak perlu khawatir dengan nilai rapornya. Ia yakin hasinya tak
akan mengecewakan. Tapi, ia khawatir tentang Ferdy. Bukankah hari ini ia akan
menjawab pernyataan Ferdi waktu itu? Atau, lebuh tepat menerima.
“Riri,
ayahmu sudah keluar,” kata Avril.
Semua
orang langsung menyerbu Ayah Riri dan Riri.
“Bagaimana?
Peringkat berapa?” tanya Cika.
“Peringkat
4,” kata Riri sedikit kecewa. Walaupun nilainya naik, tapi peringkatnya turun
dari 3 ke 4.
Cika
menepuk bahu Riri pelan.
“Yang
sabar. Tahun depan kamu pasti bisa lebih baik lagi,” hiburnya.
Riri
mengangguk mengerti. Tapi, bukan itu yang ia khawatirkan. Berkali-kali dalam
hati ia selalu memikirkan tentang Ferdy. Apa yang akan ia lakukan?
~~~~~~~~
Rapor
sudah dibagikan. Semua orang terlihat bahagia. Ada juga yang tidak hanya karena
nilai mereka atau peringkat mereka yang menurun. Sebagian lagi tidak peduli
dengan nilai rapor mereka. Bukankah libur panjang telah menanti?
“Peringkat
berapa, Vi?” tanya Alin pada Vivi.
Vivi
hanya diam, tak ingin memberitahu. Alin menatapnya dengan penuh harap. Ia
benar-benar penasaran dengan rapor teman sekelasnya.
“Kamu?”
VIvi malah bertanya balik pada Alin.
“Yee…
Aku duluan yang tanya. Kamu dulu yang jawab, baru aku jawab,” kata Alin.
“Alin
peringkat 7. Kamu peringkat berapa?” kata Bintang.
Alin
langsung mencubit Bintang karena telah memberitahu peringkatnya pada Vivi.
Padahal, ia ingin Vivi yang memberitahu peringkatnya lebih dulu.
“Bintang
gak asik, deh! Mentang-mentang kamu peringkat 2…”
“Hah?
Bintang peringkat 2? Hebat, donk!” puji Vivi.
Alin
memutar-mutar bola matanya malas.
“Jangan
dipuji, deh, Vi! Nanti dia besar kepala,” seru Alin
“Cieee…
yang iri?” goda Bintang di sambut dengan cubitan dari Alin.
“Aku
17,” bisik Vivi di telinga Alin.
“Benarkah?
Hebat, dong!”
Giliran
Alin yang memujinya.
“Huh,
apa hebatnya? Kalau aku masuk 10 besar, itu baru hebat.”
Alin
menepuk bahu Vivi pelan.
“Tak
apa. Masih ada tahun depan,” katanya. “Oya, dimana Devi dan yang lain?” tanya
Alin.
Vivi
menggeleng, sedangkan Bintang mengangkat bahunya tidak tahu. Lalu, dimana
mereka?
~~~~~~~~
Devi
sedang duduk sambil menangis. Dessy dan Rahma yang duduk disampingnya hanya bisa
menepuk-nepuk bahunya pelan.
“Sudahlah,”
kata Dessy. “Jangan ditangisi. Masih ada tahun depan, kok, untuk
memperbaikinya. Peringkat turun bukan berarti nilaimu turun, kan?”
Rahma
mengangguk setuju. Apa yang dikatakan Dessy ada benarnya.
“Tapi,
aku takut mamaku marah,” ujar Devi.
Sebenarnya,
bukan itu yang membuatnya ingin menangis hari ini. Memang ia sedih karena
peringkatnya turun. Tapi, ada yang lebih membuatnya sedih sampai ingin
menangis.
Bagas.
Bagas yang membuatnya menangis. Dia sudah pergi jauh dan tak akan kembali,
Lalu, bagaimana dengan perasaanya. Apa ia bisa melupakannya?
Disisi
lain, lagi-lagi Reza mengintipnya. Ada rasa sedih yang menyelimutinya.
“Daripada
loe ikutan sedih, gimana loe hibur dia sekarang?” usul Aldi.
Lagi-lagi
Aldi mengikutinya. Ia bingung mengapa Aldi terus mengikutinya.
“Dari
kemarin loe ngikutin gue terus, ya? Kenapa loe gak ada bosan-bosannya?” tanya
Reza sebal.
Aldi
hanya mengangkat bahunya.
“Kenapa
loe gak urus Alin aja? Bukannya loe suka dia?” tanya Reza.
“Iya,
aku suka dia. Tapi, ini belum saatnya. Suatu hari nanti, dia pasti jadi
milikku,” jawab Aldi pasti. “Kalo loe?” tanya Aldi balik.
Reza
terdiam. “Mungkin, gue gak bakal pernah bilang. Kami gak mungkin bisa menyatu.
Tapi, perasaan ini biar gue simpan sendiri,” jawab Reza.
Ia
kembali melihat Devi. Dalam hati ia berharap, semoga Devi bisa menemukan
kebahagiaannya sendiri.
~~~~~~~~
Ferdi
dan Riri duduk saling berhadapan di meja dapur sekolah. Ferdi sudah memasakkan
beberapa makanan untuk Riri. Hari ini hari special untuknya. Jadi, ia harus
bisa mempersiapkan segalanya.
“Lalu,
bagaimana menurutmu?” tanya Ferdi memecah kesunyian.
Riri
tersentak kaget, dan mendongak.
“Oh,
enak,” jawabnya. Ia tahu bukan itu yang Ferdi harapkan dari jawabannya.
“Bukan
itu. Tapi, tentang pernyataanku waktu itu. Bagaimana?” tanya Ferdi.
Riri
terdiam cukup lama. Ia harus bisa memikirkan segala resiko yang akan ia dapat
setelahnya. Setelah dipikir matang-matang, ia menjawabnya.
“Baiklah,”
kata Riri. “Aku akan menjawabnya. Tapi,
jangan kecewa,” kata Riri.
Ferdi
mendengar dengan seksama. Dalam hati ia berharap, semoga yang Riri katakan
tidak membuatnya kecewa.
~~~~~~~~