THIS IS MY HEART FEELING (31)
Seperti
biasa, Riri datang ke dapur sekolah. Kali ini untuk memberikan jawaban kepada
Ferdi atas pernyataan cintanya dulu. Ferdi sudah menunggu disana, tak sabar
menanti jawaban Riri. Walaupun Riri pernah berjanji supaya mereka pacaran
setelah kenaikan kelas 3, tapi ia tidak begitu yakin.
Betapa
senangnya ia ketika melihat Riri datang.
“Baiklah, aku
akan mengatakannya. Tapi, jangan kecewa,” ujarnya.
Ferdi
mengangguk. Dalam hati ia sudah berpikir tentang kemungkinan penolakan yang
akan terjadi.
“Mmm...
Bagiku, ini terlalu cepat. Maksudku, bagaimana kita berteman lebih dulu. Aku
tidak ingin ada penyesalan. Lagipula, di kelas 3 ini, aku akan fokus dengan UN
dan PTN. Saat itu, mungkin aku tidak akan sempat untuk bermain-main, dan...”
“Baiklah,”
potong Ferdi cepat. “Aku mengerti,” katanya sambil tersenyum membuat Riri tak
mampu berkata-kata lagi. “Aku juga berpikir seperti itu. Tapi, aku tidak akan
menyerah, loh!!!”
Riri tertawa
kecil. “Baiklah, tunjukkan padaku seberapa besar usahamu.”
~~~~~~~~
“Loe dapat peringkat berapa?” tanya Aldi pada
Reza.
Reza menoleh sebentar, lalu kembali menatap
rapornya.
“Gak sehebat loe! Tapi, setidaknya gue dapat
20 besar dari 34 murid di kelas kita,” jawabnya.
“Yakin?” tanya Aldi ragu.
“Ya iyalah. Masa gue bohong,” serunya sebal.
“Bukan soal peringkat,” jelas Aldi,”tapi soal
Devi.”
“Devi?” tanya Reza bingung.
“Gak nyesel?”
Reza mendengus seraya berkata dengan sebal,
“Ya enggaklah! Buat apa gue menyesal untuk orang kayak dia. Mending loe urus
diri loe sendiri. Btw, loe udah bilang ke Alin soal itu?”
Aldi menatap lurus tanaman yang ada di
depannya sambil mengangkat bahu.
“Entahlah... Gue sendiri gak yakin. Mungkin,
ini sesuatu yang gak penting.”
“Yakin?” tanya Reza seolah membeo pertanyaan
Aldi tadi. “Gak nyesel?” sambungnya. “Lebih baik loe jujur ama perasaan loe
sendiri,” ujar Reza sambil menepuk-nepuk bahu Aldi pelan.
“Simpan aja kata-kata loe itu buat loe
sendiri.”
Aldi beranjak pergi dari sana meninggalkan
Reza yang terkekeh.
~~~~~~~~
Terik matahari di siang bolong membuat Devi
panas. Bukan hanya membuat dirinya yang panas, tapi hatinya ikutan memanas
membuatnya ingin cepat-cepat sampai di rumah, lalu berendam dengan di dalam es
untuk mendinginkannya.
Lagi-lagi si KURUS itu bertingkah lagi,
membuat kepalanya mendidih.
“Arrrgghhh.... Sudahlah, lupakan. Semakin
diingat, semakin bikin panas,” serunya sebal.
“Devi, tunggu!”
Dessy berlari mengejar Devi sebelum ia sempat
pergi dengan motornya.
“Ada apa, Des?”
“Ini,” Dessy memberikannya surat.
“Dari siapa?” tanya Devi penasaran.
“Reza,” serunya penuh semangat.
Devi jadi kehilangan rasa penasarannya dan
beranjak pergi.
“Buang aja!”
“Serius? Gak mau baca isinya?” tanya Dessy
membangkitkan rasa penasaran Devi lagi.
“Yakin.”
“Beneran mau dibuang? Gak nyesel?” tanya
Dessy lagi.
“Sebenarnya itu surat dari siapa, sih?” tanya
Devi kesal.
“Baca aja sendiri,” seru Dessy sambil
meletakkan surat itu di tangan Devi, lalu pergi dari tempat itu.
Dengan malas Devi membuka surat itu dan
membacanya.
Tuhan,
jika kami diperkenankan untuk bertemu kembali... Semoga tak ada perpisahan yang
menyedihkan lagi. Tapi, jika tidak, buatlah kisah hidup kami masing-masing
menjadi indah. Sesungguhnya hanya Engkau yang mengetahui garis-garis hidup
kami.
Devi langsung meremas kertas itu dan
membuangnya ke sembarang tempat. Ketika ia baru saja ingin melajukan motorya,
sebuah sms dari Alin mengagetkannya.
From : Alinda J
To
: Devi
Suratnya kenapa dibuang? Itu dari Bagas,
loh????
Hahahaha J
“Sial!” umpat Devi.
~~~~~~~~
“Riri, dari tadi kamu kemana aja?” tanya
Rahma.
Riri hanya menggeleng tanpa melepaskan
pandangannya dari jalan. Ia tidak ingin ada orang yang tahu pembicaraanya
dengan Ferdi tadi.
“Sudah sampai,” seru Riri saat mereka sudah
sampai di depan rumah Rahma.
Rahma turun dari motor Riri dan berjalan
masuk ke rumahnya. Namun, ia berhenti di depan pintu saat melihat ada sebuah
bingikisan besar menghalangi pintu rumahnya.
“Itu apa?” tanya Riri pada Rahma.
“Entahlah. Mungkin punya orangtuaku...” Rahma
berhenti sebentar. Memastikan tulisan yang ada disitu benar. “Untukku?”
gumamnya tak percaya.
Riri mematikan mesin motornya dan turun untuk
menghampiri Rahma. Ketika dibuka, ternyata itu adalah lukisan yang
menggambarkan Rahma.
“Ini...”
“Kenapa?” tanya Rahma penasaran.
“Oh, tidak! Umm... Sepertinya, aku harus
pulang sekarang. Bye...”
Riri langsung pergi meninggalkan Rahma. Ia
tahu lukisan itu. Lukisan yang mirip ia lihat waktu itu. Itu adalah lukisan
yang dibuat Heri untuk Rahma. Dan ia pun tahu, ternyata, selama ini Heri menyukai
Rahma.
~~~~~~~~
Alin memandangi bintang-bintang dari beranda
kamarnya dengan sedih. Entah mengapa ia selalu teringat Fakhri saat melihat
satu per satu bintang muncul lalu menghilang. Walau kejadian waktu itu menjadi
beban pikirannya. Fakhri memang sudah lama meninggal, tapi tetap saja ia merasa
kalau Fakhri masih ada dalam hidupnya.
“Sedang apa?” tanya Aldi yang entah sejak
kapan sudah berada di dalam kamarnya.
Alin yang tersentak kaget, namun sama sekali
tidak menoleh ke arah Aldi. Ia hanya tetap memandangi bintang tanpa ingin
menghiraukan Aldi. Ia sedang tidak berminat meladeni Aldi.
“Kamu teringat Fakhri?” tanya Aldi sambil
berdiri disamping Alin ikut memandangi bintang.
“Nggak!” elaknya. Memang benar ia sedang
memikirkan Fakhri, tapi tidak sepenuhnya benar. Sebenarnya, ia juga sedang
memikirkan hal lain. Dan itu lebih mengganggu pikirannya dibandingkan
memikirkan Fakhri.
Beberapa saat mereka berdua hanya larut dalam
diam. Hanya suara jangkrik yang menemani mereka.
“Anu...” kata mereka bersamaan.
“Duluan, deh!” kata Alin.
“Umm... Aku hanya ingin bilang kalau lusa
nanti aku akan pergi ke London,” ujarnya.
“London?” seru Alin tanpa menoleh sama
sekali.
“Ya. Mulai kelas 3 sampai kuliah aku akan
berada disana. Itu... sudah lama kunantikan,” jelasnya.
“Sudah lama?” tanya Alin seolah tak percaya. “Begitu.”
“Yah... mungkin kita nanti akan jarang
bertemu. Tapi... Aku akan berusaha menelponmu untuk memberi kabarku disana,”
katanya Aldi sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia sedikit
malu, tapi ia mencoba untuk memberanikan diri untuk mengatakannya.
“Oh!”
Hanya itu yang bisa Alin katakan. Itu tidak
tahu harus berkata apa lagi.
“Tadi, kamu mau bilang apa?” tanya Aldi.
Sebenarnya ia sedikit kesal dengan jawaban Alin. Reaksinya terlalu dingin.
Tapi, mungkin ia harus lebih bersabar lagi. Ia tahu ada banyak yang Alin
pikirkan.
“Tak ada. Umm... sebenarnya tadi aku hanya
ingin bertanya mengapa kamu datang kesini. Itu saja...” ujar Alin.
“Oh...” seru Aldi kecewa. “Kalau begitu, aku
balik dulu.” Aldi pun berjalan keluar dari kamar Alin.
Kamar terasa sangat sepi saat Aldi pergi.
Alin langsung terduduk begitu Aldi keluar dari kamarnya. Sebenarnya, ada
sesuatu yang ingin ia katakan. Tetapi, begitu mendengar Aldi akan pergi jauh,
itu menghentikan niatnya.
Dan kini ia tidak bisa menahannya lagi.
Sesuatu yang dari tadi ditahannya kini memberontak dan mulai menyeruak keluar.
Ia tidak bisa menahannya lagi. Membiarkan air mata itu mengalir berharap bisa
mengurangi semua beban dihati dan pikirannya.
~~~~~~~~