Senin, 22 Juli 2013

GUARDIAN ANGEL (31)


THIS IS MY HEART FEELING (31)  


­Seperti biasa, Riri datang ke dapur sekolah. Kali ini untuk memberikan jawaban kepada Ferdi atas pernyataan cintanya dulu. Ferdi sudah menunggu disana, tak sabar menanti jawaban Riri. Walaupun Riri pernah berjanji supaya mereka pacaran setelah kenaikan kelas 3, tapi ia tidak begitu yakin.
Betapa senangnya ia ketika melihat Riri datang.
“Baiklah, aku akan mengatakannya. Tapi, jangan kecewa,” ujarnya.
Ferdi mengangguk. Dalam hati ia sudah berpikir tentang kemungkinan penolakan yang akan terjadi.
“Mmm... Bagiku, ini terlalu cepat. Maksudku, bagaimana kita berteman lebih dulu. Aku tidak ingin ada penyesalan. Lagipula, di kelas 3 ini, aku akan fokus dengan UN dan PTN. Saat itu, mungkin aku tidak akan sempat untuk bermain-main, dan...”
“Baiklah,” potong Ferdi cepat. “Aku mengerti,” katanya sambil tersenyum membuat Riri tak mampu berkata-kata lagi. “Aku juga berpikir seperti itu. Tapi, aku tidak akan menyerah, loh!!!”
Riri tertawa kecil. “Baiklah, tunjukkan padaku seberapa besar usahamu.”

~~~~~~~~
“Loe dapat peringkat berapa?” tanya Aldi pada Reza.
Reza menoleh sebentar, lalu kembali menatap rapornya.
“Gak sehebat loe! Tapi, setidaknya gue dapat 20 besar dari 34 murid di kelas kita,” jawabnya.
“Yakin?” tanya Aldi ragu.
“Ya iyalah. Masa gue bohong,” serunya sebal.
“Bukan soal peringkat,” jelas Aldi,”tapi soal Devi.”
“Devi?” tanya Reza bingung.
“Gak nyesel?”
Reza mendengus seraya berkata dengan sebal, “Ya enggaklah! Buat apa gue menyesal untuk orang kayak dia. Mending loe urus diri loe sendiri. Btw, loe udah bilang ke Alin soal itu?”
Aldi menatap lurus tanaman yang ada di depannya sambil mengangkat bahu.
“Entahlah... Gue sendiri gak yakin. Mungkin, ini sesuatu yang gak penting.”
“Yakin?” tanya Reza seolah membeo pertanyaan Aldi tadi. “Gak nyesel?” sambungnya. “Lebih baik loe jujur ama perasaan loe sendiri,” ujar Reza sambil menepuk-nepuk bahu Aldi pelan.
 “Simpan aja kata-kata loe itu buat loe sendiri.”
Aldi beranjak pergi dari sana meninggalkan Reza yang terkekeh.

~~~~~~~~
Terik matahari di siang bolong membuat Devi panas. Bukan hanya membuat dirinya yang panas, tapi hatinya ikutan memanas membuatnya ingin cepat-cepat sampai di rumah, lalu berendam dengan di dalam es untuk mendinginkannya.
Lagi-lagi si KURUS itu bertingkah lagi, membuat kepalanya mendidih.
“Arrrgghhh.... Sudahlah, lupakan. Semakin diingat, semakin bikin panas,” serunya sebal.
“Devi, tunggu!”
Dessy berlari mengejar Devi sebelum ia sempat pergi dengan motornya.
“Ada apa, Des?”
“Ini,” Dessy memberikannya surat.
“Dari siapa?” tanya Devi penasaran.
“Reza,” serunya penuh semangat.
Devi jadi kehilangan rasa penasarannya dan beranjak pergi.
“Buang aja!”
“Serius? Gak mau baca isinya?” tanya Dessy membangkitkan rasa penasaran Devi lagi.
“Yakin.”
“Beneran mau dibuang? Gak nyesel?” tanya Dessy lagi.
“Sebenarnya itu surat dari siapa, sih?” tanya Devi kesal.
“Baca aja sendiri,” seru Dessy sambil meletakkan surat itu di tangan Devi, lalu pergi dari tempat itu.
Dengan malas Devi membuka surat itu dan membacanya.

Tuhan, jika kami diperkenankan untuk bertemu kembali... Semoga tak ada perpisahan yang menyedihkan lagi. Tapi, jika tidak, buatlah kisah hidup kami masing-masing menjadi indah. Sesungguhnya hanya Engkau yang mengetahui garis-garis hidup kami.

Devi langsung meremas kertas itu dan membuangnya ke sembarang tempat. Ketika ia baru saja ingin melajukan motorya, sebuah sms dari Alin mengagetkannya.

From : Alinda J
To     : Devi

Suratnya kenapa dibuang? Itu dari Bagas, loh????
Hahahaha J

“Sial!” umpat Devi.

~~~~~~~~
“Riri, dari tadi kamu kemana aja?” tanya Rahma.
Riri hanya menggeleng tanpa melepaskan pandangannya dari jalan. Ia tidak ingin ada orang yang tahu pembicaraanya dengan Ferdi tadi.
“Sudah sampai,” seru Riri saat mereka sudah sampai di depan rumah Rahma.
Rahma turun dari motor Riri dan berjalan masuk ke rumahnya. Namun, ia berhenti di depan pintu saat melihat ada sebuah bingikisan besar menghalangi pintu rumahnya.
“Itu apa?” tanya Riri pada Rahma.
“Entahlah. Mungkin punya orangtuaku...” Rahma berhenti sebentar. Memastikan tulisan yang ada disitu benar. “Untukku?” gumamnya tak percaya.
Riri mematikan mesin motornya dan turun untuk menghampiri Rahma. Ketika dibuka, ternyata itu adalah lukisan yang menggambarkan Rahma.
“Ini...”
“Kenapa?” tanya Rahma penasaran.
“Oh, tidak! Umm... Sepertinya, aku harus pulang sekarang. Bye...”
Riri langsung pergi meninggalkan Rahma. Ia tahu lukisan itu. Lukisan yang mirip ia lihat waktu itu. Itu adalah lukisan yang dibuat Heri untuk Rahma. Dan ia pun tahu, ternyata, selama ini Heri menyukai Rahma.

~~~~~~~~
Alin memandangi bintang-bintang dari beranda kamarnya dengan sedih. Entah mengapa ia selalu teringat Fakhri saat melihat satu per satu bintang muncul lalu menghilang. Walau kejadian waktu itu menjadi beban pikirannya. Fakhri memang sudah lama meninggal, tapi tetap saja ia merasa kalau Fakhri masih ada dalam hidupnya.
“Sedang apa?” tanya Aldi yang entah sejak kapan sudah berada di dalam kamarnya.
Alin yang tersentak kaget, namun sama sekali tidak menoleh ke arah Aldi. Ia hanya tetap memandangi bintang tanpa ingin menghiraukan Aldi. Ia sedang tidak berminat meladeni Aldi.
“Kamu teringat Fakhri?” tanya Aldi sambil berdiri disamping Alin ikut memandangi bintang.
“Nggak!” elaknya. Memang benar ia sedang memikirkan Fakhri, tapi tidak sepenuhnya benar. Sebenarnya, ia juga sedang memikirkan hal lain. Dan itu lebih mengganggu pikirannya dibandingkan memikirkan Fakhri.
Beberapa saat mereka berdua hanya larut dalam diam. Hanya suara jangkrik yang menemani mereka.
“Anu...” kata mereka bersamaan.
“Duluan, deh!” kata Alin.
“Umm... Aku hanya ingin bilang kalau lusa nanti aku akan pergi ke London,” ujarnya.
“London?” seru Alin tanpa menoleh sama sekali.
“Ya. Mulai kelas 3 sampai kuliah aku akan berada disana. Itu... sudah lama kunantikan,” jelasnya.
“Sudah lama?” tanya Alin seolah tak percaya. “Begitu.”
“Yah... mungkin kita nanti akan jarang bertemu. Tapi... Aku akan berusaha menelponmu untuk memberi kabarku disana,” katanya Aldi sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia sedikit malu, tapi ia mencoba untuk memberanikan diri untuk mengatakannya.
“Oh!”
Hanya itu yang bisa Alin katakan. Itu tidak tahu harus berkata apa lagi.
“Tadi, kamu mau bilang apa?” tanya Aldi. Sebenarnya ia sedikit kesal dengan jawaban Alin. Reaksinya terlalu dingin. Tapi, mungkin ia harus lebih bersabar lagi. Ia tahu ada banyak yang Alin pikirkan.
“Tak ada. Umm... sebenarnya tadi aku hanya ingin bertanya mengapa kamu datang kesini. Itu saja...” ujar Alin.
“Oh...” seru Aldi kecewa. “Kalau begitu, aku balik dulu.” Aldi pun berjalan keluar dari kamar Alin.
Kamar terasa sangat sepi saat Aldi pergi. Alin langsung terduduk begitu Aldi keluar dari kamarnya. Sebenarnya, ada sesuatu yang ingin ia katakan. Tetapi, begitu mendengar Aldi akan pergi jauh, itu menghentikan niatnya.
Dan kini ia tidak bisa menahannya lagi. Sesuatu yang dari tadi ditahannya kini memberontak dan mulai menyeruak keluar. Ia tidak bisa menahannya lagi. Membiarkan air mata itu mengalir berharap bisa mengurangi semua beban dihati dan pikirannya.

~~~~~~~~