Sabtu, 02 Februari 2013

GUARDIAN ANGEL (28)

(>͡ .̮ Ơ̴͡ THз RεAℓ GüRDIAN ANGξʟ (28)

“Oke. Aku kesana lima menit lagi. Bersabarlah,” seru Bintang. Ia menutup teleponnya dan segera melajukan motornya ke rumah Alin dengan kecepatan tinggi.
Sesampainya dirumah Alin, tanpa ba-bi-bu, ia langsung menerobos masuk ke kamar Alin dan melihat Alin sedang meringkuk di sudut kamarnya sambil menangis. Begitu menyadari kedatangan Bintang, Alin bangkit dan berjalan ke arah Bintang. Tapi, tubuhnya sangat lemas, sehingga ia jatuh. Untungnya, Bintang dengan sigap berlari menolong Alin. Ia sedari tadi merasa khawatir ketika mendengar Alin menangis di telepon. Dan dengan cepat, ia kesini untuk melihatnya. Ternyata…
“Ada apa, Din? Kenapa kamu jadi seperti ini?” tanya Bintang sambil menuntun Alin duduk di ranjang.
“Arlina… hiks… Arlina…” Alin terus menangis di bahu Bintang.
“Ka, kamu sudah ingat?” tanya Bintang. Bisa Alin rasakan kalau tubuh Bintang tiba-tiba menegang.
Alin mengangguk. “Dan aku juga ingat semuanya, termasuk kecelakaan itu”. Dan Alin pun mulai bercerita.

~~~~~~~~
Hari itu, tiba-tiba ia demam tinggi. Padahal, ia berniat untuk datang kerumah Didi, karena keesokan harinya ia sudah pulang ke Palembang. Makanya, ia ngotot untuk datang kerumah Didi.
“Tapi, kamu masih sakit, sayang!” kata mamanya lembut
Alin tetap bersih kukuh untuk tetap pergi. Melihat itu, Arlina, saudara kembarnya, akhirnya turun tangan.
“Bagaimana kalau Arli saja yang pergi. Alin tinggal menulis surat saja, lalu Arli kesana untuk memberi dia surat,” usul Arli.
Awalnya ia tidak setuju. Tapi, karena mamanya juga sudah memaksa, akhirnya ia menyetujuinya. Dan akhirnya, ia pun menulis surat.
“Ini, jangan lupa berikan juga padanya.” Alin memberikannya sebuah kelereng berwarna biru.
Arli agak terkejut melihatnya. Ia tahu itu adalah kelereng kesukaannya. Tapi, mengapa ia berikan pada orang lain?
“Karena dia adalah salah satu orang yang penting dalam hidupku. Jadi, aku ingin memberikannya ini,” kata Alin yang sepertinya bisa membaca pikiran Arli.
“Baiklah.” Arli pergi kerumah Aldi, sedangkan Alin berbaring di ranjangnya. Tak lama, kedua orangtuanya pamit pergi sebentar. Tapi, itu kesempatan bagus buatnya. Dengan begitu, ia gunakan untuk pergi kerumah Aldi untuk melihatnya yang terakhir kalinya. Dan ia pun pergi tanpa pamit.
Dari awal, ia merasa aneh. Hatinya terus berdetak tak karuan. Deg-degan, khawatir. Ditambah lagi, saat ia melihat rumah Aldi yang dikerumuni banyak orang dan polisi-polisi.
Diantara kerumunan itu, ia melihat Aldi bersama laki-laki separuh baya yang ia duga itu ayahnya pergi meninggalkan rumah itu. Ia juga bisa melihat Arli, dengan langkah kecilnya berlari mengejar Aldi dan ayahnya yang sudah berjalan jauh. Ia pun mengikutinya dari belakang secara diam-diam.
“Didi,” panggil Arli. Tapi, sama sekali tak dihiraukannya. Berulang kali Arli memanggilnya, tetapi Didi sama sekali tidak menoleh.
Setelah beberapa kali memanggil, Didi tidak juga menoleh. Arli berhenti sebentar untuk mengatur nafasnya. Dan disaat itulah Didi menoleh dan ia berteriak dengan keras.
“Iin… AWAS!!!”teriak Aldi dari pinggir jalan.
Dan itu adalah pemandangan terburuk bagi Alin. Ia sangat shock. Saking shocknya, ia tak tahu lagi apa yang terjadi setelah itu.

~~~~~~~~
Alin tampak nyaman bersandar dibahu Bintang sambil menikmati langit malam.
“Lin, aku rasa Aldi bukanlah penyebab meninggalnya Arli. Mungkin, itu hanya kebetulan. Lagipula, itu sudah waktunya Arli kembali kepada Sang Pencipta,” ujar Bintang sambil mengelus kepala Alin pelan.
“Umm… Btw, thank’s, yah, udah mau datang dan temenin aku disini. Aku jadi gak enak, nih, sama kamu…” kata Alin malu-malu.
“Nyantai aja, kali. Apa pun akan kulakukan untuk Dinda,” kata Bintang jujur.
‘Bluussh’ wajah Alin langsung berubah merah mendengar kata-kata Bintang.
“Bintang, boleh aku tanya sesuatu?” tanya Alin.
“Apa?”
“Kamu masih ada perasaan denganku?” tanya Alin sungguh.
Bintang terdiam sambil memandang wajah Alin lekat.
“YA…”
Aldi menutup kembali pintu kamar Alin. Ia mengurungkan niatnya untuk melihat Alin. Mendengar jawaban Bintang tadi membuatnya seakan kehilangan harapan. Dan ia tahu, tak ada lagi kesempatan untuknya.

~~~~~~~~
Pagi hari disekolah, saat hujan tampak setia membasahi tanah, Cika tampak bengong dibangkunya sambil memandang ponselnya lama. Di bangku lain, kebalikan dari Cika, Devi dengan senyuman yang menghiasi bibirnya kelihatan begitu bahagia sekali. Pandangannya tak lepas dari kalung berbandul huruf ‘D’ yang sedang ia kenakan. Di sisi lain, Rahma dan Dessy dibuat bingung dengan sikap kedua teman mereka. Di pagi Senin yang hujan, ada dua perasaan bersatu di dalam kelas.
“Cik, kamu kenapa? Kok murung?” tanya Dessy saat ia duduk dibangkunya.
Cika menggeleng lemah. “Gak pa-pa! Lagi gak mood aja,” jawab Cika.
“Udah, deh! Lupakan Reihan. Cari yang baru. Masih banyak kali cowok yang lebih bagus dari dia,” kata Rahma tiba-tiba.
Dessy mengangguk setuju. “Bener banget, tuh! Coba Cika senyum kayak Devi tuh. Lihat, roh apa, ya, kira-kira yang telah merasukinya?”
“Umm… Sepertinya ‘ROH CINTA’. Lihat, tuh… Dari tadi gak bisa berhenti senyum,” sambung Vivi yang entah sejak kapan ikut nimbrung.
“Hah? CINTA? Serius?” tanya Rahma antara percaya dan tidak. Karena penasaran, langsung saja ia tarik Devi duduk di depan bangku Dessy, alias bangku Alin. “Ayo… kayaknya, ada yang baru ketimpa ‘LOVE’, nih? Ceritain, dong!”
“Iya, nih! Eh, coba lihat kalungnya, tuh! Kayaknya baru habis dikasih special someone. Ciyeeee….” Goda Vivi.
“Apaan, sih! Nggak ah. Ini dikasih orang kemarin,” kata Devi.
“Ciyeee… berarti, masih baru, tuh! Kira-kira dikasih siapa, ya?” Cika tampak berpikir.
“Ah… jangan-jangan…. Bagas, ya?” tebak Dessy.
Wajah Devi langsung berubah merah. Senyum di bibirnya pun sudah jadi permanen, sama sekali tidak bisa dihilangkan.
“Ciyeee… berarti, benar, dong! Kalian berdua…” Rahma sama sekali tidak bisa melanjutkan kata-katanya.
“Eng, enggak, kok! Kami sama sekali gak jadian. Emang sih, kemarin dia nembak aku. Tapi… aku tolak.”
“HAH??? DITOLAK??? KOK BISA???” teriak mereka berbarengan. Bahkan, Devi sampai harus memberi tanda jangan berisik karena semua orang yang ada di dalam kelas, bahkan di luar kelas,  memandang mereka aneh.
“Aduh… kalian berempat berisik amat, sih! Malu tau kalau sampai orang lain dengar,” ujar Devi pelan.
“Terus, kenapa ditolak?” tanya Vivi penasaran.
“Umm… aku cuma pengen berteman aja. Lagipula, aku belum siap berpacaran seperti orang lain lakukan.”
“Yaa… Gak seru, dong! Padahal, kalau kalian jadian, aku tadi mau minta PJ-PJnya,” seru Rahma kecewa.
Devi hanya tertawa saja mendengar seruan Rahma itu. Tak lama, bel masuk berbunyi. Anehnya, Alin hari ini absen. Bahkan, Aldi dan Bintang juga ikutan absen.
“Mereka kemana?” tanya Devi pada Reza.
“Sakit. Lagi musim sakit, kali. Mereka bertiga aja masuknya kompakan. Alasannya sama-sama sakit pula,” jawab Reza.
Devi mengangguk-angguk mengerti. Ia menoleh ke arah Dessy.
“Jangan khawatir! Mereka beneran sakit, kok!” kata Devi pelan.
Dessy hanya mencibir sebal.

~~~~~~~~
Matahari sudah beranjak setinggi awan. Radiasi sinarnya seolah membakar kulit yang kering dan rapuh. Alin masih menikmati tidurnya. Hari ini ia malas sekali untuk sekolah. Makanya, ia sengaja menyuruh pembantunya untuk menelpon sekolah bahwa ia sakit. Tapi, ia juga tidak tahu kalau Bintang ternyata ikut-ikutan gak masuk.
“Alin, bangun. Udah siang,” seru Bintang sambil mengguncang-guncang bahu Alin.
Alin hanya bergumam tidak jelas, tapi sama sekali tidak berniat untuk bangun.
“Ya udah. 1 jam lagi aku akan balik. Tapi, kali ini kamu harus bangun,” kata Bintang dengan sedikit ancaman.
Alin hanya mengangguk tidak jelas, lalu kembali terlelap. Bintang keluar dari kamar Alin diam-diam. Ia berjalan menghampiri seseorang yang sedang menunggu di ruang tamu.
“Kenapa kesini?” tanya Bintang dingin.
Aldi menoleh, “Maaf. Tapi, apa Alin sudah bangun?”
Bintang menggeleng. “Belum. Ada perlu apa?”
“Aku ingin bicara dengan Alin. Ini penting.”
Bintang menatap Aldi dengan pandangan menyelidik. Sepertinya ia tahu apa yang ingin Aldi bicarakan hanya dengan melihat gerak-geriknya.
“Kalau begitu, bicaralah padaku. Aku juga ada sesuatu yang ingin kubicarakan padamu. Dan kurasa, apa yang ingin kita bicarakan sama.”
Awalnya, Aldi tampak ragu. Tapi, akhirnya ia memutuskan untuk berbicara dengan Bintang.
“Apa yang ingin kamu bicarakan?” tanya Bintang penuh selidik.
“Kamu pasti sudah mendengar semuanya dari Alin. Tapi, percayalah, itu semua tidak seperti itu. Aku… Sungguh, aku tidak tahu kalau ada kembaran Alin yang datang menyusul. Dan aku…”
‘Buukkk’ Bintang memukul Aldi hingga jatuh tersungkur. Ia berjalan maju, lalu menarik baju Aldi untuk menyuruhnya bangkit.
“Tahukah kamu? Sudah lama aku ingin melakukan ini padamu. Dan baru sekarang aku bisa melakukannya…” kata Bintang garang.
Aldi mendesis sambil mengusap mulutnya yang berdarah. “Cih, ternyata, segitu bencinya kamu padaku sehingga kamu melakukan ini padaku.”
“Iya. Gara-gara kamu, ia jadi kehilangan ingatannya. Dan gara-gara kamu, dia jadi kehilangan saudara kembarnya yang paling ia sayangi. Kau tahu, betapa menderitanya dia? Dan sekarang, kamu datang, mengembalikannya pada mimpi buruk yang selama ini ingin ia buang jauh…”
“Makanya, aku ingin bicara padanya untuk memperbaiki semuanya,” seru Aldi tak mau kalah.
“Apa? Memperbaiki? Justru kamu malah merusak semuanya.” Bintang melepas cengkramannya, lalu mendorong tubuh Aldi kuat. “Huh, kurasa aku bisa berlaku lebih keras dari ini. Ternyata, aku masih sangat lemah.” “Ini,” Bintang merogoh saku belakangnya. Ia memberikan Aldi sebuah amplop usang dan sebuah kelereng warna biru.
“Apa ini?” Aldi menyerngit bingung.
“Surat… Dan jimat keberuntungan. Jaga itu semua baik-baik. Aku beritahu padamu, kelereng itu adalah harta yang paling berharga bagi Dinda. Jadi, jaga semua itu dengan baik,” pesan Bintang sambil berlalu.
Aldi masih terpaku sambil memandang benda-benda yang baru saja Bintang berikan padanya. ‘Harta yang paling berharga’ itu sekarang ada ditangannya. Sekarang ia hanya perlu waktu untuk mencerna kata-kata yang Bintang maksud.

~~~~~~~~
“Cika, tunggu!” seru Riri dengan nafas tersengal-sengal. Saat ia melihat Cika keluar dari UKS, dari ruang kelas XI A yang letaknya jauh berseberangan dengan ruang UKS, ia berlari untuk mengejar Cika.
“Ada apa?” tanya Cika bingung.
“Kamu sama Reihan disuruh Miss Erma buat ikut lomba fashion show couple version. Sekarang juga kamu di tunggu beliau di kantor,” ujar Riri.
Cika terkejut. “HAH??? Bareng Reihan? Yang bener aja. Ogah, ah!”
“Jadi, kamu mau menolaknya?” tanya Riri dengan nada ragu.
“IYA.”
“Serius? Kamu tahu sendirikan Miss Erma itu orangnya kayak gimana. Kamu mau nilai sikapmu untuk mapel beliau jadi ‘K’?” tanya Riri lagi.
Cika langsung menggeleng cepat. Jadi, mau tidak mau, ia terpaksa harus lomba itu. Ia pun berjalan ke kantor guru dengan wajah cemberut.
Kenapa harus Reihan, sih?, batinnya kesal.

~~~~~~~~
Sekolah sudah mulai sepi. Tapi, di kelas XI A masih ada  beberapa murid yang sibuk untuk membahas classmeeting minggu ini. Ada Cika, Reihan, Satria, Riri, Devi, Dessy, Reza, dan Beni.
“Oke, Miss langsung to the point aja, ya!” kata Miss Erma.
Semua orang diam membisu. Semua orang yang ada di dalam kelas adalah orang yang akan ikut berpartisipasi dalam classmeeting.
“Cika dan Reihan ikut fashion show couple version, Riri dan Beni fashion show single version, Satria ikut membaca puisi, dan yang terakhir, Devi, Dessy, Alin, Aldi, Bintang, dan Reza ikut membuat artikel. Any question?” seru Miss.
“Umm… Miss,” Devi mengangkat tangannya. Miss Erma mempersilahkan Devi untuk bertanya. “Miss, bisa nggak kalau Reza diganti sama Satria? Satria kan lebih bagus,” seru Devi.
I’m sorry, Devi. But, Satria must to join reading poem,” jawab Miss Erma.
“Kalau begitu, diganti sama Beni aja, Miss,” seru Devi tak menyerah.
No, no, no. Reza’ body so slimmy. He is like a bone. That’s not good to join fashion show competition.”
Lagi-lagi Miss Erma mempertahankan Reza. Tapi, Devi masih punya 1 usulan.
“Kalau Rahmat?”
“Tidak bisa, Devi. Rahmat, Sasha, Putra, dan Rina ikut lomba membuat mading. Sudahlah, pokoknya kelompok kalian itu kalian berenam, seperti yang Miss sebutkan tadi. Gak usah banyak protes. Miss sudah memperkirakan semua yang terbaik untuk XI A ini. So, don’t protest again.”
Devi menghentakkan kakinya kesal. Bagaimana bisa dia harus ikut lomba bersama orang yang ‘PALING MENYEBALKAN SEDUNIA’ itu. Setelah selesai rapat permbahasan classmeeting, tanpa pamit atau apapun, ia langsung menyelonong pulang.

~~~~~~~~
Matahari sudah berada diatas kepala. Panas terik yang membakar kulit seakan-akan dapat menghanguskannya dalam sekejap. Ditengah-tengah hamparan rumput yang luas nan menyejukkan, Alin dan Devi tampak santai duduk-duduk sambil berpose ria saat kamera yang di pegang Dessy sibuk menjeprat-jepret mereka.
“Woy,” seru Reza dari kejauhan. “Kita kesini tuh buat nyari inspirasi buat artikel. Bukannya foto-foto gak jelas kayak loe,Blacky,” desis Reza.
“Sibuk amat sih loe sama urusan orang. Lagian, bukan cuma gue doang kok yang foto-foto. Alin juga,” balas Devi sengit.
“Tapi, yang tadi protes tentang gue tadi siapa?” tanya Reza tak mau kalah.
“A… ku…” kata Devi lesu. “Tapi, itu benarkan? Toh, memangnya, apa yang loe lakukan sekarang?” tanya Devi tak menyerah.
“Yak, gue kan lagi bantuin Bintang. Loe bisa lihat sendiri, kan.” Reza menunjukkan tumpukan buku yang di pegangnya pada Devi. “Atau jangan-jangan mata loe udah buta?” tanya Reza penuh selidik.
“Issshh… siapa bilang? Mata gue masih normal, kali!” desis Devi cepat. “Tapi, loe cocok kok kayak gitu. Kayak BABU.”
Reza baru saja ingin membalas, tetapi Aldi dan Bintang datang melerai. Mereka segera memisahkan Devi dan Reza jauh-jauh supaya tak ada lagi kelanjutan bentrokan diantara mereka.
“Hey, pssst… pssstt… kesini,” kata Dessy pelan.
Devi dan Alin datang mendekat.
“Ada apa?” tanya Alin penasaran.
Dessy menunjuk kearah para sekawanan laki-laki berpakaian serba hitam yang tampak sedang berjaga di depan gubuk yang berada tak jauh dari tempat mereka berdiri. Hanya beberapa pohon besar penghalang diantara mereka.
“Mereka mencurigakan. Bagaimana kalau aku panggil cowok-cowok,” usul Alin. Tanpa menunggu persetujuan dari teman-temannya, Alin langsung berlari memanggil cowok-cowok. Tak berapa lama, ia kembali membawa 3 orang cowok itu.
“Ada apa?” tanya Bintang setengah berbisik.
“Itu, tuh. Ada orang-orang yang mencurigakan. Dilihat dari tampangnya, sih… kayaknya penjahat kelas teri, deh!” sahut Devi.
“Kayaknya mereka orang-orang berbahaya,” seru Aldi.
Alin memutar-mutar bola matanya malas. “Kita-kita juga tau, kali, kalau mereka itu orang-orang jahat.”
“Makanya,” sahut Aldi tak mau kalah. “Kita bagi-bagi tugas sekarang. Devi, kamu telepon polisi. Dessy, rekam mereka sekarang. Dan Bintang, kamu foto-foto apa saja yang mereka lakukan. Oya, Dessy dan Bintang ikut aku. Devi, Reza, dan Alin, kalian jaga-jaga disini. Kalau terjadi sesuatu, segera beritahu kami,” ujar Aldi bak polisi.
Dessy dan Bintang mengangguk. Sedangkan, Devi tampak malas. Bagaimana tidak, ia harus disini bersama si KUTIL. Tapi, akhirnya ia mengangguk dan segera menelepon polisi. Yang terpenting, ada Alin yang menemaninya.
“Umm… ngomong-ngomong, dimana kita sekarang?” tanya Devi di sela-sela pembicaraannya.
Alin dan Reza saling bertukar pandang.
“Umm… kurang tahu juga, sih. Yang pasti kita…”
‘Doorrr’
Suara tembakan itu memotong pembicaraan Alin. Dengan cepat, mereka bertiga bersembunyi di antara rerumputan yang tinggi. Reza yang melihat Devi masih terpaku ditempatnya berdiri tadi, langsung menariknya ketempat persembunyian. Kemudian, ia mengambil ponsel dari tangan Devi, lalu memberitahu tempat mereka berada sekarang pada polisi.
“Perasaan, tadi gue denger ada orang, deh!” kata laki-laki paruh baya yang paling kurus, sama kurusnya dengan Reza.
Devi dan Alin mencoba lebih masuk lagi ke semak-semak dengan perlahan.
“Masa, sih? Perasaan loe aja kali… Coba lihat! Apa ada seseorang?” tanya temannya yang berbadan lebih sangat subur alias GENDUT.
Si kurus itu tampak kebingungan. “Mungkin kali, ya! Ya udah, mending kita balik ke markas sekarang. Kalau gak, bisa berabe kita.”
Mereka berdua pun pergi menuju gubuk yang dilihat Alin dan kawan-kawan. Devi langsung bernapas lega. Baru ia sadara kalau sedari tadi ia menahan nafas.
“Kayaknya keadaan semakin bahaya. Mending, kita pergi aja, yuk!” ajak Devi.
Alin mengangguk setuju. Tapi, Aldi dan yang lainnya belum juga kembali. Untungnya, tak berapa lama mereka semua sudah kembali.
“Gawat, bro. Kita tadi hampir aja ketahuan,” seru Reza.
Aldi mendesah kuat. “Kalau gitu, kita pergi sekarang.”
Semua mengangguk setuju. Baru saja mereka melangkah pergi, kedua penjahat yang tadi kembali lagi. Ternyata, mereka tadi hanya bersandiwara.
“Nah, loe… Ketahuan kalian sekarang,” kata si kurus.
Semua terdiam, tak mampu bergerak. Tentu saja. Soalnya, si kurus itu sedang menodong mereka dengan pistol.
“Udah gue duga, pasti ada orang disini. Telinga gue masih normal, nih! Belum penyakitan, kok!” kata si kurus pada si gendut. Si gendut itu hanya mengangguk kasihan. “Terus, mereka mau di apakan?”
“Bawa saja mereka semua ke markas. Si Bos pasti senang kalau kita bawa tamu dari luar,” jawab si gendut dengan cengiran yang mengerikan.
Alin dan Dessy langsung bergidik ngeri. Tapi, yang mereka pikirkan sekarang adalah, bagaimana caranya mereka lepas dari dua penjahat amatiran ini?
“Maaf sebelumnya. Tapi, bolehkah kami bernegosiasi dengan kalian?” tanya Aldi. Semua menyerngit bingung melihat tingkah Aldi. Bernegosiasi? Emangnya dia bisa apa dengan penjahat-penjahat ini?
“Memangnya, apa yang kalian tawarkan?” tanya si gendut yang tampaknya tertarik dengan tawaran Aldi.
“Aku membawa koper. Isinya kira-kira bisa membayar gaji kalian. Jumlahnya lumayan besar. Kira-kira dua kali lipat dari upah kalian.”
Aldi membuka koper yang entah sejak kapan ia memegangnya, lalu menunjukkan isi koper. Ada setumpuk uang di dalamnya. Alin, Devi, dan Reza kaget setengah mati. Bagaimana bisa Aldi mendapatakan semua itu?
“Boleh juga,” kata si kurus setelah mereka selesai berdiskusi. Kalau gitu, kita terima tawaran kalian.”
Si gendut berjalan ke arah mereka untuk mengambil koper. Setelah itu, mereka berbalik untuk kembali ke markas. Dan di saat itulah, Aldi, Bintang, dan Reza langsung menghajar kedua penjahat itu sampai mereka pingsan.
“Sepertinya kita harus pergi dari sini sekarang. Mereka semua berbahaya. Kita harus menyerahkan semua kasus ini pada polisi,” seru Bintang saat mereka sudah selesai membereskan kedua penjahat itu.
“Betul banget. Gue setuju sama Bintang. Mending, kita segera pergi dari sini,” tambah Reza.
Mereka semua mengangguk. Tapi, ternyata mereka kurang beruntung. Lagi-lagi mereka ketahuan dengan 3 kawanan penjahat lainnya.
“Woy, kalian mau kemana?” teriak salah satu penjahat.
“Semuanya, lari…” teriak Alin.
Mereka berlari sekencang mungkin menjauh dari para penjahat. Mereka berlari dan terus berlari tak tentu arah dan tujuan. Tapi, penjahat itu ternyata tak kalah kencangnya. Mereka berhenti di sebuah persimpangan. Ada 3 persimpangan dan mereka kelihatan sangat bingung.
“Oke, sekarang kita bagi 3 kelompok. Bintang, loe ke arah barat, gue ke timur, dan Reza ke selatan. Oke, kita pisah,” perintah Aldi di sela-sela nafasnya. Dia berlari sambil menarik tangan Alin.
Bintang juga ikut berlari ke arah barat sambil menggandeng tangan Dessy. Dan sekarang, tinggal Reza dan Devi berdua.
“Hah? Gue sama elo? Males banget, ah! Kenapa gue gak sama Bintang atau Aldi aja, sih?” protes Devi.
“Berisik amat sih, loe! Gue juga males banget ama loe,” seru Reza sebal. Terdengar langkah para penjahat mendekat. “Terserah, deh! Kalo loe mau ditangkap para penjahat itu, bukan urusan gue.” Reza pun berlari meninggalkan Devi sendiri.
Setelah melalui proses verifikasi yang singkat dan spontan, akhirnya Devi pun berlari menyusul Reza.
“Akhirnya loe ikut juga,” sahut Reza dengan penuh kemenangan.
Devi hanya mendengus sebal. Daripada di tangkap para penjahat berbahaya, mending dia lari bareng KUTIL. Lagipula ini cuma sebentar, kan?

~~~~~~~~
Dessy dan Bintang berhenti sebentar di depan pohon besar. Lalu, mereka putuskan untuk bersembunyi dibalik pohon itu.
“Hufft… capek banget,” seru Dessy sambil mengibas-ngibas tangannya. Ia melihat Bintang sekilas. Diluar perkiraannya, ternyata Bintang memilih dia buat lari bareng. “Uwaaa…. Senangnya…” seru Dessy dalam hati.
“Kamu kenapa, Des?” tanya Bintang sambil menyerngit bingung.
Dessy menggeleng cepat sambil memasang tampang bete. Padahal, ia tadi baru saja merasa bahagia karena ia bisa berdua dengan Bintang. Tapi, melihat sikap Bintang yang sekarang, sepertinya itu menghancurkan  kebahagiaannya.
“Kayaknya penjahat itu gak ngejar kita lagi, deh! Mending, kita pergi buat nyusul yang lain,” seru Bintang sambil bangkit dari duduknya.
Dessy masih tetap duduk diam tak menggubris omongan Bintang.
“Des, ayo kita pergi,” seru Bintang.
“Nggak, ah! Kalau Bintang mau pergi, pergi aja sendiri. Gak usah ajak aku.”
Bintang menyerngit bingung. “Kamu kenapa sih, Des?”
Dessy mendecak sebal. “Gak pa-pa. Lagi badmood aja.”
“Ya udah, aku bakal disini sampai kamu mau pergi,” putus Bintang.
Dessy berusaha mengatur detak jantungnya yang sekarang mulai melompat-lompat kegirangan. Hanya mendengar kata-kata itu dari Bintang, moodnya langsung membaik.
“Aku pengen tanya sesuatu boleh?” tanya Dessy meminta persetujuan.
“Mau tanya apa?”
“Umm… kenapa kamu milih aku buat lari tadi?” tanya Dessy.
“Sebenarnya, tadi aku mau bareng Dinda. Tapi, dia udah sama Aldi,” jawab Bintang.
Dessy langsung mengehembuskan napas kecewa. “Kalian kelihatannya akrab banget. Memangnya hubungan kalian sebenarnya apa, sih? Pacar?” Dessy langsung menutup mulutnya. Rasa cemburunya membuat ia mengatakan hal itu.
“Mana mungkinlah kita pacaran. Kami kan masih punya hubungan darah. Jadi, itu sama sekali gak mungkin. Memangnya kenapa?” tanya Bintang penasaran.
Dessy mendecak sebal. “Kamu itu bego atau bego, sih? Selama ini, aku tuh udah ngasih tanda-tanda sama kamu. Tapi, apa reaksimu?”
Bintang menjadi semakin bingung. “Maksud kamu apa?”
Dessy bangkit dari duduknya sambil mendecak sebal.
“AKU SUKA KAMU.”

~~~~~~~~
Tak disangka hari sudah sore. Matahari perlahan turun dari singgasana langit. Warna langit mulai berubah menjadi keemasan yang mewarnai sore ini. Semilir angin membelai lembut rambut lurus Alin yang tergerai panjang. Dengan nafas sebelas-dua belas, ia memelankan larinya dan perlahan berhenti.
“Capek,” seru Alin sambil menyeka keringatnya dengan tangan kirinya. Tangan kanannya masih digenggam Aldi yang sedari tadi belum melepaskannya. Menyadari hal itu, Aldi langsung melepaskan genggamannya.
“Sepertinya, penjahat-penjahat itu tidak mengejar kita lagi, deh!” kata Aldi.
“Baguslah,” jawab Alin ketus.
Aldi berdiri sambil menatap Alin lekat-lekat. Yang ditatap melihat kearah lain, pura-pura tidak tahu.
“Iin, kamu masih marah sama aku?” tanya Aldi dengan nada bersalah.
“STOP!!! Berhenti memanggilku dengan sebutan itu. Kita sudah tidak kecil lagi, Di! Sekarang sudah waktunya kita melupakan semua itu. Oke?” ujar Alin cepat.
“Tapi… tentang itu, aku benar-benar…”
“Cukup!!! Aku sudah tidak mau membahas hal itu lagi.” Alin menutup kedua telinganya sambil menggeleng-geleng kuat.
Aldi mendesah kuat. Sepertinya, ini bukanlah waktu yang tepat. Tiba-tiba saja ponsel Aldi berbunyi. Ia pun segera mengangkatnya.
“Ya, halo… Oke, kita kesana sekarang,” jawab Aldi.
Tanpa ragu, ia kembali menggandeng tangan Alin yang kelihatan bingung dengan tingkah Aldi. Ia kelihatan pasrah saja melihat kelakuan Aldi.

~~~~~~~~
“Kita tersesat,” seru Reza sebal.
Devi memandangnya tak percaya. “Serius?”
“Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Dessy panik.
“Tenang, kita pasti akan mencari jalan keluarnya,” kata Bintang berusaha menenangkan Dessy.
Dessy tersenyum senang mendengar kata-kata Bintang. Setidaknya, itu bisa membuatnya sedikit merasa aman.
“Eheemm…” Alin berdehem membuat pipi Dessy dan Bintang memerah. “Lalu, apa jalan keluarnya?” tanyanya.
“Ini kita juga lagi mikir, kali!” seru Bintang sebal.
Alin nyengir sambil tersenyum penuh kemenangan. Ia menarik Devi diam-diam sambil membisikkan sesuatu.
“Kayaknya mereka berdua itu udah…”
“Iya. Aku seide denganmu, Lin,” potong Devi cepat. Bahkan, dengan suara yang kencang. Semua orang menoleh kearah mereka.
“Ide? Ide apa?” tanya Reza.
“Ya ela. Punya ide kok di sembunyiin. Emangnya ide apaan, sih?” tanya Aldi.
Alin dan Devi saling bertukar pandang. Ide? Maksud mereka bukan ide itu.
“Apaan? Buruan… Kasih tahu, dong!” desak Reza.
Alin terdiam sambil memikirkan sesuatu.
“Kita kan punya ponsel. Sekarang kan tekhnologi udah pada canggih. Kenapa kalian gak hidupin GPRS kalian?” seru Alin.
“Nah, itu dia masalahnya, Lin. Ponsel kita udah pada lowbat. Yang gak lowbat sih, ada. Tapi… ponselnya KONVENSIAL banget,” ujar Reza. Devi menatap Reza tajam. Barusan aja Reza ngatain ponselnya KONVENSIAL.
“Udah, udah. Mending, kita cari jalan keluar yang lain,” kata Aldi berusaha mencairkan suasana.
Alin berjalan ke tepi jalan, lalu bersandar ke pohon yang paling besar. Saat dia sedang bersandar, ia seperti mendengar bunyi desisan yang aneh.
“ALIINN…. AWAS!!! Ada ULAR,” teriak Aldi panik.
Alin berteriak panik sambil berjalan mundur. Tanpa ia sadari, ia sudah berjalan ke ujung jalan dan…
“ALLIIIINN….”
Alin pun jatuh kedalam jurang yang dalam.

~~~~~~~~