“Oke.
Aku kesana lima menit lagi. Bersabarlah,” seru Bintang. Ia menutup teleponnya
dan segera melajukan motornya ke rumah Alin dengan kecepatan tinggi.
Sesampainya
dirumah Alin, tanpa ba-bi-bu, ia langsung menerobos masuk ke kamar Alin dan
melihat Alin sedang meringkuk di sudut kamarnya sambil menangis. Begitu
menyadari kedatangan Bintang, Alin bangkit dan berjalan ke arah Bintang. Tapi,
tubuhnya sangat lemas, sehingga ia jatuh. Untungnya, Bintang dengan sigap
berlari menolong Alin. Ia sedari tadi merasa khawatir ketika mendengar Alin
menangis di telepon. Dan dengan cepat, ia kesini untuk melihatnya. Ternyata…
“Ada
apa, Din? Kenapa kamu jadi seperti ini?” tanya Bintang sambil menuntun Alin
duduk di ranjang.
“Arlina…
hiks… Arlina…” Alin terus menangis di bahu Bintang.
“Ka,
kamu sudah ingat?” tanya Bintang. Bisa Alin rasakan kalau tubuh Bintang
tiba-tiba menegang.
Alin
mengangguk. “Dan aku juga ingat semuanya, termasuk kecelakaan itu”. Dan Alin
pun mulai bercerita.
~~~~~~~~
Hari itu, tiba-tiba ia
demam tinggi. Padahal, ia berniat untuk datang kerumah Didi, karena keesokan
harinya ia sudah pulang ke Palembang. Makanya, ia ngotot untuk datang kerumah
Didi.
“Tapi, kamu masih sakit,
sayang!” kata mamanya lembut
Alin tetap bersih kukuh
untuk tetap pergi. Melihat itu, Arlina, saudara kembarnya, akhirnya turun
tangan.
“Bagaimana kalau Arli
saja yang pergi. Alin tinggal menulis surat saja, lalu Arli kesana untuk
memberi dia surat,” usul Arli.
Awalnya ia tidak setuju.
Tapi, karena mamanya juga sudah memaksa, akhirnya ia menyetujuinya. Dan
akhirnya, ia pun menulis surat.
“Ini, jangan lupa
berikan juga padanya.” Alin memberikannya sebuah kelereng berwarna biru.
Arli agak terkejut
melihatnya. Ia tahu itu adalah kelereng kesukaannya. Tapi, mengapa ia berikan
pada orang lain?
“Karena dia adalah salah
satu orang yang penting dalam hidupku. Jadi, aku ingin memberikannya ini,” kata
Alin yang sepertinya bisa membaca pikiran Arli.
“Baiklah.” Arli pergi
kerumah Aldi, sedangkan Alin berbaring di ranjangnya. Tak lama, kedua
orangtuanya pamit pergi sebentar. Tapi, itu kesempatan bagus buatnya. Dengan
begitu, ia gunakan untuk pergi kerumah Aldi untuk melihatnya yang terakhir
kalinya. Dan ia pun pergi tanpa pamit.
Dari awal, ia merasa
aneh. Hatinya terus berdetak tak karuan. Deg-degan, khawatir. Ditambah lagi,
saat ia melihat rumah Aldi yang dikerumuni banyak orang dan polisi-polisi.
Diantara kerumunan itu,
ia melihat Aldi bersama laki-laki separuh baya yang ia duga itu ayahnya pergi
meninggalkan rumah itu. Ia juga bisa melihat Arli, dengan langkah kecilnya
berlari mengejar Aldi dan ayahnya yang sudah berjalan jauh. Ia pun mengikutinya
dari belakang secara diam-diam.
“Didi,” panggil Arli.
Tapi, sama sekali tak dihiraukannya. Berulang kali Arli memanggilnya, tetapi
Didi sama sekali tidak menoleh.
Setelah beberapa kali
memanggil, Didi tidak juga menoleh. Arli berhenti sebentar untuk mengatur
nafasnya. Dan disaat itulah Didi menoleh dan ia berteriak dengan keras.
“Iin… AWAS!!!”teriak
Aldi dari pinggir jalan.
Dan itu adalah
pemandangan terburuk bagi Alin. Ia sangat shock. Saking shocknya, ia tak tahu
lagi apa yang terjadi setelah itu.
~~~~~~~~
Alin
tampak nyaman bersandar dibahu Bintang sambil menikmati langit malam.
“Lin,
aku rasa Aldi bukanlah penyebab meninggalnya Arli. Mungkin, itu hanya kebetulan.
Lagipula, itu sudah waktunya Arli kembali kepada Sang Pencipta,” ujar Bintang
sambil mengelus kepala Alin pelan.
“Umm…
Btw, thank’s, yah, udah mau datang dan temenin aku disini. Aku jadi gak enak,
nih, sama kamu…” kata Alin malu-malu.
“Nyantai
aja, kali. Apa pun akan kulakukan untuk Dinda,” kata Bintang jujur.
‘Bluussh’
wajah Alin langsung berubah merah mendengar kata-kata Bintang.
“Bintang,
boleh aku tanya sesuatu?” tanya Alin.
“Apa?”
“Kamu
masih ada perasaan denganku?” tanya Alin sungguh.
Bintang
terdiam sambil memandang wajah Alin lekat.
“YA…”
Aldi
menutup kembali pintu kamar Alin. Ia mengurungkan niatnya untuk melihat Alin.
Mendengar jawaban Bintang tadi membuatnya seakan kehilangan harapan. Dan ia
tahu, tak ada lagi kesempatan untuknya.
~~~~~~~~
Pagi
hari disekolah, saat hujan tampak setia membasahi tanah, Cika tampak bengong
dibangkunya sambil memandang ponselnya lama. Di bangku lain, kebalikan dari
Cika, Devi dengan senyuman yang menghiasi bibirnya kelihatan begitu bahagia
sekali. Pandangannya tak lepas dari kalung berbandul huruf ‘D’ yang sedang ia
kenakan. Di sisi lain, Rahma dan Dessy dibuat bingung dengan sikap kedua teman
mereka. Di pagi Senin yang hujan, ada dua perasaan bersatu di dalam kelas.
“Cik,
kamu kenapa? Kok murung?” tanya Dessy saat ia duduk dibangkunya.
Cika
menggeleng lemah. “Gak pa-pa! Lagi gak mood
aja,” jawab Cika.
“Udah,
deh! Lupakan Reihan. Cari yang baru. Masih banyak kali cowok yang lebih bagus
dari dia,” kata Rahma tiba-tiba.
Dessy
mengangguk setuju. “Bener banget, tuh! Coba Cika senyum kayak Devi tuh. Lihat,
roh apa, ya, kira-kira yang telah merasukinya?”
“Umm…
Sepertinya ‘ROH CINTA’. Lihat, tuh… Dari tadi gak bisa berhenti senyum,”
sambung Vivi yang entah sejak kapan ikut nimbrung.
“Hah?
CINTA? Serius?” tanya Rahma antara percaya dan tidak. Karena penasaran,
langsung saja ia tarik Devi duduk di depan bangku Dessy, alias bangku Alin.
“Ayo… kayaknya, ada yang baru ketimpa ‘LOVE’, nih? Ceritain, dong!”
“Iya,
nih! Eh, coba lihat kalungnya, tuh! Kayaknya baru habis dikasih special someone. Ciyeeee….” Goda Vivi.
“Apaan,
sih! Nggak ah. Ini dikasih orang kemarin,” kata Devi.
“Ciyeee…
berarti, masih baru, tuh! Kira-kira dikasih siapa, ya?” Cika tampak berpikir.
“Ah…
jangan-jangan…. Bagas, ya?” tebak Dessy.
Wajah
Devi langsung berubah merah. Senyum di bibirnya pun sudah jadi permanen, sama
sekali tidak bisa dihilangkan.
“Ciyeee…
berarti, benar, dong! Kalian berdua…” Rahma sama sekali tidak bisa melanjutkan
kata-katanya.
“Eng,
enggak, kok! Kami sama sekali gak jadian. Emang sih, kemarin dia nembak aku.
Tapi… aku tolak.”
“HAH???
DITOLAK??? KOK BISA???” teriak mereka berbarengan. Bahkan, Devi sampai harus
memberi tanda jangan berisik karena semua orang yang ada di dalam kelas, bahkan
di luar kelas, memandang mereka aneh.
“Aduh…
kalian berempat berisik amat, sih! Malu tau kalau sampai orang lain dengar,”
ujar Devi pelan.
“Terus,
kenapa ditolak?” tanya Vivi penasaran.
“Umm…
aku cuma pengen berteman aja. Lagipula, aku belum siap berpacaran seperti orang
lain lakukan.”
“Yaa…
Gak seru, dong! Padahal, kalau kalian jadian, aku tadi mau minta PJ-PJnya,”
seru Rahma kecewa.
Devi
hanya tertawa saja mendengar seruan Rahma itu. Tak lama, bel masuk berbunyi.
Anehnya, Alin hari ini absen. Bahkan, Aldi dan Bintang juga ikutan absen.
“Mereka
kemana?” tanya Devi pada Reza.
“Sakit.
Lagi musim sakit, kali. Mereka bertiga aja masuknya kompakan. Alasannya
sama-sama sakit pula,” jawab Reza.
Devi
mengangguk-angguk mengerti. Ia menoleh ke arah Dessy.
“Jangan
khawatir! Mereka beneran sakit, kok!” kata Devi pelan.
Dessy
hanya mencibir sebal.
~~~~~~~~
Matahari
sudah beranjak setinggi awan. Radiasi sinarnya seolah membakar kulit yang
kering dan rapuh. Alin masih menikmati tidurnya. Hari ini ia malas sekali untuk
sekolah. Makanya, ia sengaja menyuruh pembantunya untuk menelpon sekolah bahwa
ia sakit. Tapi, ia juga tidak tahu kalau Bintang ternyata ikut-ikutan gak
masuk.
“Alin,
bangun. Udah siang,” seru Bintang sambil mengguncang-guncang bahu Alin.
Alin
hanya bergumam tidak jelas, tapi sama sekali tidak berniat untuk bangun.
“Ya
udah. 1 jam lagi aku akan balik. Tapi, kali ini kamu harus bangun,” kata
Bintang dengan sedikit ancaman.
Alin
hanya mengangguk tidak jelas, lalu kembali terlelap. Bintang keluar dari kamar
Alin diam-diam. Ia berjalan menghampiri seseorang yang sedang menunggu di ruang
tamu.
“Kenapa
kesini?” tanya Bintang dingin.
Aldi
menoleh, “Maaf. Tapi, apa Alin sudah bangun?”
Bintang
menggeleng. “Belum. Ada perlu apa?”
“Aku
ingin bicara dengan Alin. Ini penting.”
Bintang
menatap Aldi dengan pandangan menyelidik. Sepertinya ia tahu apa yang ingin
Aldi bicarakan hanya dengan melihat gerak-geriknya.
“Kalau
begitu, bicaralah padaku. Aku juga ada sesuatu yang ingin kubicarakan padamu.
Dan kurasa, apa yang ingin kita bicarakan sama.”
Awalnya,
Aldi tampak ragu. Tapi, akhirnya ia memutuskan untuk berbicara dengan Bintang.
“Apa
yang ingin kamu bicarakan?” tanya Bintang penuh selidik.
“Kamu
pasti sudah mendengar semuanya dari Alin. Tapi, percayalah, itu semua tidak
seperti itu. Aku… Sungguh, aku tidak tahu kalau ada kembaran Alin yang datang
menyusul. Dan aku…”
‘Buukkk’
Bintang memukul Aldi hingga jatuh tersungkur. Ia berjalan maju, lalu menarik
baju Aldi untuk menyuruhnya bangkit.
“Tahukah
kamu? Sudah lama aku ingin melakukan ini padamu. Dan baru sekarang aku bisa
melakukannya…” kata Bintang garang.
Aldi
mendesis sambil mengusap mulutnya yang berdarah. “Cih, ternyata, segitu
bencinya kamu padaku sehingga kamu melakukan ini padaku.”
“Iya.
Gara-gara kamu, ia jadi kehilangan ingatannya. Dan gara-gara kamu, dia jadi
kehilangan saudara kembarnya yang paling ia sayangi. Kau tahu, betapa
menderitanya dia? Dan sekarang, kamu datang, mengembalikannya pada mimpi buruk
yang selama ini ingin ia buang jauh…”
“Makanya,
aku ingin bicara padanya untuk memperbaiki semuanya,” seru Aldi tak mau kalah.
“Apa?
Memperbaiki? Justru kamu malah merusak semuanya.” Bintang melepas
cengkramannya, lalu mendorong tubuh Aldi kuat. “Huh, kurasa aku bisa berlaku
lebih keras dari ini. Ternyata, aku masih sangat lemah.” “Ini,” Bintang merogoh
saku belakangnya. Ia memberikan Aldi sebuah amplop usang dan sebuah kelereng
warna biru.
“Apa
ini?” Aldi menyerngit bingung.
“Surat…
Dan jimat keberuntungan. Jaga itu semua baik-baik. Aku beritahu padamu,
kelereng itu adalah harta yang paling berharga bagi Dinda. Jadi, jaga semua itu
dengan baik,” pesan Bintang sambil berlalu.
Aldi
masih terpaku sambil memandang benda-benda yang baru saja Bintang berikan
padanya. ‘Harta yang paling berharga’ itu sekarang ada ditangannya. Sekarang ia
hanya perlu waktu untuk mencerna kata-kata yang Bintang maksud.
~~~~~~~~
“Cika,
tunggu!” seru Riri dengan nafas tersengal-sengal. Saat ia melihat Cika keluar
dari UKS, dari ruang kelas XI A yang letaknya jauh berseberangan dengan ruang
UKS, ia berlari untuk mengejar Cika.
“Ada
apa?” tanya Cika bingung.
“Kamu
sama Reihan disuruh Miss Erma buat ikut lomba fashion show couple version. Sekarang juga kamu di tunggu beliau di
kantor,” ujar Riri.
Cika
terkejut. “HAH??? Bareng Reihan? Yang bener aja. Ogah, ah!”
“Jadi,
kamu mau menolaknya?” tanya Riri dengan nada ragu.
“IYA.”
“Serius?
Kamu tahu sendirikan Miss Erma itu orangnya kayak gimana. Kamu mau nilai
sikapmu untuk mapel beliau jadi ‘K’?” tanya Riri lagi.
Cika
langsung menggeleng cepat. Jadi, mau tidak mau, ia terpaksa harus lomba itu. Ia
pun berjalan ke kantor guru dengan wajah cemberut.
Kenapa harus Reihan,
sih?, batinnya kesal.
~~~~~~~~
Sekolah
sudah mulai sepi. Tapi, di kelas XI A masih ada
beberapa murid yang sibuk untuk membahas classmeeting minggu ini. Ada Cika, Reihan, Satria, Riri, Devi, Dessy,
Reza, dan Beni.
“Oke,
Miss langsung to the point aja, ya!”
kata Miss Erma.
Semua
orang diam membisu. Semua orang yang ada di dalam kelas adalah orang yang akan
ikut berpartisipasi dalam classmeeting.
“Cika
dan Reihan ikut fashion show couple
version, Riri dan Beni fashion show
single version, Satria ikut membaca puisi, dan yang terakhir, Devi, Dessy,
Alin, Aldi, Bintang, dan Reza ikut membuat artikel. Any question?” seru Miss.
“Umm…
Miss,” Devi mengangkat tangannya. Miss Erma mempersilahkan Devi untuk bertanya.
“Miss, bisa nggak kalau Reza diganti sama Satria? Satria kan lebih bagus,” seru
Devi.
“I’m sorry, Devi. But, Satria must to join
reading poem,” jawab Miss Erma.
“Kalau
begitu, diganti sama Beni aja, Miss,” seru Devi tak menyerah.
“No, no, no. Reza’ body so slimmy. He is like a bone. That’s not good to join
fashion show competition.”
Lagi-lagi
Miss Erma mempertahankan Reza. Tapi, Devi masih punya 1 usulan.
“Kalau
Rahmat?”
“Tidak
bisa, Devi. Rahmat, Sasha, Putra, dan Rina ikut lomba membuat mading. Sudahlah,
pokoknya kelompok kalian itu kalian berenam, seperti yang Miss sebutkan tadi.
Gak usah banyak protes. Miss sudah memperkirakan semua yang terbaik untuk XI A
ini. So, don’t protest again.”
Devi
menghentakkan kakinya kesal. Bagaimana bisa dia harus ikut lomba bersama orang
yang ‘PALING MENYEBALKAN SEDUNIA’ itu. Setelah selesai rapat permbahasan classmeeting, tanpa pamit atau apapun,
ia langsung menyelonong pulang.
~~~~~~~~
Matahari
sudah berada diatas kepala. Panas terik yang membakar kulit seakan-akan dapat
menghanguskannya dalam sekejap. Ditengah-tengah hamparan rumput yang luas nan
menyejukkan, Alin dan Devi tampak santai duduk-duduk sambil berpose ria saat
kamera yang di pegang Dessy sibuk menjeprat-jepret mereka.
“Woy,”
seru Reza dari kejauhan. “Kita kesini tuh buat nyari inspirasi buat artikel.
Bukannya foto-foto gak jelas kayak loe,Blacky,”
desis Reza.
“Sibuk
amat sih loe sama urusan orang. Lagian, bukan cuma gue doang kok yang
foto-foto. Alin juga,” balas Devi sengit.
“Tapi,
yang tadi protes tentang gue tadi siapa?” tanya Reza tak mau kalah.
“A…
ku…” kata Devi lesu. “Tapi, itu benarkan? Toh, memangnya, apa yang loe lakukan
sekarang?” tanya Devi tak menyerah.
“Yak,
gue kan lagi bantuin Bintang. Loe bisa lihat sendiri, kan.” Reza menunjukkan
tumpukan buku yang di pegangnya pada Devi. “Atau jangan-jangan mata loe udah
buta?” tanya Reza penuh selidik.
“Issshh…
siapa bilang? Mata gue masih normal, kali!” desis Devi cepat. “Tapi, loe cocok
kok kayak gitu. Kayak BABU.”
Reza
baru saja ingin membalas, tetapi Aldi dan Bintang datang melerai. Mereka segera
memisahkan Devi dan Reza jauh-jauh supaya tak ada lagi kelanjutan bentrokan
diantara mereka.
“Hey,
pssst… pssstt… kesini,” kata Dessy pelan.
Devi
dan Alin datang mendekat.
“Ada
apa?” tanya Alin penasaran.
Dessy
menunjuk kearah para sekawanan laki-laki berpakaian serba hitam yang tampak
sedang berjaga di depan gubuk yang berada tak jauh dari tempat mereka berdiri.
Hanya beberapa pohon besar penghalang diantara mereka.
“Mereka
mencurigakan. Bagaimana kalau aku panggil cowok-cowok,” usul Alin. Tanpa
menunggu persetujuan dari teman-temannya, Alin langsung berlari memanggil
cowok-cowok. Tak berapa lama, ia kembali membawa 3 orang cowok itu.
“Ada
apa?” tanya Bintang setengah berbisik.
“Itu,
tuh. Ada orang-orang yang mencurigakan. Dilihat dari tampangnya, sih… kayaknya
penjahat kelas teri, deh!” sahut Devi.
“Kayaknya
mereka orang-orang berbahaya,” seru Aldi.
Alin
memutar-mutar bola matanya malas. “Kita-kita juga tau, kali, kalau mereka itu
orang-orang jahat.”
“Makanya,”
sahut Aldi tak mau kalah. “Kita bagi-bagi tugas sekarang. Devi, kamu telepon
polisi. Dessy, rekam mereka sekarang. Dan Bintang, kamu foto-foto apa saja yang
mereka lakukan. Oya, Dessy dan Bintang ikut aku. Devi, Reza, dan Alin, kalian
jaga-jaga disini. Kalau terjadi sesuatu, segera beritahu kami,” ujar Aldi bak
polisi.
Dessy
dan Bintang mengangguk. Sedangkan, Devi tampak malas. Bagaimana tidak, ia harus
disini bersama si KUTIL. Tapi, akhirnya ia mengangguk dan segera menelepon
polisi. Yang terpenting, ada Alin yang menemaninya.
“Umm…
ngomong-ngomong, dimana kita sekarang?” tanya Devi di sela-sela pembicaraannya.
Alin
dan Reza saling bertukar pandang.
“Umm…
kurang tahu juga, sih. Yang pasti kita…”
‘Doorrr’
Suara
tembakan itu memotong pembicaraan Alin. Dengan cepat, mereka bertiga
bersembunyi di antara rerumputan yang tinggi. Reza yang melihat Devi masih
terpaku ditempatnya berdiri tadi, langsung menariknya ketempat persembunyian.
Kemudian, ia mengambil ponsel dari tangan Devi, lalu memberitahu tempat mereka
berada sekarang pada polisi.
“Perasaan,
tadi gue denger ada orang, deh!” kata laki-laki paruh baya yang paling kurus,
sama kurusnya dengan Reza.
Devi
dan Alin mencoba lebih masuk lagi ke semak-semak dengan perlahan.
“Masa,
sih? Perasaan loe aja kali… Coba lihat! Apa ada seseorang?” tanya temannya yang
berbadan lebih sangat subur alias GENDUT.
Si
kurus itu tampak kebingungan. “Mungkin kali, ya! Ya udah, mending kita balik ke
markas sekarang. Kalau gak, bisa berabe kita.”
Mereka
berdua pun pergi menuju gubuk yang dilihat Alin dan kawan-kawan. Devi langsung
bernapas lega. Baru ia sadara kalau sedari tadi ia menahan nafas.
“Kayaknya
keadaan semakin bahaya. Mending, kita pergi aja, yuk!” ajak Devi.
Alin
mengangguk setuju. Tapi, Aldi dan yang lainnya belum juga kembali. Untungnya,
tak berapa lama mereka semua sudah kembali.
“Gawat,
bro. Kita tadi hampir aja ketahuan,” seru Reza.
Aldi
mendesah kuat. “Kalau gitu, kita pergi sekarang.”
Semua
mengangguk setuju. Baru saja mereka melangkah pergi, kedua penjahat yang tadi
kembali lagi. Ternyata, mereka tadi hanya bersandiwara.
“Nah,
loe… Ketahuan kalian sekarang,” kata si kurus.
Semua
terdiam, tak mampu bergerak. Tentu saja. Soalnya, si kurus itu sedang menodong
mereka dengan pistol.
“Udah
gue duga, pasti ada orang disini. Telinga gue masih normal, nih! Belum
penyakitan, kok!” kata si kurus pada si gendut. Si gendut itu hanya mengangguk
kasihan. “Terus, mereka mau di apakan?”
“Bawa
saja mereka semua ke markas. Si Bos pasti senang kalau kita bawa tamu dari
luar,” jawab si gendut dengan cengiran yang mengerikan.
Alin
dan Dessy langsung bergidik ngeri. Tapi, yang mereka pikirkan sekarang adalah,
bagaimana caranya mereka lepas dari dua penjahat amatiran ini?
“Maaf
sebelumnya. Tapi, bolehkah kami bernegosiasi dengan kalian?” tanya Aldi. Semua
menyerngit bingung melihat tingkah Aldi. Bernegosiasi? Emangnya dia bisa apa
dengan penjahat-penjahat ini?
“Memangnya,
apa yang kalian tawarkan?” tanya si gendut yang tampaknya tertarik dengan
tawaran Aldi.
“Aku
membawa koper. Isinya kira-kira bisa membayar gaji kalian. Jumlahnya lumayan
besar. Kira-kira dua kali lipat dari upah kalian.”
Aldi
membuka koper yang entah sejak kapan ia memegangnya, lalu menunjukkan isi
koper. Ada setumpuk uang di dalamnya. Alin, Devi, dan Reza kaget setengah mati.
Bagaimana bisa Aldi mendapatakan semua itu?
“Boleh
juga,” kata si kurus setelah mereka selesai berdiskusi. Kalau gitu, kita terima
tawaran kalian.”
Si
gendut berjalan ke arah mereka untuk mengambil koper. Setelah itu, mereka
berbalik untuk kembali ke markas. Dan di saat itulah, Aldi, Bintang, dan Reza
langsung menghajar kedua penjahat itu sampai mereka pingsan.
“Sepertinya
kita harus pergi dari sini sekarang. Mereka semua berbahaya. Kita harus
menyerahkan semua kasus ini pada polisi,” seru Bintang saat mereka sudah
selesai membereskan kedua penjahat itu.
“Betul
banget. Gue setuju sama Bintang. Mending, kita segera pergi dari sini,” tambah
Reza.
Mereka
semua mengangguk. Tapi, ternyata mereka kurang beruntung. Lagi-lagi mereka
ketahuan dengan 3 kawanan penjahat lainnya.
“Woy,
kalian mau kemana?” teriak salah satu penjahat.
“Semuanya,
lari…” teriak Alin.
Mereka
berlari sekencang mungkin menjauh dari para penjahat. Mereka berlari dan terus
berlari tak tentu arah dan tujuan. Tapi, penjahat itu ternyata tak kalah
kencangnya. Mereka berhenti di sebuah persimpangan. Ada 3 persimpangan dan
mereka kelihatan sangat bingung.
“Oke,
sekarang kita bagi 3 kelompok. Bintang, loe ke arah barat, gue ke timur, dan
Reza ke selatan. Oke, kita pisah,” perintah Aldi di sela-sela nafasnya. Dia
berlari sambil menarik tangan Alin.
Bintang
juga ikut berlari ke arah barat sambil menggandeng tangan Dessy. Dan sekarang,
tinggal Reza dan Devi berdua.
“Hah?
Gue sama elo? Males banget, ah! Kenapa gue gak sama Bintang atau Aldi aja,
sih?” protes Devi.
“Berisik
amat sih, loe! Gue juga males banget ama loe,” seru Reza sebal. Terdengar
langkah para penjahat mendekat. “Terserah, deh! Kalo loe mau ditangkap para penjahat
itu, bukan urusan gue.” Reza pun berlari meninggalkan Devi sendiri.
Setelah
melalui proses verifikasi yang singkat dan spontan, akhirnya Devi pun berlari
menyusul Reza.
“Akhirnya
loe ikut juga,” sahut Reza dengan penuh kemenangan.
Devi
hanya mendengus sebal. Daripada di tangkap para penjahat berbahaya, mending dia
lari bareng KUTIL. Lagipula ini cuma sebentar, kan?
~~~~~~~~
Dessy
dan Bintang berhenti sebentar di depan pohon besar. Lalu, mereka putuskan untuk
bersembunyi dibalik pohon itu.
“Hufft…
capek banget,” seru Dessy sambil mengibas-ngibas tangannya. Ia melihat Bintang
sekilas. Diluar perkiraannya, ternyata Bintang memilih dia buat lari bareng.
“Uwaaa…. Senangnya…” seru Dessy dalam hati.
“Kamu
kenapa, Des?” tanya Bintang sambil menyerngit bingung.
Dessy
menggeleng cepat sambil memasang tampang bete. Padahal, ia tadi baru saja
merasa bahagia karena ia bisa berdua dengan Bintang. Tapi, melihat sikap
Bintang yang sekarang, sepertinya itu menghancurkan kebahagiaannya.
“Kayaknya
penjahat itu gak ngejar kita lagi, deh! Mending, kita pergi buat nyusul yang
lain,” seru Bintang sambil bangkit dari duduknya.
Dessy
masih tetap duduk diam tak menggubris omongan Bintang.
“Des,
ayo kita pergi,” seru Bintang.
“Nggak,
ah! Kalau Bintang mau pergi, pergi aja sendiri. Gak usah ajak aku.”
Bintang
menyerngit bingung. “Kamu kenapa sih, Des?”
Dessy
mendecak sebal. “Gak pa-pa. Lagi badmood
aja.”
“Ya
udah, aku bakal disini sampai kamu mau pergi,” putus Bintang.
Dessy
berusaha mengatur detak jantungnya yang sekarang mulai melompat-lompat
kegirangan. Hanya mendengar kata-kata itu dari Bintang, moodnya langsung
membaik.
“Aku
pengen tanya sesuatu boleh?” tanya Dessy meminta persetujuan.
“Mau
tanya apa?”
“Umm…
kenapa kamu milih aku buat lari tadi?” tanya Dessy.
“Sebenarnya,
tadi aku mau bareng Dinda. Tapi, dia udah sama Aldi,” jawab Bintang.
Dessy
langsung mengehembuskan napas kecewa. “Kalian kelihatannya akrab banget.
Memangnya hubungan kalian sebenarnya apa, sih? Pacar?” Dessy langsung menutup
mulutnya. Rasa cemburunya membuat ia mengatakan hal itu.
“Mana
mungkinlah kita pacaran. Kami kan masih punya hubungan darah. Jadi, itu sama
sekali gak mungkin. Memangnya kenapa?” tanya Bintang penasaran.
Dessy
mendecak sebal. “Kamu itu bego atau bego, sih? Selama ini, aku tuh udah ngasih
tanda-tanda sama kamu. Tapi, apa reaksimu?”
Bintang
menjadi semakin bingung. “Maksud kamu apa?”
Dessy
bangkit dari duduknya sambil mendecak sebal.
“AKU
SUKA KAMU.”
~~~~~~~~
Tak
disangka hari sudah sore. Matahari perlahan turun dari singgasana langit. Warna
langit mulai berubah menjadi keemasan yang mewarnai sore ini. Semilir angin membelai
lembut rambut lurus Alin yang tergerai panjang. Dengan nafas sebelas-dua belas,
ia memelankan larinya dan perlahan berhenti.
“Capek,”
seru Alin sambil menyeka keringatnya dengan tangan kirinya. Tangan kanannya
masih digenggam Aldi yang sedari tadi belum melepaskannya. Menyadari hal itu,
Aldi langsung melepaskan genggamannya.
“Sepertinya,
penjahat-penjahat itu tidak mengejar kita lagi, deh!” kata Aldi.
“Baguslah,”
jawab Alin ketus.
Aldi
berdiri sambil menatap Alin lekat-lekat. Yang ditatap melihat kearah lain,
pura-pura tidak tahu.
“Iin,
kamu masih marah sama aku?” tanya Aldi dengan nada bersalah.
“STOP!!!
Berhenti memanggilku dengan sebutan itu. Kita sudah tidak kecil lagi, Di!
Sekarang sudah waktunya kita melupakan semua itu. Oke?” ujar Alin cepat.
“Tapi…
tentang itu, aku benar-benar…”
“Cukup!!!
Aku sudah tidak mau membahas hal itu lagi.” Alin menutup kedua telinganya
sambil menggeleng-geleng kuat.
Aldi
mendesah kuat. Sepertinya, ini bukanlah waktu yang tepat. Tiba-tiba saja ponsel
Aldi berbunyi. Ia pun segera mengangkatnya.
“Ya,
halo… Oke, kita kesana sekarang,” jawab Aldi.
Tanpa
ragu, ia kembali menggandeng tangan Alin yang kelihatan bingung dengan tingkah
Aldi. Ia kelihatan pasrah saja melihat kelakuan Aldi.
~~~~~~~~
“Kita
tersesat,” seru Reza sebal.
Devi
memandangnya tak percaya. “Serius?”
“Lalu,
apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Dessy panik.
“Tenang,
kita pasti akan mencari jalan keluarnya,” kata Bintang berusaha menenangkan
Dessy.
Dessy
tersenyum senang mendengar kata-kata Bintang. Setidaknya, itu bisa membuatnya
sedikit merasa aman.
“Eheemm…”
Alin berdehem membuat pipi Dessy dan Bintang memerah. “Lalu, apa jalan
keluarnya?” tanyanya.
“Ini
kita juga lagi mikir, kali!” seru Bintang sebal.
Alin
nyengir sambil tersenyum penuh kemenangan. Ia menarik Devi diam-diam sambil
membisikkan sesuatu.
“Kayaknya
mereka berdua itu udah…”
“Iya.
Aku seide denganmu, Lin,” potong Devi cepat. Bahkan, dengan suara yang kencang.
Semua orang menoleh kearah mereka.
“Ide?
Ide apa?” tanya Reza.
“Ya
ela. Punya ide kok di sembunyiin. Emangnya ide apaan, sih?” tanya Aldi.
Alin
dan Devi saling bertukar pandang. Ide? Maksud mereka bukan ide itu.
“Apaan?
Buruan… Kasih tahu, dong!” desak Reza.
Alin
terdiam sambil memikirkan sesuatu.
“Kita
kan punya ponsel. Sekarang kan tekhnologi udah pada canggih. Kenapa kalian gak
hidupin GPRS kalian?” seru Alin.
“Nah,
itu dia masalahnya, Lin. Ponsel kita udah pada lowbat. Yang gak lowbat
sih, ada. Tapi… ponselnya KONVENSIAL banget,” ujar Reza. Devi menatap Reza tajam.
Barusan aja Reza ngatain ponselnya KONVENSIAL.
“Udah,
udah. Mending, kita cari jalan keluar yang lain,” kata Aldi berusaha mencairkan
suasana.
Alin
berjalan ke tepi jalan, lalu bersandar ke pohon yang paling besar. Saat dia sedang
bersandar, ia seperti mendengar bunyi desisan yang aneh.
“ALIINN….
AWAS!!! Ada ULAR,” teriak Aldi panik.
Alin
berteriak panik sambil berjalan mundur. Tanpa ia sadari, ia sudah berjalan ke
ujung jalan dan…
“ALLIIIINN….”
Alin
pun jatuh kedalam jurang yang dalam.
~~~~~~~~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar