Kamis, 02 Mei 2013

GUARDIAN ANGEL (30)


SERPIHAN MASA LALU (30)


Kelas-kelas tampak sepi. Namun, lapangan sekolah hampir terisi seluruhnya. Acara classmeeting tahun ini tampak berjalan lancar dan meriah. Ada banyak stan-stan di setiap sudut sekolah. Panggung besar yang berada ditengah-tengah lapangan tampak berdiri megah dan indah hasil karya anak-anak dari seluruh klub seni. Mereka bekerja sama untuk membuat acara classmeeting berjalan dengan sukses.
Vivi tampak sangat antusias berlari-lari mengelilingi sekolah. Ia berlari bukan karena ia terlalu senang melihat pemandangan di sekolahnya-menurutnya, sikap itu terlalu kampungan-, tapi demi mencari Alin. Ia melihat Alin tampak sibuk membawa setumpuk kertas dan beberapa alat tulis lainnya ke ruang kelas mereka.
“ALLIIINNN…..” panggil Vivi senang sambil meloncat ke punggung Alin.
Alin beserta alat perangkat yang ia bawa terjatuh tanpa ampun bersama Vivi yang tampak nyaman jatuh menimpa Alin.
“Auuww… Vivi. Kau berat sekali,” gerutu Alin. Vivi tampak merasa bersalah. “Kau tak sadar betapa langsingnya dirimu dibandingku,” tambah Alin.
Vivi langsung merengut. “Yeee…. maaf. Sengaja tadi. Tapi, gak niat sampai jatuh. Tapi, beratku sudah turun banyak, loh! Jadi, gak berat-berta amat.”
“Emangnya berapa ton, sih?” tanya Alin penasaran. Ia kembali berjalan menuju ruang kelasnya.
“Mmm…. kira-kira sekitar 30…. ons,” jawab Vivi sambil cengar-cengir.
Alin berusaha menahan tawanya.
“Kenapa? Mau ngejek?” tanya Vivi garang. Tapi, ia hanya bercanda.
“Nggak, kok! Lumayan juga, tuh, turun 3 kilo. Daripada gak sama sekali?”
Spontan Vivi langsung meneloyor kepala Alin tanpa ampun.
Sesampainya di ruang kelas, tampak murid-murid XI A sedang mempersiapkan diri untuk bidang lomba mereka masing-masing.
Satria, dengan gaya lebaynya yang khas, ia mulai menangis sambil berteriak kencang membaca puisinya.
Sasha, Rina, Rahmat, dan Putra mulai sibuk dengan mading mereka. Mereka mulai menata satu per satu artikel, puisi, cerpen, foto, beserta pernak-pernik untuk menghiasi mading mereka.
Alin, Devi, Dessy, Aldi, Bintang, dan Reza sibuk menyusun artikel mereka.
Riri dan Beni tampak sibuk mempersiapkan diri dan mental mereka.
Cika sendiri sedang duduk diam karena wajahnya sibuk di polesi berbagai macam alat-alat kosmetik oleh Miss Erma. Harap-harap cemas ia menunggu kedatangan Reihan yang sampai saat itu belum datang.
“Aduh, Reihan dimana, ya? Kok belum datang juga. Setengah jam lagi kita udah mulai, loh!” gerutu Miss Erma. Beliau menebarkan pandangannya ke seluruh isi kelas. “Robby,” perintah Miss Erma, “Kamu hubungi Reihan sekarang.”
Robby mengangguk patuh dan mulai menghubungi Reihan. Kemudian, ia kembali dengan wajah gelisah.
“Miss, gawat!!! Orangtuanya bilang kalau Reihan kecelakaan. Jadi, dia tidak bisa ikut lomba. Bagaimana ini Miss?” kata Robby.
Cika tampak khawatir sekaligus lega. Lega, karena ia tidak akan bersanding dengan Reihan. Khawatir, mendengar Reihan kecelakaan. Rasanya, saat itu juga ia ingin berlari ke rumah sakit untuk melihat keadaan Reihan. Tapi, mengingat Reihan dan dia sudah putus, ia mengurungkan niatnya.
“Kalau gitu, kamu kesini,” perintah Miss Erma. Cika bangkit dari kursinya berganti dengan Robby. “Kamu saja yang menggantikan Reihan.”
“Hah?”
Robby dan Cika hanya bisa patuh menuruti permintaan Miss Erma.

~~~~~~~~
Sinar matahari ternyata cukup menyengat kulit. Keringat-keringat mulai mengucur ke seluruh tubuh. Alin duduk di bangku taman yang nampak sepi sambil memandang langit biru yang dihiasi sinar matahari.
Sebuah payung menghalangi pandangannya sekaligus mengalihkan perhatian dari langit ke orang yang memayunginya.
“Jangan melihat matahari secara langsung. Itu tidak baik untuk mata,” kata Aldi. Ia duduk di samping Alin. Tangannya masih memayungi Alin.
Alin hanya tertunduk. Tiba-tiba ia teringat kata-kata Bintang saat di rumah sakit.

“Antara kamu dan Aldi, sebenarnya ada apa, sih?” tanya Bintang dengan tampang penasaran.
Alin menyerngit bingung.
“Maksudmu? Aku benar-benar tidak mengerti.”
Bintang menghela napas panjang. “Dia aneh.” Alin menaikkan satu alisnya tak mengerti. “Dia berubah jadi pendiam. Apa yang sebenarnya telah terjadi saat aku dan Reza pergi mencari bantuan?”
Alin terdiam cukup lama. Ia berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi saat itu. Namun, kemudian Alin menggeleng.
“Kau benar-benar tidak tahu?” tanya Bintang ragu.
Alin menggeleng lagi.
“Kalau gitu, coba tolong tanyakan apa yang telah mengganggu pikirannya. Mungkin, jika denganmu, dia mau mengatakannya.”

“Bagaimana keadaanmu?” tanya Aldi memecah lamunan Alin.
Alin menoleh sebentar, lalu kembali menunduk.
“Tadi, aku lihat Vivi menimpamu tadi. Apa kamu baik-baik saja?” tanya Aldi lagi.
Alin mengangguk. Mereka kembali terdiam dan hanyut dalam kebisuan.
“Ada yang mengganggu pikiranmu?” tanya Alin setelah berhasil mengumpulkan keberanian untuk berbicara.
Aldi menyerngit bingung.
“Bintang bilang kamu aneh sepulang dari pondok. Ada apa?” Dari kemarin Alin jadi penasaran dengan apa yang Aldi pikirkan.
Aldi terdiam cukup lama, kemudian menggeleng. “Tak ada. Lebih tepatnya tidak penting.”
“Alin,” panggil Vivi sambil berlari menghampiri Alin. Ia masih belum sadar kalau ada Aldi di sebelah Alin. “Ayo kita ke lapangan. Sebentar lagi kelas kita tampil.”
Alin mengangguk. Ia bangkit dari tempat duduknya dan pamit pada Aldi. Vivi juga pamit. Ia sempat meminta maaf karena merasa telah mengganggu waktu mereka.
“Tak apa,” kata Alin. “Lagipula, kami tidak membicarakan hal penting.”
“Benarkah? Lalu, bagaimana dengan keadaanmu? Aku dengar kamu habis jatuh dari tebing,” Vivi tampak merasa bersalah.
“Tidak apa, aku sehat-sehat saja. Dokter bilang, aku hanya keseleo sedikit. Tidak ada tulang yang patah, kok! Lagipula, aku ini wanita hebat yang tahan banting.”
Vivi tertawa mendengar ocehan Alin. “Waw… Alin sekarang pandai membual. Kau lucu sekali. Hahaha…”
Mereka berdua terus tertawa sampai Aldi melihat mereka berdua menghilang diantara ratusan orang yang sibuk dengan urusan mereka masing-masing.
“Ada yang mengganggu pikiranmu?”
Pertanyaan Alin kembali terngiang di telinganya. Ia ingin menjawab ‘Tentu’. Tapi, tidak mungkin ia lakukan karena itu semua berkaitan dengan Alin.

~~~~~~~~
Para peserta fashion show mulai maju satu per satu . Cika menunggu dengan gusar di belakang panggung bersama Robby. Ia takut saat ia berada diatas panggung, ia akan membuat kesalahan.
“Jangan terlalu gugup! Kita harus bisa bersikap santai,” kata Robby member nasihat.
Cika hanya menghela napas panjang. Masalahnya bukan sesepele itu. Justru Robby-lah yang membuatnya gugup. Ia takut kalau-kalau si Vina and the genk akan berbuat yang macam-macam nanti padanya.
“Tenang aja,” kata Robby lagi, “mereka tak akan berbuat hal yang aneh-aneh.”
Ia merasa agak lega mendengar kata-kata Robby. Setidaknya, ia bebas dari terror Vina and the genk.
“Kalau gitu, kita tampil sekarang,” seru Cika percaya diri.
Mereka berdua berjalan ke atas panggung dengan pede. Tak peduli dengan apa yang orang yang katakana, bagaimana pandangan orang-orang, mereka akan terus maju dengan rasa percaya diri yang meluap-luap di dada mereka.

~~~~~~~~
“Kamu kenal dengan Fakhri?”
Pertanyaan Dessy membuat Aldi menoleh kaget. Kemudian, ia kembali meringkas buku-bukunya ke dalam tas.
“Bukannya gue tahu saat Alin kecelakaan dulu?” jawab Aldi.
“Bukan… Bukan itu maksudku.” Dessy menggaruk-garuk kepalanya bingung. “Maksudku kenal, lebih dari sekedar tahu,” kata Dessy berusaha menjelaskan.
“Ya, begitulah!” jawab Aldi singkat.
“Benarkah?” seru Dessy tak percaya. “Berarti kamu tahu kalau Alin suka Fakhri?” tanya Dessy.
Aldi menyerngit bingung. “Maksud loe? Gue gak ngerti!”
Sontak Dessy menutup mulutnya cepat. Berarti, ia sudah memberitahu Aldi tentang Alin. Ia benar-benar merasa bodoh.
“Lupakan…” kata Dessy tiba-tiba. “Lupakan semua yang tadi telah kukatakan padamu. Oke?”
Tanpa menunggu jawaban dari Aldi, Dessy langsung kabur entah kemana. Aldi hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tingkah Dessy.
“Mana bisa lupa, kan?”
Aldi mengangkat tasnya ke bahu, kemudian berjalan keluar kelas menuju perpustakaan.

~~~~~~~~
Setelah kepergian Alin dan Aldi, taman sekolah menjadi sepi. Reza dan Devi duduk berdampingan di kursi taman. Namun, ada banyak jarak yang memisahkan mereka berdua. Di depan mereka, berdiri Miss Erma yang menatap mereka dengan penuh selidik seolah-olah mereka adalah sepasang pelaku pembunuhan.
“Ini memang mendadak. Saya juga kaget. Tapi, hanya kalian berdua yang bisa saya andalkan,” tukas Miss Erma.
Reza terlihat ingin menolak, sedangkan Devi langsung bergidik ngeri.
“Miss, boleh protes?” tanya Reza yang lebih mirip permintaan bunuh diri.
“Jadi, kamu mau protes?” Miss Erma malah bertanya balik dengan nada sedikit mengancam. Reza langsung mengurungkan niatnya.
“Baiklah, Miss,” kata Devi membuat Reza menoleh bingung. “Kami akan melakukannya.”
Miss Erma menatap Devi senang. Beliau langsung memeluk Devi erat.
“Thank you, Dev! Kamu benar-benar membantu XI A. Kalau gitu, kalian latihan sekarang. Buruan, sudah tidak ada waktu lagi.”
Devi mengangguk patuh. Setelah Miss Erma sudah tidak terlihat, Reza langsung menyerbu Devi dengan tatapan curiga.
“Tenang saja,” kata Devi yang sepertinya mengerti dengan sikap anehnya itu. “Aku punya rencana.”

~~~~~~~~
Sekolah ini penuh dengan hiruk-pikuk siswa-siswi serta para guru. Ada juga para pengurus sekolah lain yang turut serta dalam acara classmeeting. Semua orang mulai larut dalam musik yang menggema seantero sekolah.
“Oke... Ini saat yang kita nanti-nantikan!” kata sang MC semangat. “Siapa disini fansnya REZA?” tanya sang MC.
Orang-orang, terutama para cewek, berteriak dengan histerisnya.
“Baiklah... Mari kita sambut peserta dari kelas XI A.”
Sambutannya cukup meriah. Reza dan Devi naik ke atas panggung dengan wajah bangga. Entah apa yang mereka rencanakan yang pasti itu tidak akan merugikan kelasnya.
Musik mulai bergema menyandungkan nada-nada indah. Devi bernyanyi dengan riangnya. Lagu yang ia bawa membuat semua orang terpana. Semua orang, tanpa terkecuali. Musik dan suara merdunya seakan menjadi kolaborasi yang sangat sempurna. Alin melihat Devi dengan wajah sumringah.
“Ah, akhirnya mereka duet juga,” kata Vivi pada Alin.
Alin mengangguk setuju. Dilihatnya ekspresi wajah Vina dan genknya yang begitu terpukau dengan penampilan mereka. Itu membuatnya semakin terkikik. Segitu hebatnya penampilan Devi dan Reza sampai membuat mereka terbungkam?

~~~~~~~~
“Devi, kalian keren,” puji Rahma sambil mengancungkan dua jempolnya pada Devi dan Reza.
“Terima kasih, terima kasih,” kata Devi malu. Ia mengambil minumnya yang ada di dalam tas.
“Devi... Keren banget,” kata Alin antusias. “Apalagi, waktu lihat ekspresinya Vina dkk. Ugh, bikin ngakak abis, deh!” cerocosnya.
“Vina? Oya? Memangnya gimana ekspresinya?” tanya Dessy penasaran.
“Ya begitulah. Aku tak melihatnya cukup lama. Tapi, cukup membuatku tertawa,” kata Alin masih belum menjawab pertanyaan Dessy.
“Ayolah, katakan! Kami penasaran,” seru Avril. Semua orang mengangguk setuju.
“Baiklah, baiklah.” Dengan gaya soknya, Alin mulai bercerita tentang apa yang ia lihat.
“Benarkah? Ah, sayang sekali. Aku tidak bisa melihatnya secara langsung,” kata Sasha menyesal.
“Benarkah?” giliran Avril yang berkata seperti itu. “Yes, akhirnya kita bisa membuat si cocor bebek dan genknya seperti itu. Kamu hebat, Dev!” pujinya.
“Kalau begitu, aku berhasil,” seru Devi. Kini semua mata beralih padanya. “Aku berhasil membuatnya cemburu.”
Semua tertawa senang. Tentu saja. Sekarang, si Vina dan genknya sudah menjadi musuh besar kelas XI A. Bukan itu saja, bahkan anak kelas sebelas lain pun banyak yang tidak menyukainya, walau tidak semuanya.
“Ya ampun, kalian ini. Gak ada henti-hentinya membenci mereka,” kata Reza.
“Yee… salah mereka sendiri. Kenapa juga mereka bikin banyak musuh di sekolah,” kata Sasha sewot.
Semua mengangguk setuju. Satu lawan banyak, gak mungkin menang.
“Sudahlah,” kata Cika berusaha menenangkan teman-temannya. “Yang berlalu biarkan berlalu. Mending kita semua ke lapangan. Sebentar lagi pengumuman lomba akan segera diumumkan.”
Semua bergerak menuju lapangan. Benar juga, semua orang juga sudah berjalan ke lapangan. Namun, sebagian lagi sudah pulang. Hanya beberapa karena mereka harus mengikuti lomba lain di luar sekolah.
“Rahma, aku tidak lihat dia dari tadi. Kamu lihat?” bisik Devi.
Rahma menggeleng. “Tunggu… Aku sms adikku dulu.”
Devi menebarkan seluruh pandangannya ke seluruh sekolah mencari-cari seseorang. Kemanakah gerangan?

~~~~~~~~
Riri duduk di dapur sekolah. Ia butuh tempat untuk menyendiri. Kelas terlalu banyak orang, apalagi di lapangan. Ia sempat tidak bisa konsentrasi dalam lombanya.
“Woi, Riri,” panggil Beni membuatnya menoleh. “Yee… ngelamun aja. Buruan kumpul di lapangan. Yang lain udah pada nunggu, tuh!”
“Duluan aja! Aku akan menyusul nanti,” balasnya.
Beni tidak pergi juga. Ia masih menunggu Riri disana. Riri benar-benar terganggu dengan tingkah Beni.
“Kenapa masih disitu?” tanya Riri dingin.
“Nungguin elo!” jawab Beni membuat Riri salting.
“Terserah,” kata Riri malas. Ia terus membaca buku yang ia baca sedari tadi dan berpura-pura tidak menyadari kehadiran Beni. Namun, melihat Beni tetap bersikeras ia benar-benar merasa terganggu. Akhirnya ia menyerah juga.
“Baiklah,” seru Riri malas.
Ia pun berjalan menuju lapangan dengan kesal. Saking kesalnya, tanpa sadar ia menabrak Heri yang baru saja keluar dari kelas.
‘Bruukk’
Semua barang yang Heri bawa terjatuh, termasuk buku gambar A3. Buku gambar itu terbuka, memperlihatkan sebagian gambar yang ia buat. Riri baru saja ingin mengambilnya. Namun, Heri sudah lebih dulu mengambilnya.
“Jangan sentuh barang-barangku!” katanya dingin.
Riri mendelik kesal. Di bantuin malah protes.
“Ya sudah!” kata Riri tak kalah dingin.
Ia pun segera menyusul Beni yang sudah tiba di lapangan. Tapi, ada yang mengganggu pikirannya dengan gambar tadi.
“Bukankah itu gambar….”

~~~~~~~~
“Dan juara pertama lomba menyanyi adalah… XI A”
Semua melompat kegirangan. Akhirnya, XI A memenangkan semua lomba yang mereka ikuti. Juara 3 untuk lomba fashion show single putra dan putri. Juara 2 untuk lomba fashion show couple, membuat artikel, dan mading. Dan juara 1 untuk lomba membaca puisi dan menyanyi.
“Baiklah, kepada para pemenang di mohon untuk naik ke atas panggung,” pinta sang MC.
Riri, Beni, Cika, Bintang, Sasha, dan Satria naik ke atas panggung. Reza pergi entah kemana. Begitu juga dengan Devi.
“Mereka berdua kemana, sih?” tanya Miss Erma.
Semua menggeleng tidak tahu.
“Oke, kalau begitu Robby kamu yang menggantikan mereka,” perintah Miss Erma.
Robby baru saja ingin protes. Tapi, Miss Erma sudah lebih dulu menatapnya tajam. Hari ini ia selalu saja menjadi peran pengganti.
“Kalian ada yang melihat mereka berdua?” tanya Miss Erma.
Vivi melirik Dessy, Dessy melirik Alin, Alin melirik Rahma. Mereka bergantian melirik, membuat Miss Erma curiga.
“Kalian ada yang melihat mereka berdua?” ulang Miss Erma dengan nada lebih tinggi.
Semua langsung menggeleng takut.
“Umm… mungkin ke toilet kali, Miss!” seru Dessy.
“Sudahlah,” Miss Erma terlihat tidak peduli.
Alin melirik Dessy dan Rahma dengan tampang penasaran.
“Kemana mereka berdua di saat seperti ini? Apa mereka pergi berdua?” tanya Alin. Sepertinya itu adalah pertanyaan yang bodoh.
“Mana mungkin,” seru Rahma cepat. “Aku rasa itu mustahil,” tambahnya.
“Oh, berarti kamu tahu dimana mereka?” tanya Dessy penasaran.
“Devi iya, Reza enggak,” jawabnya.
“Lalu, kemana mereka?” tanya Alin tak kalah penasaran.
Rahma terdiam sambil tersenyum misterius.
“RAHASIA.”

~~~~~~~~
Akhirnya, setelah berminggu-minggu tidak ketemu. Setelah berhari-hari tak melihatnya, akhirnya ketemu juga.
“Bagas, tunggu!” seru Devi.
Bagas menoleh dan melihat Devi berlari mengejarnya.
“Ada apa, kak?” tanya Bagas. Ia baru saja ingin keluar gerbang dan pergi meninggalkan sekolah.
“Kamu marah sama aku?” tanya Devi to the point.
Bagas menggeleng cepat.
“Lalu, kenapa kamu tidak pernah sms lagi denganku? Kenapa kamu terkesan seperti sedang menjauhiku?” tanya Devi bertubi-tubi.
“Hanya itu yang bisa kulakukan,” jawabnya membuat Devi menyerngit bingung. “Aku tidak bisa terus menerus memikirkan kakak. Aku harus bisa melupakan kakak,” jelasnya.
“Kenapa? Apa karena aku telah menolakmu? Bagaimana kalau aku tidak menolakmu?”
Dalam hati, Devi benar-benar menyesali semua yang pernah ia ucapkan, termasuk kata-kata yang ia katakan tadi. Bagaimana bisa ia terkesan sedang mengemis cinta? Itu benar-benar bukan gayanya.
“Tidak,” jawab Bagas. “Kurasa kakak sudah melakukan hal yang benar. Lebih baik kakak menolakku daripada aku hancur lebih lama lagi.”
Devi terlihat semakin bingung. Apa maksud pembicaraannya?
“Mulai hari ini, aku akan pindah ke Bali,” kata Bagas yang sepertinya bisa membaca pikiran Devi. “Ayahku pindah tugas ke Bali. Semenjak ibuku meninggal, aku hanya tinggal bersama ayah kandungku, ibu tiriku, dan kakakku. Tak ada lagi saudaraku disini. Jadi, aku akan ikut mereka ke Bali.”
Mereka berdua terdiam. Tak ada satu pun yang ingin memecah kesunyian ini. Hanya ada bunyi jantung yang berdetak seolah-olah ia akan pecah sebentar lagi.
“Benarkah? Sejak kapan kamu tahu hal ini?” tanya Devi ingin tahu.
“Semalam. Jadi sekarang, aku tinggal mempersiapkan diri untuk pergi,” kata Bagas sambil memaksakan seulas senyum di bibirnya.
“Kalau begitu, hati-hati! Semoga kamu bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik disana,” ujar Devi.
Bagas tertawa, sedangkan Devi menyerngit bingung.
“Kakak ngomong seperti itu selah-olah aku akan mati sebentar lagi,” kata Bagas menjawab kebingungan Devi.
Mereka kembali terdiam. Untuk sesaat, ia ingin memeluk Devi satu kali saja. Tapi, itu sama sekali tidak bisa ia lakukan.
“Kalau begitu, aku pergi dulu. Sebentar lagi pesawatku akan berangkat.”
Matahari siang menyinari mereka dengan gembira. Namun, suasana hati mereka tak seperti matahari. Devi menatap kepergian Bagas dengan hati yang sesak. Bagaimana bisa perpisahan menjadi suatu hal yang menyakitkan seperti ini?
Disisi lain, Reza tampak sedih melihat Devi yang seperti itu.
“Bro, loe gak mau hibur kesana buat hibur dia?” tanya Aldi yang entah sejak kapan ada dibelakangnya.
“Gila, loe!” kata Reza hampir berteriak. Untung saja, ia masih bisa mengendalikan volume suaranya. “Yang ada suasana makin tambah kacau.”
Aldi mengangguk mengerti.
“Sepertinya kamu sangat menyukainya?” goda Aldi.
“Ukh, mana mungkin!” seru Reza sebal sambil berlalu.

~~~~~~~~
Hari sudah sore. Sekolah sudah sepi satu jam yang lalu. Tapi, Alin masih berada di sekolah. Jemputannya lama sekali. Karena bosan menunggu, ia sengaja berjalan mengelilingi sekolah. Ia melangkahkan kakinya menuju ruang musik. Entah kenapa, kakinya selalu saja ingin melangkah ke ruang ini.
Alin baru saja hendak pergi meninggalkan ruangan itu ketika ia mendengar ada musik yang membuatnya mematung. Musik itu… Musik itu taka sing lagi buatnya.
Aldi tampak serius memainkan pianonya. Jemarinya terus menari dengan indah diatas tuts piano. Alin melangkahkan kakinya ke dalam dan langsung duduk di samping Aldi.
“Yang tadi itu apa?” tanya Alin penasaran.
“Tadi itu lagu Moonlight Sonata dari Beethoven,” jawabnya sambil terus bermain piano.
“Dulu, aku sering mendengar ibumu memainkan ini sebelum tidur. Ah, aku benar-benar merindukan beliau,” kata Alin.
Aldi berhenti bermain dan menoleh ke arah Alin.
“Aku juga,” balasnya.
“Mainkan sekali lagi,” pinta Alin.
Aldi menuruti perintah Alin. Ia kembali memainkan lagu tadi untuk Alin. Alin tampak menikmati permainan Aldi. Saking terbawa suasana, tanpa sadar ia tertidur dan jatuh ke bahu Aldi. Aldi berhenti dan melihat Alin yang tertidur di bahunya. Mungkin ia terlalu lelah. Ia meneliti wajah Alin dan tertawa.
“Kamu lucu… Kau tahu berapa lama aku menahan perasaanku? Tak terhitung berapa lama aku menanti dirimu. Walaupun kau ada disini, mengapa pikiranmu selalu terbang kea lam lain? Ke alam dimana dia berada sekarang. Bisakah kamu melihat ke arahku saja?” tanya Aldi. Ia membelai rambut Alin pelan.
“Aku antar kamu pulang.”
Aldi menggendong Alin. Dalam pelukannya, Alin memandang sekolah yang sudah sepi itu sebentar, lalu ia kembali memejamkan matanya.
“Apakah itu masalahmu, Aldi?” tanya Alin dalam hati.
Sambil berpura-pura tidur, ia biarkan Aldi mengantarnya pulang. Yang penting, ia bisa mengetahui satu hal. Perasaan Aldi, dan tentang masa lalu yang tak pernah ia lupakan.

~~~~~~~~
Ini adalah hari yang paling mendebarkan buat Riri dan semuanya. Hari pembagian rapor sudah tiba. Semua orang tampak gelisah. Tapi, bukan itu yang menjadi masalah Riri. Ia tak perlu khawatir dengan nilai rapornya. Ia yakin hasinya tak akan mengecewakan. Tapi, ia khawatir tentang Ferdy. Bukankah hari ini ia akan menjawab pernyataan Ferdi waktu itu? Atau, lebuh tepat menerima.
“Riri, ayahmu sudah keluar,” kata Avril.
Semua orang langsung menyerbu Ayah Riri dan Riri.
“Bagaimana? Peringkat berapa?” tanya Cika.
“Peringkat 4,” kata Riri sedikit kecewa. Walaupun nilainya naik, tapi peringkatnya turun dari 3 ke 4.
Cika menepuk bahu Riri pelan.
“Yang sabar. Tahun depan kamu pasti bisa lebih baik lagi,” hiburnya.
Riri mengangguk mengerti. Tapi, bukan itu yang ia khawatirkan. Berkali-kali dalam hati ia selalu memikirkan tentang Ferdy. Apa yang akan ia lakukan?

~~~~~~~~
Rapor sudah dibagikan. Semua orang terlihat bahagia. Ada juga yang tidak hanya karena nilai mereka atau peringkat mereka yang menurun. Sebagian lagi tidak peduli dengan nilai rapor mereka. Bukankah libur panjang telah menanti?
“Peringkat berapa, Vi?” tanya Alin pada Vivi.
Vivi hanya diam, tak ingin memberitahu. Alin menatapnya dengan penuh harap. Ia benar-benar penasaran dengan rapor teman sekelasnya.
“Kamu?” VIvi malah bertanya balik pada Alin.
“Yee… Aku duluan yang tanya. Kamu dulu yang jawab, baru aku jawab,” kata Alin.
“Alin peringkat 7. Kamu peringkat berapa?” kata Bintang.
Alin langsung mencubit Bintang karena telah memberitahu peringkatnya pada Vivi. Padahal, ia ingin Vivi yang memberitahu peringkatnya lebih dulu.
“Bintang gak asik, deh! Mentang-mentang kamu peringkat 2…”
“Hah? Bintang peringkat 2? Hebat, donk!” puji Vivi.
Alin memutar-mutar bola matanya malas.
“Jangan dipuji, deh, Vi! Nanti dia besar kepala,” seru Alin
“Cieee… yang iri?” goda Bintang di sambut dengan cubitan dari Alin.
“Aku 17,” bisik Vivi di telinga Alin.
“Benarkah? Hebat, dong!”
Giliran Alin yang memujinya.
“Huh, apa hebatnya? Kalau aku masuk 10 besar, itu baru hebat.”
Alin menepuk bahu Vivi pelan.
“Tak apa. Masih ada tahun depan,” katanya. “Oya, dimana Devi dan yang lain?” tanya Alin.
Vivi menggeleng, sedangkan Bintang mengangkat bahunya tidak tahu. Lalu, dimana mereka?

~~~~~~~~

Devi sedang duduk sambil menangis. Dessy dan Rahma yang duduk disampingnya hanya bisa menepuk-nepuk bahunya pelan.
“Sudahlah,” kata Dessy. “Jangan ditangisi. Masih ada tahun depan, kok, untuk memperbaikinya. Peringkat turun bukan berarti nilaimu turun, kan?”
Rahma mengangguk setuju. Apa yang dikatakan Dessy ada benarnya.
“Tapi, aku takut mamaku marah,” ujar Devi.
Sebenarnya, bukan itu yang membuatnya ingin menangis hari ini. Memang ia sedih karena peringkatnya turun. Tapi, ada yang lebih membuatnya sedih sampai ingin menangis.
Bagas. Bagas yang membuatnya menangis. Dia sudah pergi jauh dan tak akan kembali, Lalu, bagaimana dengan perasaanya. Apa ia bisa melupakannya?
Disisi lain, lagi-lagi Reza mengintipnya. Ada rasa sedih yang menyelimutinya.
“Daripada loe ikutan sedih, gimana loe hibur dia sekarang?” usul Aldi.
Lagi-lagi Aldi mengikutinya. Ia bingung mengapa Aldi terus mengikutinya.
“Dari kemarin loe ngikutin gue terus, ya? Kenapa loe gak ada bosan-bosannya?” tanya Reza sebal.
Aldi hanya mengangkat bahunya.
“Kenapa loe gak urus Alin aja? Bukannya loe suka dia?” tanya Reza.
“Iya, aku suka dia. Tapi, ini belum saatnya. Suatu hari nanti, dia pasti jadi milikku,” jawab Aldi pasti. “Kalo loe?” tanya Aldi balik.
Reza terdiam. “Mungkin, gue gak bakal pernah bilang. Kami gak mungkin bisa menyatu. Tapi, perasaan ini biar gue simpan sendiri,” jawab Reza.
Ia kembali melihat Devi. Dalam hati ia berharap, semoga Devi bisa menemukan kebahagiaannya sendiri.

~~~~~~~~
Ferdi dan Riri duduk saling berhadapan di meja dapur sekolah. Ferdi sudah memasakkan beberapa makanan untuk Riri. Hari ini hari special untuknya. Jadi, ia harus bisa mempersiapkan segalanya.
“Lalu, bagaimana menurutmu?” tanya Ferdi memecah kesunyian.
Riri tersentak kaget, dan mendongak.
“Oh, enak,” jawabnya. Ia tahu bukan itu yang Ferdi harapkan dari jawabannya.
“Bukan itu. Tapi, tentang pernyataanku waktu itu. Bagaimana?” tanya Ferdi.
Riri terdiam cukup lama. Ia harus bisa memikirkan segala resiko yang akan ia dapat setelahnya. Setelah dipikir matang-matang, ia menjawabnya.
“Baiklah,” kata Riri.  “Aku akan menjawabnya. Tapi, jangan kecewa,” kata Riri.
Ferdi mendengar dengan seksama. Dalam hati ia berharap, semoga yang Riri katakan tidak membuatnya kecewa.

~~~~~~~~

2 komentar:

  1. Wih...udah banyak ternyata karyanya!!
    sukses ya...

    BalasHapus
  2. @Dede. Ah, iya. Ini cuma iseng2 aja, sih. Jadi, agak jelek ceritanya. :D

    Iya (y)

    BalasHapus