Selasa, 24 April 2012

GUARDIAN ANGEL (12)


HAVE A MIRACLE?

Dessy hampir saja putus asa. Namun, ia merasakan seseorang menyentuh bahunya. Dessy berbalik dan terkejut melihat orang itu. “A… Alin…”
Alin menatap Dessy sedih. Ia tidak tahu harus berkata apa. “Maaf, Des”
Dessy menggeleng cepat. “I’m fine! No problem” ucapnya cepat.
Alin pun memeluk Dessy. “Jangan khawatir, Des!” bisik Alin pelan.
Adakah keajaiban untukku?, batin Dessy

~~~~~~~~
Alin masuk ke dalam kelasnya dengan riang. Sesekali ia bersenandung ria.
“Kamu kenapa, Lin? Sakitmu kambuh lagi, ya?” tanya Vivi sambil meletakkan tangannya di dahi Alin. “Ah, sepertinya penyakitmu kambuh lagi. Badanmu panas sekali” tambah Vivi.
Alin hanya menyerngit bingung. dia pun memeriksa dahinya. “Gak panas-panas amat, kok! Hei, kamu mengejekku, ya!” kata Alin. Vivi langsung berlari keluar kelas.
“Teet…teettt…” terdengar bunyi bel masuk. Semua murid kelas XI A segera masuk dan duduk di bangku mereka masing-masing. Bukannya apa, tapi pelajaran pertama mereka adalah fisika, pelajaran yang ditakuti kebanyakan orang. Ditambah lagi yang mengajarnya adalah Pak Joko, guru killer yang paling ditakuti. 5 menit setelah bel masuk berbunyi, Pak Joko datang bersama seorang anak laki-laki. Sepertinya dia adalah murid baru.
“Selamat pagi, anak-anak. Hari ini kita kedatangan murid baru” kata Pak Joko.
“Yah, murid baru lagi” celetuk Aldi pelan.
Alin hanya menggelengkan kepalanya tak peduli. Lalu, ia menoleh ke belakang. “Des, kenapa murung? Senyum, dong! Jangan lesu gitu” kata Alin berusaha menyemangati Dessy. Dessy menggangguk pelan sambil tersenyum pada Alin.
“Baiklah, kepada murid baru silahkan perkenalkan diri anda di depan kelas” perintah Pak Joko pada cowok itu. Dia yang dari tadi berdiri di belakang Pak Joko sekarang maju ke depan kelas sambil mengangkat kepalanya yang dari tadi menunduk. Vivi, Riri, Devi, Rahma, Cika dan Aldi tercengang melihatnya.
“Des, coba lihat ke depan” Cika menyikut siku Dessy tiba-tiba.
Dessy mengarahkan pandangannya ke arah murid baru itu dan tersentak melihatnya. Murid baru itu sendiri tersenyum padanya. “Apa benar itu dia? Atau aku hanya mimpi” bisik Dessy pelan. Ia mengucek-ngucek matanya seolah-olah ia salah lihat. Cika menggelengkan kepalanya melihat tingkah Dessy.
“Enggak, Des! Kamu bukan mimpi. This is real” balas Cika lebih pelan.
“Perkenalkan, nama saya Bintang  Legiansyah. Saya pindahan dari Palembang. Terima kasih”
“Baiklah. Kalau begitu, silahkan duduk di sana” Pak Joko menunjuk ke arah kursi kosong yang ada di sebelah Rahma. Bintang mengangguk dan segera duduk di kursi yang di tunjuk Pak Joko. Alin kembali menoleh ke arah Dessy dan memberi sebuah kertas. Dessy dan Cika segera membaca surat itu. Isinya “Maafin aku, yaJ”.
“Kali ini dimaafin. Tapi, lain waktu, NO!” bisik Dessy pelan.
“Baiklah kalau begitu kita mulai masuk ke materi baru tentang ‘Usaha dan Energi’. Silahkan buka buku kalian” kata Pak Joko. Kemudian mereka semua mulai menulis rumus-rumus  di papan tulis.

~~~~~~~~
Reza dan Aldi terlihat sedang bingung dengan angka-angka yang tertera di buku Alin. Sesekali mereka melihat sekeliling isi rumah itu mencari sosok Alin yang tak kunjung datang.
“Tuh anak kemana, sih? Cuma ngambil minuman di dapur hampir setengah jam” gerutu Aldi. Reza hanya mengangkat bahunya.
“Aarrgghh” teriak Reza frustasi. Aldi yang duduk disampingnya terlonjak kaget mendengar teriakkan Reza.
“Loe kenapa, Za? Gak ngerti juga gimana caranya?” tanya Aldi.
Tak lama, Alin datang ke ruang keluarga dimana Reza dan Aldi berada sambil membawa 4 gelas air putih.
“Maaf, ya, nunggunya kelamaan. Soalnya aku tadi masih nelpon Devi dulu buat nyuruh dia datangnya agak cepatan dikit” kata Alin dengan nada bersalah. Ia meletakkan gelas-gelas itu diatas meja. Lalu, duduk di depan Reza.
“Yang mana kalian tidak mengerti?” tanya Alin. Ia tahu mereka berdua masih belum mengerti soal matematika itu.
“Yang ini” Reza menunjuk soal nomor 2. “Koq bisa sin 750 = ¼  ( 1+ ) ?”
“Oh, itu mudah. Caranya kan sudah ada di buku, nih!  Sin 75diubah menjadi sin 300 . cos 450 + cos 300 . sin 450 . Lalu, bla..bla..bla... Nanti, kalau udah selesai, pasti dapat deh hasilnya ¼  ( 1+ )” jelas Alin panjang-lebar-tinggi. Reza mengangguk-angguk, sedangkan Aldi hanya asyik main game di PSP-nya. Ia malas sekali kalau sudah mendengar Alin berceloteh.
“Ting…tong…” bel rumahnya berbunyi. Sepertinya Devi sudah datang. Alin segera lari keruang depan dan membuka pintu. Dan benar, Devi sudah datang kerumahnya dengan nafas tersengal-sengal. Alin menyerngit bingung.
“Kenapa, Dev? Jangan bilang kamu habis di kejar anjing, ya?” tebak Alin.
Devi mengangguk cepat sambil cepat-cepat masuk kedalam rumah. “Sekarang, itu tidak penting lagi. Yang penting, kamu antar aku ke toilet, dong! Aku udah kebelet, nih!” kata Devi cepat. Alin hanya mengangguk dan segera mengantar Devi ke toilet.

~~~~~~~~
Riri, Cika, dan Vivi terlihat sedang asyik mencari gerakan-gerakan dance yang bagus. Mereka bergerak-gerak ala para girlband Indonesia dan korea yang akhir-akhir ini terkenal. Sedangkan, Dessy, Sasha, dan Rahma sedang asyik mencari lagu yang akan mereka nyanyikan di internet. Sesekali mereka berselisih pendapat dapat memilih gerakan maupun lagu.
“Sepakat, ya! Kita pakai lagu ini aja” kata Dessy dan disusul anggukan Sasha dan Rahma. “Kalo kalian bagaimana?” tanya Dessy. Riri, Cika, dan Vivi mengangkat jempol mereka tanda semuanya sudah selesai.
“Baiklah, kalau begitu, kita mulai latihan, ya!” kata Sasha. Mereka pun mulai mengambil posisi mereka masing-masing.

~~~~~~~~
Devi dan Alin kembali keruangan keluarga. Disitu, hanya ada Reza sendirian yang sedang menyalin pr matematika.
“Aldi mana, Za?” tanya Alin walaupun dia tampak malas menanyakannya.
“Tadi dia pulang. Katanya ada yang ketinggalan” jawab Reza tanpa melepaskan pandangannya dari buku itu. 
Alin mengangkat bahunya malas, kemudian duduk di sofa sambil membaca komik yang ia tinggalkan di sofa saat Reza dan Aldi datang. Devi juga ikut duduk di sofa sambil mengambil minuman yang ada di meja dan meneguknya hingga setengahnya. Reza berhenti menulis dan melihat gelas yang sedang di pegang Devi.
“Stop! Jangan minum air itu!” kata Reza cepat.
Devi menghentikan gerakannya dan melirik Reza sebentar. “Apa?” tanyanya singkat. Kemudian, ia lanjutkan minumnya.
“Jangan diminum! Air itu… air itu bekas cucian tanganku” ujar Reza.
Devi yang mendengarnya langsung memuncratkan minumannya ke wajah Reza yang duduk persis di depannya. Untung saja Alin duduk agak menjauh dari .
“Aissh…. Loe apa-apaan, sih, Dev! Main muncrat-muncrat aja. Jorok banget jadi cewek!” gerutu Reza sambil membersihkan wajahnya yang terkena air dengan tisu.
Devi terbatuk,”Uhuk…uhuk… jelas-jelas loe yang jorok. Lagian salah loe sendiri kenapa loe cuci tangan di dalam gelas ini… hoeekk” Devi berusaha memuntahkan air yang tadi ia minum ke lantai.
“BERISIK!!! Kalian berdua sama-sama jorok. Devi, jangan muntah disitu. Mending ke toilet saja”kata Alin cepat. Devi segera berlari ke toilet. Alin berbalik kearah Reza. “Dan kamu Reza, lain kali jangan cuci tangan di gelas”. Aldi pun datang sambil melihat Alin yang kini menatapnya tajam Devi kembali lagi dari toilet.
“Loe kenapa, Dev?” tanya Aldi.
Devi menunjuk kearah Reza. “Dia tuh jorok. Masa’ cuci tangan di gelas”. Aldi hanya ber-“o” saja. Sedangkan, Reza hanya cekikikan saja di tempat duduknya.
“Udah-udah! Mending kita langsung latihan. Waktu kita nggak banyak. Cuma ada 3 hari lagi untuk persiapan lombanya” kata Alin mengalihkan topik. Kalau tidak, di rumahnya bakalan terjadi perang dunia ke-3.
Devi terbelalak mendengar Alin,”Hah? Lomba? Jadi, itu lomba, ya?”
Aldi mengangguk cepat. “Emangnya loe gak tau, ya?”. Devi menggeleng.
“Ya udah! Mending kita latihan sekarang. Yuk, ke gudang tempat kita latihan sekarang” kata Alin sambil berjalan menuju gudang yang ada di samping garasi rumahnya.

~~~~~~~~
Cika sedang asyik duduk di bangku Alin saat Robby datang menghampirinya. Kemudian duduk di samping Cika dan menunjukkan beberapa lembar kertas kepada Cika.Vivi menyenggol siku Riri yang duduk di sampingnya sambil mengarahkan pandangannya ke Cika. Mereka menoleh kebelakang sambil bisik-bisik tidak jelas. Cika sempat memelototi mereka berdua yang dari tadi kasak-kusuk di depannya.
“Bagaimana?” tanya Robby tiba-tiba. Cika segera mengalihkan pandangannya dari Vivi dan Riri. Lalu, melihat tulisan-tulisan yang ada di kertas.
“Sepertinya karya tulis kita sudah bagus. Tinggal lengkapi lagi  kesimpulannya dan tambahkan sedikit saran lagi” komentar Cika sambil memberikan kertas itu kepada Robby yang dari tadi melihat Cika. Melihat Robby terus menatapnya seperti itu, Cika menjadi malu dan risih. “Apakah kamu mendengar apa yang kukatakan tadi?” tanya Cika dengan nada suaranya sedikit dinaikkan. Ia tadi sempat menangkap wajah tidak suka dari Elda melihat kedekatan mereka berdua.
“Iya, aku dengar! Hanya saja aku ingin…”
“Sudahlah, mending kamu urus pacarmu tuh yang dari tadi nungguin kamu” potong Cika cepat.
Robby melirik Elda malas sambil berangkat dari tempat duduknya. “Ya sudah! Kalau masih ada yang kurang, aku akan pergi kerumahmu”.
“Tidak usah! Sepertinya, akhir-akhir ini aku sibuk. Jadi, tanyakan saja pada Jefri” kata Cika cepat, lalu berangkat dari tempat duduknya sambil menarik tangan Riri.
“Kita mau kemana?” tanya Riri pelan.
“Toilet” jawab Cika padat-jelas-singkat.

~~~~~~~~
Di sore hari, SMA Garuda Internasional tampak sepi. Paling hanya ada beberapa murid yang sedang mengikuti ekskul di sekolah. Riri berlari menuju kelasnya dengan tergesa-gesa. Ia khawatir pintu kelasnya sudah terkunci.
“Stop…stop… jangan dikunci pintunya” kata Riri cepat. Ia berhenti sebentar di depan pintu kelas untuk mengatur nafasnya sebentar, lalu masuk kedalam kelas. Penjaga sekolah yang mau mengunci kelas itu pun bingung melihat tingkah Riri. Tak lama, Riri kembali dengan membawa tas jinjing yang berisi banyak buku. “Terima kasih, ya, pak!” ucapnya sambil tersenyum manis pada penjaga sekolah itu.
“Lain kali, jangan meninggalkan barang-barang disekolah, ya!” ujar penjaga sekolah. Riri mengangguk malu. Ia pun segera pamit, kemudian pergi meninggalkan kelasnya. Riri berjalan menuju dapur sekolah. Iya tidak tau mengapa dia harus kesana, tetapi, kakinya ingin sekali berjalan ke dapur sekolah.
“Mmm, harumnya” kata Riri sambil berusaha mencari aroma yang menggodamya itu. ia terus berjalan sampai ia tiba di depan pintu dapur. “Sepertinya, bau tadi berasal dari sini, deh!”. Riri membuka pintu dapur itu perlahan dan terbelalak melihat suasana di dalamnya.

~~~~~~~~
Jalan raya tampak ramai dengan lalu lalang kendaraan. Di bawah pancaran matahari sore itu, Devi terpaksa mendorong motornya yang tadi tiba-tiba mogok saat ia sedang menuju rumah Alin. Ia melihat jalanan di sekelilingnya.
“Tak adakah orang yang berniat membantuku yang sedang kesulitan ini?” tanyanya sambil menatap sedih dirinya. Beberapa meter kemudian, ia berhenti.
“DAMN!” makinya pada motor itu sambil menendang ban motor kuat. Tapi, ia meringis kesakitan karena ia menendangnya terlalu kuat. Ia mengambil hp di dalam sakunya. Kemudian, ia berteriak frustasi. “Aarrrghh, mana pulsa habis. Lagipula, bengkel dimana, sih? Masa’ udah berjalan bermeter-meter gak ketemu juga?” kata Devi sedih. Ia kembali menatap hp-nya dan berniat untuk membuangnya. Baru saja ia ingin melempar hp itu, seseorang menelponnya.
“HALO” teriak Devi senang.

~~~~~~~~
Alin mondar-mandir di depan rumahnya menunggu Devi yang tak kunjung datang-datang juga. Padahal ia sudah menunggu hampir 1 jam.
“Dia kan sudah terbiasa seperti itu. terbiasa membuat orang lain menunggu lama” sindir Reza.
Alin berhenti sambil menatap Reza tajam. Lalu menghela nafasnya pelan, “Iya, sih! Tapi, entah mengapa perasaanku tidak enak”.
“Telpon aja dia” usul Aldi yang sedang duduk santai di sofa ruang depan sambil membaca majalah.
“Benar juga” kata Alin. Ia segera berlari keruang tamu menghampiri Aldi, lalu merebut hp-nya.
“Hey” Aldi berusaha merebut hp-nya. Tetapi, Alin sudah berlari jauh ke teras depan.
“HALO” teriak Devi dari ujung telpon. Saking besarnya ia teriak, Alin terpaksa menjauhkan hp Aldi dari telinganya.
“Hey, kamu dimana, sih? Ditungguin dari tadi gak datang-datang. Ada masalah?” tanya Alin.
“Iya… motorku tiba-tiba mogok. Mau ke bengkel, eh bengkelnya gak ketemu-ketemu. Mau nelpon, gak punya pulsa” ujar Devi sedih.
“Ckckck… kasihan, ya, kamu!” kata Alin sambil menggelengkan kepalanya.
“Tak ada waktu untuk itu. yang penting kamu tolongin aku sekarang”
“Oke, oke! Sekarang, kamu dimana?..... ya, nanti aku kirim bantuan padamu… Iya, jangan hilang, ya! Bye….” Alin menutup telponnya, lalu kembali masuk kedalam.
“Mmm… Reza, tolong jemput Devi, dong! Please…” kata Alin dengan nada memohon. Reza tampak terlihat ragu. “Ayolah, aku benar-benar minta tolong sama kamu, Za! Tolong, ya!” bujuknya lagi. Reza tampak berpikir sebentar, lalu mengangguk.

~~~~~~~~
Riri terlihat ragu saat ia berjalan masuk kedalam. Ada banyak siswi-siswi kelas 10 di dapur itu. Hanya Ferdi yang ia kenal disitu.
“Masuklah, jangan malu” kata Ferdi sambil tersenyum pada Riri.
Riri membalas senyuman sambil mengangguk, kemudian melangkah masuk.
“Nah, adik-adik! Sore ini kakak akan mengajari kalian cara membuat kue brownies. Pertama-tama, kalian harus menyiapkan alat dan bahan-bahan apa saja yang akan kita gunakan… bla…bla…” Ferdi terus berceloteh tentang apa saja alat dan bahan. Sesekali Riri tersenyum kecut melihat Ferdi. Ia merasa kehadirannya disitu tidak di harapkan.
“Riri, kamu mau kemana?” tanya Ferdi saat Riri baru saja ingin melangkah keluar dapur. Riri menghentikan langkahnya, lalu menoleh kearah Ferdi.
“Maaf, aku pikir kehadiranku tidak diharapkan disini. Makanya, aku bermaksud untuk pergi saja dari sini” jawab Riri jujur.
Ferdi tertawa  pelan, “Siapa bilang? Justru aku berharap untuk datang kesini. Kedatanganmu disini bagaikan sebuah keajaiban bagiku”.
“Oh, ya?” tanya Riri ragu. Ferdi mengangguk cepat. “Baguslah! Kalau begitu, ada yang bisa aku bantu?” tanya Riri lagi. Ferdi kembali mengangguk.

~~~~~~~~
Devi duduk di bengkel tak jauh dari tempat ia berhenti waktu Alin menelponnya. Ia menunggu bala bantuan yang akan menjemputnya.
“Neng lagi nungguin siapa?” tanya si tukang bengkel itu iseng.
“Lagi nungguin teman, om, eh, bang!” jawab Devi.
“Teman atau pacar?” goda si tukang bengkel.
“Teman kok, om!” kata Devi cepat.
“Terus yang itu siapa?” si tukang bengkel menunjuk kearah seorang cowok yang tampak kebingungan diseberang jalan. Devi tercengang melihatnya.
“Reza!” gumamnya pelan. Devi berbalik kearah si tukang bengkel. “Makasih om udah ngasih tau” kata Devi cepat kemudian berjalan menghampiri Reza.
“Kemana aja, sih, loe? Gue udah nunggu dari tadi, tau!” omel Reza saat Devi sudah ada di dekatnya.
“Siapa suruh loe nunggu!”. Hanya jawaban itulah yang terbesit di otaknya.
Reza menatapnya tajam,”Loe, syukur-syukur gue udah mau jemput. Kalau gak, ngesot aja sana kerumah Alin atau kerumah loe. Atau, loe mau nunggu motor loe sampai besok pagi di situ” omel Reza lagi.
Devi mendengus,”Lagian, gue kan gak nyuruh loe jemput gue”
“Loe memang nggak, tapi Alin yang mohon-mohon sama gue” balas Reza tak mau kalah. Devi kembali mendengus.
“Alin, lihat aja kamu nanti! Tunggu pembalasan dari gue” kata Devi dalam hati.
“Ngelamun lagi! Cepat naik! Kasihan Aldi sama Alin. Nanti mereka kelamaan nunggu si putri lelet” ujar Reza. Walaupun masih kesal, Devi akhirnya mengikuti perintah Reza dengan sangat terpaksa. TERPAKSA!!!

~~~~~~~~
Alin pergi ke ruang gudang yang sekarang sudah di ubah menjadi ruang musik disusun dengan Aldi. Alin menoleh kebelakang menghadap Aldi.
“Kenapa loe ngikutin gue?” tanya Alin dengan penuh selidik.
“Siapa yang ngikutin loe? Iih, ge-er banget!”jawab Aldi.
Alin mengangkat bahunya tak peduli, lalu duduk di kursi piano. Kemudian, jari-jarinya mulai bermain diatas tuts piano. Aldi tercengang mendengarnya.
“Lagu ini…”

~~~~~~~~

Selasa, 03 April 2012

GUARDIAN ANGEL (11)


LIFE IS RAINBOW (FULL COLOUR)
  “Fakhri kenapa, Lin? Dia… baik-baik aja, kan?” tanya Aldi cepat.
 “Dia…” Alin mendongak menatap Dessy. “Bisakah kau mencubitku sekarang?” pinta Alin. Dessy dan Aldi menyerngit bingung. Walaupun permintaan Alin terdengar aneh, tetapi Dessy tetap melakukan apa yang diminta Alin.
“Aww…” rintih Alin. “Ini bukan mimpi, ya?” tambahnya. Air matanya kini berganti dengan senyum bahagia. Dessy dan Aldi menjadi semakin bingung.
“Lalu, bagaimana keadaan Fakhri? Apa dia baik-baik saja?” lanjut Dessy.
Alin mengangguk sambil tersenyum senang,”Tentu saja! Tadi dia sudah sadar”
Pintu kamar Fakhri terbuka. Dokter yang memeriksa Fakhri serta para suster berjalan keluar ruangan. Tanpa basa-basi, mereka bertiga menghampiri dokter itu.
“Dok, bagaimana keadaan Fakhri?” tanya Aldi yang mewakili rasa penasaran Dessy dan Alin, walaupun Aldi tahu Alin sudah tahu kalau Fakhri dalam keadaan baik-baik saja. Tetapi, itu tidak menutup kemungkinan kalau Alin juga ikut penasaran.
“Untuk saat ini, dia baik-baik saja. Tetapi…” dokter itu berhenti sejenak. Ia seperti baru teringat sesuatu,”… ah, dia hanya perlu banyak istirahat. Maaf, saya harus pergi dulu. Masih banyak pasien yang harus saya urus. Permisi” ujar dokter itu kemudian berlalu pergi. Dessy dan Alin segera menerobos masuk ke kamar Fakhri untuk melihat keadaannya, kecuali Aldi yang sekarang hanya berdiri terpaku di tempat semula. Ia merasa ada sesuatu yang ganjil. Tetapi, ia tidak tahu apa itu.
“Aldi, kamu tidak masuk?” tanya Dessy di depan pintu. Entah sejak kapan Dessy ada disitu. Aldi hanya mengangguk, kemudian berjalan masuk.
“Dia siapa?” tanya Fakhri pada Dessy saat mereka sudah masuk.
“Oh, ini Aldi, teman sekelas kami” kata Dessy. Aldi hanya tersenyum.
“Kamu… perasaan aku pernah melihatmu. Tapi, dimana, ya?” tanya Fakhri. Ia berusaha mengingat-ingat. Begitu juga dengan Aldi. “Mmm… kalau tidak salah, kamu yang cowok di kafe itu, kan? Kamu yang waktu itu sedang menunggu seseorang di toilet perempuan, kan?” lanjut Fakhri. Tawa Dessy dan Alin meledak. Sedangkan, wajah Aldi berubah merah padam.  Ia berusaha untuk tersenyum.
“Maaf, aku tidak bermaksud mempermalukanmu” ucap Fakhri dengan nada penyesalan. Aldi hanya menggeleng pelan sambil kembali tersenyum.
“No problem! Waktu itu aku memang lagi menunggu seseorang…” Aldi mendelik kesal ke arah Alin yang sekarang sedang bermanja-manja dengan Fakhri di ranjang. “Dan orang itu adalah dia” lanjut Aldi sambil menunjuk Alin. Alin hanya senyum-senyum tidak jelas. Sepertinya ia tahu waktu itu Aldi sedang menunggu dirinya.
“Maaf, lain kali aku tidak main kabur lagi, deh” ujar Alin. Aldi hanya mendengus.
“Sudah, mending kita keluar cari makan. Udah lapar, nie!” Dessy segera menyeret Aldi keluar. Aldi hanya pasrah dengan sikap Dessy. Ia mengerti maksudnya.
“Tunggu, aku mau ikut. Fakhri, kamu istirahat aja dulu. Jangan banyak gerak. Pokoknya, kamu harus banyak-banyak istirahat” ingat Alin.
Fakhri tersenyum, lalu mengacak-acak rambut Alin pelan. “Iya bawel”
“Bye! Yuk, kita pergi” ajak Alin. Dessy hanya bisa menggelengkan kepalanya.

~~~~~~~~
“Lin, kenapa kamu mengikuti kami?” tanya Dessy saat mereka berada di kantin rumah sakit. Alin yang sedang menikmati mie ayamnya menyerngit bingung.
“Emangnya salah, ya! Aku juga lapar tau. Kalian sendiri, jam segini udah pulang sekolah. Bolos, ya?” kata Alin asal. Aldi mendelik sebal. Begitu juga dengan Dessy.
“Loe itu bego atau tolol, sih? Aku tuh sengaja ninggalin kalian berdua. Lagipula, siapa yang bolos? Dia nih tiba-tiba sakit. Terus, disuruh pulang. Aku hanya disuruh mengantarnya. UNDERSTAND!!!” cerocos Dessy kuat sampai-sampai Alin harus menutup telinganya. Orang-orang yang ada di kantin kini menatap Dessy dengan tatapan aneh. Muka Dessy tiba-tiba berubah merah karena malu.
 “It’s been said and done. Every beautiful though…” dering hp Dessy berbunyi. Dengan cepat ia mengangkat hp-nya itu. “Halo, ada apa, Cik?”
Dimana kamu sekarang? Kok tiba-tiba izin pulang, sih?”
“Dirumah sakit. Eh, kita ngomongnya nanti aja, ya! Ntar aku sms. Ok, Bye…” Dessy segera menutup teleponnya. Alin menyerngit bingung melihat tingkah Dessy.
“Kenapa, Des? Mau buru-buru pulang, ya?”
Dessy mengangguk cepat sambil mengambil tasnya dan berangkat dari tempat duduknya. “Aku pulang dulu, ya! Ada urusan penting. Bye” kata Dessy sambil berlalu.
“Dessy kenapa, ya? Kok kayak habis liat setan?” tanya Alin bingung. Aldi hanya mengangkat bahunya.
“Dessy kenapa, Din? Kok tiba-tiba kabur gitu?” tanya seseorang yang sekarang sudah duduk di kursi tempat Dessy duduk tadi. Aldi dan Alin serempak menoleh.
“Sejak kapan loe disini?” tanya Aldi sinis. Bintang tak mempedulikannya.
Alin memandang Aldi tidak suka. “Kenapa loe sewot?” balas Alin garang. Alin berpikir sebentar. “Apa jangan-jangan…” kemudian Alin memandang Dessy yang sekarang sudah pergi entah kemana.
“Jangan-jangan apa?” tanya Bintang penasaran.
Alin menggeleng cepat. “Nothing! Btw, ada yang ingin aku tanyakan sama kamu, Di! Tapi, tidak disini”
“Apakah kehadiranku mengganggu kalian?” tanya Bintang. Ia merasa tersindir.
“Bu, bukan gitu maksudku. Tapi, ini hanya masalah kami berdua. Aku tidak mau orang-orang disini mendengar. Tapi, kalau Aldi tidak keberatan…”
“Gimana kita ngomonginnya di kamar Alin aja? Emangnya loe mau ngomongin tentang apa?” tanya Aldi bingung.
“Ini…” Alin segera mendekatkan kepalanya ketelinga Aldi. “... tentang Deka”

~~~~~~~~
Nafas Alin terasa sesak. Ia masih belum bisa menghentikan tangisannya. Aldi sudah pulang dari tadi karena hari sudah sore. Begitu juga dengan Bintang.
“Dia pikir loe marah sama dia. Soalnya loe tiba-tiba hilang tanpa kabar” ujar Aldi.
“Emangnya ada masalah apa antara Dinda sama Deka?” tanya Bintang bingung.
“Ini hanya salah paham biasa. Tapi, Alin menganggapnya serius” ucap Aldi sinis. Pandangan Bintang kini beralih pada Alin.
“Masalah apa, Din? Katakan padaku?” desak Bintang. Air mata Alin menetes.
“Salah paham? Loe pikir lucu, hah? Bayangkan kalau itu loe!” balas Alin. Bintang semakin bingung, tidak mengerti masalah apa yang mereka bahas.
“Bayangkan foto gue yang lagi tidur bareng Deka di pasang di mading sekolah. Itu jelas-jelas bukan foto gue. Bukan gue” tambah Alin. Bintang sedikit mengerti.
“Foto? Foto yang kamu bilang waktu itu? Foto kamu sama cowok yang gak pake baju itu, ya?” tebak Bintang. Alin mendengus.
“Gara-gara itu, semua orang menjauhiku. SEMUA ORANG, termasuk Fakhri”. Alin duduk di ranjangnya. Tangisnya tak bisa berhenti. “KELUAR KALIAN. AKU MAU SENDIRI” teriak Alin. Bintang dan Aldi segera keluar dari kamar Alin.
“Alin, mengapa kamu menangis?” tanya Fakhri yang sekarang sudah berdiri di depan Alin. Alin menundukkan kepalanya sambil cepat-cepat menghapus air matanya. Namun, setiap kali ia menghapus air matanya, semakin deras air matanya mengalir. Alin merasakan sentuhan hangat di pipinya. Alin segera mendongakkan kepalanya.
“Don’t touch me!” Alin menepis tangan kuat Fakhri. Namun, Fakhri tidak menghiraukannya dan terus menghapus air mata Alin. Melihat itu, Alin jadi tidak tega.
“Kenapa kamu disini? Bukannya kamu benci sama aku tentang masalah itu. kamu tidak mau mempercayaiku. Kamu jahat Fakhri! JAHAT” ujar Alin. Tangisnya mulai mereda. Fakhri memandang Alin lembut. Sebuah senyum merekah di birbirnya.
“Ssttt… jangan bahas soal itu. Aku percaya sama kamu. Sudahlah, jangan di bahas lagi” kata Fakhri lembut. Wajah tampak pucat. Ia segera duduk di samping Alin.
“Dari mana kamu tahu?” tanya Alin.
“Lidya yang menjelaskan padaku mati-matian soal salah paham itu. Deka juga minta maaf soal itu. dia hanya ingin memisahkan antara aku sama kamu. Tapi, ia tidak tahu mengapa foto itu bisa menyebar sampai seluruh sekolah. Tenyata, itu semua ulah Gina. Dia sengaja melakukan itu sama kamu supaya kamu dijauhi semua orang” jelas Fakhri panjang-lebar-tinggi. Alin menghela napas lega.
“Waktu di kafe Lidya, kamu tahu bukan kalau Dinda itu aku?” tanya Alin. Fakhri mengangguk. “Lalu, mengapa kamu pura-pura tidak tahu?” tanya Alin lagi.
“Aku tidak mau kamu pergi. Kamu pergi karena kamu sudah tahu aku mengenali kamu, kan?” balas Fakhri. Alin tertawa pelan.
“Aku sudah menduganya dari pertama kita bertemu” ucap Alin.
“Kalau begitu, kita bisa berteman lagi, kan?” Fakhri mengulurkan tangannya.
“Tentu” kata Alin sambil membalas uluran tangannya.

~~~~~~~~
Alin berjalan memasuki kelasnya. Masih sepi. Hanya ada Dessy (biasa datang pagi), Devi (akhir-akhir ini sering datang pagi, tapi sering menghilang), Cika dan Riri.
“Alin, kamu udah masuk sekolah?” tanya Riri saat ia melihat Alin berjalan menghampiri tempat duduknya. Alin hanya mengangguk sambil tertawa kecil.
“Kamu baik-baik aja? Terus, Fakhri bagaimana?” cerocos Dessy. Yang lain memandang Dessy dengan tatapan bingung. Alin memelototi Dessy dengan sebal.
“Siapa Fakhri?” tanya Devi pada Dessy.
Dessy menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “Ng… Fakhri itu nama kucing… iya kucing yang kami temukan kemarin dirumah sakit. Kakinya luka, terus di obati oleh dokter yang ada di rumah sakit. Benarkan, Lin?”. Alin mengangguk cepat.
“O, btw kita dapat tugas ngisi acara ultah kepala sekolah minggu depan” kata Cika cepat. Dessy dan Alin saling berpandangan.
“Terus?”lanjut Alin.
“Aku, Cika, Vivi, Dessy, Sasha, dan Rahma satu kelompok. Sedangkan, kamu, Devi, Reza dan Aldi satu kelompok. Terserah kalian mau menampilkan apa. Sedangkan, Satria…”
“Ah, aku tau! Pasti baca puisi” cibir Dessy yang memotong pembicaraan Riri.
“Betul banget” seru Rahma yang baru datang.
“Oke, thank’s. Btw, kapan kita mau latihan?” tanya Alin. Devi menggeleng cepat.
“Gak tau! Tanya aja sama Reza. Males banget nanya sama dia” cibir Devi. Lalu, ia menarik lengan Rahma keluar kelas. “Kita pergi dulu, ya!” seru Devi.

~~~~~~~~
Devi terus menyeret Rahma sampai ke gedung olahraga indoor. Seperti biasa, mereka kesana untuk melihat cowok basket yang bernomor punggung 5.
“Ah, aku bosan melihat dia terus” celetuk Rahma saat mereka tiba di sana.
Devi mendelik Rahma sebal.”Maksudmu?”
“Kamu gak punya kerjaan lain selain memotonya secara diam-diam atau mengintipnya latihan basket. Mending kamu samperin dia aja. Atau, kalau kamu mau, aku bisa minta nomor hp-nya” jelas Rahma. Mata Devi tampak berbinar-binar. Tapi, mukanya kusut kembali. “Kenapa? Malu?” tanya Rahma.Devi mengangguk cepat.
“Gak usah, deh, Rahma! Aku takut” kata Devi dengan nada memelas.
Rahma menyerngit bingung. “Apa yang perlu ditakutkan? Biar aku yang tanya” kata Rahma sambil berjalan menghampiri cowok yang memakai baju bernomor punggung 5 itu. tapi, Devi berusaha menahannya. Rahma mendelik Devi sebal.
“Ada apa, sih?” tanya Rahma sambil berusaha melepas tangannya yang di tahan Devi. Tapi, Devi tetap menahannya. Namun…
“Buuk…” sebuah bola basket mendarat bebas di kepala Devi. Devi spontan jatuh sambil memegangi kepalanya yang sakit. “Aww…” rintihnya. Rahma segera menghampiri Devi. Lalu, menoleh kearah cowok-cowok yang sedang bermain basket.
“Maaf, Kak! Kita nggak sengaja” kata cowok yang bernomor punggung 10 dengan nada bersalah. Cowok itu kemudian menoleh ke arah cowok yang memakai baju bernomor punggung 5. “Ini semua gara-gara loe, tau! Coba loe tadi ngelempar bolanya yang bener!” omel cowok itu. cowok yang diomel itu hanya senyum-senyum tidak jelas. Kemudian, ia berjalan menghampiri Devi dan Rahma. Jantung Devi berubah deg-degan. Rasa sakit di kepala yang ia rasakan kini tidak lagi terasa. Ia hanya mencengkram tangan Rahma kuat-kuat tanpa ia tahu kalau Rahma berusaha mati-matian menahan sakit di tangannya itu.
Cowok itu berjongkok di depan Devi sambil meletakkan tangannya di kepala Devi yang terkena bola. Devi berusaha menahan napas dan rasa girangnya. Rahma menarik tangannya cepat sebelum tangan menjadi remuk oleh Devi.
“Masih sakit, ya, Kak?” tanyanya dengan nada takut-takut.
Devi bingung apakah ia harus menjawab iya atau tidak. Namun, kepalanya spontan menggeleng. “Mmm… sepertinya tidak sakit lagi” ucapnya canggung.
Cowok itu menurunkan tangannya, lalu berdiri sambil memungut bola yang ada di dekat mereka. Kemudian, ia mengulurkan tangannya pada Devi. “Mau aku bantu?” tawarnya. Tanpa basa-basi, Devi langsung menerima uluran tangannya, lalu berdiri di depannya. Cowok itu kembali tersenyum pada Devi.
“Namaku Bagas Prasetyo. Dan ini…” ia mengambil sesuatu di kantong celananya, lalu ia selipkan di tangan Devi. “… itu tadi nomor hp-ku” bisiknya pelan yang hampir tidak terdengar. Devi hanya mengangguk, tidak tau harus berkata apa.
“Terima kasih” ucap Devi saat Bambang sudah bergabung dengan teman-temanya. Namun, sepertinya ia masih mendengar ucapan Devi karena dia sudah mengangguk sambil mengatakan sama-sama. Dengan cepat Devi dan Rahma keluar dari gedung olahraga itu. Rahma memandang Devi dengan tatapan bingung.
“Kalian tadi ngomong apa, sih? Kok, main bisik-bisik?”.
Devi cekikikan sendiri. “Ada, deh!”
Rahma menyerngit bingung. ia semakin penasaran. “Apa, sih? Ayo, dong! Kasih tau aku” pinta Rahma dengan nada memohon.
Devi hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. “No,no,no”.
“Ayo, Devi…. Kasih tau, dong! Devi… De…” Rahma menghentikan langkahnya di belakang perpustakaan lama. Devi pun ikut berhenti. Ia menatap Rahma bingung.
“Ada apa, Rahma? Kok berhenti?” tanya Devi. Rahma tidak menjawab. Ia hanya berdiri diam sambil menatap dinding perpustakaan lama. Devi ikut menatap dinding itu. hanya ada gambar bunga dan nama…
“Rahma Oktriyanti? Kok bisa ada nama kamu disini?” tanya Devi bingung sambil menunjuk nama Rahma yang tertulis di dinding itu. Rahma hanya menggeleng.
“Oh, jadi, kamu yang bernama Rahma?” ujar seseorang di belakang mereka. Devi dan Rahma menoleh kebelakang dan…
“Kamu? Kamu cowok yang waktu itu menabrakku, kan?” tanya Rahma.
“Tenang, aku hanya ingin mengembalikan ini padamu” kata cowok itu sambil memberikan selembar kertas pada Rahma. Rahma menerimanya dengan senang.
“Alhamdulillah, akhirnya ketemu juga” ucapnya girang. Ia kembali menatap cowok itu, “Lalu, mengapa lukisan ini ada padamu?”
“Waktu aku menabrakmu, lukisan itu jatuh. Saat aku mau mengembalikannya, kamu sudah pergi entah kemana” jelas cowok itu. kemudian, ia melangkah pergi.
“Tunggu!” teriak Rahma. Ia menghentikan langkanya, lalu menoleh kebelakang. “Kalau aku boleh tau, siapa namamu?” tanya Rahma.
Cowok itu berbalik, “Lihat saja disana” katanya sambil menunjuk lukisan yang dipegang Rahma. Kemudian ia berbalik pergi.
Rahma dan Devi segera melihat lukisan itu. mereka mencari namanya.
“Ini” Devi menunjuk sebuah nama yang ada di pojok kanan bawah lukisan itu.
“Heri Adrizky” seru Rahma.

~~~~~~~~
“Ya, hujan!” celetuk Dessy yang sedang duduk di depan gerbang sekolah. Alin yang duduk di sampingnya hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ckckck… dikasih hujan malah nyeletuk. Harusnya kamu itu bersyukur” ceramah Alin. Dessy hanya memasang tampang kusut.
“Bukan gitu, Alin! Cuma, kalo hujan, aku pasti lama di jemput” ujar Dessy. Alin hanya ber”o” saja. Namun, wajah Dessy semakin tambah bete. “Aku pergi sebentar, ya!” Dessy langsung mengambil tasnya dan berlari memasuki sekolah. Alin tampak bingung. Namun, kebingungannya langsung terjawab.
“Dessy, tunggu” panggil seorang cowok yang tak asing lagi bagi Alin. Alin menoleh ke arah sumber suara dan melihat Bintang sedang mengejar Dessy.
Alin pun berusaha mengejar Bintang. “Dek, kamu tunggu di depan. Biar aku yang bicara sama Dessy” kata Alin saat dia berhasil mengejar Bintang. Ia mengangguk dan mengikuti kata Alin. lalu, Alin mengejar Dessy yang sekarang lari ntah kemana.
“Dessy, tunggu! Aku mau bicara” panggil Alin. Dessy berhenti tepat di depan ruang musik. Alin pun ikut berhenti. Alin mengatur nafasnya sebentar, lalu mulai berbicara pada Dessy. “Dessy, kenapa kamu lari waktu Bintang datang. Kamu ada masalah sama dia?” cerocos Alin. Dessy menggeleng cepat.
“Ayolah, Des! Kasih tau aku. Kalau gak ada masalah, kenapa kamu lari?”
Dessy terdiam. Pertanyaan Alin itu membuatnya tidak berkutik. Apa yang harus ia katakan? “Sudahlah Alin, jangan ikut campur masalahku. Emangnya kamu siapanya dia, hah? Pacarnya?” cerocos Dessy. Namun, cepat-cepat ia menutup mulutnya.
Alin menyerngit bingung, “Maksudmu? Aku pacarnya Bintang?” Alin tertawa kecil. “Yang benar saja, Des! That’s so impossible”. Alin kembali tertawa.
Kembali Dessy yang bingung. “Maksudmu?”
“Des…sy, masa’ sih kamu tidak tahu. Dia itu kan hanya sepupuku yang sedang berlibur. Jangan-jangan kamu salah paham, ya? Kamu cemburu sama aku karena kamu kira dia itu pacarku, ya? Hayo…” goda Alin.
Kini wajah Dessy berubah jadi merah. “Enggak, kok! Siapa yang cemburu. Aku cuma… cuma gak suka di cuekin aja. Masa’ ketemu sama kamu, aku dilupain” kata Dessy dengan ketus. ia berusaha menyembunyikan wajahnya yang memerah.
“Oh, soal itu! Sebenarnya, kesini hanya ingin minta maaf sama kamu sambil dia mau pamit pulang. Kayaknya, setengah jam lagi dia mau pergi. Btw, aku duluan, ya! Jemputanku sudah datang. Bye” Alin berbalik meninggalkan Dessy. Namun, baru beberapa meter ia berjalan, ia berbalik. “Kayaknya dia baru sampai di bandara, deh! Kalau kamu nyusul dia, sepertinya masih sempat. Tapi, aku tidak bisa menjaminnya” kata Alin cepat. Kemudian, berlalu pergi. Dessy hanya berdiri diam di tempatnya. Hujan pun reda. Ia melihat langit yang kini mulai di hiasi pelangi.

~~~~~~~~
Dessy melirik jam tangannya. Iya tidak yakin orang yang ia harapkan akan muncul. Sesekali ia melirik sekeliling bandara itu. Banyak orang yang menatapnya dengan tatapan aneh. Bukan karena apa, tapi seragamnya yang basah serta rambutnya yang lepek membuat penampilannya menjadi aneh. Ia hampir saja putus asa. Namun, ia merasakan seseorang menyentuh bahunya. Dessy berbalik dan terkejut melihat orang itu. “A…”

~~~~~~~~