LIFE IS RAINBOW (FULL COLOUR)
“Dia…” Alin mendongak menatap Dessy. “Bisakah
kau mencubitku sekarang?” pinta Alin. Dessy dan Aldi menyerngit bingung. Walaupun
permintaan Alin terdengar aneh, tetapi Dessy tetap melakukan apa yang diminta
Alin.
“Aww…”
rintih Alin. “Ini bukan mimpi, ya?” tambahnya. Air matanya kini berganti dengan
senyum bahagia. Dessy dan Aldi menjadi semakin bingung.
“Lalu,
bagaimana keadaan Fakhri? Apa dia baik-baik saja?” lanjut Dessy.
Alin
mengangguk sambil tersenyum senang,”Tentu saja! Tadi dia sudah sadar”
Pintu
kamar Fakhri terbuka. Dokter yang memeriksa Fakhri serta para suster berjalan
keluar ruangan. Tanpa basa-basi, mereka bertiga menghampiri dokter itu.
“Dok,
bagaimana keadaan Fakhri?” tanya Aldi yang mewakili rasa penasaran Dessy dan
Alin, walaupun Aldi tahu Alin sudah tahu kalau Fakhri dalam keadaan baik-baik
saja. Tetapi, itu tidak menutup kemungkinan kalau Alin juga ikut penasaran.
“Untuk
saat ini, dia baik-baik saja. Tetapi…” dokter itu berhenti sejenak. Ia seperti
baru teringat sesuatu,”… ah, dia hanya perlu banyak istirahat. Maaf, saya harus
pergi dulu. Masih banyak pasien yang harus saya urus. Permisi” ujar dokter itu
kemudian berlalu pergi. Dessy dan Alin segera menerobos masuk ke kamar Fakhri
untuk melihat keadaannya, kecuali Aldi yang sekarang hanya berdiri terpaku di
tempat semula. Ia merasa ada sesuatu yang ganjil. Tetapi, ia tidak tahu apa
itu.
“Aldi,
kamu tidak masuk?” tanya Dessy di depan pintu. Entah sejak kapan Dessy ada
disitu. Aldi hanya mengangguk, kemudian berjalan masuk.
“Dia
siapa?” tanya Fakhri pada Dessy saat mereka sudah masuk.
“Oh,
ini Aldi, teman sekelas kami” kata Dessy. Aldi hanya tersenyum.
“Kamu…
perasaan aku pernah melihatmu. Tapi, dimana, ya?” tanya Fakhri. Ia berusaha
mengingat-ingat. Begitu juga dengan Aldi. “Mmm… kalau tidak salah, kamu yang
cowok di kafe itu, kan? Kamu yang waktu itu sedang menunggu seseorang di toilet
perempuan, kan?” lanjut Fakhri. Tawa Dessy dan Alin meledak. Sedangkan, wajah
Aldi berubah merah padam. Ia berusaha
untuk tersenyum.
“Maaf,
aku tidak bermaksud mempermalukanmu” ucap Fakhri dengan nada penyesalan. Aldi
hanya menggeleng pelan sambil kembali tersenyum.
“No
problem! Waktu itu aku memang lagi menunggu seseorang…” Aldi mendelik kesal ke
arah Alin yang sekarang sedang bermanja-manja dengan Fakhri di ranjang. “Dan
orang itu adalah dia” lanjut Aldi sambil menunjuk Alin. Alin hanya
senyum-senyum tidak jelas. Sepertinya ia tahu waktu itu Aldi sedang menunggu dirinya.
“Maaf,
lain kali aku tidak main kabur lagi, deh” ujar Alin. Aldi hanya mendengus.
“Sudah,
mending kita keluar cari makan. Udah lapar, nie!” Dessy segera menyeret Aldi
keluar. Aldi hanya pasrah dengan sikap Dessy. Ia mengerti maksudnya.
“Tunggu,
aku mau ikut. Fakhri, kamu istirahat aja dulu. Jangan banyak gerak. Pokoknya,
kamu harus banyak-banyak istirahat” ingat Alin.
Fakhri
tersenyum, lalu mengacak-acak rambut Alin pelan. “Iya bawel”
“Bye!
Yuk, kita pergi” ajak Alin. Dessy hanya bisa menggelengkan kepalanya.
~~~~~~~~
“Lin,
kenapa kamu mengikuti kami?” tanya Dessy saat mereka berada di kantin rumah
sakit. Alin yang sedang menikmati mie ayamnya menyerngit bingung.
“Emangnya
salah, ya! Aku juga lapar tau. Kalian sendiri, jam segini udah pulang sekolah. Bolos,
ya?” kata Alin asal. Aldi mendelik sebal. Begitu juga dengan Dessy.
“Loe
itu bego atau tolol, sih? Aku tuh sengaja ninggalin kalian berdua. Lagipula,
siapa yang bolos? Dia nih tiba-tiba sakit. Terus, disuruh pulang. Aku hanya
disuruh mengantarnya. UNDERSTAND!!!” cerocos Dessy kuat sampai-sampai Alin
harus menutup telinganya. Orang-orang yang ada di kantin kini menatap Dessy
dengan tatapan aneh. Muka Dessy tiba-tiba berubah merah karena malu.
“It’s
been said and done. Every beautiful though…” dering hp Dessy berbunyi. Dengan
cepat ia mengangkat hp-nya itu. “Halo, ada apa, Cik?”
“Dimana kamu sekarang? Kok tiba-tiba izin
pulang, sih?”
“Dirumah
sakit. Eh, kita ngomongnya nanti aja, ya! Ntar aku sms. Ok, Bye…” Dessy segera
menutup teleponnya. Alin menyerngit bingung melihat tingkah Dessy.
“Kenapa,
Des? Mau buru-buru pulang, ya?”
Dessy
mengangguk cepat sambil mengambil tasnya dan berangkat dari tempat duduknya.
“Aku pulang dulu, ya! Ada urusan penting. Bye” kata Dessy sambil berlalu.
“Dessy
kenapa, ya? Kok kayak habis liat setan?” tanya Alin bingung. Aldi hanya
mengangkat bahunya.
“Dessy
kenapa, Din? Kok tiba-tiba kabur gitu?” tanya seseorang yang sekarang sudah
duduk di kursi tempat Dessy duduk tadi. Aldi dan Alin serempak menoleh.
“Sejak
kapan loe disini?” tanya Aldi sinis. Bintang tak mempedulikannya.
Alin
memandang Aldi tidak suka. “Kenapa loe sewot?” balas Alin garang. Alin berpikir
sebentar. “Apa jangan-jangan…” kemudian Alin memandang Dessy yang sekarang
sudah pergi entah kemana.
“Jangan-jangan
apa?” tanya Bintang penasaran.
Alin
menggeleng cepat. “Nothing! Btw, ada yang ingin aku tanyakan sama kamu, Di!
Tapi, tidak disini”
“Apakah
kehadiranku mengganggu kalian?” tanya Bintang. Ia merasa tersindir.
“Bu,
bukan gitu maksudku. Tapi, ini hanya masalah kami berdua. Aku tidak mau
orang-orang disini mendengar. Tapi, kalau Aldi tidak keberatan…”
“Gimana
kita ngomonginnya di kamar Alin aja? Emangnya loe mau ngomongin tentang apa?”
tanya Aldi bingung.
“Ini…”
Alin segera mendekatkan kepalanya ketelinga Aldi. “... tentang Deka”
~~~~~~~~
Nafas
Alin terasa sesak. Ia masih belum bisa menghentikan tangisannya. Aldi sudah
pulang dari tadi karena hari sudah sore. Begitu juga dengan Bintang.
“Dia pikir loe marah
sama dia. Soalnya loe tiba-tiba hilang tanpa kabar” ujar Aldi.
“Emangnya ada masalah
apa antara Dinda sama Deka?” tanya Bintang bingung.
“Ini hanya salah paham
biasa. Tapi, Alin menganggapnya serius” ucap Aldi sinis. Pandangan Bintang kini
beralih pada Alin.
“Masalah apa, Din? Katakan
padaku?” desak Bintang. Air mata Alin menetes.
“Salah paham? Loe pikir
lucu, hah? Bayangkan kalau itu loe!” balas Alin. Bintang semakin bingung, tidak
mengerti masalah apa yang mereka bahas.
“Bayangkan foto gue yang
lagi tidur bareng Deka di pasang di mading sekolah. Itu jelas-jelas bukan foto
gue. Bukan gue” tambah Alin. Bintang sedikit mengerti.
“Foto? Foto yang kamu
bilang waktu itu? Foto kamu sama cowok yang gak pake baju itu, ya?” tebak
Bintang. Alin mendengus.
“Gara-gara itu, semua
orang menjauhiku. SEMUA ORANG, termasuk Fakhri”. Alin duduk di ranjangnya.
Tangisnya tak bisa berhenti. “KELUAR KALIAN. AKU MAU SENDIRI” teriak Alin.
Bintang dan Aldi segera keluar dari kamar Alin.
“Alin,
mengapa kamu menangis?” tanya Fakhri yang sekarang sudah berdiri di depan Alin.
Alin menundukkan kepalanya sambil cepat-cepat menghapus air matanya. Namun,
setiap kali ia menghapus air matanya, semakin deras air matanya mengalir. Alin
merasakan sentuhan hangat di pipinya. Alin segera mendongakkan kepalanya.
“Don’t
touch me!” Alin menepis tangan kuat Fakhri. Namun, Fakhri tidak menghiraukannya
dan terus menghapus air mata Alin. Melihat itu, Alin jadi tidak tega.
“Kenapa
kamu disini? Bukannya kamu benci sama aku tentang masalah itu. kamu tidak mau
mempercayaiku. Kamu jahat Fakhri! JAHAT” ujar Alin. Tangisnya mulai mereda.
Fakhri memandang Alin lembut. Sebuah senyum merekah di birbirnya.
“Ssttt…
jangan bahas soal itu. Aku percaya sama kamu. Sudahlah, jangan di bahas lagi”
kata Fakhri lembut. Wajah tampak pucat. Ia segera duduk di samping Alin.
“Dari
mana kamu tahu?” tanya Alin.
“Lidya
yang menjelaskan padaku mati-matian soal salah paham itu. Deka juga minta maaf
soal itu. dia hanya ingin memisahkan antara aku sama kamu. Tapi, ia tidak tahu
mengapa foto itu bisa menyebar sampai seluruh sekolah. Tenyata, itu semua ulah
Gina. Dia sengaja melakukan itu sama kamu supaya kamu dijauhi semua orang”
jelas Fakhri panjang-lebar-tinggi. Alin menghela napas lega.
“Waktu
di kafe Lidya, kamu tahu bukan kalau Dinda itu aku?” tanya Alin. Fakhri
mengangguk. “Lalu, mengapa kamu pura-pura tidak tahu?” tanya Alin lagi.
“Aku
tidak mau kamu pergi. Kamu pergi karena kamu sudah tahu aku mengenali kamu,
kan?” balas Fakhri. Alin tertawa pelan.
“Aku
sudah menduganya dari pertama kita bertemu” ucap Alin.
“Kalau
begitu, kita bisa berteman lagi, kan?” Fakhri mengulurkan tangannya.
“Tentu”
kata Alin sambil membalas uluran tangannya.
~~~~~~~~
Alin
berjalan memasuki kelasnya. Masih sepi. Hanya ada Dessy (biasa datang pagi),
Devi (akhir-akhir ini sering datang pagi, tapi sering menghilang), Cika dan
Riri.
“Alin,
kamu udah masuk sekolah?” tanya Riri saat ia melihat Alin berjalan menghampiri
tempat duduknya. Alin hanya mengangguk sambil tertawa kecil.
“Kamu
baik-baik aja? Terus, Fakhri bagaimana?” cerocos Dessy. Yang lain memandang
Dessy dengan tatapan bingung. Alin memelototi Dessy dengan sebal.
“Siapa
Fakhri?” tanya Devi pada Dessy.
Dessy
menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “Ng… Fakhri itu nama kucing… iya
kucing yang kami temukan kemarin dirumah sakit. Kakinya luka, terus di obati
oleh dokter yang ada di rumah sakit. Benarkan, Lin?”. Alin mengangguk cepat.
“O,
btw kita dapat tugas ngisi acara ultah kepala sekolah minggu depan” kata Cika
cepat. Dessy dan Alin saling berpandangan.
“Terus?”lanjut
Alin.
“Aku,
Cika, Vivi, Dessy, Sasha, dan Rahma satu kelompok. Sedangkan, kamu, Devi, Reza
dan Aldi satu kelompok. Terserah kalian mau menampilkan apa. Sedangkan,
Satria…”
“Ah,
aku tau! Pasti baca puisi” cibir Dessy yang memotong pembicaraan Riri.
“Betul
banget” seru Rahma yang baru datang.
“Oke,
thank’s. Btw, kapan kita mau latihan?” tanya Alin. Devi menggeleng cepat.
“Gak
tau! Tanya aja sama Reza. Males banget nanya sama dia” cibir Devi. Lalu, ia
menarik lengan Rahma keluar kelas. “Kita pergi dulu, ya!” seru Devi.
~~~~~~~~
Devi
terus menyeret Rahma sampai ke gedung olahraga indoor. Seperti biasa, mereka
kesana untuk melihat cowok basket yang bernomor punggung 5.
“Ah,
aku bosan melihat dia terus” celetuk Rahma saat mereka tiba di sana.
Devi
mendelik Rahma sebal.”Maksudmu?”
“Kamu
gak punya kerjaan lain selain memotonya secara diam-diam atau mengintipnya
latihan basket. Mending kamu samperin dia aja. Atau, kalau kamu mau, aku bisa
minta nomor hp-nya” jelas Rahma. Mata Devi tampak berbinar-binar. Tapi, mukanya
kusut kembali. “Kenapa? Malu?” tanya Rahma.Devi mengangguk cepat.
“Gak
usah, deh, Rahma! Aku takut” kata Devi dengan nada memelas.
Rahma
menyerngit bingung. “Apa yang perlu ditakutkan? Biar aku yang tanya” kata Rahma
sambil berjalan menghampiri cowok yang memakai baju bernomor punggung 5 itu.
tapi, Devi berusaha menahannya. Rahma mendelik Devi sebal.
“Ada
apa, sih?” tanya Rahma sambil berusaha melepas tangannya yang di tahan Devi.
Tapi, Devi tetap menahannya. Namun…
“Buuk…”
sebuah bola basket mendarat bebas di kepala Devi. Devi spontan jatuh sambil
memegangi kepalanya yang sakit. “Aww…” rintihnya. Rahma segera menghampiri
Devi. Lalu, menoleh kearah cowok-cowok yang sedang bermain basket.
“Maaf,
Kak! Kita nggak sengaja” kata cowok yang bernomor
punggung 10 dengan nada bersalah. Cowok itu kemudian menoleh ke arah cowok yang
memakai baju bernomor punggung 5. “Ini semua gara-gara loe, tau! Coba loe tadi
ngelempar bolanya yang bener!” omel cowok itu. cowok yang diomel itu hanya
senyum-senyum tidak jelas. Kemudian, ia berjalan menghampiri Devi dan Rahma.
Jantung Devi berubah deg-degan. Rasa sakit di kepala yang ia rasakan kini tidak
lagi terasa. Ia hanya mencengkram tangan Rahma kuat-kuat tanpa ia tahu kalau
Rahma berusaha mati-matian menahan sakit di tangannya itu.
Cowok itu berjongkok di depan Devi sambil meletakkan
tangannya di kepala Devi yang terkena bola. Devi berusaha menahan napas dan
rasa girangnya. Rahma menarik tangannya cepat sebelum tangan menjadi remuk oleh
Devi.
“Masih sakit, ya, Kak?” tanyanya dengan nada takut-takut.
Devi bingung apakah ia harus menjawab iya atau tidak. Namun,
kepalanya spontan menggeleng. “Mmm… sepertinya tidak sakit lagi” ucapnya
canggung.
Cowok itu menurunkan tangannya, lalu berdiri sambil memungut
bola yang ada di dekat mereka. Kemudian, ia mengulurkan tangannya pada Devi.
“Mau aku bantu?” tawarnya. Tanpa basa-basi, Devi langsung menerima uluran
tangannya, lalu berdiri di depannya. Cowok itu kembali tersenyum pada Devi.
“Namaku Bagas Prasetyo. Dan ini…” ia mengambil sesuatu di
kantong celananya, lalu ia selipkan di tangan Devi. “… itu tadi nomor hp-ku”
bisiknya pelan yang hampir tidak terdengar. Devi hanya mengangguk, tidak tau
harus berkata apa.
“Terima kasih” ucap Devi saat Bambang sudah bergabung dengan
teman-temanya. Namun, sepertinya ia masih mendengar ucapan Devi karena dia
sudah mengangguk sambil mengatakan sama-sama. Dengan cepat Devi dan Rahma
keluar dari gedung olahraga itu. Rahma memandang Devi dengan tatapan bingung.
“Kalian tadi ngomong apa, sih? Kok, main bisik-bisik?”.
Devi cekikikan sendiri. “Ada, deh!”
Rahma menyerngit bingung. ia semakin penasaran. “Apa, sih?
Ayo, dong! Kasih tau aku” pinta Rahma dengan nada memohon.
Devi hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. “No,no,no”.
“Ayo, Devi…. Kasih tau, dong! Devi… De…” Rahma menghentikan
langkahnya di belakang perpustakaan lama. Devi pun ikut berhenti. Ia menatap
Rahma bingung.
“Ada apa, Rahma? Kok berhenti?” tanya Devi. Rahma tidak
menjawab. Ia hanya berdiri diam sambil menatap dinding perpustakaan lama. Devi ikut
menatap dinding itu. hanya ada gambar bunga dan nama…
“Rahma Oktriyanti? Kok bisa ada nama kamu disini?” tanya Devi
bingung sambil menunjuk nama Rahma yang tertulis di dinding itu. Rahma hanya
menggeleng.
“Oh, jadi, kamu yang bernama Rahma?” ujar seseorang di
belakang mereka. Devi dan Rahma menoleh kebelakang dan…
“Kamu? Kamu cowok yang waktu itu menabrakku, kan?” tanya
Rahma.
“Tenang, aku hanya ingin mengembalikan ini padamu” kata cowok
itu sambil memberikan selembar kertas pada Rahma. Rahma menerimanya dengan
senang.
“Alhamdulillah, akhirnya ketemu juga” ucapnya girang. Ia
kembali menatap cowok itu, “Lalu, mengapa lukisan ini ada padamu?”
“Waktu aku menabrakmu, lukisan itu jatuh. Saat aku mau
mengembalikannya, kamu sudah pergi entah kemana” jelas cowok itu. kemudian, ia
melangkah pergi.
“Tunggu!” teriak Rahma. Ia menghentikan langkanya, lalu
menoleh kebelakang. “Kalau aku boleh tau, siapa namamu?” tanya Rahma.
Cowok itu berbalik, “Lihat saja disana” katanya sambil
menunjuk lukisan yang dipegang Rahma. Kemudian ia berbalik pergi.
Rahma dan Devi segera melihat lukisan itu. mereka mencari
namanya.
“Ini” Devi menunjuk sebuah nama yang ada di pojok kanan bawah
lukisan itu.
“Heri Adrizky” seru Rahma.
~~~~~~~~
“Ya,
hujan!” celetuk Dessy yang sedang duduk di depan gerbang sekolah. Alin yang
duduk di sampingnya hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ckckck…
dikasih hujan malah nyeletuk. Harusnya kamu itu bersyukur” ceramah Alin. Dessy
hanya memasang tampang kusut.
“Bukan
gitu, Alin! Cuma, kalo hujan, aku pasti lama di jemput” ujar Dessy. Alin hanya
ber”o” saja. Namun, wajah Dessy semakin tambah bete. “Aku pergi sebentar, ya!”
Dessy langsung mengambil tasnya dan berlari memasuki sekolah. Alin tampak
bingung. Namun, kebingungannya langsung terjawab.
“Dessy,
tunggu” panggil seorang cowok yang tak asing lagi bagi Alin. Alin menoleh ke
arah sumber suara dan melihat Bintang sedang mengejar Dessy.
Alin
pun berusaha mengejar Bintang. “Dek, kamu tunggu di depan. Biar aku yang bicara
sama Dessy” kata Alin saat dia berhasil mengejar Bintang. Ia mengangguk dan
mengikuti kata Alin. lalu, Alin mengejar Dessy yang sekarang lari ntah kemana.
“Dessy,
tunggu! Aku mau bicara” panggil Alin. Dessy berhenti tepat di depan ruang
musik. Alin pun ikut berhenti. Alin mengatur nafasnya sebentar, lalu mulai
berbicara pada Dessy. “Dessy, kenapa kamu lari waktu Bintang datang. Kamu ada
masalah sama dia?” cerocos Alin. Dessy menggeleng cepat.
“Ayolah,
Des! Kasih tau aku. Kalau gak ada masalah, kenapa kamu lari?”
Dessy
terdiam. Pertanyaan Alin itu membuatnya tidak berkutik. Apa yang harus ia
katakan? “Sudahlah Alin, jangan ikut campur masalahku. Emangnya kamu siapanya
dia, hah? Pacarnya?” cerocos Dessy. Namun, cepat-cepat ia menutup mulutnya.
Alin
menyerngit bingung, “Maksudmu? Aku pacarnya Bintang?” Alin tertawa kecil. “Yang
benar saja, Des! That’s so impossible”. Alin kembali tertawa.
Kembali
Dessy yang bingung. “Maksudmu?”
“Des…sy,
masa’ sih kamu tidak tahu. Dia itu kan hanya sepupuku yang sedang berlibur.
Jangan-jangan kamu salah paham, ya? Kamu cemburu sama aku karena kamu kira dia
itu pacarku, ya? Hayo…” goda Alin.
Kini
wajah Dessy berubah jadi merah. “Enggak, kok! Siapa yang cemburu. Aku cuma…
cuma gak suka di cuekin aja. Masa’ ketemu sama kamu, aku dilupain” kata Dessy
dengan ketus. ia berusaha menyembunyikan wajahnya yang memerah.
“Oh,
soal itu! Sebenarnya, kesini hanya ingin minta maaf sama kamu sambil dia mau
pamit pulang. Kayaknya, setengah jam lagi dia mau pergi. Btw, aku duluan, ya!
Jemputanku sudah datang. Bye” Alin berbalik meninggalkan Dessy. Namun, baru
beberapa meter ia berjalan, ia berbalik. “Kayaknya dia baru sampai di bandara,
deh! Kalau kamu nyusul dia, sepertinya masih sempat. Tapi, aku tidak bisa
menjaminnya” kata Alin cepat. Kemudian, berlalu pergi. Dessy hanya berdiri diam
di tempatnya. Hujan pun reda. Ia melihat langit yang kini mulai di hiasi
pelangi.
~~~~~~~~
Dessy
melirik jam tangannya. Iya tidak yakin orang yang ia harapkan akan muncul.
Sesekali ia melirik sekeliling bandara itu. Banyak orang yang menatapnya dengan
tatapan aneh. Bukan karena apa, tapi seragamnya yang basah serta rambutnya yang
lepek membuat penampilannya menjadi aneh. Ia hampir saja putus asa. Namun, ia
merasakan seseorang menyentuh bahunya. Dessy berbalik dan terkejut melihat
orang itu. “A…”
~~~~~~~~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar