Selasa, 03 April 2012

GUARDIAN ANGEL (11)


LIFE IS RAINBOW (FULL COLOUR)
  “Fakhri kenapa, Lin? Dia… baik-baik aja, kan?” tanya Aldi cepat.
 “Dia…” Alin mendongak menatap Dessy. “Bisakah kau mencubitku sekarang?” pinta Alin. Dessy dan Aldi menyerngit bingung. Walaupun permintaan Alin terdengar aneh, tetapi Dessy tetap melakukan apa yang diminta Alin.
“Aww…” rintih Alin. “Ini bukan mimpi, ya?” tambahnya. Air matanya kini berganti dengan senyum bahagia. Dessy dan Aldi menjadi semakin bingung.
“Lalu, bagaimana keadaan Fakhri? Apa dia baik-baik saja?” lanjut Dessy.
Alin mengangguk sambil tersenyum senang,”Tentu saja! Tadi dia sudah sadar”
Pintu kamar Fakhri terbuka. Dokter yang memeriksa Fakhri serta para suster berjalan keluar ruangan. Tanpa basa-basi, mereka bertiga menghampiri dokter itu.
“Dok, bagaimana keadaan Fakhri?” tanya Aldi yang mewakili rasa penasaran Dessy dan Alin, walaupun Aldi tahu Alin sudah tahu kalau Fakhri dalam keadaan baik-baik saja. Tetapi, itu tidak menutup kemungkinan kalau Alin juga ikut penasaran.
“Untuk saat ini, dia baik-baik saja. Tetapi…” dokter itu berhenti sejenak. Ia seperti baru teringat sesuatu,”… ah, dia hanya perlu banyak istirahat. Maaf, saya harus pergi dulu. Masih banyak pasien yang harus saya urus. Permisi” ujar dokter itu kemudian berlalu pergi. Dessy dan Alin segera menerobos masuk ke kamar Fakhri untuk melihat keadaannya, kecuali Aldi yang sekarang hanya berdiri terpaku di tempat semula. Ia merasa ada sesuatu yang ganjil. Tetapi, ia tidak tahu apa itu.
“Aldi, kamu tidak masuk?” tanya Dessy di depan pintu. Entah sejak kapan Dessy ada disitu. Aldi hanya mengangguk, kemudian berjalan masuk.
“Dia siapa?” tanya Fakhri pada Dessy saat mereka sudah masuk.
“Oh, ini Aldi, teman sekelas kami” kata Dessy. Aldi hanya tersenyum.
“Kamu… perasaan aku pernah melihatmu. Tapi, dimana, ya?” tanya Fakhri. Ia berusaha mengingat-ingat. Begitu juga dengan Aldi. “Mmm… kalau tidak salah, kamu yang cowok di kafe itu, kan? Kamu yang waktu itu sedang menunggu seseorang di toilet perempuan, kan?” lanjut Fakhri. Tawa Dessy dan Alin meledak. Sedangkan, wajah Aldi berubah merah padam.  Ia berusaha untuk tersenyum.
“Maaf, aku tidak bermaksud mempermalukanmu” ucap Fakhri dengan nada penyesalan. Aldi hanya menggeleng pelan sambil kembali tersenyum.
“No problem! Waktu itu aku memang lagi menunggu seseorang…” Aldi mendelik kesal ke arah Alin yang sekarang sedang bermanja-manja dengan Fakhri di ranjang. “Dan orang itu adalah dia” lanjut Aldi sambil menunjuk Alin. Alin hanya senyum-senyum tidak jelas. Sepertinya ia tahu waktu itu Aldi sedang menunggu dirinya.
“Maaf, lain kali aku tidak main kabur lagi, deh” ujar Alin. Aldi hanya mendengus.
“Sudah, mending kita keluar cari makan. Udah lapar, nie!” Dessy segera menyeret Aldi keluar. Aldi hanya pasrah dengan sikap Dessy. Ia mengerti maksudnya.
“Tunggu, aku mau ikut. Fakhri, kamu istirahat aja dulu. Jangan banyak gerak. Pokoknya, kamu harus banyak-banyak istirahat” ingat Alin.
Fakhri tersenyum, lalu mengacak-acak rambut Alin pelan. “Iya bawel”
“Bye! Yuk, kita pergi” ajak Alin. Dessy hanya bisa menggelengkan kepalanya.

~~~~~~~~
“Lin, kenapa kamu mengikuti kami?” tanya Dessy saat mereka berada di kantin rumah sakit. Alin yang sedang menikmati mie ayamnya menyerngit bingung.
“Emangnya salah, ya! Aku juga lapar tau. Kalian sendiri, jam segini udah pulang sekolah. Bolos, ya?” kata Alin asal. Aldi mendelik sebal. Begitu juga dengan Dessy.
“Loe itu bego atau tolol, sih? Aku tuh sengaja ninggalin kalian berdua. Lagipula, siapa yang bolos? Dia nih tiba-tiba sakit. Terus, disuruh pulang. Aku hanya disuruh mengantarnya. UNDERSTAND!!!” cerocos Dessy kuat sampai-sampai Alin harus menutup telinganya. Orang-orang yang ada di kantin kini menatap Dessy dengan tatapan aneh. Muka Dessy tiba-tiba berubah merah karena malu.
 “It’s been said and done. Every beautiful though…” dering hp Dessy berbunyi. Dengan cepat ia mengangkat hp-nya itu. “Halo, ada apa, Cik?”
Dimana kamu sekarang? Kok tiba-tiba izin pulang, sih?”
“Dirumah sakit. Eh, kita ngomongnya nanti aja, ya! Ntar aku sms. Ok, Bye…” Dessy segera menutup teleponnya. Alin menyerngit bingung melihat tingkah Dessy.
“Kenapa, Des? Mau buru-buru pulang, ya?”
Dessy mengangguk cepat sambil mengambil tasnya dan berangkat dari tempat duduknya. “Aku pulang dulu, ya! Ada urusan penting. Bye” kata Dessy sambil berlalu.
“Dessy kenapa, ya? Kok kayak habis liat setan?” tanya Alin bingung. Aldi hanya mengangkat bahunya.
“Dessy kenapa, Din? Kok tiba-tiba kabur gitu?” tanya seseorang yang sekarang sudah duduk di kursi tempat Dessy duduk tadi. Aldi dan Alin serempak menoleh.
“Sejak kapan loe disini?” tanya Aldi sinis. Bintang tak mempedulikannya.
Alin memandang Aldi tidak suka. “Kenapa loe sewot?” balas Alin garang. Alin berpikir sebentar. “Apa jangan-jangan…” kemudian Alin memandang Dessy yang sekarang sudah pergi entah kemana.
“Jangan-jangan apa?” tanya Bintang penasaran.
Alin menggeleng cepat. “Nothing! Btw, ada yang ingin aku tanyakan sama kamu, Di! Tapi, tidak disini”
“Apakah kehadiranku mengganggu kalian?” tanya Bintang. Ia merasa tersindir.
“Bu, bukan gitu maksudku. Tapi, ini hanya masalah kami berdua. Aku tidak mau orang-orang disini mendengar. Tapi, kalau Aldi tidak keberatan…”
“Gimana kita ngomonginnya di kamar Alin aja? Emangnya loe mau ngomongin tentang apa?” tanya Aldi bingung.
“Ini…” Alin segera mendekatkan kepalanya ketelinga Aldi. “... tentang Deka”

~~~~~~~~
Nafas Alin terasa sesak. Ia masih belum bisa menghentikan tangisannya. Aldi sudah pulang dari tadi karena hari sudah sore. Begitu juga dengan Bintang.
“Dia pikir loe marah sama dia. Soalnya loe tiba-tiba hilang tanpa kabar” ujar Aldi.
“Emangnya ada masalah apa antara Dinda sama Deka?” tanya Bintang bingung.
“Ini hanya salah paham biasa. Tapi, Alin menganggapnya serius” ucap Aldi sinis. Pandangan Bintang kini beralih pada Alin.
“Masalah apa, Din? Katakan padaku?” desak Bintang. Air mata Alin menetes.
“Salah paham? Loe pikir lucu, hah? Bayangkan kalau itu loe!” balas Alin. Bintang semakin bingung, tidak mengerti masalah apa yang mereka bahas.
“Bayangkan foto gue yang lagi tidur bareng Deka di pasang di mading sekolah. Itu jelas-jelas bukan foto gue. Bukan gue” tambah Alin. Bintang sedikit mengerti.
“Foto? Foto yang kamu bilang waktu itu? Foto kamu sama cowok yang gak pake baju itu, ya?” tebak Bintang. Alin mendengus.
“Gara-gara itu, semua orang menjauhiku. SEMUA ORANG, termasuk Fakhri”. Alin duduk di ranjangnya. Tangisnya tak bisa berhenti. “KELUAR KALIAN. AKU MAU SENDIRI” teriak Alin. Bintang dan Aldi segera keluar dari kamar Alin.
“Alin, mengapa kamu menangis?” tanya Fakhri yang sekarang sudah berdiri di depan Alin. Alin menundukkan kepalanya sambil cepat-cepat menghapus air matanya. Namun, setiap kali ia menghapus air matanya, semakin deras air matanya mengalir. Alin merasakan sentuhan hangat di pipinya. Alin segera mendongakkan kepalanya.
“Don’t touch me!” Alin menepis tangan kuat Fakhri. Namun, Fakhri tidak menghiraukannya dan terus menghapus air mata Alin. Melihat itu, Alin jadi tidak tega.
“Kenapa kamu disini? Bukannya kamu benci sama aku tentang masalah itu. kamu tidak mau mempercayaiku. Kamu jahat Fakhri! JAHAT” ujar Alin. Tangisnya mulai mereda. Fakhri memandang Alin lembut. Sebuah senyum merekah di birbirnya.
“Ssttt… jangan bahas soal itu. Aku percaya sama kamu. Sudahlah, jangan di bahas lagi” kata Fakhri lembut. Wajah tampak pucat. Ia segera duduk di samping Alin.
“Dari mana kamu tahu?” tanya Alin.
“Lidya yang menjelaskan padaku mati-matian soal salah paham itu. Deka juga minta maaf soal itu. dia hanya ingin memisahkan antara aku sama kamu. Tapi, ia tidak tahu mengapa foto itu bisa menyebar sampai seluruh sekolah. Tenyata, itu semua ulah Gina. Dia sengaja melakukan itu sama kamu supaya kamu dijauhi semua orang” jelas Fakhri panjang-lebar-tinggi. Alin menghela napas lega.
“Waktu di kafe Lidya, kamu tahu bukan kalau Dinda itu aku?” tanya Alin. Fakhri mengangguk. “Lalu, mengapa kamu pura-pura tidak tahu?” tanya Alin lagi.
“Aku tidak mau kamu pergi. Kamu pergi karena kamu sudah tahu aku mengenali kamu, kan?” balas Fakhri. Alin tertawa pelan.
“Aku sudah menduganya dari pertama kita bertemu” ucap Alin.
“Kalau begitu, kita bisa berteman lagi, kan?” Fakhri mengulurkan tangannya.
“Tentu” kata Alin sambil membalas uluran tangannya.

~~~~~~~~
Alin berjalan memasuki kelasnya. Masih sepi. Hanya ada Dessy (biasa datang pagi), Devi (akhir-akhir ini sering datang pagi, tapi sering menghilang), Cika dan Riri.
“Alin, kamu udah masuk sekolah?” tanya Riri saat ia melihat Alin berjalan menghampiri tempat duduknya. Alin hanya mengangguk sambil tertawa kecil.
“Kamu baik-baik aja? Terus, Fakhri bagaimana?” cerocos Dessy. Yang lain memandang Dessy dengan tatapan bingung. Alin memelototi Dessy dengan sebal.
“Siapa Fakhri?” tanya Devi pada Dessy.
Dessy menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “Ng… Fakhri itu nama kucing… iya kucing yang kami temukan kemarin dirumah sakit. Kakinya luka, terus di obati oleh dokter yang ada di rumah sakit. Benarkan, Lin?”. Alin mengangguk cepat.
“O, btw kita dapat tugas ngisi acara ultah kepala sekolah minggu depan” kata Cika cepat. Dessy dan Alin saling berpandangan.
“Terus?”lanjut Alin.
“Aku, Cika, Vivi, Dessy, Sasha, dan Rahma satu kelompok. Sedangkan, kamu, Devi, Reza dan Aldi satu kelompok. Terserah kalian mau menampilkan apa. Sedangkan, Satria…”
“Ah, aku tau! Pasti baca puisi” cibir Dessy yang memotong pembicaraan Riri.
“Betul banget” seru Rahma yang baru datang.
“Oke, thank’s. Btw, kapan kita mau latihan?” tanya Alin. Devi menggeleng cepat.
“Gak tau! Tanya aja sama Reza. Males banget nanya sama dia” cibir Devi. Lalu, ia menarik lengan Rahma keluar kelas. “Kita pergi dulu, ya!” seru Devi.

~~~~~~~~
Devi terus menyeret Rahma sampai ke gedung olahraga indoor. Seperti biasa, mereka kesana untuk melihat cowok basket yang bernomor punggung 5.
“Ah, aku bosan melihat dia terus” celetuk Rahma saat mereka tiba di sana.
Devi mendelik Rahma sebal.”Maksudmu?”
“Kamu gak punya kerjaan lain selain memotonya secara diam-diam atau mengintipnya latihan basket. Mending kamu samperin dia aja. Atau, kalau kamu mau, aku bisa minta nomor hp-nya” jelas Rahma. Mata Devi tampak berbinar-binar. Tapi, mukanya kusut kembali. “Kenapa? Malu?” tanya Rahma.Devi mengangguk cepat.
“Gak usah, deh, Rahma! Aku takut” kata Devi dengan nada memelas.
Rahma menyerngit bingung. “Apa yang perlu ditakutkan? Biar aku yang tanya” kata Rahma sambil berjalan menghampiri cowok yang memakai baju bernomor punggung 5 itu. tapi, Devi berusaha menahannya. Rahma mendelik Devi sebal.
“Ada apa, sih?” tanya Rahma sambil berusaha melepas tangannya yang di tahan Devi. Tapi, Devi tetap menahannya. Namun…
“Buuk…” sebuah bola basket mendarat bebas di kepala Devi. Devi spontan jatuh sambil memegangi kepalanya yang sakit. “Aww…” rintihnya. Rahma segera menghampiri Devi. Lalu, menoleh kearah cowok-cowok yang sedang bermain basket.
“Maaf, Kak! Kita nggak sengaja” kata cowok yang bernomor punggung 10 dengan nada bersalah. Cowok itu kemudian menoleh ke arah cowok yang memakai baju bernomor punggung 5. “Ini semua gara-gara loe, tau! Coba loe tadi ngelempar bolanya yang bener!” omel cowok itu. cowok yang diomel itu hanya senyum-senyum tidak jelas. Kemudian, ia berjalan menghampiri Devi dan Rahma. Jantung Devi berubah deg-degan. Rasa sakit di kepala yang ia rasakan kini tidak lagi terasa. Ia hanya mencengkram tangan Rahma kuat-kuat tanpa ia tahu kalau Rahma berusaha mati-matian menahan sakit di tangannya itu.
Cowok itu berjongkok di depan Devi sambil meletakkan tangannya di kepala Devi yang terkena bola. Devi berusaha menahan napas dan rasa girangnya. Rahma menarik tangannya cepat sebelum tangan menjadi remuk oleh Devi.
“Masih sakit, ya, Kak?” tanyanya dengan nada takut-takut.
Devi bingung apakah ia harus menjawab iya atau tidak. Namun, kepalanya spontan menggeleng. “Mmm… sepertinya tidak sakit lagi” ucapnya canggung.
Cowok itu menurunkan tangannya, lalu berdiri sambil memungut bola yang ada di dekat mereka. Kemudian, ia mengulurkan tangannya pada Devi. “Mau aku bantu?” tawarnya. Tanpa basa-basi, Devi langsung menerima uluran tangannya, lalu berdiri di depannya. Cowok itu kembali tersenyum pada Devi.
“Namaku Bagas Prasetyo. Dan ini…” ia mengambil sesuatu di kantong celananya, lalu ia selipkan di tangan Devi. “… itu tadi nomor hp-ku” bisiknya pelan yang hampir tidak terdengar. Devi hanya mengangguk, tidak tau harus berkata apa.
“Terima kasih” ucap Devi saat Bambang sudah bergabung dengan teman-temanya. Namun, sepertinya ia masih mendengar ucapan Devi karena dia sudah mengangguk sambil mengatakan sama-sama. Dengan cepat Devi dan Rahma keluar dari gedung olahraga itu. Rahma memandang Devi dengan tatapan bingung.
“Kalian tadi ngomong apa, sih? Kok, main bisik-bisik?”.
Devi cekikikan sendiri. “Ada, deh!”
Rahma menyerngit bingung. ia semakin penasaran. “Apa, sih? Ayo, dong! Kasih tau aku” pinta Rahma dengan nada memohon.
Devi hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. “No,no,no”.
“Ayo, Devi…. Kasih tau, dong! Devi… De…” Rahma menghentikan langkahnya di belakang perpustakaan lama. Devi pun ikut berhenti. Ia menatap Rahma bingung.
“Ada apa, Rahma? Kok berhenti?” tanya Devi. Rahma tidak menjawab. Ia hanya berdiri diam sambil menatap dinding perpustakaan lama. Devi ikut menatap dinding itu. hanya ada gambar bunga dan nama…
“Rahma Oktriyanti? Kok bisa ada nama kamu disini?” tanya Devi bingung sambil menunjuk nama Rahma yang tertulis di dinding itu. Rahma hanya menggeleng.
“Oh, jadi, kamu yang bernama Rahma?” ujar seseorang di belakang mereka. Devi dan Rahma menoleh kebelakang dan…
“Kamu? Kamu cowok yang waktu itu menabrakku, kan?” tanya Rahma.
“Tenang, aku hanya ingin mengembalikan ini padamu” kata cowok itu sambil memberikan selembar kertas pada Rahma. Rahma menerimanya dengan senang.
“Alhamdulillah, akhirnya ketemu juga” ucapnya girang. Ia kembali menatap cowok itu, “Lalu, mengapa lukisan ini ada padamu?”
“Waktu aku menabrakmu, lukisan itu jatuh. Saat aku mau mengembalikannya, kamu sudah pergi entah kemana” jelas cowok itu. kemudian, ia melangkah pergi.
“Tunggu!” teriak Rahma. Ia menghentikan langkanya, lalu menoleh kebelakang. “Kalau aku boleh tau, siapa namamu?” tanya Rahma.
Cowok itu berbalik, “Lihat saja disana” katanya sambil menunjuk lukisan yang dipegang Rahma. Kemudian ia berbalik pergi.
Rahma dan Devi segera melihat lukisan itu. mereka mencari namanya.
“Ini” Devi menunjuk sebuah nama yang ada di pojok kanan bawah lukisan itu.
“Heri Adrizky” seru Rahma.

~~~~~~~~
“Ya, hujan!” celetuk Dessy yang sedang duduk di depan gerbang sekolah. Alin yang duduk di sampingnya hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ckckck… dikasih hujan malah nyeletuk. Harusnya kamu itu bersyukur” ceramah Alin. Dessy hanya memasang tampang kusut.
“Bukan gitu, Alin! Cuma, kalo hujan, aku pasti lama di jemput” ujar Dessy. Alin hanya ber”o” saja. Namun, wajah Dessy semakin tambah bete. “Aku pergi sebentar, ya!” Dessy langsung mengambil tasnya dan berlari memasuki sekolah. Alin tampak bingung. Namun, kebingungannya langsung terjawab.
“Dessy, tunggu” panggil seorang cowok yang tak asing lagi bagi Alin. Alin menoleh ke arah sumber suara dan melihat Bintang sedang mengejar Dessy.
Alin pun berusaha mengejar Bintang. “Dek, kamu tunggu di depan. Biar aku yang bicara sama Dessy” kata Alin saat dia berhasil mengejar Bintang. Ia mengangguk dan mengikuti kata Alin. lalu, Alin mengejar Dessy yang sekarang lari ntah kemana.
“Dessy, tunggu! Aku mau bicara” panggil Alin. Dessy berhenti tepat di depan ruang musik. Alin pun ikut berhenti. Alin mengatur nafasnya sebentar, lalu mulai berbicara pada Dessy. “Dessy, kenapa kamu lari waktu Bintang datang. Kamu ada masalah sama dia?” cerocos Alin. Dessy menggeleng cepat.
“Ayolah, Des! Kasih tau aku. Kalau gak ada masalah, kenapa kamu lari?”
Dessy terdiam. Pertanyaan Alin itu membuatnya tidak berkutik. Apa yang harus ia katakan? “Sudahlah Alin, jangan ikut campur masalahku. Emangnya kamu siapanya dia, hah? Pacarnya?” cerocos Dessy. Namun, cepat-cepat ia menutup mulutnya.
Alin menyerngit bingung, “Maksudmu? Aku pacarnya Bintang?” Alin tertawa kecil. “Yang benar saja, Des! That’s so impossible”. Alin kembali tertawa.
Kembali Dessy yang bingung. “Maksudmu?”
“Des…sy, masa’ sih kamu tidak tahu. Dia itu kan hanya sepupuku yang sedang berlibur. Jangan-jangan kamu salah paham, ya? Kamu cemburu sama aku karena kamu kira dia itu pacarku, ya? Hayo…” goda Alin.
Kini wajah Dessy berubah jadi merah. “Enggak, kok! Siapa yang cemburu. Aku cuma… cuma gak suka di cuekin aja. Masa’ ketemu sama kamu, aku dilupain” kata Dessy dengan ketus. ia berusaha menyembunyikan wajahnya yang memerah.
“Oh, soal itu! Sebenarnya, kesini hanya ingin minta maaf sama kamu sambil dia mau pamit pulang. Kayaknya, setengah jam lagi dia mau pergi. Btw, aku duluan, ya! Jemputanku sudah datang. Bye” Alin berbalik meninggalkan Dessy. Namun, baru beberapa meter ia berjalan, ia berbalik. “Kayaknya dia baru sampai di bandara, deh! Kalau kamu nyusul dia, sepertinya masih sempat. Tapi, aku tidak bisa menjaminnya” kata Alin cepat. Kemudian, berlalu pergi. Dessy hanya berdiri diam di tempatnya. Hujan pun reda. Ia melihat langit yang kini mulai di hiasi pelangi.

~~~~~~~~
Dessy melirik jam tangannya. Iya tidak yakin orang yang ia harapkan akan muncul. Sesekali ia melirik sekeliling bandara itu. Banyak orang yang menatapnya dengan tatapan aneh. Bukan karena apa, tapi seragamnya yang basah serta rambutnya yang lepek membuat penampilannya menjadi aneh. Ia hampir saja putus asa. Namun, ia merasakan seseorang menyentuh bahunya. Dessy berbalik dan terkejut melihat orang itu. “A…”

~~~~~~~~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar