“Apa? Loe ngomong apa tadi?”tanya Aldi
yang tidak mempercayai pendengarannya.
“Terima kasih, karena loe…”
“Alin, Aldi, kenapa kalian mengobrol.
Kalian dengar tidak apa yang bapak bicarakan tadi?”tanya Pak Wisnu, guru
matematika, dengan nada datar.
“I… Iya, pak!”jawab Alin dan Aldi
kompak.
“Kalau begitu, Alin kerjakan soal
nomor 1 sampai 5 di papan tulis. Sedangkan, Aldi kerjakan nomor 6 dan
7”perintah Pak Wisnu.
Mereka berdua mengangguk. Mereka
mengambil spidol mereka masing-masing dan segera menjawab soal yang ada di
papan tulis. Kedengarannya memang tidak adil. Alin dikasih 5 soal, sedangkan
Aldi 2 soal. Tapi, kalau dilihat dari tingkat kesulitan, mungkin orang-orang
lebih mengerjakan 5 soal yang sangat mudah, daripada 2 soal yang sangat sulit.
Dengan cepat Alin menjawab 5 soal yang
ada di papan tulis. Menurutnya, 5 soal turunan limit itu tidak seberapa dari
pada ia harus mengerjakan 2 soal tentang nilai stasioner dan nilai minimum
serta nilai maksimum. Terima kasih, deh! Rasanya, sampai kapanpun ia tidak akan
pernah mengerti bagaimana cara mencari nilai-nilai tersebut.
“Selesai, pak”kata Alin dengan senyum
yang mengembang. Sedangkan, Aldi tampak sangat kesulitan mengerjakan 2 soal
tersebut. Alin tampak kasihan. Tapi, mau bagaimana lagi. Ia sendiri juga tidak
mengerti.
“Bagaimana anak-anak? Apakah
jawabannya benar semua?”tanya Pak Wisnu.
“Benar, pak!”kata Rahmat dari barisan
paling ujung.
Alin menarik nafas lega. Kalau yang
bilang itu Rahmat-ia di juluki Mr. Logic dikelas-berarti, tanpa harus mikir dua
kali pun Pak Wisnu percaya.
“Ya, sekarang kamu boleh duduk Alin.
Dan kamu Aldi, apakah kamu sudah menyerah? Alin sudah selesai mengerjakan 5
soal dengan cepat. Dan kamu, 1 soal pun belum ada yang selesai”ujar Pak Wisnu.
“Tentu saja, soal limitkan tidak
sesulit dengan soal yang gue kerjakan. Lagipula, Alin cukup pintar untuk
pelajaran matematika. Mana bisa ia dibanding-banding dengan Alin” gerutu Aldi
dalam hati. Ia berusaha menjawab, namun hasilnya tetap salah.
“Sepertinya kamu sudah menyerah Aldi.
baiklah, ada yang mau membantu Aldi” tawar Pak Wisnu. Rahmat mengancukan
tangannya. Ia pun berjalan mengahmpiri papan tulis, kemudian menjawab soal itu
dengan cepat.
“Baik, terima kasih Rahmat. Sekarang kamu
boleh duduk”kata Pak Wisnu sambil mepersilahkan Rahmat duduk. Aldi juga ikut
duduk, tapi di cegah oleh Pak Wisnu. “Aldi, siapa yang menyuruhmu duduk? Bapak
tadi hanya menyuruh Rahmat”ujar Pak Wisnu.
Baru saja Aldi ingin berkomentar, Pak wisnu
sudah lebih dulu berbicara.
“Sekarang kamu berdiri di depan kelas sampai
bel pulang berbunyi sambil memperhatikan bapak. Kalau kamu duduk, nanti kamu
ngobrol lagi di belakang”ujar Pak Wisnu.
Semua orang di kelas tertawa, kecuali
Alin. Ia merasa sangat bersalah. Takut-takut ia memandang Aldi. namun, Aldi
terlihat enjoy-enjoy aja.
“Maafin aku, Di”gumam Alin pelan.
~~~~~~~~
Langit terasa begitu kelam. Sepertinya
sebentar lagi akan turun hujan. Alin berlari melawan hembusan angin. Tercium
bau obat dimana-mana. Beberapa orang yang memakai seragam putih-putih ia lewati
begitu saja. Ia tak begitu mempedulikan orang-orang di sekitarnya. Ia terlalu
shock saat mendengar kabar dari Lidya tadi.
“Kemarin,
sekitar jam 2 pagi, Fakhri kecelakaan. Lukanya tidak terlalu parah. Tapi…”belum
sempat Lidya menyelesaikan kata-katanya, Alin sudah lebih dulu mematikan
teleponnya.
‘Kleekk’ Alin membuka pintu kamar
Fakhri. Dilihatnya seluruh keluarga Fakhri, Deka dan Lidya mengelilingi Fakhri.
Ia segera melangkah masuk dan menghampiri Fakhri. Smua keluarga Fakhri keluar
dari kamar, hingga yang didalam hanya ada Alin, Lidya, Deka, dan Fakhri
sendiri.
“Semalam kamu kemana aja? Kamu tidak
tahu berapa lama aku menunggumu, HAH?”bentak Alin pada Fakhri. Mata Alin
berkaca-kaca. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan tangisnya. Fakhri
menatapnya bingung.
“Kamu siapa?”
Alin tercengang. Begitu juga dengan
Lidya dan Deka.
“Fakhri, jangan bercanda! Masa’ kamu
tidak tahu siapa dia? Dia ini Alin, teman smp kita dulu”jelas Deka. Namun,
Fakhri menggeleng.
“Fakhri, kamu bercandakan? Ini
benar-benar tidak lucu”kata Lidya. Ia menatap Fakhri dan Alin secara
bergantian.
“Aku serius. Aku sama sekali tidak
mengenalnya”kata Fakhri datar.
Alin segera berlari keluar kamar.
Tidak sanggup melihat Fakhri. Hatinya benar-benar sakit ketika ia mendengar sendiri
dari mulut Fakhri bahwa Fakhri sama sekali tidak mengenalnya. Ia terduduk
sambil bersandar di koridor depan kamar Fakhri. Lidya datang menghampirinya
sambil memeluknya erat.
“Yang sabar ya, Lin”kata Lidya.
Air mata Lidya pun ikut mengalir. Alin melepaskan pelukan Lidya dan menatap
Lidya dengan tatapam memohon.
“Please, tinggalkan aku sendiri. Aku
perlu waktu untuk sendiri”ucap Alin di sela-sela tangisnya.
Deka keluar dari kamar Fakhri. Ia
ingin melihat keadaan Alin sekarang.
“Kalian berdua pergilah! Aku butuh
waktu untuk sendiri”ucap Alin datar tanpa melihat wajah Lidya dan Deka.
Mereka berdua mengangguk, kemudian
pergi meninggalkan Alin sendiri. Alin kembali menangis, dengan lebih kuat.
Hujan pun turun membasahi seolah ikut berduka dengan penderitaan Alin.
~~~~~~~~
Tak pernah ada yang berubah dari
‘Dream High Caffe’ ini. Dari awal Bintang bertemu Dessy sampai ia sekelas
dengan Dessy pun kafe itu tetaplah sama. Disini, ia ingin memulai kisah baru.
Sama seperti dengan nama kafe itu, Bintang menyimpan mimpi yang tinggi pada
kafe itu. orang-orang mulai menatapnya bingung. sudah hampir setengah jam ia
berdiri disana sambil melihat suasana kafe dari luar, tanpa berkeinginan untuk
masuk kedalamnya.
“Hei…”panggil seseorang yang tak asing
lagi bagi Bintang. “Sampai kapan kamu mau memandangi kafeku seperti itu, hah?
Dasar”lanjut Dessy.
Bintang hanya tersenyum mendengarnya.
“Bisakah kamu ikut denganku sekarang?
Aku punya urusan denganmu”ujar Bintang. Dessy menyerngit bingung.
“Memangnya mau kemana?”tanya Dessy
penasaran.
Bintang hanya menjawab dengan
senyuman. Ia menarik tangan Dessy dan membawanya ke suatu tempat.
~~~~~~~~
Entah sudah berapa jam Alin menangis
di situ. Dari siang hingga malam pun, ia masih tetap berada di posisi yang
sama. Ia masih duduk sambil menangis di depan kamar Fakhri. Orang-orang yang
kewat di depannya memandangnya aneh. Kadang, ada sesekali orang-orang yang
lewat menanyakan keadaan Alin. Namun, tidak ia hiraukan. Ia tetatp terus
menangis.
Di sela-sela tangisannya, seseorang
memberinya sebuah jaket dan sapu tangan. Namun, tidak ia ambil. Ia pun terlalu
malas mengangkat kepalanya, sekedar untuk melihat siapa orang yang berbaik hati
memberinya jaket dan sapu tangan.
“Dasar bodoh! Mau sampai kapan loe
bersikap bodoh seperti ini, hah?”omel orang itu. tanpa melihat pun Alin sudah
tau siapa orang itu.
“Hiks… Iya, aku bodoh. Lalu, hiks….
mengapa kamu… hiks… selalu ada disaat orang bodoh ini sedang sedih?”tanya Alin.
Sesekali ia sesenggukan.
Aldi mendesah pelan. “Karena loe
terlalu bodoh, makanya gue selalu datang. Coba loe gak bodoh, gue gak perlu
repot-repot kesini”ujar Aldi kesal.
Alin mengangkat kepalanya. Matanya
bengkak. Ada bulatan hitam dibawah matanya. Wajahnya pucat. Badannya pun
menggigil. Alin berusaha untuk berdiri, namun ia kembali terjatuh. Tubuhnya
begitu lemas.
“Payah”gerutu Aldi sambil membantu
Alin berdiri. “Loe masih bisa jalan gak?”
Alin mengangguk lemas. Ia melepaskan
tangan Aldi, dan berusaha untuk jalan sendiri. Namun, sebelum ia sempat
berdiri, ia kembali terjatuh. Kondisi tubuhnya benar-benar lemah karena ia
belum makan dari tadi siang.
Tanpa menunggu perintah dari Alin, ia
segera menggendong Alin kedalam dekapan Aldi. Alin hanya bisa pasrah. Ia sempat
menoleh ke arah pintu kamar Fakhri. Sekilas ia melihat Fakhri sedang menatapnya
dengan tatapan… cemburu.
“Benarkah itu? Atau, aku hanya
berhalusinasi?”tanya Alin dalam hati.
~~~~~~~~
Rahma berjalan mondar-mandir dikamar
tidurnya. Ia tampak begitu resah dan gelisah. Bagaimana tidak, ia baru saja
mendapat kabar dari ibunya Bintang-pacar Rahma-bahwa Bintang sekarang dalam
keadaan kritis. Air matanya pun tidak bisa berhenti mengalir. Dadanya terasa
nyeri. Tubuhnya bergetar hebat. Wajahnya tampak pucat. Entah apa yang ia
rasakan yang pasti perasaan kehilangan selalu menghantuinya.
Ia berhenti mondar-mandir. Ia duduk di
pinggiran tempat tidurnya. Ia mencoba memikirkan hal-hal positif dan hal yang
bisa membuatnya bahagia. Tetapi, bayangan Bintang terus hadir di otaknya, membuatnya
kembali sedih.
“Rahma, kamu udah tidur belum?”tanya
ibunya di luar kamarnya.
Rahma menghapus air matanya cepat
sambil mengatur nafas dan suaranya.
“Belum, bu! Tapi, baru mau
tertidur”kata Rahma dengan nada lemas.
“Baiklah kalau begitu. Good night,
dear! Have a nice dream”kata ibunya sambil berlalu.
Kini, Rahma kembali bersedih. Tiada
yang bisa menghapus kegalauan hatinya. Ia berharap atas kesembuhan Bintang. Walau
tak banyak yang bisa ia lakukan, tapi ia hanya bisa berdoa semoga Allah bisa memberikan
yang terbaik untuknya dan Bintang.
~~~~~~~~
Di tempat ini, tempat yang tidak asing
lagi buat Dessy. Disini ia dan Bintang pertama kali berkenalan. Kemudian,
bertemu lagi. Tempat ini adalah tempat kenangan yang tak pernah terlupakan.
Kini, Bintang kembali mengajaknya ke tempat ini. Kenangan itu kembali terulang
dibayangannya. Tanpa sadar, ia tersenyum.
“Kenapa kamu senyum-senyum
sendiri?”tanya Bintang.
Dessy membalasnya dengan gelengan. Ia
duduk di kursi taman yang paling dekat dengannya. Bintang pun ikut duduk
disebelahnya. Untuk beberapa saat mereka duduk dalam diam. Tak ada yang mau
memulai pembicaraan.
“Malam ini cerah banget, ya”seru Dessy
memecah kebisuan.
“Iya! Rasanya, berbeda dengan
malam-malam yang lain. Atau…”Bintang menoleh sebentar ke arah Dessy, lalu
kembali memandang langit.”…hanya perasaanku saja”
“Nggak, kok! Aku juga berpikir begitu”kata
Dessy cepat.
Dessy memandang Bintang lama. Merasa
diperhatikan, Bintang pun ikut menoleh. Beberapa saat mereka berada tatap
sampai…
“Drrtt… drrrtttt….”Bintang merasa handphonenya bergetar diiringi lagu nada
dering tanda telepon masuk. Pandangan Bintang teralih pada handphonenya. Ia segera merogoh sakunya, mengambil hp, kemudian
mengangkatnya.
“Halo, ada apa, Di?”
“…..”
“Hah? Apa? Serius? Baiklah, aku segera
kesana sekarang”Bintang meletakkan kembali hp-nya kedalam saku, lalu mengambil
kunci motornya di dalam saku jaket.
“Bintang, kamu mau kemana? Apa terjadi
sesuatu?”tanya Dessy dengan nada khawatir.
Bintang menoleh. Hampir saja ia lupa
kalau ia sedang bersama Dessy.
“Maaf, Des. Aku tidak bisa
menjelaskannya sekarang. Tetapi, ada sesuatu yang penting. Jadi, aku harus
pulang sekarang. Tidak apa-apa, kan?”ujar Bintang. Ia takut kalau Dessy
tiba-tiba ngambek lagi seperti waktu kejadian dirumah sakit.
“Umm… tidak apa-apa. Ya udah, cepat
pulang sana. Katanya penting!”kata Dessy dengan semangat, berusaha
menymbunyikan kekecawaannya.
Bintang mengangguk, kemudian berlalu.
SEPI. Kehilangan. Itulah yang Dessy rasakan saat ini. Entah perasaan apa itu.
Dessy sama sekali tidak mengerti.
“Apakah aku sedang jatuh cinta?”tanya
Dessy dalam hati.
~~~~~~~~
Alin membuka matanya. Dilihatnya
langit masih gelap. Udara dingin mulai menusuknya. Padahal, ia sudah mengenakan
jaket. Aldi masih menggendong tubuhnya sambil sesekali celingukan.
“Lagi nungguin siapa?”tanya Alin pelan
karena tubuhnya terlalu lemas. Saking pelannya, suaranya hampir tidak
terdengar.
Aldi tampak terkejut ketika ia mendengar
suara Alin. Hampir saja ia melempar tubuh Alin saking terkejutnya.
“Eh…umm… kamu udah bangun, Lin?”Aldi
malah balik bertanya.
Alin mengangguk kepalanya lemas. Ia
diam dalam dekapan Aldi. bukannya apa, tapi tenaganya sama sekali tidak ada.
Daun-daun kering di sekeliling mereka melayang diterbangkan angin. Semakin
malam, dinginnya semakin menusuk. Alin menyerngitkan dahinya ketika melihat
Bintang datang. Atau mungkin, inilah alasan Aldi diluar rumah sakit sampai-sampai
tubuhnya hampir membeku gara-gara menunggu Bintang.
“Ini, tolong bawa dia ke mobil gue.
Gue masih mau ke dalam. Masih ada urusan yang belum aku selesaikan”ujar Aldi
cepat.
Bintang mengangguk tanda mengerti. Ia
segera melakukan apa yang diperintah Aldi. Aldi segera berlari menuju rumah
sakit. Namun, baru beberapa ia berlari, ia berbalik.
“Gue gak lama. Cuma 5 menit aja.
Tolong jaga dia baik-baik, ya”teriak Aldi.
Bintang kembali menganggik. Mereka
segera masuk ke dalam mobil. Udara di dalam mobil tidak sedingin diluar.
Setidaknya, mereka tidak akan masuk angin jika berada di dalam mobil.
1 menit… 2 menit… 5 menit… telah
berlalu. Alin masik sempat melirik jam tangannya. Mata Bintang tinggal beberapa
watt. Sepertinya ia sudah sangat lelah. Kentara sekali di wajahnya. 7 menit
telah berlalu, tetapi Aldi tak kunjung datang juga. Setelah 10 menit berlalu,
barulah dia datang. Ia membuka pintu kemudi, lalu masuk kedalam. Alin langsung
memejamkan matanya pura-pura tidur. Bintang sudah terlelap dari tadi. Ia jug
tidak mengetahui kalau Aldi sudah datang. Aldi menyalakan mesin mobilnya.
Sebelum ia melajukan mobilnya, ia sempat menoleh ke bangku belakang. Ia tertawa
melihat wajah Bintang dan Alin yang sedang tidur. Lucu sekali. Tanpa sadar, ia
menatap wajah Alin lama.
“Udah balik?”tanya Alin membuat Aldi
terkejut.
“I… iya… tadi”kata Aldi gugup. “Mau
langsung pulang?”tanya Aldi.
“Ya iyalah! Tapi, jangan pulang
kerumahku, ya! Aku tidak mau melihat wajah panik mamaku”pinta Alin dengan nada
memohon.
“Terus kita kemana sekarang?”
“Kerumah loe aja. Masalah
barang-barang gue, biar gue suruh Bintang aja yang ngambil”cerocos Alin.
Walaupun tenaganya sudah sangat minim,tapi ia masih bisa banyak bicara.
Aldi mengangguk, kemudian melajukan
mobilnya kerumahnya.
~~~~~~~~
Langit kembali terlihat mendung.
Angin-angin kembali menari tarian datangnya hujan. Burung-burung bersenandung
nada sedih. Namun, sudah ada tetes air
jatuh di pipi Rahma. Itulah yang dilihat Dessy saat ia baru datang memasuki
kelas. Alin juga yang baru datang beberapa detik kemudian tampak terkejut
melihat kondisi Rahma.
“Rahma, ada apa? kenapa pagi-pagi udah
nangis?”tanya Alin dengan nada khawatir.
Rahma tidak langsung menjawab pertanyaan Alin.
Malah, ia memberikan handphonenya
pada Alin. Tanpa basa-basi, Alin langsung membaca sebuah pesan yang tadi
ditunjukkan Rahma padanya. Melihat itu, Alin langsung membelalakkan matanya. Ia
terlihat shock membacanya.
“Ada apa, Lin? Apa yang sebenarnya
terjadi?”tanya Dessy ketika melihat perubahan yang terjadi pada Alin. Tapi,
Alin hanya diam membuat Dessy penasaran.
“Sini”Dessy merebut handphone Rahma dari tangan Alin dan
membacanya. Dessy terkesiap membacanya. Ia memandang Rahma dengab tatapan tidak
percaya dan Alin yang kini sudah bersimbah air mata secara bergantian.
“Benarkah? Benarkan pesan ini?
Benarkah kalau…” Dessy berusaha mengatur emosinya, menahan air mata agar tidak
terjatuh.”Benarkah kalau… Bintang… meninggal?”tanya Dessy tidak percaya.
Rahma mengangguk lemah. Sedangkan,
Alin… Alin berusaha mengendalikan air matanya. Ia menatap Dessy, berusaha untuk
memberi pengertian pada Dessy.
“Ada apa, Lin?”tanya Dessy yang
sepertinya tahu kalau Alin ingin memberitahu sesuatu padanya.
“Des… sebenarnya… Bintang itu… pacar
Rahma…”
Dessy semakin shock. Kata-kata yang meluncur dari mulut Alin membuatnya tidak
bisa berpikir apa-apa lagi. Sontak ia langsung berlari keluar kelas. Tak peduli
dengan hujan yang baru saja turun. Kata-kata terakhir yang didengarnya benar-benar
membuat emosinya membludak. Sedih, marah, kecewa, kehilangan semua campur aduk dihatinya.
Bagaimana bisa Bintang pergi meninggalkannya begitu saja. Padahal, baru tadi
malam mereka bertemu dan mengobrol. Padahal…
Tangis Dessy pecah. Ia berhenti dikoridor
dekat gudang di lantai 2. Tempat itu jarang sekali dilalui siswa-siswi. Tempat yang
sangat cocok buat Dessy menangis. Namun, entah ia salah dengar atau tidak, ia
mendengar langkah kaki berjalan mendekatinya. Dessy tidak tahu pasti siapa
orang itu karena ia sama sekali tidak berani mengangkat kepalanya. Ia terus
memeluk lututnya sambil menyembunyikan wajahnya. Terdengar langkah itu terhenti
tepat di depannya. Dessy menengadahkan kepalanya sedikit, tapi tetap saja ia
tidak bisa melihat dengan jelas orang itu karena air matanya menyamarkan
penglihatannya.
“Mengapa kamu menangis?”tanya cowok
itu. suaranya tak asing lagi bagi Dessy. Tapi, tetap saja ia tidak menyadarinya
karena ia masih shock.
“Bintang…”
“Bintang? Memangnya apa yang terjadi
pada Bintang?”tanya cowok itu.
“Dia…”Dessy memberanikan diri
mengangkat kepalanya. Ia menghapus air matanya dan kini bisa melihat dengan
jelas siapa lawan bicaranya. Dan itu semakin membuatnya shock. “LOH??? Kok…”
~~~~~~~~
Alin dan Rahma sedang tertawa sambil
cekikikan di kelas. Padahal, masih ada sisa air mata yang menghiasi pipi dan
mata mereka. Orang-orang yang baru datang kekelas memandang mereka dengan
tatapan aneh. Cika dan Devi jadi ikut-ikutan penasaran dengan tingkah Alin dan
Rahma. Bahkan, Vivi yang dari tadi hanya melihat mereka tertawa menganggap
mereka berdua kalau otaknya sudah ‘ERROR’.
“Ada apa, sih? Bagi-bagi cerita, dong!
kayaknya seru, nih!”seru Devi. Cika, Vivi dan Riri ikut-ikutan nimbrung, pengen
minta cerita yang sebenarnya terjadi.
“Gini…”kata Alin setelah tawanya sudah
berhenti. Namun, ia masih sempat cekikikan. “Tadi, aku baca sms dari ibunya
pacar Rahma, bahwa dia baru saja meninggal”ujar Alin.
“Loh, pacarnya Rahma meninggal kok
kalian malah cekikikan kayak kuntilanak. Gimana, sih?”komentar Cika yang merasa
apa yang telah dilakukan Alin dan Rahma tadi salah. Alin dan Rahma saling
bertatapan.
“Nah, itu dia masalahnya. Waktu aku
baca sms itu, Dessy juga ikutan baca”
“Terus, mana Dessynya? Kok gak ada
disini?”tanya Vivi.
“I-don’t-know. Soalnya tadi dia main kabur-kabur
aja”kata Alin.
“Terus, apa yang lucu? Masa orang meninggal
kalian malah tertawa?”ujar Riri.
Alin dan Rahma saling berhadapan.
Walaupun Rahma sangat terpukul dengan kematian pacarnya, namun penjelasan Alin
tadi benar-benar sedikit menghiburnya.
“Sebenarnya…”