♬MELODY
ABOUT SOMEONE ♬
(24)
Hujan membasahi tanah-tanah
kering. Debu-debu berterbangan tak karuan arah. Angin-angin masih menari
bersama pepohonan. Riri memandang langit dengan sebal. Seandainya tadi ia bisa
menyelesaikan soal fisika dengan cepat, ia takkan terjebak disekolah ini.
SENDIRIAN. Walaupun masih ada beberapa teman sekelasnya masih di sekolah, tapi
mereka bukan termasuk teman dekatnya, maksud Riri teman yang bisa diajak
bicara.
Tanpa sadar, Riri melangkahkan
kakinya ke suatu tempat yang seharusnya tidak dikunjungi. Tiba-tiba saja Riri
menggelengkan kepalanya kuat.
“Tidak mungkin! Tidak mungkin
dia ada disini! Kalaupun ada, tidak mungkin dia mau berbicara denganku”ujar
Riri.
Ia menatap pintu dapur sekolah
lama. “Baiklah”katanya menyerah seolah-olah dia habis berdebat pada dirinya
sendiri tentang keputusan yang harus diambilnya.
‘Krrriiieeekk…’ Riri terperanjat
kebelakang saat pintu itu terbuka. Bukan dia yang membukanya, tapi seseorang
yang… mungkin, yang ia rindukan.
“Riri”kata Ferdi terkejut.
“Hai”balas Riri kaku.
Beberapa saat mereka hanya
terdiam.
“Apa kabar?”tanya mereka berdua
kompak.
Riri tampak salting. Begitu juga
dengan Ferdi.
“Aku…”kata mereka lagi.
“Kamu duluan, deh!”kata Ferdi.
Riri tampak malu-malu. “Aku
hanya ingin bilang minta maaf. Mmm, kejadian yang waktu itu, aku minta maaf”
“Tidak, Ri! Akulah yang
seharusnya minta maaf. Seharusnya, aku tidak bersikap dingin padamu waktu itu”ujar
Ferdi.
“Kenapa?”tanya Riri penasaran.
“Hah?”
“Kenapa? Kenapa kamu cuek sama
aku?”tanyanya ulang.
Ferdi menggaruk-garuk kepalanya
yang tidak gatal. Bingung harus menjelaskan dari mana.
“Aku… aku hanya lagi bad mood saja waktu itu”jelasnya. Riri hanya
ber-O saja. “Lagipula, kenapa kamu tiba-tiba menghilang? Ah, aku lupa. Kamu kan
sibuk belajar”
Riri menyerngit bingung.
“Maksudnya? Memangnya kamu tidak belajar?”
“Aku… Aku sebenarnya sudah tamat
sma dan sedang kuliah. Dan aku disini hanya menjadi guru ekskul
memasak”jelasnya.
“Hah? Benarkah? Kalau begitu,
aku harus memanggilmu dengan sebutan kakak. Mengapa kakak tidak bilang sejak
awal? Aduh, betapa bodohnya diriku yang sama sekali tidak menyadari hal ini”cerocos
Riri.
Ferdi tertawa kecil melihat
tingkah Riri. Lucu, batinnya.
“Mengapa tertawa? Memangnya ada
yang lucu?”tanya Riri sambil cemberut.
“Ya”jawab Ferdi jujur.
“Tingkahmu yang lucu sehingga aku tertawa”
Riri mencubit perut Ferdi kuat
dan Ferdi hanya merintih.
“Sudahlah, aku pulang saja. Lagipula,
hujannya sudah berhenti”kata Riri.
Ferdi terbelalak,”Cepat sekali.
Padahal kita baru saja ketemu”
Entah mengapa jantung Riri
tiba-tiba berdetak tak karuan mendengar kata-kata Ferdi tadi. Apa maksudnya?
“Lagipula hari semakin sore”Riri
melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul 16.00.
“Benarkah? Kalau begitu
pulanglah. Hati-hati dijalan, ya!”
Riri terbengong ditempatnya.
Tadi, ia menahannya. Sekarang malah mengusirnya. Apa sih yang sebenarnya
dipikirkan orang ini?
“Kalau begitu, aku pulang, ya!”Riri
berbalik, hendak berjalan ketempat dimana motornya diparkir. Tapi, Ferdi
menahan tangannya, membuatnya berbalik lagi.
“Ada yang ingin kukatakan”kata
Ferdi sebelum Riri sempat bertanya.
“Apa?”tanya Riri penasaran.
Jantungnya tiba-tiba berdetak dua kali lebih cepat saat ia melihat Ferdi
tersenyum padanya.
“Tapi, aku malu”katanya sambil
tersenyum malu. Riri mengerutkan dahinya, bersikap seolah tak terjadi apa-apa.
“Mungkin, ini terlalu cepat. Ah, aku mungkin terlalu berlebihan. Tapi, aku
tidak bisa menyimpan ini semua lama-lama.
“Sebenarnya… sebenarnya, aku
suka padamu. Sejak pertama kali aku bertemu denganmu disini, ditempat ini, aku
terpesona melihatmu, sampai-sampai aku tidak bisa memikirkan apapun. Yang
kupikirkan hanyalah dirimu”kata-kata itu tiba-tiba meluncur begitu saja dari
mulut Ferdi tanpa bisa dihentikan.
“Benarkah?”tanya Riri tak
percaya. “Tapi…”
“Tidak perlu jawab sekarang. Aku
akan memberikanmu waktu untuk berpikir. Aku tau ini terlalu tiba-tiba, dan aku
juga tidak bisa mempersiapkan semua ini dengan baik. Tapi, aku… aku akan siap
menunggumu. Aku janji”
Riri tampak sedang berpikir,
“Kalau begitu, tunggu sampai acara kenaikan kelas tiba. Dan saat itu, aku baru
bisa memberikan jawaban padamu”usul Riri.
Ferdi tampak kelihatan ragu. Ia
jadi tidak yakin pada dirinya sendiri.
“Tenang saja”kata Riri. “Saat
hari itu tiba, aku akan memberikan jawaban ‘Ya’ padamu. Aku janji”
Kini, senyum Ferdi mengembang
dibibirnya. Begitu juga dengan Riri. Tanpa ia sadari, Ferdi sudah memeluknya,
erat.
~~~~~~~~
Aldi memainkan beberapa nada di
piano. Nada ini mengingatkannya pada seseorang yang selama ini tidak bisa
dilupakannya. Mamanya. Dan Iin. Kedua orang itu merupakan orang-orang yang
paling ia sayangi, sehingga ia tidak ingin melupakan kedua orang itu.
Ia terus memainkan nada itu
berulangkali sampai ia bosan. Setelah ia selesai bermain, terdengar suara tepuk
tangan dari belakang. Aldi menoleh dan hampir jungkir balik kebelakan setelah
tahu siapa yang tepuk tangan.
“Alin? Kamu, mengapa kamu ada
disini? Sejak kapan?”tanyanya.
Alin hanya tersenyum mendengar
pertanyaan Aldi. “Bodoh, aku sudah berpuluh-puluh kali memencet bel, tapi tak
ada jawaban. Tapi, saat aku mendengar bunyi piano dari dalam sini rumah, aku
memberanikan diri untuk masuk aku tidak menyangka kalau kamu begitu ceroboh,
pintunya sama sekali tidak kau kunci. Ckck…”jelas Alin.
Aldi mendengus sebal sambil
berbalik menghadap pianonya.
“Kenapa kesini?”tanya Aldi tanpa
menoleh.
Alin menepuk dahinya pelan. “Ya
ampun, sejak kapan kamu mulai pikun? Bukankah kamu sendiri yang menyuruhku
untuk mengerjakan tugas TIK dari Bu Ira. Ckckck… bukan hanya suka melamun,
akhir-akhir ini juga kamu mulai pikun. Memangnya kamu lagi dalam masalah, ya?”
“Ya! Aku punya masalah. Dan
sumber masalah itu adalah kamu. Mengerti!!!”
Alin hanya menggeleng dengan
wajah tanpa dosa.
“Tapi, aku merasa tidak punya
masalah sama sekali denganmu! Udah, ah! Jangan bercanda mulu! Mending kita
cepat-cepat ngerjain tugas”cerocos Alin.
Ia meletakkan laptop yang sedari
tadi ia bawa diatas meja ruang tengah, kemudian mengaktifkannya. Lalu, ia mulai
mengutak-atik sesuatu dilaptop, sedangkan Aldi masih diam terpaku di kursi
piano. Alin menatapnya sebal.
“Di, Aldi”panggilnya. Tapi, ia
masih diam ditempat. “Di, Aldi, Didididididididididi”
Aldi menoleh kaget kearahnya.
Beberapa saat mereka bertatapan dalam diam.
“Sadar juga akhirnya”kata Alin,
ia mengalihkan pandangannya ke layar laptop.
“Aku tidak suka dipanggil
seperti itu”gumam Aldi. Raut wajahnya berubah sedih. Tapi, Alin tidak
menyadarinya.
“Cepat kesini atau aku lapor
dengan Bu Ira kalau kamu tidak membantu”ancam Alin. Aldi mendengus dan akhirnya
berjalan menghampirinya.
~~~~~~~~
“Bintang, tante harap kamu tidak menceritakan ini dulu pada Alin”kata
mama Alin pada Bintang kecil. Kira-kira umurnya sekitar 7 tahun.
“Ada apa, tan? Bukankah kita semua harus memberitahu Dinda tentang itu.
Kasihan dia, tante. Aku juga tidak sanggup melihat Dinda yang seperti ini”kata
Bintang.
Mama alin berlutut di depan Aldi, kemudian memegang kedua pundak
Bintang.
“Justru itu, Bintang. Karena tante tidak tega melihat Alin seperti itu,
tante menyuruhmu tutup mulut. Kamu tahu, kan! Sejak kejadian itu, perlahan dia
kehilangan ingatannya. Tante tidak tahu apa penyebabnya, tapi jangan membuat
dia semakin menderita, atau mungkin, dia akan kehilangan semua ingatannya”jelas
mama Alin.
Bintang mengangguk,”Baiklah, tan! Aku mengerti”
“Woi, ngelamun, ya! Ckckck… kenapa akhir-akhir
ini dikelas kita banyak yang ngelamun, ya?”suara Vivi memecah lamunan Bintang.
Ia tersenatak kaget, tapi dengan cepat ia menguasai diri.
“Lagi musim, kali!”celetuk
Rahma.
Bintang dan Vivi menyerngit
bingung.
“Mungkin, karena bentar lagi
ulangan kenaikan kelas, ya?”tebak Cika.
“Mungkin”kata Putra.
“Aduh, pada berisik aja, nih!
Emangnya kalian udah pada selesai?”gerutu Dessy, sama sekali tidak melepaskan
pandangannya dari laptop.
“Udah, dong!”seru Vivi, Bintang,
Rahma, dan Putra kompak.
“Issshhh… mentang-mentang kalian
udah selesai, jadi kalian pada berisik, nih!” gerutu Dessy sebal.
“Eh, maaf”kata Bintang, membuat
Dessy mengalihkan pandangannya dari laptop ke Bintang.
“For what?”tanya Dessy bingung.
“Karena sudah berisik”jawab
Bintang.
Dessy mengibas-ngibas tangannya
dan kembali ke laptop. “Lupakan”
“Dia kenapa, sih?”tanya Putra
pelan.
“Lagi dapet kali”tebak Cika.
“Mending kita pulang sekarang
daripada bikin Dessy makin ngamuk”usul Vivi.
Semuanya mengangguk.
“Eh…”Bintang baru saja ingin
bicara, tapi ia mengurungkan niatnya.
“Des, kami pulang, ya”kata Vivi.
Dessy mengangguk tanpa menoleh.
“Hati-hati, ya!”kata Cika. Ia
menemani Bintang, Vivi, Rahma, dan Putra kedepan rumah Dessy.
Setelah berpamitan, semuanya
menuju kendaraan mereka masing-masing, kecuali Bintang. Ia masih berdiri di
depan Cika sambil menunggu teman-temannya pulang.
“Cik, boleh aku minta tolong
sesuatu padamu?”tanya Bintang.
Cika mengangguk. “Apa?”
“Tapi, jangan sampai ketahuan
siapapun. Kamu bisa, kan?”tanya Bintang ragu.
Awalnya Cika terlihat ragu, tapi
akhirnya ia menyetujui.
“Tenang saja, aku bisa
diandalkan”seru Cika.
~~~~~~~~
“Selesai”teriak Alin senang. Ia
meneguk habis jus jeruk yang ada di gelasnya, kemudian berbaring sebentar di
sofa.
“Hei, jangan tidur disini”usir
Aldi.
Alin menatap Aldi malas, lalu
bangkit dari sofa. Ia berjalan mengelilingi ruang tengah itu, kemudian berhenti
di kursi piano. Iseng, ia memencet tuts piano itu asal.
“Hei, jangan sentuh
barang-barangku sembarangan”omel Aldi. Tapi, ia tak peduli. Melihat Alin yang
sepertinya mengabaikan peringatannya, ia berjalan menghampiri Alin.
“Mainkan sekali lagi”pinta Alin
saat Aldi ada didekatnya.
“Apa?”tanya Aldi bingung.
“Yang tadi, musik tadi, mainkan
sekali lagi. Aku ingin mendengarkannya. Please…”pinta Alin dengan nada memohon.
Aldi menatap Alin malas. Tapi,
akhirnya ia terpaksa mengabulkan permintaan Alin. Ia duduk dikursi piano dan
mulai memainkan jemari-jemarinya diatas tuts piano. Alin menyandarkan tubuhnya
di dekat piano sambil bertopang dagu, memperhatikan secara seksama permainan
Aldi. Ia seolah-olah tersihir dengan melodi yang dimainkan Aldi. Setelah melodi
yang dimainkan Aldi selesai, Alin bertepuk tangan.
“Waw, keren! Itu kamu yang
buat?” tanya Alin.
“Bukan. Hanya mendengarkan
seseorang memainkan melodi ini, kemudian diam-diam aku menirunya” jelas Aldi.
“Aahhh… kamu tidak kreatif
sekali. Masa’ meniru karya orang lain secara diam-diam? Boleh aku mencobanya?”Alin
langsung duduk disamping Aldi tanpa menunggu jawaban darinya.
Aldi mendecak kesal, tapi
kemudian terdiam saat ia mendengar permainan Alin. Begitu mirip dengan apa yang
ia mainkan.
“Mengapa bisa secepat ini? Apa
mungkin….”
Tiba-tiba saja permainan Alin
menjadi kacau. Aldi langsung menahan tangan Alin, menghalanginya untuk bermain.
“Hei, kalau kamu bermain seperti
itu terus, pianoku bisa rusak”omel Aldi.
“Sorry”kata Alin. ”Aku hanya
mencoba mencari nada selanjutnya. Tapi, ternyata aku tidak berbakat sama
sekali”serunya dengan wajah tanpa dosa.
“Makanya, jadi orang jangan sok
tau! Ck, kau sangat menyebalkan”oceh Aldi sambil berlalu.
Alin menatap kepergian Aldi
dengan bingung.
“Dia kenapa, sih? Lagi dapet,
ya?”
~~~~~~~~
Devi tak henti-hentinya
memandang gantungan kunci pemberian dari Rahma sambil senyum-senyum sendiri.
Vivi yang sedari tadi melihatnya mencoba untuk mengabaikannya. Tapi, rasa
penasarannya lebih kuat.
“Kenapa senyum-senyum sendiri?
Kamu gak liat semua orang yang ada dikelas ini memandangmu ngeri. Mereka takut
kalau kamu kenapa-kenapa”kata Vivi.
Devi mengabaikan kata-kata Vivi.
Senyumannya menjadi-jadi saat ia berangkat dari tempat duduknya untuk keluar kelas.
“Vivi, aku keluar dulu, ya!
Bye…”seru Devi dengan senyum yang masih mengembang.
Vivi hanya menggelengkan
kepalanya melihat tingkah temannya yang satu itu.
“Ckckck… Apa mungkin dia sedang
jatuh cinta, ya?”
~~~~~~~~
‘Duk… duk… duk..’ berkali-kali
bola itu dipantulkan ke lantai, kemudian dilemparkan kedalam ring.
‘Hup’ bola itu hanya berkeliling
di pinggiran ring dan jatuh kembali kelantai tanpa melewati jaring-jaring ring.
“Aaarrrrgggghhhhh…”Bagas
berteriak frustasi. Tapi, bunyi tepuk tangan dari belakang membuatnya menoleh.
“Keren”komentar Devi.
Bagas melongo bingung kearah
Devi. Jelas-jelas bola tadi tidak masuk, tapi dia bilang itu keren.
“Oh, maaf! Sepertinya aku
salah”wajah Devi tiba-tiba saja berubah merah.
“Gak pa-pa!”seru Bagas.
Beberapa saat suasana mendadak hening.
Devi memandang ujung sepatunya, sedang Bagas menggaruk-garuk kepalanya yang
tidak gatal.
“Eh, kok bisa ada disini,
kak?”tanya Bagas.
“Ah?”Devi tampak sedang
berpikir.
“Ada yang ketinggalan lagi, ya?”tanyanya
lagi.
Devi mengangguk. “Umm, tapi,
udah ketemu, kok! Aku pergi dulu, ya”
“Eh, tunggu…”panggil Bagas saat
Devi baru saja beranjak pergi.
Devi berbalik,”Ya??”
“Jangan pergi, jangan pergi”
“Ada apa, ya?”tanya Devi.
“Jangang pergi, jangan pergi. Kumohon…”
‘Teettttttttt…. Teeeeeetttttt…
teeeeeetttttt….’ Devi memandang keluar, lalu kembali menoleh kearah Bagas.
“Ah, maaf, bel masuk udah bunyi.
Aku harus cepat-cepat kekelas. Maaf, ya!” Devi berlari menuju ruang kelas tanpa
menoleh lagi kebelakang. Kalau tidak, ia akan tetap berada disana bersama Bagas
ketimbang masuk kedalam kelas bertemu dengan Pak Joko dan berhadapan dengan
rumus-rumus fisika yang membuat pusing kepala.
~~~~~~~~
“Hah..”Rahma menghela napasnya
kuat, kemudian disusul dengan Devi yang duduk disampingnya sambil menatap
pesanan mereka dengan malas.
“Ada apa dengan kalian? Lagi ada
masalah?”tanya Cika.
Bukannya menjawab, mereka berdua
malah kembali menghela.
“Sepertinya iya, Ka!”bisik Dessy
pelan.
Cika hanya mengangguk-angguk.
Tak lama, Alin datang dan langsung menyerobot duduk di antara Devi dan Rahma.
“Waw, sepertinya ada makanan
nganggur, nih! Buatku saja, ya!”seru Alin. Baru saja ia ingin mengambil punya
Devi dan Rahma, mereka merebutnya lebih dulu.
“Tidak boleh”jawab Devi dan
Rahma kompak.
“Ya sudah! Kalau begitu,
dimakan, dong! Ntar, keburu dingin, loh! Kan, gak enak lagi jadinya”ujar Alin
dengan wajah tanpa dosa.
Devi mendesis,”Berisik amat, sih!
Iya, deh, ini aku makan”katanya sambil memasukkan sesendok siomay kedalam
mulutnya. Rahma mengikutinya. Sedangkan, Alin tersenyum puas melihatnya.
Dessy memanggil Alin dengan
kode. Alin menoleh dan melihat Dessy bertanya padanya dengan bahasa isyarat.
“Mereka kenapa?”
Alin membalasnya. “Aku juga
tidak tahu. Tapi, nanti aku tanyain”
Dessy mengangguk setuju. Cika,
Devi dan Rahma memandang mereka dengan penuh tanda tanya.
“Kalian tadi lagi ngapain?”tanya
Rahma penasaran.
“Lagi belajar nari ala
cacat”jawabnya asal sambil memasukkan gorengan pesanannya kedalam mulut. Ia
berharap tak ada yang mengerti apa yang dilakukannya denga Dessy tadi.
~~~~~~~~
Rahma mengehela napas kuat.
Entah yang keberapa kalinya ia menghela napas hari ini. Tak terhitung. Lebih
tepatnya, tak dihitung. Menyebalkan. Hari ini sungguh menyebalkan baginya.
Pagi-pagi ia sudah mendapat kultum yang membosankan dari kedua orangtuanya.
Kedua, ia terlambat masuk kekelas saat pelajaran Pak Joko. Alhasil, ia disuruh
merangkum semua rumus dari kelas 10 sampai kelas 11 semester 2. Ditambah lagi,
ia lupa mengerjakan pr kimia dan harus membuat surat pernyataan. Orangtuanya
pun dipanggil kesekolah.
“Aaarrrrrggghhh… Mengapa aku
sial sekali hari ini”gerutunya sebal. Ia membentur-benturkan kepalanya ke
dinding yang ada disebelahnya, berharap semua beban yang ada dikepalanya
berkurang. Tetapi, ia merasa ada tangan yang menghalangi kepalanya.
“Ck, kenapa?”tanya Heri.
“Kenapa?”tanya Rahma balik.
“Gak pa-pa!”jawabnya Heri
singkat, lalu berjalan kembali kebangkunya. Ia mengambil gitar yang sedang
dipegang Putra, lalu mencoba untuk memainkannya.
Awalnya, Rahma terlihat tidak
peduli. Ia berniat keluar kelas untuk menyusul Ali, Devi, dan yang lainnya ke
perpus. Tapi, sesuatu membuatnya untuk tetap tinggal.
It feels like we've been livin' in fast forward
Another moment passing by
(Up up up all night)
The party's ending but it's now or never
Nobody's going home tonight
(Up up up all night)
Rahma menoleh kearah Heri. Ia
menyanyikan lagu ‘Up All Night’ dari One Direction. Entah mengapa, untuk
pertama kalinya ia terpaku ditempatnya mendengar Heri menyanyi seakan melodi
itu telah menggema dihatinya.
~~~~~~~~
Sepi. Ia tahu kalau ruang musik
sekarang mulai sepi. Orang-orang sibuk untuk menghadapi ujian kenaikan kelas.
Tapi, masih ada saja diantara mereka yang masih bersantai-santai. Alin berjalan
mengelilingi ruang musik, kemudian berhenti di depan piano. Piano ini mengingatkannya
saat terakhir kali iya bertemu Fakhri, dan setelah itu ia tak pernah lagi
datang keruang musik.
“Haahh…”Alin menghela napas. Ia
jadi merindukan Fakhri di saat-saat seperti ini. Andai saja waktu bisa diputar
ulang?
‘Ting’ tanpa sengaja ia menekan
salah satu tuts piano. Ia menekan lagi, lagi, dan lagi hingga ia memainkan melodi
kemarin yang ia dengar.
“Oh”gumam Alin seperti teringat
sesuatu. Ia mengambil sesuatu dari dalamnya yang merupakan kertas partitur. Ia
memainkan beberapa nada, kemudian menulisnya. Memainkan, lalu menulis.
Begitulah selanjutnya.
“Selesai”seru Alin senang. Ia
meletakkan kertas partitur diatas piano, kemudian memainkannya.
‘Plok… plok… plok…’ suara tepuk
tangan itu membuat Alin menoleh. Ia melihat Aldi sedang berjalan mendekatinya.
“Cukup bagus”komentar Aldi
membuat Alin tersenyum senang. “Untuk menciptakan sebuah karya yang berasal
dari orang lain”
Alin mendengus. “Bodoh!
Lagipula, melodi ini bukan punyamu, kan?”tanya Alin membuat Aldi terdiam.
Melihat itu, Alin tersenyum penuh kemenangan.
“Tolong ajari aku”kata Aldi
datar.
Alis Alin terangkat,
“Maksudnya?”
“Tolong ajari aku bermain lagu
tadi”kata Aldi sambil berusaha menahan rasa malu.
Kalau saja Aldi tadi tidak
memelototinya dan mencubit pipinya, mungkin Alin sudah tertawa dengan puas
tadi.
“Oke,”kata Alin saat ia bisa
menahan diri untuk tidak tertawa. “Akan kuajari. Ck, padahal tadi mencelaku,
sekarang malah minta ajar. Hahaha…”
Dengan sebal Aldi mencubit kedua
pipi Alin kuat, sampai pipi Alin berubah menjadi merah.
“Berhentilah tertawa, cerewet!!!
Lebih baik kamu mengajariku sekarang” pinta Aldi sambil melepaskan cubitannya.
Alin terdiam sambil memegangi
kedua pipinya yang terasa hangat. Jantungnya berdetak tak karuan dan hatinya
merasa senang.
“Hei, mau mengajariku sampai
kapan?”tanya Aldi tak sabaran.
Alin mengangguk dan mulai
bermain. “Lihat ini, kamu bermain di sebelah sana, dan aku sebelah sini.
Mengerti?”
Aldi mengangguk. Ia memencet
tuts piano di bagian kanan sambil melihat partitur. Diam-diam ia melirik Alin
yang tampak sedang menikmati permainannya.
‘Plok… plok… plok…’ suara tepuk
tangan membuat Aldi dan Alin menoleh. Kali ini, Pak Derri, guru seni mereka
yang masuk memberikan tepuk tangan.
“Permainan kalian bagus sekali.
Bapak sangat salut sekali. Apa itu buatan kalian sendiri?”tanya Pak Derri.
“Ini, Alin yang buat, Pak!” kata
Aldi cepat sebelum Alin sempat berbicara.
“Wah, benarkah? Kalau boleh,
maukah kalian memainkannya saat acara perpisahan kelas 12 sabtu depan?” pinta
Pak Derri.
Tanpa pikir panjang, Alin langsung
mengangguk setuju. “Tentu, Pak! Kami pasti akan bermain saat acara perpisahan
nanti, Pak! Iya, kan, Di?”
“Baguslah”kata Pak Derri tanpa
menunggu persetujuan dari Aldi. “Kalau begitu, latihan yang baik supaya kalian
bisa menampilkan yang terbaik nanti”
“Tentu”kata Alin senang.
~~~~~~~~
“Hei, mengapa aku harus ikut
bermain, sih?” protes Aldi saat mereka berada dirumah Alin.
Alin tersenyum samar. “Anggap
saja kita impas. Lagipula, aku tidak bisa bermain sendiri”
“Maksudmu?”
“Yah, maksudku, kamu nanti yang
menyanyi dan aku yang main pianonya” kata Alin.
Aldi melongo, “Seenaknya sendiri
memutuskan sesuatu. Asal kamu tahu saja, ya, aku tidak akan bernyanyi nanti.
Lagipula, memangnya sudah ada liriknya?” tanya Aldi.
Alin mengangguk. “Tentu saja!
Pulang sekolah tadi aku sudah membuat liriknya. Ini” Alin memberikan selembar
kertas pada Aldi dan Aldi menerimanya.
Dilihatnya kertas itu dengan
teliti, lalu ia memandang kertas itu dan Alin bergantian.
“Bagaimana? Bagus, tidak?” tanya
Alin penasaran.
Aldi tampak bingung. Namun,
akhirnya ia terpaksa mengangguk.
“Tapi, benarkah ini buatanmu
sendiri?” tanya Aldi tak percaya.
Alin mengangguk. “Bukankah kamu
tahu aku suka menulis? Harusnya kamu bisa tahu sendiri kalau itu buatanku
sendiri. Aku bukan plagiator, loh!”
“Sial, aku memang tahu kalau ini
buatanmu sendiri. Tapi, aku tidak menyangka saja kamu bisa membuat lirik
secepat itu dengan bagus” kata Aldi sebal.
Mendengar itu, Alin hanya
tertawa.
“Mengapa tertawa? Ada yang
lucu?” tanya Aldi tambah sebal.
Alin mengangguk. “Ya iya, lah!
Soalnya kamu itu lucu sekali. Mengapa dari tadi kamu uring-uringan, sih?”
Aldi menggeleng cepat.
“Satu lagi. Akhir-akhir ini kamu
gak pernah pake bahasa loe gue? Seingatku dulu, kamu memaksaku berbicara
seperti itu waktu aku kerumahmu pertama kali”
Aldi terdiam. “Itu… itu…”
~~~~~~~~