Sabtu, 24 November 2012

GUARDIAN ANGEL (24)


MELODY ABOUT SOMEONE (24)



Hujan membasahi tanah-tanah kering. Debu-debu berterbangan tak karuan arah. Angin-angin masih menari bersama pepohonan. Riri memandang langit dengan sebal. Seandainya tadi ia bisa menyelesaikan soal fisika dengan cepat, ia takkan terjebak disekolah ini. SENDIRIAN. Walaupun masih ada beberapa teman sekelasnya masih di sekolah, tapi mereka bukan termasuk teman dekatnya, maksud Riri teman yang bisa diajak bicara.
Tanpa sadar, Riri melangkahkan kakinya ke suatu tempat yang seharusnya tidak dikunjungi. Tiba-tiba saja Riri menggelengkan kepalanya kuat.
“Tidak mungkin! Tidak mungkin dia ada disini! Kalaupun ada, tidak mungkin dia mau berbicara denganku”ujar Riri.
Ia menatap pintu dapur sekolah lama. “Baiklah”katanya menyerah seolah-olah dia habis berdebat pada dirinya sendiri tentang keputusan yang harus diambilnya.
‘Krrriiieeekk…’ Riri terperanjat kebelakang saat pintu itu terbuka. Bukan dia yang membukanya, tapi seseorang yang… mungkin, yang ia rindukan.
“Riri”kata Ferdi terkejut.
“Hai”balas Riri kaku.
Beberapa saat mereka hanya terdiam.
“Apa kabar?”tanya mereka berdua kompak.
Riri tampak salting. Begitu juga dengan Ferdi.
“Aku…”kata mereka lagi.
“Kamu duluan, deh!”kata Ferdi.
Riri tampak malu-malu. “Aku hanya ingin bilang minta maaf. Mmm, kejadian yang waktu itu, aku minta maaf”
“Tidak, Ri! Akulah yang seharusnya minta maaf. Seharusnya, aku tidak bersikap dingin padamu waktu itu”ujar Ferdi.
“Kenapa?”tanya Riri penasaran.
“Hah?”
“Kenapa? Kenapa kamu cuek sama aku?”tanyanya ulang.
Ferdi menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Bingung harus menjelaskan dari mana.
“Aku… aku hanya lagi bad mood saja waktu itu”jelasnya. Riri hanya ber-O saja. “Lagipula, kenapa kamu tiba-tiba menghilang? Ah, aku lupa. Kamu kan sibuk belajar”
Riri menyerngit bingung. “Maksudnya? Memangnya kamu tidak belajar?”
“Aku… Aku sebenarnya sudah tamat sma dan sedang kuliah. Dan aku disini hanya menjadi guru ekskul memasak”jelasnya.
“Hah? Benarkah? Kalau begitu, aku harus memanggilmu dengan sebutan kakak. Mengapa kakak tidak bilang sejak awal? Aduh, betapa bodohnya diriku yang sama sekali tidak menyadari hal ini”cerocos Riri.
Ferdi tertawa kecil melihat tingkah Riri. Lucu, batinnya.
“Mengapa tertawa? Memangnya ada yang lucu?”tanya Riri sambil cemberut.
“Ya”jawab Ferdi jujur. “Tingkahmu yang lucu sehingga aku tertawa”
Riri mencubit perut Ferdi kuat dan Ferdi hanya merintih.
“Sudahlah, aku pulang saja. Lagipula, hujannya sudah berhenti”kata Riri.
Ferdi terbelalak,”Cepat sekali. Padahal kita baru saja ketemu”
Entah mengapa jantung Riri tiba-tiba berdetak tak karuan mendengar kata-kata Ferdi tadi. Apa maksudnya?
“Lagipula hari semakin sore”Riri melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul 16.00.
“Benarkah? Kalau begitu pulanglah. Hati-hati dijalan, ya!”
Riri terbengong ditempatnya. Tadi, ia menahannya. Sekarang malah mengusirnya. Apa sih yang sebenarnya dipikirkan orang ini?
“Kalau begitu, aku pulang, ya!”Riri berbalik, hendak berjalan ketempat dimana motornya diparkir. Tapi, Ferdi menahan tangannya, membuatnya berbalik lagi.
“Ada yang ingin kukatakan”kata Ferdi sebelum Riri sempat bertanya.
“Apa?”tanya Riri penasaran. Jantungnya tiba-tiba berdetak dua kali lebih cepat saat ia melihat Ferdi tersenyum padanya.
“Tapi, aku malu”katanya sambil tersenyum malu. Riri mengerutkan dahinya, bersikap seolah tak terjadi apa-apa. “Mungkin, ini terlalu cepat. Ah, aku mungkin terlalu berlebihan. Tapi, aku tidak bisa menyimpan ini semua lama-lama.
“Sebenarnya… sebenarnya, aku suka padamu. Sejak pertama kali aku bertemu denganmu disini, ditempat ini, aku terpesona melihatmu, sampai-sampai aku tidak bisa memikirkan apapun. Yang kupikirkan hanyalah dirimu”kata-kata itu tiba-tiba meluncur begitu saja dari mulut Ferdi tanpa bisa dihentikan.
“Benarkah?”tanya Riri tak percaya. “Tapi…”
“Tidak perlu jawab sekarang. Aku akan memberikanmu waktu untuk berpikir. Aku tau ini terlalu tiba-tiba, dan aku juga tidak bisa mempersiapkan semua ini dengan baik. Tapi, aku… aku akan siap menunggumu. Aku janji”
Riri tampak sedang berpikir, “Kalau begitu, tunggu sampai acara kenaikan kelas tiba. Dan saat itu, aku baru bisa memberikan jawaban padamu”usul Riri.
Ferdi tampak kelihatan ragu. Ia jadi tidak yakin pada dirinya sendiri.
“Tenang saja”kata Riri. “Saat hari itu tiba, aku akan memberikan jawaban ‘Ya’ padamu. Aku janji”
Kini, senyum Ferdi mengembang dibibirnya. Begitu juga dengan Riri. Tanpa ia sadari, Ferdi sudah memeluknya, erat.

~~~~~~~~
Aldi memainkan beberapa nada di piano. Nada ini mengingatkannya pada seseorang yang selama ini tidak bisa dilupakannya. Mamanya. Dan Iin. Kedua orang itu merupakan orang-orang yang paling ia sayangi, sehingga ia tidak ingin melupakan kedua orang itu.
Ia terus memainkan nada itu berulangkali sampai ia bosan. Setelah ia selesai bermain, terdengar suara tepuk tangan dari belakang. Aldi menoleh dan hampir jungkir balik kebelakan setelah tahu siapa yang tepuk tangan.
“Alin? Kamu, mengapa kamu ada disini? Sejak kapan?”tanyanya.
Alin hanya tersenyum mendengar pertanyaan Aldi. “Bodoh, aku sudah berpuluh-puluh kali memencet bel, tapi tak ada jawaban. Tapi, saat aku mendengar bunyi piano dari dalam sini rumah, aku memberanikan diri untuk masuk aku tidak menyangka kalau kamu begitu ceroboh, pintunya sama sekali tidak kau kunci. Ckck…”jelas Alin.
Aldi mendengus sebal sambil berbalik menghadap pianonya.
“Kenapa kesini?”tanya Aldi tanpa menoleh.
Alin menepuk dahinya pelan. “Ya ampun, sejak kapan kamu mulai pikun? Bukankah kamu sendiri yang menyuruhku untuk mengerjakan tugas TIK dari Bu Ira. Ckckck… bukan hanya suka melamun, akhir-akhir ini juga kamu mulai pikun. Memangnya kamu lagi dalam masalah, ya?”
“Ya! Aku punya masalah. Dan sumber masalah itu adalah kamu. Mengerti!!!”
Alin hanya menggeleng dengan wajah tanpa dosa.
“Tapi, aku merasa tidak punya masalah sama sekali denganmu! Udah, ah! Jangan bercanda mulu! Mending kita cepat-cepat ngerjain tugas”cerocos Alin.

Ia meletakkan laptop yang sedari tadi ia bawa diatas meja ruang tengah, kemudian mengaktifkannya. Lalu, ia mulai mengutak-atik sesuatu dilaptop, sedangkan Aldi masih diam terpaku di kursi piano. Alin menatapnya sebal.
“Di, Aldi”panggilnya. Tapi, ia masih diam ditempat. “Di, Aldi, Didididididididididi”
Aldi menoleh kaget kearahnya. Beberapa saat mereka bertatapan dalam diam.
“Sadar juga akhirnya”kata Alin, ia mengalihkan pandangannya ke layar laptop.
“Aku tidak suka dipanggil seperti itu”gumam Aldi. Raut wajahnya berubah sedih. Tapi, Alin tidak menyadarinya.
“Cepat kesini atau aku lapor dengan Bu Ira kalau kamu tidak membantu”ancam Alin. Aldi mendengus dan akhirnya berjalan menghampirinya.

~~~~~~~~
“Bintang, tante harap kamu tidak menceritakan ini dulu pada Alin”kata mama Alin pada Bintang kecil. Kira-kira umurnya sekitar 7 tahun.
“Ada apa, tan? Bukankah kita semua harus memberitahu Dinda tentang itu. Kasihan dia, tante. Aku juga tidak sanggup melihat Dinda yang seperti ini”kata Bintang.
Mama alin berlutut di depan Aldi, kemudian memegang kedua pundak Bintang.
“Justru itu, Bintang. Karena tante tidak tega melihat Alin seperti itu, tante menyuruhmu tutup mulut. Kamu tahu, kan! Sejak kejadian itu, perlahan dia kehilangan ingatannya. Tante tidak tahu apa penyebabnya, tapi jangan membuat dia semakin menderita, atau mungkin, dia akan kehilangan semua ingatannya”jelas mama Alin.
Bintang mengangguk,”Baiklah, tan! Aku mengerti”

 “Woi, ngelamun, ya! Ckckck… kenapa akhir-akhir ini dikelas kita banyak yang ngelamun, ya?”suara Vivi memecah lamunan Bintang. Ia tersenatak kaget, tapi dengan cepat ia menguasai diri.
“Lagi musim, kali!”celetuk Rahma.
Bintang dan Vivi menyerngit bingung.
“Mungkin, karena bentar lagi ulangan kenaikan kelas, ya?”tebak Cika.
Mungkin”kata Putra.
“Aduh, pada berisik aja, nih! Emangnya kalian udah pada selesai?”gerutu Dessy, sama sekali tidak melepaskan pandangannya dari laptop.
“Udah, dong!”seru Vivi, Bintang, Rahma, dan Putra kompak.
“Issshhh… mentang-mentang kalian udah selesai, jadi kalian pada berisik, nih!” gerutu Dessy sebal.
“Eh, maaf”kata Bintang, membuat Dessy mengalihkan pandangannya dari laptop ke Bintang.
“For what?”tanya Dessy bingung.
“Karena sudah berisik”jawab Bintang.
Dessy mengibas-ngibas tangannya dan kembali ke laptop. “Lupakan”
“Dia kenapa, sih?”tanya Putra pelan.
“Lagi dapet kali”tebak Cika.
“Mending kita pulang sekarang daripada bikin Dessy makin ngamuk”usul Vivi.
Semuanya mengangguk.
“Eh…”Bintang baru saja ingin bicara, tapi ia mengurungkan niatnya.
“Des, kami pulang, ya”kata Vivi.
Dessy mengangguk tanpa menoleh.
“Hati-hati, ya!”kata Cika. Ia menemani Bintang, Vivi, Rahma, dan Putra kedepan rumah Dessy.
Setelah berpamitan, semuanya menuju kendaraan mereka masing-masing, kecuali Bintang. Ia masih berdiri di depan Cika sambil menunggu teman-temannya pulang.
“Cik, boleh aku minta tolong sesuatu padamu?”tanya Bintang.
Cika mengangguk. “Apa?”
“Tapi, jangan sampai ketahuan siapapun. Kamu bisa, kan?”tanya Bintang ragu.
Awalnya Cika terlihat ragu, tapi akhirnya ia menyetujui.
“Tenang saja, aku bisa diandalkan”seru Cika.

~~~~~~~~
“Selesai”teriak Alin senang. Ia meneguk habis jus jeruk yang ada di gelasnya, kemudian berbaring sebentar di sofa.
“Hei, jangan tidur disini”usir Aldi.
Alin menatap Aldi malas, lalu bangkit dari sofa. Ia berjalan mengelilingi ruang tengah itu, kemudian berhenti di kursi piano. Iseng, ia memencet tuts piano itu asal.
“Hei, jangan sentuh barang-barangku sembarangan”omel Aldi. Tapi, ia tak peduli. Melihat Alin yang sepertinya mengabaikan peringatannya, ia berjalan menghampiri Alin.
“Mainkan sekali lagi”pinta Alin saat Aldi ada didekatnya.
“Apa?”tanya Aldi bingung.
“Yang tadi, musik tadi, mainkan sekali lagi. Aku ingin mendengarkannya. Please…”pinta Alin dengan nada memohon.
Aldi menatap Alin malas. Tapi, akhirnya ia terpaksa mengabulkan permintaan Alin. Ia duduk dikursi piano dan mulai memainkan jemari-jemarinya diatas tuts piano. Alin menyandarkan tubuhnya di dekat piano sambil bertopang dagu, memperhatikan secara seksama permainan Aldi. Ia seolah-olah tersihir dengan melodi yang dimainkan Aldi. Setelah melodi yang dimainkan Aldi selesai, Alin bertepuk tangan.
“Waw, keren! Itu kamu yang buat?” tanya Alin.
“Bukan. Hanya mendengarkan seseorang memainkan melodi ini, kemudian diam-diam aku menirunya” jelas Aldi.
“Aahhh… kamu tidak kreatif sekali. Masa’ meniru karya orang lain secara diam-diam? Boleh aku mencobanya?”Alin langsung duduk disamping Aldi tanpa menunggu jawaban darinya.
Aldi mendecak kesal, tapi kemudian terdiam saat ia mendengar permainan Alin. Begitu mirip dengan apa yang ia mainkan.
“Mengapa bisa secepat ini? Apa mungkin….”
Tiba-tiba saja permainan Alin menjadi kacau. Aldi langsung menahan tangan Alin, menghalanginya untuk bermain.
“Hei, kalau kamu bermain seperti itu terus, pianoku bisa rusak”omel Aldi.
“Sorry”kata Alin. ”Aku hanya mencoba mencari nada selanjutnya. Tapi, ternyata aku tidak berbakat sama sekali”serunya dengan wajah tanpa dosa.
“Makanya, jadi orang jangan sok tau! Ck, kau sangat menyebalkan”oceh Aldi sambil berlalu.
Alin menatap kepergian Aldi dengan bingung.
“Dia kenapa, sih? Lagi dapet, ya?”

~~~~~~~~
Devi tak henti-hentinya memandang gantungan kunci pemberian dari Rahma sambil senyum-senyum sendiri. Vivi yang sedari tadi melihatnya mencoba untuk mengabaikannya. Tapi, rasa penasarannya lebih kuat.
“Kenapa senyum-senyum sendiri? Kamu gak liat semua orang yang ada dikelas ini memandangmu ngeri. Mereka takut kalau kamu kenapa-kenapa”kata Vivi.
Devi mengabaikan kata-kata Vivi. Senyumannya menjadi-jadi saat ia berangkat dari tempat duduknya untuk keluar kelas.
“Vivi, aku keluar dulu, ya! Bye…”seru Devi dengan senyum yang masih mengembang.
Vivi hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah temannya yang satu itu.
“Ckckck… Apa mungkin dia sedang jatuh cinta, ya?”

~~~~~~~~
‘Duk… duk… duk..’ berkali-kali bola itu dipantulkan ke lantai, kemudian dilemparkan kedalam ring.
‘Hup’ bola itu hanya berkeliling di pinggiran ring dan jatuh kembali kelantai tanpa melewati jaring-jaring ring.
“Aaarrrrgggghhhhh…”Bagas berteriak frustasi. Tapi, bunyi tepuk tangan dari belakang membuatnya menoleh.
“Keren”komentar Devi.
Bagas melongo bingung kearah Devi. Jelas-jelas bola tadi tidak masuk, tapi dia bilang itu keren.
“Oh, maaf! Sepertinya aku salah”wajah Devi tiba-tiba saja berubah merah.
“Gak pa-pa!”seru Bagas.
Beberapa saat suasana mendadak hening. Devi memandang ujung sepatunya, sedang Bagas menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Eh, kok bisa ada disini, kak?”tanya Bagas.
“Ah?”Devi tampak sedang berpikir.
“Ada yang ketinggalan lagi, ya?”tanyanya lagi.
Devi mengangguk. “Umm, tapi, udah ketemu, kok! Aku pergi dulu, ya”
“Eh, tunggu…”panggil Bagas saat Devi baru saja beranjak pergi.
Devi berbalik,”Ya??”
“Jangan pergi, jangan pergi”
Ada apa, ya?”tanya Devi.
“Jangang pergi, jangan pergi. Kumohon…”
‘Teettttttttt…. Teeeeeetttttt… teeeeeetttttt….’ Devi memandang keluar, lalu kembali menoleh kearah Bagas.
“Ah, maaf, bel masuk udah bunyi. Aku harus cepat-cepat kekelas. Maaf, ya!” Devi berlari menuju ruang kelas tanpa menoleh lagi kebelakang. Kalau tidak, ia akan tetap berada disana bersama Bagas ketimbang masuk kedalam kelas bertemu dengan Pak Joko dan berhadapan dengan rumus-rumus fisika yang membuat pusing kepala.

~~~~~~~~
“Hah..”Rahma menghela napasnya kuat, kemudian disusul dengan Devi yang duduk disampingnya sambil menatap pesanan mereka dengan malas.
“Ada apa dengan kalian? Lagi ada masalah?”tanya Cika.
Bukannya menjawab, mereka berdua malah kembali menghela.
“Sepertinya iya, Ka!”bisik Dessy pelan.
Cika hanya mengangguk-angguk. Tak lama, Alin datang dan langsung menyerobot duduk di antara Devi dan Rahma.
“Waw, sepertinya ada makanan nganggur, nih! Buatku saja, ya!”seru Alin. Baru saja ia ingin mengambil punya Devi dan Rahma, mereka merebutnya lebih dulu.
“Tidak boleh”jawab Devi dan Rahma kompak.
“Ya sudah! Kalau begitu, dimakan, dong! Ntar, keburu dingin, loh! Kan, gak enak lagi jadinya”ujar Alin dengan wajah tanpa dosa.
Devi mendesis,”Berisik amat, sih! Iya, deh, ini aku makan”katanya sambil memasukkan sesendok siomay kedalam mulutnya. Rahma mengikutinya. Sedangkan, Alin tersenyum puas melihatnya.
Dessy memanggil Alin dengan kode. Alin menoleh dan melihat Dessy bertanya padanya dengan bahasa isyarat.
“Mereka kenapa?”
Alin membalasnya. “Aku juga tidak tahu. Tapi, nanti aku tanyain”
Dessy mengangguk setuju. Cika, Devi dan Rahma memandang mereka dengan penuh tanda tanya.
“Kalian tadi lagi ngapain?”tanya Rahma penasaran.
“Lagi belajar nari ala cacat”jawabnya asal sambil memasukkan gorengan pesanannya kedalam mulut. Ia berharap tak ada yang mengerti apa yang dilakukannya denga Dessy tadi.

~~~~~~~~
Rahma mengehela napas kuat. Entah yang keberapa kalinya ia menghela napas hari ini. Tak terhitung. Lebih tepatnya, tak dihitung. Menyebalkan. Hari ini sungguh menyebalkan baginya. Pagi-pagi ia sudah mendapat kultum yang membosankan dari kedua orangtuanya. Kedua, ia terlambat masuk kekelas saat pelajaran Pak Joko. Alhasil, ia disuruh merangkum semua rumus dari kelas 10 sampai kelas 11 semester 2. Ditambah lagi, ia lupa mengerjakan pr kimia dan harus membuat surat pernyataan. Orangtuanya pun dipanggil kesekolah.
“Aaarrrrrggghhh… Mengapa aku sial sekali hari ini”gerutunya sebal. Ia membentur-benturkan kepalanya ke dinding yang ada disebelahnya, berharap semua beban yang ada dikepalanya berkurang. Tetapi, ia merasa ada tangan yang menghalangi kepalanya.
“Ck, kenapa?”tanya Heri.
“Kenapa?”tanya Rahma balik.
“Gak pa-pa!”jawabnya Heri singkat, lalu berjalan kembali kebangkunya. Ia mengambil gitar yang sedang dipegang Putra, lalu mencoba untuk memainkannya.
Awalnya, Rahma terlihat tidak peduli. Ia berniat keluar kelas untuk menyusul Ali, Devi, dan yang lainnya ke perpus. Tapi, sesuatu membuatnya untuk tetap tinggal.

It feels like we've been livin' in fast forward
Another moment passing by
(Up up up all night)
The party's ending but it's now or never
Nobody's going home tonight
(Up up up all night)

Rahma menoleh kearah Heri. Ia menyanyikan lagu ‘Up All Night’ dari One Direction. Entah mengapa, untuk pertama kalinya ia terpaku ditempatnya mendengar Heri menyanyi seakan melodi itu telah menggema dihatinya.

~~~~~~~~
Sepi. Ia tahu kalau ruang musik sekarang mulai sepi. Orang-orang sibuk untuk menghadapi ujian kenaikan kelas. Tapi, masih ada saja diantara mereka yang masih bersantai-santai. Alin berjalan mengelilingi ruang musik, kemudian berhenti di depan piano. Piano ini mengingatkannya saat terakhir kali iya bertemu Fakhri, dan setelah itu ia tak pernah lagi datang keruang musik.
“Haahh…”Alin menghela napas. Ia jadi merindukan Fakhri di saat-saat seperti ini. Andai saja waktu bisa diputar ulang?
‘Ting’ tanpa sengaja ia menekan salah satu tuts piano. Ia menekan lagi, lagi, dan lagi hingga ia memainkan melodi kemarin yang ia dengar.
“Oh”gumam Alin seperti teringat sesuatu. Ia mengambil sesuatu dari dalamnya yang merupakan kertas partitur. Ia memainkan beberapa nada, kemudian menulisnya. Memainkan, lalu menulis. Begitulah selanjutnya.
“Selesai”seru Alin senang. Ia meletakkan kertas partitur diatas piano, kemudian memainkannya.
‘Plok… plok… plok…’ suara tepuk tangan itu membuat Alin menoleh. Ia melihat Aldi sedang berjalan mendekatinya.
“Cukup bagus”komentar Aldi membuat Alin tersenyum senang. “Untuk menciptakan sebuah karya yang berasal dari orang lain”
Alin mendengus. “Bodoh! Lagipula, melodi ini bukan punyamu, kan?”tanya Alin membuat Aldi terdiam. Melihat itu, Alin tersenyum penuh kemenangan.
“Tolong ajari aku”kata Aldi datar.
Alis Alin terangkat, “Maksudnya?”
“Tolong ajari aku bermain lagu tadi”kata Aldi sambil berusaha menahan rasa malu.
Kalau saja Aldi tadi tidak memelototinya dan mencubit pipinya, mungkin Alin sudah tertawa dengan puas tadi.
“Oke,”kata Alin saat ia bisa menahan diri untuk tidak tertawa. “Akan kuajari. Ck, padahal tadi mencelaku, sekarang malah minta ajar. Hahaha…”
Dengan sebal Aldi mencubit kedua pipi Alin kuat, sampai pipi Alin berubah menjadi merah.
“Berhentilah tertawa, cerewet!!! Lebih baik kamu mengajariku sekarang” pinta Aldi sambil melepaskan cubitannya.
Alin terdiam sambil memegangi kedua pipinya yang terasa hangat. Jantungnya berdetak tak karuan dan hatinya merasa senang.
“Hei, mau mengajariku sampai kapan?”tanya Aldi tak sabaran.
Alin mengangguk dan mulai bermain. “Lihat ini, kamu bermain di sebelah sana, dan aku sebelah sini. Mengerti?”
Aldi mengangguk. Ia memencet tuts piano di bagian kanan sambil melihat partitur. Diam-diam ia melirik Alin yang tampak sedang menikmati permainannya.
‘Plok… plok… plok…’ suara tepuk tangan membuat Aldi dan Alin menoleh. Kali ini, Pak Derri, guru seni mereka yang masuk memberikan tepuk tangan.
“Permainan kalian bagus sekali. Bapak sangat salut sekali. Apa itu buatan kalian sendiri?”tanya Pak Derri.
“Ini, Alin yang buat, Pak!” kata Aldi cepat sebelum Alin sempat berbicara.
“Wah, benarkah? Kalau boleh, maukah kalian memainkannya saat acara perpisahan kelas 12 sabtu depan?” pinta Pak Derri.
Tanpa pikir panjang, Alin langsung mengangguk setuju. “Tentu, Pak! Kami pasti akan bermain saat acara perpisahan nanti, Pak! Iya, kan, Di?”
“Baguslah”kata Pak Derri tanpa menunggu persetujuan dari Aldi. “Kalau begitu, latihan yang baik supaya kalian bisa menampilkan yang terbaik nanti”
“Tentu”kata Alin senang.

~~~~~~~~
“Hei, mengapa aku harus ikut bermain, sih?” protes Aldi saat mereka berada dirumah Alin.
Alin tersenyum samar. “Anggap saja kita impas. Lagipula, aku tidak bisa bermain sendiri”
“Maksudmu?”
“Yah, maksudku, kamu nanti yang menyanyi dan aku yang main pianonya” kata Alin.
Aldi melongo, “Seenaknya sendiri memutuskan sesuatu. Asal kamu tahu saja, ya, aku tidak akan bernyanyi nanti. Lagipula, memangnya sudah ada liriknya?” tanya Aldi.
Alin mengangguk. “Tentu saja! Pulang sekolah tadi aku sudah membuat liriknya. Ini” Alin memberikan selembar kertas pada Aldi dan Aldi menerimanya.
Dilihatnya kertas itu dengan teliti, lalu ia memandang kertas itu dan Alin bergantian.
“Bagaimana? Bagus, tidak?” tanya Alin penasaran.
Aldi tampak bingung. Namun, akhirnya ia terpaksa mengangguk.
“Tapi, benarkah ini buatanmu sendiri?” tanya Aldi tak percaya.
Alin mengangguk. “Bukankah kamu tahu aku suka menulis? Harusnya kamu bisa tahu sendiri kalau itu buatanku sendiri. Aku bukan plagiator, loh!”
“Sial, aku memang tahu kalau ini buatanmu sendiri. Tapi, aku tidak menyangka saja kamu bisa membuat lirik secepat itu dengan bagus” kata Aldi sebal.
Mendengar itu, Alin hanya tertawa.
“Mengapa tertawa? Ada yang lucu?” tanya Aldi tambah sebal.
Alin mengangguk. “Ya iya, lah! Soalnya kamu itu lucu sekali. Mengapa dari tadi kamu uring-uringan, sih?”
Aldi menggeleng cepat.
“Satu lagi. Akhir-akhir ini kamu gak pernah pake bahasa loe gue? Seingatku dulu, kamu memaksaku berbicara seperti itu waktu aku kerumahmu pertama kali”
Aldi terdiam. “Itu… itu…”

~~~~~~~~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar