Selasa, 25 Desember 2012

GUARDIAN ANGEL (26)


ª(˘̯˘) PERASAAN YANG TERSEMBUNYI (26)


Diantara keramaian yang dipenuhi oleh kebisingan dan huru-hara, Devi berdiri kaku ditengah-tengahnya, mencari seseorang, dan berharap ada keajaiban untuknya. Untuk malam ini saja. Walaupun ia tahu, itu tidak mungkin terjadi.
“Kak, maukah kakak berdansa denganku?” tawar seseorang pada Devi.
Devi menoleh dan terkejut melihat orang yang ada didepannya. Tanpa sadar, ia mengangguk menerima ajakannya. Betapa bahagianya ia, bisa berdansa dengan orang yang sangat ia sukai. Bagas mengajaknya berdansa. Yang benar saja.
“Kak, sebenarnya, aku sudah lama memperhatikan kakak. Dari dulu, sampai sekarang, aku selalu memperhatikan kakak” ujar Bagas.
Senyum Devi langsung mengembang. Jantungnya berdebar-debar tak karuan. Hatinya langsung dipenuhi oleh Bagas. Ia jadi tak sabar menunggu kata-kata dari Bagas selanjutnya.
“Aku… sebenarnya, dari dulu… aku suka dengan kakak. Kakak mau gak jadi pacarku?” tanya Bagas malu-malu.
Devi menunduk malu sambil berpura-pura sedang berpikir. Tanpa pikir panjang pun, ia pasti akan menjawab ‘YA’.
“Iya, aku mau jadi pacarmu” jawab Devi.
“Apa? Jadi pacarku?” teriak seseorang yang ada di depannya. Itu bukan suara Bagas, melainkan suara Reza.
Mendengar suara Reza, ia langsung mengangkat kepalanya, memastikan sebuah kebenaran. Ia benar-benar terkejut karena orang itu ternyata benar-benar Reza. Ia merasa aneh. Padahal, tadi Bagas baru saja menembaknya. Ia menebarkan seluruh pandangannya ke sekeliling dan tak melihat seorang pun disana selain mereka berdua. Saking shocknya Devi, spontan ia mendorong Reza. Tetapi, ia malah tercebur ke kolam renang yang ada di belakangnya.
‘Byyyuuuuurrrr’
Devi langsung terbangun dari tempat tidurnya saat ia merasakan guyuran air dari kakaknya membasahi tubuhnya.
“Nah, bangun juga akhirnya” seru Kak Kila malas.
Ia mengerjap-ngerjapkan matanya. Antara alam sadar dan mimpinya, ia bangkit dari tempat tidurnya, kemudian kembali tidur di ranjangnya.
“Yaelah, nih orang malah tidur lagi. Bangun, oy…. Bangun…” seru Kak Kila gemas. Ia terus mengguncang-guncang tubuh Devi hingga ia terbangun dari tidurnya.
“Apaan sih, Kak? Inikan masih pagi. Lagipula, hari ini hari minggu. Jadi, aku boleh, dong, tidur sampai siang” jelas Devi malas. Ia kembali berbaring di ranjangnya tanpa mempedulikan kakaknya yang sedari tadi gemas melihatnya.
“Ayolah, Devi! Jangan terus-terusan jadi orang pemalas. Ayo, bangun, terus mandi, lalu olahraga sana. Hari ini kita bersih-bersih rumah. Kan, pesta pertunangan kakak dirayakan hari ini. Masa kamu lupa, sih?” jelas Kak Kila sambil memasang tampang bete di wajahnya.
Devi langsung beranjak turun dari ranjangnya.
“Iya, aku bangun!”. Ia menghentak-hentakkan kakinya sakin sebalnya.
Melihat tingkah adiknya itu, Kak Kila hanya tersenyum sambil geleng-geleng. Entah mengapa, mengganggu Devi adalah salah satu kebahagiaan tersendiri baginya.

~~~~~~~~
Hujan sudah berhenti. Bias warna-warni pelangi menghiasi langit biru nan sejuk. Burung-burung berkicau menyambut datang pagi minggu. Semilir angin melambai-lambai. Indahnya hari itu tak bisa terucapkan oleh kata-kata.
Sudah 5 menit Alin menunggu didepan gerbangnya. Tapi, orang yang ia harapkan belum juga terlihat. Ia harus bersabar beberapa menit lagi, dan orang yang ia tunggu keluar. Alin mengeluarkan sepeda mininya yang telah ia siapkan sedari tadi, kemudian ia menyusul Aldi yang sudah berlari mengelilingi komplek.
‘Wuuussshhh’ Alin sengaja mengendarai sepesanya di jalanan yang becek sehingga air itu tepat mengenai Aldi.
“Alin… Sialan, loe! Liat, nih! Baju gue jadi kotor” oceh Aldi sebal.
Alin hanya tertawa melihat Aldi yang tampak sebal karena perbuatannya. Sampai-sampai, ia tidak melihat kearah depan-padahal sedang mengendarai sepeda.
“Awas, ada lubang, tuh!” seru Aldi sambil menunjuk kearah depan.
‘Braaaakkk’ Alin terjatuh dari sepedanya. Melihat itu, Aldi tertawa. Betapa bahagianya ia melihat Alin menderita. Dan itu membuatnya sangat senang.
“Huuuwaaaaa….” Alin menangis dengan keras. “Aldi jahat!!! Masa orang jatuh malah diketawain. Gak liat apa kalau orang lagi sakit” rengeknya sambil memandangi lutunya yang berdarah.
Aldi tampak bingung. Ada sedikit rasa bersalah dihatinya. Tapi, bukankah Alin sendiri yang memulainya duluan.
“Huuuuwwweee… Aldi jahat! Masa orang sakit dibiarin, sih?”
Muka Aldi langsung berubah merah. Bukannya apa, semua orang yang ada di jalan kini sedang memandanginya dengan tatapan aneh. Aldi langsung mendekati Alin dengan perasaan kesal bercampur malu.
“Lin, udah! Jangan nangis! Loe kayak anak kecil aja, deh. Pakai acara nangis segala. Malu tau dilihatin orang-orang” bisik Aldi sebal.
Alin berhenti menangis. “Kalau gitu, bantu aku berdiri” katanya manja.
Dengan menahan perasaan kesal, ia membantu Alin berdiri dan juga sepedanya.
“Udah, pulang sana” usirnya.
“Mana bisa” protes Alin. “Lihat, lututku berdarah” katanya sambil menunjukkan bagian yang terluka. “Kamu harus mengantarku pulang”
Aldi mengacak-ngacak rambutnya frustasi. Lama-lama sikap Alin semakin menyebalkan buatnya. Sepertinya, kemarin malam dia salah makan, atau ia kurang beruntung saja hari ini.
“Oke, gue antar. Buruan, gue malas kalo lama-lama” seru Aldi.
Dengan wajah senang penuh kemenangan, Alin duduk di jok belakang sambil tersenyum. Hari ini, rencananya mengerjai Aldi berjalan cukup sukses, walaupun adegan ia jatuh dari sepeda benar-benar diluar rencana. Yang penting, ia bisa membuat Aldi kesal hari ini.
“Kenapa senyum-senyum?” desis Aldi, memecah lamunan Alin.
“Ah… Si, siapa yang senyum-senyum. Orang tadi lagi merintih kesakitan, kok! Salah lihat kali” elak Alin.
Aldi mendengus sebal. Ia mulai mengayuh sepeda dan berjalan menuju rumah Alin. Pagi ini, ia benar-benar kesal setengah mati gara-gara ulah Alin. Tapi, entah mengapa, di dalam hatinya, ia merasakan sesuatu yang lain yang ia sendiri tidak tahu. Seperti sebuah rahasia yang tak ingin diketahui siapapun. Perasaan yang tersembunyi.

~~~~~~~~
Pagi ini, Rahma disibukkan dengan pekerjaan rumah. Hari minggu memang waktu yang cocok untuk beres-beres rumah. Apalagi, Rahma sangat senang beres-beres rumah. Itu akan membuatnya senang, jika ia melihat semuanya rapi daripada ia melihat rumahnya berantakan bak kapal pecah. Tapi, pagi ini, ia sama sekali tidak minat untuk beres-beres rumah. Ibunya sedari tadi sudah ngomel-ngomel di depan pintu kamarnya gara-gara ia bangun kesiangan.
Aneh. Padahal, ibunya tidak mempermasalahkan masalah bangun tidurnya. Lagipula, ia tidak pernah sekalipun bangun lebih dari jam 8 pagi. Tapi, hari ini, ibunya memarahinya hanya gara-gara ia bangun jam 7.
“Ibu kenapa, sih? Dari kemarin ibu memarahi Rahma terus” kata Rahma jujur. Ia tidak tahan mendengar ocehan ibunya setiap hari.
Ibu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya sambil duduk di kursi ruang depan. Beliau sendiri juga bingung mengapa ia memarahi Rahma terus-terusan. Jujur, ia sendiri tidak tega rasanya melihat anak sulungnya itu yang dari kemarin memasang wajah bete gara-gara mendengar ocehannya. Tapi, ini semua demi kebaikannya.
“Maafin ibu, Rahma! Ibu hanya merasa capek saja akhir-akhir ini” jelas ibunya.
“Iya” sahut Rahma.
Kedengarannya kurang ikhlas. Tapi, ia tidak bisa merasa tidak sebal dengan sikap ibunya. Kenapa harus dia yang di marahi? Kenapa tidak yang lainnya? Apa karena ia anak sulung? Sungguh, ia merasa ini semua tidak adil untuknya. Tapi, inilah hidupnya. Dan ia harus menempuh hidupnya ini.
“Ibu, tahukah kamu kalau aku terluka?” tanya Rahma dalam hati sambil menatap wajah ibunya yang kini semakin menua.

~~~~~~~~
Alin duduk di sofanya sambil memperhatikan Aldi yang sedang merawat lukanya. Ia terlihat begitu serius, sampai-sampai Alin tidak tega ingin mengganggunya.
“Selesai” sahut Aldi senang.
Alin tersadar dari lamunannya. Ia melihat lututnya sudah di obati dan di tempeli plester. Dengan begitu, Aldi bisa langsung pergi dari rumahnya. Entah mengapa, ia menjadi begitu sedih.
“Ada apa? Mengapa wajah loe kelihatan sedih banget?” tanya Aldi khawatir.
Alin menggeleng pelan. Mereka bertatapan satu sama lain. Tak beberapa lama, terdengar dering telepon rumah Alin yang memecah lamunan mereka.
“Halo” jawab Alin. Aldi masih berdiri di tempatnya. “Iya… Ada apa, Dev?”
“Malam nanti, jangan lupa datang kerumahku, ya!” kata Devi di seberang sana.
“Datang? Memangnya ada acara apa?” tanya Alin penasaran.
“Kakakku akan bertunangan malam ini. Dia…”
“Hei… menjauh dariku” teriak Aldi histeris. Alin menoleh kearah Aldi dan melihat Dolta, kucing kesayangannya sedang bermanja ria di kaki Aldi.
“Aldi, hentikan. Kamu menyakiti kucingku” protes Alin. Cepat-cepat ia mengambil kucingnya, kemudian ia kembali ke teleponnya.
“Maaf, Dev. Tadi itu…”
“Aldi ada dirumahmu? Wow, that’s really great! Kalian sedang apa?”
Untung saja mereka sedang berbicara di telepon. Jadi, Devi tidak bisa melihat wajahnya yang bersemu merah sekarang.
“Tidak apa-apa! Tadi, dia mengantarkan sesuatu kerumahku untuk papaku. Sudahlah, kalau tidak ada yang ingin disampaikan lagi, akan kututup”
“Wowowo… jangan, dong! Gitu aja udah ngambek. Oya, sekalian ajak dia, ya?”
“Hah? Kenapa? Kenapa kamu juga mengajaknya?” protes Alin.
“Tak apa, kan! Lagipula dia teman sekelasku” sahut Devi.
“Kalau begitu, kamu juga mengundang Reza?” tanya Alin dengan nada menggoda.
“Untuk apa? Dia pasti tidak akan kuundang. Kenapa harus dia, sih?” ujar Devi.
“Kalau begitu, undang Bintang, ya? Aku juga ingin dia ikut” pinta Alin
“Oke. Jangan lupa datang, ya!”
Alin mengangguk, lalu ia menutup teleponnya. Ia berbalik dan melihat Aldi kini sedang bermain dengan kucingnya diruang depan. Ia merasa aneh. Padahal, tadi ia mengusir Dolta dengan kasar. Tapi sekarang, ia malah asyik bermain dengan Dolta. Apa sih yang dia mau?
“Kenapa? Kenapa memandangiku seperti itu?” tanya Aldi dengan nada tidak senang.
“Devi mengajak kamu datang kerumahnya malam ini” ujarnya.
“Oya? Jam berapa?”
“Jam 7-an lah. Jadi, kamu mau? Kalau mau, ngumpul dulu dirumahku. Kita akan pergi bareng-bareng. Bintang juga ada, kok!” jelas Alin.
Aldi bangkit dari duduknya sambil menggendong Dolta yang sedang bergelayut manja dilengan Aldi.
“Aku pikir-pikir dulu. Kalau sempat, aku datang. Kucing ini boleh aku bawa pulang?” tanya Aldi.
Alin langsung merebut Dolta dari gendongan Aldi. Ia tak rela kalau kucingnya tinggal bersama orang seperti Aldi.
“Tidak boleh! Dia kucing kesayanganku” Alin mengelus-elus kucingnya lembut.
“Ya sudah, aku pulang, ya!” kata Aldi sambil berlalu.
Alin melihat Aldi yang berjalan keluar dari rumahnya.
“Tumben kamu tertarik pada orang lain. Apa kamu menyukainya?” tanya Alin pada Dolta.
‘Miiiaaauuwww’

~~~~~~~~
Di siang hari, keadaan di sekitar Monas sangat ramai. Ditemani cahaya matahari, Cika dan Reihan asyik menelusuri tiap sudut Monas.
“Kalau dari sini, semua kendaraan terlihat sangat ramai seperti semut yang sedang berbaris” komentar Cika.
Reihan menatap wajah Cika yang penuh dengan kebahagian itu. Ini kencan pertamanya. Jadi, ia ingin kencan pertamanya ini berjalan dengan lancar. Ia tidak mau membuat Cika sedih atau bete. Soalnya, akhir-akhir ini Cika kelihatan begitu stress. Lagipula, minggu depan mereka akan menghadapi ulangan akhir semester genap. Jadi, ia ingin mengajak Cika kencan sambil refreshing.
“Reihan, kok bengong aja? Ayo, kita pergi. Aku ingin ketempat yang lain” seru Cika memecah lamunan Reihan. Ia mengangguk dan mengikuti Cika dari belakang.
Mereka sudah sampai di Dufan. Suasananya begitu ramai karena hari sudah melewati pukul 12 siang. Namun, itu tidak membuat Cika berdiam diri dan melihat saja. Ia bahkan sampai rela mengantri di setiap permainan. Hari ini ia mau bersenang-senang. Jadi, ia ingin memanfaatkan kesempatan itu sebaik mungkin. Apalagi, ia pergi bersama Reihan.
“Han, ayo kita naik ini” ajak Cika sambil menarik Reihan menaiki jet coaster.
Reihan menurut saja dan naik ke jet coaster itu. Tak lama, jet coaster itu bergerak. Cika asyik-asyiknya berteriak dengan sangat keras. Bahkan, Reihan yang duduk disampingnya menutup kedua telinganya tak tahan mendengar teriakan Cika.

“Aku capek. Mau pulang” ujar Cika yang sedang duduk di  bangku taman dekat sana. Reihan ikut duduk disebelahnya.
“”Cika” panggil seseorang.
Cika menoleh dan melihat Elda dan Robby berdiri di depan mereka.
“Hai Elda, Rob. Kalian juga disini?” sapa Cika riang.
Mereka berdua mengangguk.
“Kalian? Mau pulang?” tanya Elda.
“Iya. Cika bilang dia sudah capek” ujar  Reihan jujur. Cika langsung mencubit perut Reihan kuat.
“Oh, kalau gitu, kita duluan, ya” seru Elda sambil mengajak Robby pergi dari situ.
Robby mengikuti Elda. Tapi, pandangannya tak lepas dari Cika yang kelihatannya akrab dengan Reihan.
“Mereka pasangan yang serasi, ya?” sahut Elda.
Robby hanya terdiam, tak menjawab kata-kata Elda. Dikepalanya, terus berputar-putar tentang perasaannya. Elda, Cika. Kembali ke Elda, lalu Cika. Hanya berputar-putar disitu saja. Ia tak tahu apa perasaannya yang sesungguhnya.

~~~~~~~~
Vivi tampak menikmati tidur siangnya. Menurutnya, hari minggu adalah saat-saat dimana ia bisa bebas memilih. Mau tidur-tiduran dirumah, mau hangout bareng teman-temannya, atau pun belajar. Tapi, mumpung ada kesempatan buat istirahat, ia gunakan kesempatan ini untuk tidur siang.
‘Drrrrtttt’ handphone Vivi bergetar begitu saja di meja belajar. Vivi bermaksud membiarkannya begitu saja. Tapi, ia merasa betapa mengganggunya sura getar hp itu.
“Ya, halo” jawabnya malas. “Oke. Aku kesitu 5 menit lagi” katanya sembari menutup pembicaraan.
Ia kelihatan lesu sekali. Bagaimana tidak, padahal ia berencana untuk tidur siang tadi. Tapi, kakak laki-lakinya tiba-tiba menelponnya untuk menjemput anaknya. Ia malas sekali. Seandainya saja ia bisa tiduran dengan santai minggu ini juga.
Dan benar. Bahkan, tak sampai 5 menit ia sudah menunggu di tempat les keponakannya. Sembari menunggu keponakannya keluar, ia mengeluarkan Ipod dan headset, lalu mendengarkan lagu untuk menghilang rasa stress.
“Vivi” panggil seseorang.
Vivi menoleh kearah sumber suara sambil mengecilkan volume headsetnya.
“Kak Randi? Kok ada disini?” tanya Vivi setengah kaget.
“Sedang menjemput adikku. Nah, itu dia” serunya santai.
Vivi ikut melihat ke arah anak-anak yang tampak antusias keluar dari ruang belajar mereka. Vivi tampak sedang mencari, tapi bukan orang yang dimaksud oleh Randi, melainkan keponakannya sendiri.
“Kak Vivi” seru Kiki, sepupunya yang gendut dan imut itu tampak bersemangat sekali saat ia melihat wajah Vivi.
“Oh, hai. Pulang, yuk!” ajak Vivi. Ia mengabaikan Kak Randi yang masih berdiri di sampingnya. Ia tak peduli dengan kehadirannya.
“Oh. Jadi, dia adikmu?” tanya Randi penasaran.
Vivi menoleh, lalu menggeleng. “Bukan. Cuma sepupu. Kita duluan, ya”
Tanpa menunggu jawaban dari Randi, ia langsung melengos pergi. Ia sama sekali tidak ingin berlama-lama disana.

~~~~~~~~
Rumah Devi kelihatan ramai sekali. Tentu saja, karena pesta pertunangan kakaknya, Kak Kila, akan di segera dimulai beberapa puluh menit lagi. Para tamu pun sudah mulai berbondong-bondong memenuhi seluruh isi rumah. Namun, diantara sekian banyak orang yang hadir, Riri sama sekali tidak melihat teman-teman yang ia kenal. Bahkan, Devi pun tidak kelihatan sekarang.
“Riri” panggil Devi.
Riri menoleh kearah sumber suara dengan wajah bete.
“Kamu tadi kemana, sih? Aku tuh bete sendiri disini” sahut Riri sebal.
“Sorry, tadi aku nemenin mamaku sebentar keluar. Maaf, ya!”. Devi melirik ke sekitarnya mencari-cari sesuatu. “Btw, mana yang lain?”
Riri mengangkat bahunya tak tahu. Sedangkan, Devi hanya mengangguk tak jelas. Tak berapa lama, Alin, Aldi, dan Bintang, serta Dessy muncul.
“Hai, sorry lama. Tadi, di jalan macet. Jadi, kita telat” kata Alin memberi alasan.
“Oh, gak pa-pa. Santai saja. Silahkan nikmati hidangan yang telah disediakan” ujar Devi.
“Eh, ada teman-teman Devi. Udah lama nunggu, ya?” seru mama Devi.
“Nggak, kok, tan! Kita baru aja datang” kata Alin sopan. Ia berjalan untuk memberi salam pada mama Devi. Yang lain mengikuti Alin.
“Oh, kalau begitu, silahkan nikmati hidangan yang ada. Sebentar lagi acaranya akan segera dimulai. Santai saja, ya! Tante mau kesana dulu” ujar mama Devi. Setelah semuanya menjawab iya, beliau langsung berpindah ke sudut ruang lain.
Yang lain sibuk menikmati hidangan yang ada. Riri langsung mengambil kue-kue yang sudah dari tadi ia incar.
“Oh, ya! Perkenalkan, ini Devi, adikku. Walau dia tak secantik diriku, tapi, dia tetap adikku” seru Kak Kila yang sepertinya pada tunangannya.
Riri dan Alin yang kebetulan berada disana menoleh, dan Riri sontak kaget melihat siapa yang ada di samping tunangan kakak Devi. Tanpa sadar, ia menjatuhkan makanan yang ia pegang. Orang yang berada di samping tunangan kakak Devi sepertinya sama kagetnya dengan Riri.
“Kalau begitu, perkenalkan. Ini Ferdi, adikku satu-satunya. Sekarang, ia kuliah semester kedua”
Lutut Riri seperti ingin copot. Ia benar-benar tidak menyangka bisa bertemu dengan Ferdi di pesta pertunangan kakaknya Devi yang ternyata adik tunangan teman kakaknya. Ini seperti takdir.
Riri berjalan perlahan meninggalkan tempat itu. Tapi, sebuah suara menghentkan langkahnya.
“Riri? Kamu mau kemana?” tanya Ferdi.
‘Degh’ Riri terdiam ditempat. Bahkan, berbalik pun rasanya tak mampu. Selanjutnya, ia bisa menebak semua teman-temannya mulai heboh, termasuk keluarga Devi. Dan itu membuat Riri merasa malu.

~~~~~~~~
“Silahkan menikmati hidangan yang telah disediakan” kata sang MC.
“Wow, Riri dan Kak Ferdi tampak mesra, ya!” komentar Alin sambil menatap iri pada mereka berdua. Devi mengangguk setuju.
“Iya, ya. Masa muda memang menyenangkan” kata mama Devi tiba-tiba. Devi dan Alin sampai kaget melihat kedatangan mama Devi. “Devi, sepertinya mama harus menikmati sisa umur mama sebelum mama pergi menyusul papamu”
Devi menyerngit, “Mama ngomong apa, sih? Maksud mama apa?”
“Mama mau kesana, ya!” mama Devi berjalan menuju tempat para bapak yang seusia dengan umur beliau, kemudian bercengkrama dengan santai.
Alin melirik takut kearah Devi yang sepertinya kesal setengah mati melihat tingkah mamanya-Bahkan, ada tanduk muncul dikepalanya-.
“Grrrrr… Awas, ya! Jangan ada yang berani dekati mama. Kalau tidak, aku yang akan menghajar mereka satu per satu” kata Devi garang.
Baru saja Alin ingin mencegah Devi. Tapi, Devi keburu pergi menghampiri mamanya. Aura yang keluar dari diri Devi pun menakutkan. Jadi, Alin mengurungkan niatnya.
“Sepertinya, Devi sama sekali tidak ingin punya papa baru, ya!” kata Bintang yang entah sejak kapan sudah berdiri disamping Alin.
Alin hanya mengangguk tanpa berkomentar. Ia tahu, karena Devi pernah cerita kalau ia sama sekali tidak ingin ada yang menggantikan papanya. Baginya, papanya itu hanya satu, tak ada yang lain. TITIK!.

~~~~~~~~
‘Braaaak’ suara itu mengejutkan semua orang. Bintang yang tadi sempat tidur di bangku belakang langsung tersadar dan berusaha mempertajam penglihatannya ke sumber suara.
“Ada apa, Om? Kok di depan ramai?” tanya Bintang pada supir baru Alin.
“Sepertinya ada kecelakaan di depan. Mau lihat?” tawar Om Deni.
Bintang tampak ragu. “Ramai. Susah keluarnya”
“Alin, kamu kenapa?” suara Aldi menyadarkan Bintang. Ia baru tersadar ada Aldi di sampingnya. Tapi, pertanyaan Aldi nmembuat ia penasaran.
Wajah Alin tampak pucat. Tubuhnya menggigil kedinginan. Padahal, ia memakai pakaian lengan panjang dan tebal.-Mungkin, efek AC-. Gerakan Aldi membuat Bintang tercengang. Ia turun dari mobil, lalu menggendong Alin keluar.
“Alin, kamu kenapa?” tanya Bintang sambil melongokan kepalanya keluar jendela.
Alin terdiam di pelukan Aldi. Tiba-tiba saja ia menangis.
“Dessy… Dessy…“ kata Alin terbata-bata.
Bintang terpaku ditempat, berusaha menderna kata-kata Alin.
“Kita kerumah sakit sekarang, ya!” kata Aldi.
Alin menggeleng pelan. “Aku, tidak apa-apa”.
Bintang turun dari mobil. “Kalian cari taksi saja. Dan Aldi, tolong antarkan Alin pulang saja. Tak perlu kerumah sakit. Aku akan kedepan”
“Tapi…”
“Sudahlah,” potong Bintang. “Antar saja dia pulang”
Aldi pun menurut. Ia segera berlari mencari taksi. Sedangkan, Bintang berjalan menuju tkp. Disana, ia melihat seorang gadis yang sangat ia kenal berbaring lemah di tengah jalan dengan bersimbah darah. Ia terkejut, tapi ia berhasil menguasai diri. Dengan tenang, ia menggendong Dessy perlahan, lalu memerintah salah satu diantara mereka untuk mengantarnya kerumah sakit.

~~~~~~~~
Aldi turun dari taksi sambil menggendong Alin. Ia berjalan memasuki halaman rumah Alin. Saat mereka sudah sampai di depan pintu, Aldi membuka pintu. Terkunci. Beberapa kali ia memencet bel, tapi sama sekali tak ada respon. Ingin rasanya ia membangunkan Alin yang tampak terlelap di pelukannya. Tapi, ia tidak tega untuk melakukannya.
Setelah melalui berbagai macam pertimbangan, akhirnya ia membawa Alin kerumahnya. Bintang sama sekali tidak bisa dihubungi. Mungkin, ia sedang sibuk mengurusi Dessy. Ia juga tadi sempat melihat kalau Dessy tadi tertabrak.
“Ehmm…” Alin terlihat tidak tenang dalam tidurnya. Tubuhnya masih dingin. Tapi, tidak sedingin yang tadi. Setelah ia meletakkan Alin ke ranjangnya, ia melepas alas kaki yang Alin kenakan, lalu memakaikannya selimut.
“Umm…” Alin kembali menggumam tidak jelas. Ia benar-benar terlihat aneh. Tanpa sadar, Aldi menatap Alin lama sambil mengusap-usap rambut Alin. Ia menggenggam tangan Alin yang dingin, kemudian beranjak pergi. Tapi, Alin memegang tangan Aldi yang tadi menggenggam tangannya dengan erat sambil menatapnya dingin.
“Kamu pembunuh” kata Alin dingin, lalu ia kembali tertidur.
Aldi terdiam, berusaha memahami maksud perkataan Alin yang begitu tiba-tiba. Namun, ia sama sekali tidak mengerti. Tapi, jauh didalam dirinya, ia merasa begitu sakit mendengarnya, seolah-olah kata-kata itu ditujukan untuknya.
Dan Aldi hanya terpaku ditempat sambil menatap wajah Alin yang masih dalam kegelisahan.
“Apa maksudmu?”

~~~~~~~~

Senin, 03 Desember 2012

GUARDIAN ANGEL (25)


NYANYIAN CINTA (25)

“Satu lagi. Akhir-akhir ini kamu gak pernah pake bahasa loe gue? Seingatku dulu, kamu memaksaku berbicara seperti itu waktu aku kerumahmu pertama kali”
Aldi terdiam. “Itu… itu…”
“Itu apa?” tanya Alin tak sabaran.
“Itu… itu terserahku, dong! Kenapa mesti kamu yang sewot”
Alin baru saja ingin membalas kata-kata Aldi. Tapi, bunyi bel rumahnya membuatnya untuk menahan diri. Ia berjalan ke ruang depan dan membuka pintu.
“Hei, udah datang? Masuk, yuk?” ajak Alin.
Aldi melongok keluar untuk melihat siapa yang datang. Seseorang muncul dari pintu sambil membawa gitar yang ia sandang di punggungnya.
“Reza?” kata Aldi tak percaya. “Kok bisa?”
“Pak Derri yang nyuruh. Dia mau kalau Reza dan Bintang ikut berkelaborasi dengan kita. Iya, kan, Bintang?”
Bintang turun dari tangga rumah Alin sambil mengangguk antusias.
“Kok loe gak bilang, sih?” kata Aldi sebal.
Alin mendengus, “Kalau aku bilang, nanti kamu gak setuju”
Aldi mentap Alin sebal, lalu membuang muka.
“Mmm… gini, maaf sebelumnya. Btw, kita kapan mulai latihannya, ya? Kasihan Reza udah nunggu dari tadi” kata Bintang berusaha untuk memecah kebisuan diantara mereka.
Mereka berempat saling bertatapan. Lalu, mengangguk tertawa sebentar.
“Kalau gitu, kita mulai sekarang, ya?” kata Reza.
Alin mengangguk sambil tersenyum samar. Ia membimbing Bintang, Reza, dan Aldi masuk keruang musik yang pernah mereka buat bersama-sama dulu.

~~~~~~~~
“APA??? Ikut mengisi acara perpisahan kelas dua belas sabtu ini? Kok gak ngajak-ngajak, sih!” kata Dessy sebal.
“Iya, kok Alin doang yang ikut. Padahal, kita-kita juga mau, loh!” tambah Rahma.
“Ya, udah. Gimana kita suruh Alin untuk bilang ke Pak Derri kalau kita ikutan juga?” usul Vivi.
Alin hanya melongo aja mendengar ocehan teman-temannya.
“Ide, bagus, tuh! Buruan, Lin. Kapan kamu mau bilang?” tanya Devi tak sabar.
“Aduh… apaan, sih! Aku tadi kan tidak bilang ‘Iya’. Lagian, kalau kalian mau ikut, ngomong aja sendiri sama Pak Derri. Kok mesti aku, sih!” protes Alin.
“Oh, gitu! Jadi, Alin gak mau, nih?” kata Rahma dengan nada mengancam.
Alin menggigit bibirnya, lalu mengangguk lesu.
“Baiklah, aku akan bilang” kata Alin lesu. Ia menoleh kearah Bintang, “Bintang, kamu mau temani Alin sebentar?” tanya Alin.
Bintang mengangguk dengan senang hati. Melihat hal itu, wajah Alin berubah menjadi semangat. Mereka berdua pun pergi keluar kelas.
“Gak pa-pa, tuh?” bisik Cika ke telinga Dessy.
“Iya, gak pa-pa tuh, Des? Sepertinya mereka dekat sekali” ujar Rahma.
Dessy menggigit bibirnya sambil menggeleng cepat.
“Me, memangnya ada hubungannya denganku? Lagipula, mereka kan hanya sepupuan. Jadi, gak mungkin mereka ada sesuatu” jelas Dessy cepat.
“Hah? Mereka sepupuan?” tanya Devi tak percaya.
Dessy mengangguk. “Memangnya Alin tidak pernah bilang, ya?”
Mereka semua mengangguk serempak.
“Masa’ ,sih? Mungkin kalian lupa kali kalau Alin pernah bilang” ujar Dessy.
Tapi, mereka semua tetap saja menggeleng.
“Eh, mungkin kali, ya! Lagian, waktu aku melihat dia yang selalu bersama Alin, sampai pernah datang kerumahnya  sampai bawa-bawa orang tua. Apa memang mereka sepupuan? Sepupu jauh kali?” ujar Vivi.
“Wah, mungkin, kali! Mungkin mereka dijodohin, kali” kata Devi ikut memanas-manasi Dessy.
“Ah, gak mungkin. Kalian terlalu berlebihan” sangkal Dessy.
“Iya, gak mungkin kali orangtua Alin main jodoh-jodohan. Loe kira ini zaman Siti Nurbaya?” kata Aldi ikut-ikutan. Entah sejak kapan dia ada disana iktu nimbrung bareng Dessy dan teman-teman. “Lagipula, mereka memang saudara dekat. Udah kayak adik-kakak malah” tambahnya, kemudian ia berlalu pergi. Yang lain hanya melongo melihat Aldi.
“Jadi, kamu beneran suka sama Bintang?” tanya Devi memecah kebisuan.
Devi diam sebentar, lalu menatap Devi tajam. “Aku akan jawab kalau Devi juga jawab. Tapi, ini jujur, loh!”
“Emangnya Dessy mau jawab apa?” tanya Devi penasaran.
“Devi suka kan sama Bagas? Bagas yang pemain basket itu?” tanya Dessy.
Devi terdiam. Ia hanya menatap Rahma bingung, lalu menatap temannya satu per satu. Kemudian, kembali menatap Rahma.
“Hah? Devi suka sama Bagas?” tanya Vivi tak percaya.
“Ssshhh… Vivi, jangan besar-besar. Nanti, banyak yang tahu” kata Devi malu.
“Oh, jadi benar?” tanya Vivi lagi.
“Aku bakal jawab kalau kalian jawab jujur. Vivi sebenarnya suka sama Kak Randi, kan? Cika juga…”
“Kok, Cika jadi ikut-ikutan. Cika kan diam dari tadi” protes Cika.
“Bodoh! Kan Cika bagian dari 7 AppLe. Jadi, Cika juga harus jujur dengan kita semua” kata Devi tak mau kalah.
“Kalau begitu, siapa orang yang Rahma suka? Rahma kan termasuk kelompok 7 AppLe. Jadi, Rahma juga harus jujur” kata Cika tak mau kalah.
Rahma menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak menyangka masalahnya menjadi serumit ini. Padahal, awalnya mereka hanya menggoda Dessy doang. Eh, sekarang malah berakhir di jawab jujur.
“Oke, kita semua harus jawab jujur. Aku, Devi, Dessy, Cika, Vivi, dan Riri gak ditanya, ya, sama Alin juga?” tanya Rahma baru sadar.
“Ya udah! Kita tunggu mereka aja. Gimana? Setuju?” usul Vivi.
Mereka semua mengangguk setuju.

~~~~~~~~
Bintang menatap wajah Alin yang tampak bete lama. Tidak pernah ia melihat Alin seperti ini sebelumnya. Ia bertekad untuk menghiburnya.
“Din, kenapa kamu mau menuruti kemaun mereka?” tanya Bintang.
Alin menghela napasnya kuat. “Kalau gak, aku akan di bulan-bulani mereka. Lagian, aku juga merasa tidak enak pada mereka. Aku terlihat seperti orang egois”
“Kalau begitu, Dinda mau gak temaniku jalan-jalan sore nanti?” tanya Bintang.
Alin berhenti sebentar, lalu menatap Bintang lama. Kemudian, ia menunduk lemas.
“Bintang, bisakah kamu tidak memanggil dengan sebutan ‘Dinda’?” pinta Alin.
Bintang menyerngit bingung. “Kenapa?”
“Karena, setiap kali aku mendengar nama panggilan itu, aku merasa sangat sakit. Seperti ada luka masa lalu yang kembali robek setelah aku sudah bersusah payah untuk menyembuhkannya” jelas Alin.
Bintang terdiam. Berusaha memahami maksud perkataan Alin. Kemudian ia mengangguk lemas.
“Baiklah, jika itu yang Alin mau. Apapun, akan aku turuti”
Ada sedikit perasaan bersalah dihati Alin mendengarnya. Tapi, mau bagaimana lagi. Setiap kali Bintang memanggilnya dengan sebutan ‘Dinda’, ia merasa sesak.
Maafkan aku, Bintang.

~~~~~~~~
‘Braakkk’ Rahma membanting pintu kamarnya dengan kesal. Entah mengapa, dari kemarin Ibunya terus-terusan memarahinya.
“Buk… buk… bukk… Rahma, buka pintunya” teriak ibunya dari luar.
Rahma berusaha mengabaikannya dengan menyetel musik dikamarnya besar-besar. Ia ingin istirahat dulu hari ini. Kalau ia keluar, malah-malah ia akan berpikir melakukan sesuatu yang buruk.
Rahma meletakkan kepalanya diatas bantal sambil menikmati lagu ‘Up All Night’ dari One Direction. Lagu ini mengingatkannya pada seseorang yang menyanyi lagu ini kemarin. Ia jadi terbayang-bayang wajah Heri di pikirannya.

It feels like we've been living in fast-forward
Another moment passing by (U-up all night)
The party's ending but it's now o-ur never
Nobody's going home tonight (U-up all night)

Tiba-tiba saja ia memukul kepalanya sendiri.
“Aaarrrgghhh… aku pasti sudah gila karena memikirkannya” kata Rahma. Namun, ia kembali memikirkannya lagi. “Apa benar aku menyukainya? Masa iya, sih? Ah, itu pasti tidak mungkin. Tapi, kalau aku tidak suka, mengapa aku bisa memikirkannya? Aaaaa….”

I wanna stay up all night
And jump around until we see the sun
I wanna stay up all night
And find a girl and tell her she's the one
Hold on to the feeling
And don't let it goCause we got the floor now
Get out of controlI wanna stay up all night
And do it all with you

Rahma memutuskan untuk tidur. Tapi, setelah 30 menit ia berbaring diranjanganya, ia masih tetap terjaga. Sedangkan, lagu tadi sudah berganti ke lagu Monita, ‘Kekasih Sejati’.

Aku yang memikirkan
Namun aku tak banyak berharap
Kau membuat waktuku
Tersita dengan angan tentangmu
Mencoba lupakan
Tapi ku tak bisa
Mengapa begini
Rahma melempar bantalnya dengan sebal.
“Aaarrggghhh…. Kalau begini terus, aku bisa beneran gila” oceh Rahma.

~~~~~~~~
Perpustakaan memang tidak selalu ramai. Tapi, khusus hari ini, perpustakaan kelihatan sangat ramai. Tentu saja, karena genk 7 AppLe lagi iseng-isengnya bergosip di perpustakaan(kayak gak ada tempat gosip yang lain aja).
“Oke, kita mulai sekarang” kata Vivi serius.
“Sebentar, sebentar. Btw, kita kesini mau ngapain, ya? Kayaknya penting banget” kata Alin yang sedari tadi bingung dengan sikap teman-temannya.
“Aku setuju. Kalian aneh, deh, dari kemarin” tambah Riri.
“Loh, kalian tidak tau. Bukannya kita sedang main jujur-jujuran” ujar Dessy.
Alin dan Riri menggeleng kompak.
“Udah, gak usah dipermasalahkan. Yang penting, semuanya ada disini, kan? Oke, kita mulai Dari Dessy dulu, lalu Devi, aku, Cika, Rahma, Alin, dan terakhir Riri. Dessy, buruan jawab, kamu suka Bintang, gak?” tanya Vivi to the point.
Dessy terdiam sebentar, lalu menunduk malu. “Iya”
“Oke. Lalu Devi, apa benar kamu suka Bagas?” tanya Vivi.
Devi mengangguk.
“Kalau Vivi, kamu beneran gak suka sama Kak Randit?” tanya Dessy.
Vivi tampak sedang berpikir. Ia mengangguk, lalu menggeleng.
“Dulu iya, sekarang tidak. Ini jujur, loh!” jelas Vivi saat ia melihat teman-temannya memasang tampang kecewa saat ia memberikan jawaban.
“Sekarang Cika. Kamu pacaran, kan, dengan Reihan?” tanya Devi.
Cika menghirup napas, kemudian menghembuskannya pelan. Saatnya ia harus jujur dengan teman-temannya. Lagipula, cepat atau lambat, orang-orang akan tau.
“Iya”
“Hah? Benarkah? Berapa bulan?” tanya Alin yang tampak antusias.
“Ummm…” Cika menghitung jarinya, kemudian ia menunjukkan dua jarinya. “Kalau tidak salah, baru dua bulan”
Mereka mengangguk-angguk.
“Sekarang Rahma. Siapa orang yang Rahma suka dikelas? Jawab jujur, ya!” kata Cika.
Rahma mengangguk. “Aku… aku suka… Ummm…. Heri” jawabnya pelan berharap tak ada orang yang mendengarnya. Tapi, tanpa melihat pun ia bisa tahu kalau teman-temannya menatapnya dengan tatapan tak percaya.
“Tuh,kan, Des! Benar dugaan kita” kata Alin pada Dessy sambil tos-tosan. Rahma mendelik sebal kearah mereka berdua.
“Buruan, Lin! Sekarang giliranmu” kata Rahma tak sabaran.
Alin terdiam. “Me, memangnya, kalian mau tanya apa?”
Mereka semua tampak sibuk memikirkan pertanyaan untuk Alin. Dalam hati, Alin berharap mereka tidak menanyakan hal-hal yang aneh.
“Kamu…” Alin menoleh kearah Dessy dengan pandangan cemas. “Kamu, sebenarnya ada hubungan apa dengan… Umm… Bintang?”
Alin terdiam terpaku. Namun, beberapa saat kemudian, dia langsung tertawa terbahak-bahak. Yang lain hanya memandang bingung Alin yang tertawa sendiri.
“A, Alin. Kenapa kamu ketawa, sih? Emangnya ada yang lucu?” tanya Dessy. Pipinya bersemu merah karena malu melihat Alin yang tertawa mendengar pertanyaan darinya. Mungkin, kalau tahu begitu jadinya, ia tidak akan tanya.
“Oke, oke…” kata Alin saat tawanya sudah mereda. Tapi, ia masih tersenyum saat ia kembali melihat wajah Dessy yang memerah. “Aku akan jawab. Sebenarnya… aku dan Bintang gak ada hubungan apa-apa. Hanya sepupu dekat. Malah, kami seperti adik kakak” jawab Alin.
Semua orang, kecuali Riri, menatap Alin kagum.
“Waw, mengapa kata-katanya bisa sama?” komentar Vivi.
Alin menyerngit bingung. “Maksudnya?”
“Iya, yah. Kemarin, Aldi bilang gitu juga ke kita” kata Rahma.
“Aaaaahhh..… mungkin, dia meng-copy jawabanku waktu dia tanya ke aku soal Bintang. Udah, ah, jangan terlalu dipikirkan. Bentar lagi masuk. Mending, kita tanya Riri langsung tentang cowok yang sering ia temui di dapur sekolah” kata Alin berusaha mengalihkan pembicaraan. Tapi, cukup membuat Riri ternganga mendengarnya. Ia benar-benar tak menyangka kalau Alin tahu tentang Ferdi.
“Udah, jawab aja yang jujur. Kita semua sudah jawab jujur, loh! Jadi, kamu juga harus jawab jujur” desak Devi.
Riri sebisa mungkin memasang tampang biasa saja. Dan semua orang pun tertipu dengan penampilannya itu. “Ya, aku memang sering bertemu dengannya. Tapi, kami hanya berteman, kok! Gak ada yang lain” jawab Riri jujur. Tentu saja, karena Riri berniat untuk memberi jawaban saat kenaikan kelas nanti.
Mereka semua mengangguk mengerti. Tak lama, bel masuk pun berbunyi dan mereka semua berbondong-bondong masuk kekelas, karena setelah ini mereka ada pelajaran fisika. Kalau mereka terlamabat, bisa-bisa Pak Joko menghukum mereka dengan membuat kumpulan rumus-rumus dari kelas 1 sampai kelas 3.

~~~~~~~~
Lemari pakaian terbuka begitu saja. Pakaian-pakaian bertebaran di seluruh sudut kamar Alin. Sedangkan, sang pemilik kamar sedang terbang bebas ke alam mimpi di tempat tidurnya yang empuk. Ia tadi sedang memilih-milih baju untuk acara perpisahan besok. Tapi, karena menurutnya tidak ada yang pas, dan karena ia sudah capek memilih-milih pakaian, akhirnya ia memilih tidur dengan meninggalkan pakaian-pakaiannya yang masih berantakan.
“Ya ampun, Lin. Kok, kamarmu berantakan gini, sih? Gimana kalau orangtuamu tau?” kata Bintang. Tapi, si yang punya nama tak menghiraukannya. Tentu saja, karena ia masih berlayardi pulau mimpi.
“Ummm… Awas… Lin, awas…” gumam Alin tak jelas.
Bintang menghampirinya dengan khawatir. Di pegangnya dahi Alin yang ternyata panas. Alin demam. Cepat-cepat Bintang keluar dari kamar Alin untuk mengambil peralatan mengompres. Tapi, ia terhenti tepat di depan pintu Alin saat ia mendengar Alin bergumam dengan tidak jelas. Tapi, ia masih bisa mendengarnya.
“Kalian…. Pembunuh….”

~~~~~~~~
Sudah lebih dari 2 jam Cika berdiri di depan kacanya. Tapi, selama itu pula ia tidak berhasil menemukan pakaian yang pas untuk dirinya. Dessy yang menemaninya hampir tertidur di ranjang Cika saking lamanya ia menunggu Cika.
“Cika, udah selesai belum?” tanya Dessy yang entah kesekian kalinya.
Cika menggeleng yang kesekian kalinya. Ia meletakkan pakaiannya begitu saja dilantai, dan berjalan menghampiri Dessy.
“Des, aku bingung mau pakai apa. Kamu ada ide nggak?” tanya Cika sambil duduk disebelah Dessy.
Dessy menarik napas pelan, lalu menghembuskannya. Sedari tadi ia juga sudah membantu Cika memilih-milih pakaian. Tapi, tak ada yang cocok dihati Cika. Kalau boleh jujur, ia sendiri sudah bosan menunggunya.
“Cika, aku tadi kan sudah bantu kamu. Tapi, kamu-nya aja yang terlalu cerewet. Aku aja udah bosan nunggu. Lihat, nih, dandananku aja hampir luntur. Lihat” Dessy memamerkan pipinya pada Cika.
Cika menghela napas kuat. Ia melihat sekelilingnya dengan seksama. Pandangannya jatuh pada gaun berwarna ungu muda dengan sedikit hiasan bunga. Ia mengangguk, kemudian berjalan mengambil gaun itu, lalu menunjukkan gaun itu pada Dessy.
“Baiklah, Des! Kuputuskan untuk memilih gaun ini saja. Gimana?” tanya Cika.
Dessy mengangguk setuju. Tapi, seperti yang sudah ia duga, Cika malah mengambil gaun yang lain.
“Atau yang ini?” tanya Cika lagi.
Dessy hanya bisa menggeleng-gelengka kepalanya melihat Cika. Sepertinya ia akan menunggu lebih lama lagi disana.

~~~~~~~~
Senja yang mewarnai langit perlahan menyelinap pergi. Matahari juga sudah berpindah ke belahan bumi yang lain. Di berbagai sudut Sma Garuda Internasional mulai banyak dipenuhi oleh siswa-siswi serta para guru. Bukan hanya murid dari Sma Garuda Internasional saja yang datang, tapi beberapa Sma lain, seperti Sma Bakti Nusantara juga datang untuk meramaikan suasana. Tak banyak, hanya perwakilannya saja yang datang. Tapi, Lidya beruntung bisa menjadi perwakilan dari Smanya. Dengan begitu, ia bisa bertemu Alin, temanya yang sudah lama tidak ia temui akhir-akhir ini.
‘Brruukkk’ Lidya tidak sengaja menabrak laki-laki yang tidak ia kenal.
“Sorry” ucap Lidya cepat, kemudian ia berlalu pergi tanpa sempat melihat wajah yang ia tabrak tadi. Ia ingin cepat-cepat segera bertemu Alin.
Ia menebarkan pandangannya keseluruh penjuru sekolah, menajamkan penglihatannya, dan mencoba mengenali satu per satu orang yang ada di balik gaun-gaun indah yang mereka pakai. Lidya sama sekali tidak mengenali orang-orang itu.
Seorang perempuan bergaun nila kebiru-biruan dengan rambut ia kepang sebagian, berjalan mendekati Lidya sambil tersenyum.
“Hai” sapa perempuan itu.
Lidya celingak-celinguk melihat sekelilingnya, dan kembali menghadap depan.
“Aku?” tanya Lidya ragu.
Perempuan itu mengangguk. “Masa kamu tidak tahu siapa aku, Lid?”
Lidya menatap perempuan didepannya dengan seksama. Dilihat sekilas, ia memang mirip dengan seseorang. Ia mulai memperhatikan dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dan…
“Astaga, Alin? Ini kamu? Waw, kamu terlihat sangat cantik. Sampai-sampai aku tidak bisa mengenalimu” oceh Lidya.
Alin tertawa kecil mendengarnya ocehan Lidya. Dari awal juga ia yakin kalau Lidya sama sekali tidak mengenalinya. Makanya, ia menghampiri Lidya yang nampaknya kebingungan.
“Lidya ada-ada aja. Aku biasa aja, kok! Tapi, kalo cantik sih… udah dari dulu, ya. Hahaha…”
Lidya langsung meneloyor kepala Alin tanpa ampun. Alin menggosok-gosok kepalanya pelan. Lidya melihat ke panggung dan menunjuk salah seorang yang ada di panggung.
“Itu, kalau tidak salah, itu Dessy, kan? Dia ikut mengisi acara ini?” tanyanya.
Alin mengangguk. “Aku juga. Setelah ini giliranku. Tapi, orang itu belum juga datang dari tadi. Menyebalkan” raut wajah Alin langsung berubah bete.
Musik sudah berhenti. Dessy dan yang lainnya turun dari panggung, kemudian disusul sang MC mulai berbicara tentang penampilan selanjutnya. Tak berapa lama Satria naik keatas panggung dan mulai membaca puisi.
“Loh, bukannya setelah ini giliranmu, Lin?” tanya Dessy yang ternyata sudah berdiri tepat disampingnya.
Alin menoleh sebentar, lalu mengangguk lemah.
“Aahhh… pasti gara-gara dia, ya?” tebak Devi.
Alin kembali mengangguk. Sedangkan, Lidya menyerngit bingung.
“Dia? Siapa dia?” tanya Lidya penasaran.
“Apa yang kalian maksud itu aku?” Aldi muncul dari belakang Lidya dengan memasang tampang bete. Ia berdiri tepat di sebelah Lidya. “Sorry, aku datangnya telat. Aku punya alasan. Dan alasan itu adalah orang ini” Aldi menunjuk ke arah Lidya yang sedang berdiri kaku di sampingnya.
“Mengapa Lidya? Memangnya Lidya sudah berbuat apa padamu?” tanya Alin. Ia menatap Aldi tajam.
“Dia menumpahkan minumanku sehingga bajuku basah. Dia hanya mengucapkan maaf, lalu pergi begitu saja. Aaarrrgghh… Kalau saja dia bukan anak teman ayahku…”
“Oh, ya! Aku ingat sekarang. Kamu yang waktu itu datang ke pesta ulang tahunku, kan?” tebak Lidya. Wajahnya terlihat sangat cerah.
“Iya” jawab Aldi datar.
“Ummm… soal tadi, aku benar-benar minta maaf. Alin, kamu maukan memaafkannya? Ini semua salahku. Sebagai gantinya, bagaimana kalau besok kita jalan-jalan?” tawar Lidya.
Alin tadi yang kelihatan sebal setengah mati berubah menjadi senang, walaupun itu sedikit dipaksa.
“Oke, aku maafkan! Tapi, ingat, ya! Ini semua karena Lidya. Kalau gitu, kita ke panggung sekarang” ajak Alin sambil berlalu.
Aldi mengikutinya dari belakang sambil tersenyum melihat tingkah Alin yang tampak uring-uringan. Lidya yang melihat itu semua berubah menjadi bete.
“Des, mereka berdua sama sekali tidak punya hubungan apapun, kan?” tanya Lidya tanpa basa-basi.
Dessy mengangguk. “Memangnya kenapa?”
Lidya menggeleng cepat. Ia malah pergi meninggalkan Dessy dan yang lainnya tanpa pamit terlebih dahulu.
“Dia kenapa? Kelihatannya aneh sekali” komentar Vivi.
Dessy hanya mengangkat kedua bahunya tidak tahu.

~~~~~~~~
“Oke… Biar malam semakin dingin, tapi suasana saat ini semakin memanas. Baiklah, daripada suasananya semakin panas gara-gara penasaran, mari kita tampilkan penampilan dari kelas XI A, Aldi and friends” teriak MC penuh semangat.
Alin, Aldi, Bintang, dan Reza naik keatas panggung. Jantung Alin berdegup sangat kencang. Kaki dan tangannya gemetaran. Sebuah tangan menggenggam tangannya erat. Alin menoleh dan melihat Bintang sedang tersenyum padanya.
“Alin baik-baik saja, kan? Jangan terlalu gugup. Mari kita lakukan sama seperti waktu itu dan latihan” kata Bintang memberi semangat.
Alin mengangguk senang. Mereka pun berjalan ke posisi mereka masing-masing.
“Baiklah,” kata Aldi. “Kami akan membawakan sebuah lagu ciptaan kami sendiri. Judulnya adalah ‘Meraih Mimpi Bersama’. Kalian penasaran, gak?” semua menjawab ‘iya’. “Oke, daripada kalian tambah penasaran, lebih baik kita mulai sekarang. Kita nyanyi dan joget bareng-bareng, ya?”
Musik mulai menggema ke seantero sekolah. Semua orang mulai menikmati penampilan sekarang. Aldi mengangkat mikrponnya dan mulai bernyanyi.

Waktu demi waktu bergulir
Setiap itu kita selalu membuat kenangan
Bersama kita lewati rintangan
Yang menghalangi jalan kita

Jangan pernah menyerah
Untuk menggapai suatu impian
Bersama kita wujudkan mimpi
Dalam angan-angan kita

Kata demi kata terucap
Kadang menggores hati yang sedang sakit
Hanya kata maaf yang terlontar
Untuk mengahapus luka itu

Mari bersama-sama
Kita wujudkan mimpi kita
Walau ini semua tak mudah
Bersama kita meraih mimpi

Biarkan melodi ini mengalir dalam kenangan
Sebagai wujud nyata kita
Yang penah bersama mewujudkan mimpi

~~~~~~~~
Sekolah sudah mulai sepi karena acara sudah selesai beberapa menit yang lalu. Alin masih di sekolah, mengambil beberapa peralatan miliknya di ruang musik. Bintang dan teman-temannya yang lain sudah pada pulang. Ia keluar dari sekolah sambil menunggu angkutan atau taksi lewat. Tapi, sudah lebih dari setengah jam ia menunggu, tak ada satupun yang lewat.
“Kalau tau gini, mending aku pulang sama Bintang” oceh Alin sebal.
Tadi, Bintang ingin mengajak Alin pulang bareng. Tapi, saat Alin melihat wajah Dessy yang sepertinya cemburu pada dirinya, ia terpaksa membatalkannya. Padahal, menurutnya, Dessy tidak perlu cemburu pada dirinya. Toh, Bintang itukan sepupunya.
“Belum pulang, Lin?” suara itu membuyarkan lamunannya. Tanpa menoleh pun ia sudah tahu itu siapa.
“Belum” jawab Alin singkat. Ia sama sekali tidak menoleh ke arah Aldi.
“Mau pulang bareng?” tawar Aldi.
“Gak perlu” balas Alin dingin.
“Serius? Memangnya kamu mau menunggu sampai kapan? Memangnya, jam segini masih ada kendaraan yang lewat?” tanya Aldi berusaha menggoyahkan Alin. “Tapi, kalau itu maumu, aku duluan, ya! Bye…” kata Aldi sambil melajukan motornya keluar sekolah.
“TUNGGU…” teriak Alin. Ia menutup mulutnya, tak sadar kalau apa yang ia lakukan seperti menurunkan harga dirinya.
Aldi berhenti dan menoleh kebelakang.
“Berubah pikiran?” tanyanya sambil tersenyum mengejek. “Yah… gak pa-palah kalau sekali-kali” tambahnya.
Alin jadi ingin mengurungkan niatnya. Kalau saja malam belum larut dalam gelap, ia rela menunggu daripada harus nebeng dengan Aldi.
“Kamu masih marah ya sama aku?” tanya Aldi saat mereka dalam perjalanan pulang.
“Soal apa?” Alin malah balik bertanya.
“Lagu tadi. Aku merubah sedikit liriknya. Makanya, kamu marah. Iya, kan?”
Alin memalingkan wajahnya, walaupun ia tahu Aldi tidak akan melihatnya. Memang benar apa yang dikatakan Aldi. Ia memang sedikit marah, tapi… Musik itu ia dapatkan pertama kali dari Aldi. Dan Aldi sendiri bilang kepada Pak Derri kalau ia yang membuat semua itu. Ia sedikit kagum dengan apa yang Aldi lakukan. Jadi, ia berpikir ia tidak punya hak untuk marah pada Aldi.
“Kok diam aja?” tanya Aldi memecah lamunan Alin.
“Kupikir, aku tidak punya hak untuk marah padamu. Tadi, sih, iya! Tapi, aku rasa aku sama sekali tidak marah padamu” ujar Alin.
Aldi mengangguk. “Mau makan? Aku kasihan padamu. Dari tadi perutmu terus-terusan berbunyi” ajak Aldi.
Wajahnya Alin berubah merah karena malu. Ternyata, Aldi bisa mendengar bunyi perutnya yang keroncongan.
“Tapi, aku gak bawa uang” kata Alin malu.
“Aku yang traktir” kata Aldi sambil tersenyum.
Tentu saja Alin bisa melihat senyum Aldi dari kaca spion. Baru kali ini ia melihat Aldi tersenyum kepadanya (atau mungkin ia baru menyadarinya). Yang pasti, saat ia melihat Aldi tersenyum, jantungnya berdebar-debar.
“Tidak mungkin, aku jatuh cinta pada orang ini, kan?” tanya dalam hati. Ia berharap, perasaannya itu salah. Dan tidak pernah terjadi.

~~~~~~~~