Selasa, 25 Desember 2012

GUARDIAN ANGEL (26)


ª(˘̯˘) PERASAAN YANG TERSEMBUNYI (26)


Diantara keramaian yang dipenuhi oleh kebisingan dan huru-hara, Devi berdiri kaku ditengah-tengahnya, mencari seseorang, dan berharap ada keajaiban untuknya. Untuk malam ini saja. Walaupun ia tahu, itu tidak mungkin terjadi.
“Kak, maukah kakak berdansa denganku?” tawar seseorang pada Devi.
Devi menoleh dan terkejut melihat orang yang ada didepannya. Tanpa sadar, ia mengangguk menerima ajakannya. Betapa bahagianya ia, bisa berdansa dengan orang yang sangat ia sukai. Bagas mengajaknya berdansa. Yang benar saja.
“Kak, sebenarnya, aku sudah lama memperhatikan kakak. Dari dulu, sampai sekarang, aku selalu memperhatikan kakak” ujar Bagas.
Senyum Devi langsung mengembang. Jantungnya berdebar-debar tak karuan. Hatinya langsung dipenuhi oleh Bagas. Ia jadi tak sabar menunggu kata-kata dari Bagas selanjutnya.
“Aku… sebenarnya, dari dulu… aku suka dengan kakak. Kakak mau gak jadi pacarku?” tanya Bagas malu-malu.
Devi menunduk malu sambil berpura-pura sedang berpikir. Tanpa pikir panjang pun, ia pasti akan menjawab ‘YA’.
“Iya, aku mau jadi pacarmu” jawab Devi.
“Apa? Jadi pacarku?” teriak seseorang yang ada di depannya. Itu bukan suara Bagas, melainkan suara Reza.
Mendengar suara Reza, ia langsung mengangkat kepalanya, memastikan sebuah kebenaran. Ia benar-benar terkejut karena orang itu ternyata benar-benar Reza. Ia merasa aneh. Padahal, tadi Bagas baru saja menembaknya. Ia menebarkan seluruh pandangannya ke sekeliling dan tak melihat seorang pun disana selain mereka berdua. Saking shocknya Devi, spontan ia mendorong Reza. Tetapi, ia malah tercebur ke kolam renang yang ada di belakangnya.
‘Byyyuuuuurrrr’
Devi langsung terbangun dari tempat tidurnya saat ia merasakan guyuran air dari kakaknya membasahi tubuhnya.
“Nah, bangun juga akhirnya” seru Kak Kila malas.
Ia mengerjap-ngerjapkan matanya. Antara alam sadar dan mimpinya, ia bangkit dari tempat tidurnya, kemudian kembali tidur di ranjangnya.
“Yaelah, nih orang malah tidur lagi. Bangun, oy…. Bangun…” seru Kak Kila gemas. Ia terus mengguncang-guncang tubuh Devi hingga ia terbangun dari tidurnya.
“Apaan sih, Kak? Inikan masih pagi. Lagipula, hari ini hari minggu. Jadi, aku boleh, dong, tidur sampai siang” jelas Devi malas. Ia kembali berbaring di ranjangnya tanpa mempedulikan kakaknya yang sedari tadi gemas melihatnya.
“Ayolah, Devi! Jangan terus-terusan jadi orang pemalas. Ayo, bangun, terus mandi, lalu olahraga sana. Hari ini kita bersih-bersih rumah. Kan, pesta pertunangan kakak dirayakan hari ini. Masa kamu lupa, sih?” jelas Kak Kila sambil memasang tampang bete di wajahnya.
Devi langsung beranjak turun dari ranjangnya.
“Iya, aku bangun!”. Ia menghentak-hentakkan kakinya sakin sebalnya.
Melihat tingkah adiknya itu, Kak Kila hanya tersenyum sambil geleng-geleng. Entah mengapa, mengganggu Devi adalah salah satu kebahagiaan tersendiri baginya.

~~~~~~~~
Hujan sudah berhenti. Bias warna-warni pelangi menghiasi langit biru nan sejuk. Burung-burung berkicau menyambut datang pagi minggu. Semilir angin melambai-lambai. Indahnya hari itu tak bisa terucapkan oleh kata-kata.
Sudah 5 menit Alin menunggu didepan gerbangnya. Tapi, orang yang ia harapkan belum juga terlihat. Ia harus bersabar beberapa menit lagi, dan orang yang ia tunggu keluar. Alin mengeluarkan sepeda mininya yang telah ia siapkan sedari tadi, kemudian ia menyusul Aldi yang sudah berlari mengelilingi komplek.
‘Wuuussshhh’ Alin sengaja mengendarai sepesanya di jalanan yang becek sehingga air itu tepat mengenai Aldi.
“Alin… Sialan, loe! Liat, nih! Baju gue jadi kotor” oceh Aldi sebal.
Alin hanya tertawa melihat Aldi yang tampak sebal karena perbuatannya. Sampai-sampai, ia tidak melihat kearah depan-padahal sedang mengendarai sepeda.
“Awas, ada lubang, tuh!” seru Aldi sambil menunjuk kearah depan.
‘Braaaakkk’ Alin terjatuh dari sepedanya. Melihat itu, Aldi tertawa. Betapa bahagianya ia melihat Alin menderita. Dan itu membuatnya sangat senang.
“Huuuwaaaaa….” Alin menangis dengan keras. “Aldi jahat!!! Masa orang jatuh malah diketawain. Gak liat apa kalau orang lagi sakit” rengeknya sambil memandangi lutunya yang berdarah.
Aldi tampak bingung. Ada sedikit rasa bersalah dihatinya. Tapi, bukankah Alin sendiri yang memulainya duluan.
“Huuuuwwweee… Aldi jahat! Masa orang sakit dibiarin, sih?”
Muka Aldi langsung berubah merah. Bukannya apa, semua orang yang ada di jalan kini sedang memandanginya dengan tatapan aneh. Aldi langsung mendekati Alin dengan perasaan kesal bercampur malu.
“Lin, udah! Jangan nangis! Loe kayak anak kecil aja, deh. Pakai acara nangis segala. Malu tau dilihatin orang-orang” bisik Aldi sebal.
Alin berhenti menangis. “Kalau gitu, bantu aku berdiri” katanya manja.
Dengan menahan perasaan kesal, ia membantu Alin berdiri dan juga sepedanya.
“Udah, pulang sana” usirnya.
“Mana bisa” protes Alin. “Lihat, lututku berdarah” katanya sambil menunjukkan bagian yang terluka. “Kamu harus mengantarku pulang”
Aldi mengacak-ngacak rambutnya frustasi. Lama-lama sikap Alin semakin menyebalkan buatnya. Sepertinya, kemarin malam dia salah makan, atau ia kurang beruntung saja hari ini.
“Oke, gue antar. Buruan, gue malas kalo lama-lama” seru Aldi.
Dengan wajah senang penuh kemenangan, Alin duduk di jok belakang sambil tersenyum. Hari ini, rencananya mengerjai Aldi berjalan cukup sukses, walaupun adegan ia jatuh dari sepeda benar-benar diluar rencana. Yang penting, ia bisa membuat Aldi kesal hari ini.
“Kenapa senyum-senyum?” desis Aldi, memecah lamunan Alin.
“Ah… Si, siapa yang senyum-senyum. Orang tadi lagi merintih kesakitan, kok! Salah lihat kali” elak Alin.
Aldi mendengus sebal. Ia mulai mengayuh sepeda dan berjalan menuju rumah Alin. Pagi ini, ia benar-benar kesal setengah mati gara-gara ulah Alin. Tapi, entah mengapa, di dalam hatinya, ia merasakan sesuatu yang lain yang ia sendiri tidak tahu. Seperti sebuah rahasia yang tak ingin diketahui siapapun. Perasaan yang tersembunyi.

~~~~~~~~
Pagi ini, Rahma disibukkan dengan pekerjaan rumah. Hari minggu memang waktu yang cocok untuk beres-beres rumah. Apalagi, Rahma sangat senang beres-beres rumah. Itu akan membuatnya senang, jika ia melihat semuanya rapi daripada ia melihat rumahnya berantakan bak kapal pecah. Tapi, pagi ini, ia sama sekali tidak minat untuk beres-beres rumah. Ibunya sedari tadi sudah ngomel-ngomel di depan pintu kamarnya gara-gara ia bangun kesiangan.
Aneh. Padahal, ibunya tidak mempermasalahkan masalah bangun tidurnya. Lagipula, ia tidak pernah sekalipun bangun lebih dari jam 8 pagi. Tapi, hari ini, ibunya memarahinya hanya gara-gara ia bangun jam 7.
“Ibu kenapa, sih? Dari kemarin ibu memarahi Rahma terus” kata Rahma jujur. Ia tidak tahan mendengar ocehan ibunya setiap hari.
Ibu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya sambil duduk di kursi ruang depan. Beliau sendiri juga bingung mengapa ia memarahi Rahma terus-terusan. Jujur, ia sendiri tidak tega rasanya melihat anak sulungnya itu yang dari kemarin memasang wajah bete gara-gara mendengar ocehannya. Tapi, ini semua demi kebaikannya.
“Maafin ibu, Rahma! Ibu hanya merasa capek saja akhir-akhir ini” jelas ibunya.
“Iya” sahut Rahma.
Kedengarannya kurang ikhlas. Tapi, ia tidak bisa merasa tidak sebal dengan sikap ibunya. Kenapa harus dia yang di marahi? Kenapa tidak yang lainnya? Apa karena ia anak sulung? Sungguh, ia merasa ini semua tidak adil untuknya. Tapi, inilah hidupnya. Dan ia harus menempuh hidupnya ini.
“Ibu, tahukah kamu kalau aku terluka?” tanya Rahma dalam hati sambil menatap wajah ibunya yang kini semakin menua.

~~~~~~~~
Alin duduk di sofanya sambil memperhatikan Aldi yang sedang merawat lukanya. Ia terlihat begitu serius, sampai-sampai Alin tidak tega ingin mengganggunya.
“Selesai” sahut Aldi senang.
Alin tersadar dari lamunannya. Ia melihat lututnya sudah di obati dan di tempeli plester. Dengan begitu, Aldi bisa langsung pergi dari rumahnya. Entah mengapa, ia menjadi begitu sedih.
“Ada apa? Mengapa wajah loe kelihatan sedih banget?” tanya Aldi khawatir.
Alin menggeleng pelan. Mereka bertatapan satu sama lain. Tak beberapa lama, terdengar dering telepon rumah Alin yang memecah lamunan mereka.
“Halo” jawab Alin. Aldi masih berdiri di tempatnya. “Iya… Ada apa, Dev?”
“Malam nanti, jangan lupa datang kerumahku, ya!” kata Devi di seberang sana.
“Datang? Memangnya ada acara apa?” tanya Alin penasaran.
“Kakakku akan bertunangan malam ini. Dia…”
“Hei… menjauh dariku” teriak Aldi histeris. Alin menoleh kearah Aldi dan melihat Dolta, kucing kesayangannya sedang bermanja ria di kaki Aldi.
“Aldi, hentikan. Kamu menyakiti kucingku” protes Alin. Cepat-cepat ia mengambil kucingnya, kemudian ia kembali ke teleponnya.
“Maaf, Dev. Tadi itu…”
“Aldi ada dirumahmu? Wow, that’s really great! Kalian sedang apa?”
Untung saja mereka sedang berbicara di telepon. Jadi, Devi tidak bisa melihat wajahnya yang bersemu merah sekarang.
“Tidak apa-apa! Tadi, dia mengantarkan sesuatu kerumahku untuk papaku. Sudahlah, kalau tidak ada yang ingin disampaikan lagi, akan kututup”
“Wowowo… jangan, dong! Gitu aja udah ngambek. Oya, sekalian ajak dia, ya?”
“Hah? Kenapa? Kenapa kamu juga mengajaknya?” protes Alin.
“Tak apa, kan! Lagipula dia teman sekelasku” sahut Devi.
“Kalau begitu, kamu juga mengundang Reza?” tanya Alin dengan nada menggoda.
“Untuk apa? Dia pasti tidak akan kuundang. Kenapa harus dia, sih?” ujar Devi.
“Kalau begitu, undang Bintang, ya? Aku juga ingin dia ikut” pinta Alin
“Oke. Jangan lupa datang, ya!”
Alin mengangguk, lalu ia menutup teleponnya. Ia berbalik dan melihat Aldi kini sedang bermain dengan kucingnya diruang depan. Ia merasa aneh. Padahal, tadi ia mengusir Dolta dengan kasar. Tapi sekarang, ia malah asyik bermain dengan Dolta. Apa sih yang dia mau?
“Kenapa? Kenapa memandangiku seperti itu?” tanya Aldi dengan nada tidak senang.
“Devi mengajak kamu datang kerumahnya malam ini” ujarnya.
“Oya? Jam berapa?”
“Jam 7-an lah. Jadi, kamu mau? Kalau mau, ngumpul dulu dirumahku. Kita akan pergi bareng-bareng. Bintang juga ada, kok!” jelas Alin.
Aldi bangkit dari duduknya sambil menggendong Dolta yang sedang bergelayut manja dilengan Aldi.
“Aku pikir-pikir dulu. Kalau sempat, aku datang. Kucing ini boleh aku bawa pulang?” tanya Aldi.
Alin langsung merebut Dolta dari gendongan Aldi. Ia tak rela kalau kucingnya tinggal bersama orang seperti Aldi.
“Tidak boleh! Dia kucing kesayanganku” Alin mengelus-elus kucingnya lembut.
“Ya sudah, aku pulang, ya!” kata Aldi sambil berlalu.
Alin melihat Aldi yang berjalan keluar dari rumahnya.
“Tumben kamu tertarik pada orang lain. Apa kamu menyukainya?” tanya Alin pada Dolta.
‘Miiiaaauuwww’

~~~~~~~~
Di siang hari, keadaan di sekitar Monas sangat ramai. Ditemani cahaya matahari, Cika dan Reihan asyik menelusuri tiap sudut Monas.
“Kalau dari sini, semua kendaraan terlihat sangat ramai seperti semut yang sedang berbaris” komentar Cika.
Reihan menatap wajah Cika yang penuh dengan kebahagian itu. Ini kencan pertamanya. Jadi, ia ingin kencan pertamanya ini berjalan dengan lancar. Ia tidak mau membuat Cika sedih atau bete. Soalnya, akhir-akhir ini Cika kelihatan begitu stress. Lagipula, minggu depan mereka akan menghadapi ulangan akhir semester genap. Jadi, ia ingin mengajak Cika kencan sambil refreshing.
“Reihan, kok bengong aja? Ayo, kita pergi. Aku ingin ketempat yang lain” seru Cika memecah lamunan Reihan. Ia mengangguk dan mengikuti Cika dari belakang.
Mereka sudah sampai di Dufan. Suasananya begitu ramai karena hari sudah melewati pukul 12 siang. Namun, itu tidak membuat Cika berdiam diri dan melihat saja. Ia bahkan sampai rela mengantri di setiap permainan. Hari ini ia mau bersenang-senang. Jadi, ia ingin memanfaatkan kesempatan itu sebaik mungkin. Apalagi, ia pergi bersama Reihan.
“Han, ayo kita naik ini” ajak Cika sambil menarik Reihan menaiki jet coaster.
Reihan menurut saja dan naik ke jet coaster itu. Tak lama, jet coaster itu bergerak. Cika asyik-asyiknya berteriak dengan sangat keras. Bahkan, Reihan yang duduk disampingnya menutup kedua telinganya tak tahan mendengar teriakan Cika.

“Aku capek. Mau pulang” ujar Cika yang sedang duduk di  bangku taman dekat sana. Reihan ikut duduk disebelahnya.
“”Cika” panggil seseorang.
Cika menoleh dan melihat Elda dan Robby berdiri di depan mereka.
“Hai Elda, Rob. Kalian juga disini?” sapa Cika riang.
Mereka berdua mengangguk.
“Kalian? Mau pulang?” tanya Elda.
“Iya. Cika bilang dia sudah capek” ujar  Reihan jujur. Cika langsung mencubit perut Reihan kuat.
“Oh, kalau gitu, kita duluan, ya” seru Elda sambil mengajak Robby pergi dari situ.
Robby mengikuti Elda. Tapi, pandangannya tak lepas dari Cika yang kelihatannya akrab dengan Reihan.
“Mereka pasangan yang serasi, ya?” sahut Elda.
Robby hanya terdiam, tak menjawab kata-kata Elda. Dikepalanya, terus berputar-putar tentang perasaannya. Elda, Cika. Kembali ke Elda, lalu Cika. Hanya berputar-putar disitu saja. Ia tak tahu apa perasaannya yang sesungguhnya.

~~~~~~~~
Vivi tampak menikmati tidur siangnya. Menurutnya, hari minggu adalah saat-saat dimana ia bisa bebas memilih. Mau tidur-tiduran dirumah, mau hangout bareng teman-temannya, atau pun belajar. Tapi, mumpung ada kesempatan buat istirahat, ia gunakan kesempatan ini untuk tidur siang.
‘Drrrrtttt’ handphone Vivi bergetar begitu saja di meja belajar. Vivi bermaksud membiarkannya begitu saja. Tapi, ia merasa betapa mengganggunya sura getar hp itu.
“Ya, halo” jawabnya malas. “Oke. Aku kesitu 5 menit lagi” katanya sembari menutup pembicaraan.
Ia kelihatan lesu sekali. Bagaimana tidak, padahal ia berencana untuk tidur siang tadi. Tapi, kakak laki-lakinya tiba-tiba menelponnya untuk menjemput anaknya. Ia malas sekali. Seandainya saja ia bisa tiduran dengan santai minggu ini juga.
Dan benar. Bahkan, tak sampai 5 menit ia sudah menunggu di tempat les keponakannya. Sembari menunggu keponakannya keluar, ia mengeluarkan Ipod dan headset, lalu mendengarkan lagu untuk menghilang rasa stress.
“Vivi” panggil seseorang.
Vivi menoleh kearah sumber suara sambil mengecilkan volume headsetnya.
“Kak Randi? Kok ada disini?” tanya Vivi setengah kaget.
“Sedang menjemput adikku. Nah, itu dia” serunya santai.
Vivi ikut melihat ke arah anak-anak yang tampak antusias keluar dari ruang belajar mereka. Vivi tampak sedang mencari, tapi bukan orang yang dimaksud oleh Randi, melainkan keponakannya sendiri.
“Kak Vivi” seru Kiki, sepupunya yang gendut dan imut itu tampak bersemangat sekali saat ia melihat wajah Vivi.
“Oh, hai. Pulang, yuk!” ajak Vivi. Ia mengabaikan Kak Randi yang masih berdiri di sampingnya. Ia tak peduli dengan kehadirannya.
“Oh. Jadi, dia adikmu?” tanya Randi penasaran.
Vivi menoleh, lalu menggeleng. “Bukan. Cuma sepupu. Kita duluan, ya”
Tanpa menunggu jawaban dari Randi, ia langsung melengos pergi. Ia sama sekali tidak ingin berlama-lama disana.

~~~~~~~~
Rumah Devi kelihatan ramai sekali. Tentu saja, karena pesta pertunangan kakaknya, Kak Kila, akan di segera dimulai beberapa puluh menit lagi. Para tamu pun sudah mulai berbondong-bondong memenuhi seluruh isi rumah. Namun, diantara sekian banyak orang yang hadir, Riri sama sekali tidak melihat teman-teman yang ia kenal. Bahkan, Devi pun tidak kelihatan sekarang.
“Riri” panggil Devi.
Riri menoleh kearah sumber suara dengan wajah bete.
“Kamu tadi kemana, sih? Aku tuh bete sendiri disini” sahut Riri sebal.
“Sorry, tadi aku nemenin mamaku sebentar keluar. Maaf, ya!”. Devi melirik ke sekitarnya mencari-cari sesuatu. “Btw, mana yang lain?”
Riri mengangkat bahunya tak tahu. Sedangkan, Devi hanya mengangguk tak jelas. Tak berapa lama, Alin, Aldi, dan Bintang, serta Dessy muncul.
“Hai, sorry lama. Tadi, di jalan macet. Jadi, kita telat” kata Alin memberi alasan.
“Oh, gak pa-pa. Santai saja. Silahkan nikmati hidangan yang telah disediakan” ujar Devi.
“Eh, ada teman-teman Devi. Udah lama nunggu, ya?” seru mama Devi.
“Nggak, kok, tan! Kita baru aja datang” kata Alin sopan. Ia berjalan untuk memberi salam pada mama Devi. Yang lain mengikuti Alin.
“Oh, kalau begitu, silahkan nikmati hidangan yang ada. Sebentar lagi acaranya akan segera dimulai. Santai saja, ya! Tante mau kesana dulu” ujar mama Devi. Setelah semuanya menjawab iya, beliau langsung berpindah ke sudut ruang lain.
Yang lain sibuk menikmati hidangan yang ada. Riri langsung mengambil kue-kue yang sudah dari tadi ia incar.
“Oh, ya! Perkenalkan, ini Devi, adikku. Walau dia tak secantik diriku, tapi, dia tetap adikku” seru Kak Kila yang sepertinya pada tunangannya.
Riri dan Alin yang kebetulan berada disana menoleh, dan Riri sontak kaget melihat siapa yang ada di samping tunangan kakak Devi. Tanpa sadar, ia menjatuhkan makanan yang ia pegang. Orang yang berada di samping tunangan kakak Devi sepertinya sama kagetnya dengan Riri.
“Kalau begitu, perkenalkan. Ini Ferdi, adikku satu-satunya. Sekarang, ia kuliah semester kedua”
Lutut Riri seperti ingin copot. Ia benar-benar tidak menyangka bisa bertemu dengan Ferdi di pesta pertunangan kakaknya Devi yang ternyata adik tunangan teman kakaknya. Ini seperti takdir.
Riri berjalan perlahan meninggalkan tempat itu. Tapi, sebuah suara menghentkan langkahnya.
“Riri? Kamu mau kemana?” tanya Ferdi.
‘Degh’ Riri terdiam ditempat. Bahkan, berbalik pun rasanya tak mampu. Selanjutnya, ia bisa menebak semua teman-temannya mulai heboh, termasuk keluarga Devi. Dan itu membuat Riri merasa malu.

~~~~~~~~
“Silahkan menikmati hidangan yang telah disediakan” kata sang MC.
“Wow, Riri dan Kak Ferdi tampak mesra, ya!” komentar Alin sambil menatap iri pada mereka berdua. Devi mengangguk setuju.
“Iya, ya. Masa muda memang menyenangkan” kata mama Devi tiba-tiba. Devi dan Alin sampai kaget melihat kedatangan mama Devi. “Devi, sepertinya mama harus menikmati sisa umur mama sebelum mama pergi menyusul papamu”
Devi menyerngit, “Mama ngomong apa, sih? Maksud mama apa?”
“Mama mau kesana, ya!” mama Devi berjalan menuju tempat para bapak yang seusia dengan umur beliau, kemudian bercengkrama dengan santai.
Alin melirik takut kearah Devi yang sepertinya kesal setengah mati melihat tingkah mamanya-Bahkan, ada tanduk muncul dikepalanya-.
“Grrrrr… Awas, ya! Jangan ada yang berani dekati mama. Kalau tidak, aku yang akan menghajar mereka satu per satu” kata Devi garang.
Baru saja Alin ingin mencegah Devi. Tapi, Devi keburu pergi menghampiri mamanya. Aura yang keluar dari diri Devi pun menakutkan. Jadi, Alin mengurungkan niatnya.
“Sepertinya, Devi sama sekali tidak ingin punya papa baru, ya!” kata Bintang yang entah sejak kapan sudah berdiri disamping Alin.
Alin hanya mengangguk tanpa berkomentar. Ia tahu, karena Devi pernah cerita kalau ia sama sekali tidak ingin ada yang menggantikan papanya. Baginya, papanya itu hanya satu, tak ada yang lain. TITIK!.

~~~~~~~~
‘Braaaak’ suara itu mengejutkan semua orang. Bintang yang tadi sempat tidur di bangku belakang langsung tersadar dan berusaha mempertajam penglihatannya ke sumber suara.
“Ada apa, Om? Kok di depan ramai?” tanya Bintang pada supir baru Alin.
“Sepertinya ada kecelakaan di depan. Mau lihat?” tawar Om Deni.
Bintang tampak ragu. “Ramai. Susah keluarnya”
“Alin, kamu kenapa?” suara Aldi menyadarkan Bintang. Ia baru tersadar ada Aldi di sampingnya. Tapi, pertanyaan Aldi nmembuat ia penasaran.
Wajah Alin tampak pucat. Tubuhnya menggigil kedinginan. Padahal, ia memakai pakaian lengan panjang dan tebal.-Mungkin, efek AC-. Gerakan Aldi membuat Bintang tercengang. Ia turun dari mobil, lalu menggendong Alin keluar.
“Alin, kamu kenapa?” tanya Bintang sambil melongokan kepalanya keluar jendela.
Alin terdiam di pelukan Aldi. Tiba-tiba saja ia menangis.
“Dessy… Dessy…“ kata Alin terbata-bata.
Bintang terpaku ditempat, berusaha menderna kata-kata Alin.
“Kita kerumah sakit sekarang, ya!” kata Aldi.
Alin menggeleng pelan. “Aku, tidak apa-apa”.
Bintang turun dari mobil. “Kalian cari taksi saja. Dan Aldi, tolong antarkan Alin pulang saja. Tak perlu kerumah sakit. Aku akan kedepan”
“Tapi…”
“Sudahlah,” potong Bintang. “Antar saja dia pulang”
Aldi pun menurut. Ia segera berlari mencari taksi. Sedangkan, Bintang berjalan menuju tkp. Disana, ia melihat seorang gadis yang sangat ia kenal berbaring lemah di tengah jalan dengan bersimbah darah. Ia terkejut, tapi ia berhasil menguasai diri. Dengan tenang, ia menggendong Dessy perlahan, lalu memerintah salah satu diantara mereka untuk mengantarnya kerumah sakit.

~~~~~~~~
Aldi turun dari taksi sambil menggendong Alin. Ia berjalan memasuki halaman rumah Alin. Saat mereka sudah sampai di depan pintu, Aldi membuka pintu. Terkunci. Beberapa kali ia memencet bel, tapi sama sekali tak ada respon. Ingin rasanya ia membangunkan Alin yang tampak terlelap di pelukannya. Tapi, ia tidak tega untuk melakukannya.
Setelah melalui berbagai macam pertimbangan, akhirnya ia membawa Alin kerumahnya. Bintang sama sekali tidak bisa dihubungi. Mungkin, ia sedang sibuk mengurusi Dessy. Ia juga tadi sempat melihat kalau Dessy tadi tertabrak.
“Ehmm…” Alin terlihat tidak tenang dalam tidurnya. Tubuhnya masih dingin. Tapi, tidak sedingin yang tadi. Setelah ia meletakkan Alin ke ranjangnya, ia melepas alas kaki yang Alin kenakan, lalu memakaikannya selimut.
“Umm…” Alin kembali menggumam tidak jelas. Ia benar-benar terlihat aneh. Tanpa sadar, Aldi menatap Alin lama sambil mengusap-usap rambut Alin. Ia menggenggam tangan Alin yang dingin, kemudian beranjak pergi. Tapi, Alin memegang tangan Aldi yang tadi menggenggam tangannya dengan erat sambil menatapnya dingin.
“Kamu pembunuh” kata Alin dingin, lalu ia kembali tertidur.
Aldi terdiam, berusaha memahami maksud perkataan Alin yang begitu tiba-tiba. Namun, ia sama sekali tidak mengerti. Tapi, jauh didalam dirinya, ia merasa begitu sakit mendengarnya, seolah-olah kata-kata itu ditujukan untuknya.
Dan Aldi hanya terpaku ditempat sambil menatap wajah Alin yang masih dalam kegelisahan.
“Apa maksudmu?”

~~~~~~~~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar