Senin, 03 Desember 2012

GUARDIAN ANGEL (25)


NYANYIAN CINTA (25)

“Satu lagi. Akhir-akhir ini kamu gak pernah pake bahasa loe gue? Seingatku dulu, kamu memaksaku berbicara seperti itu waktu aku kerumahmu pertama kali”
Aldi terdiam. “Itu… itu…”
“Itu apa?” tanya Alin tak sabaran.
“Itu… itu terserahku, dong! Kenapa mesti kamu yang sewot”
Alin baru saja ingin membalas kata-kata Aldi. Tapi, bunyi bel rumahnya membuatnya untuk menahan diri. Ia berjalan ke ruang depan dan membuka pintu.
“Hei, udah datang? Masuk, yuk?” ajak Alin.
Aldi melongok keluar untuk melihat siapa yang datang. Seseorang muncul dari pintu sambil membawa gitar yang ia sandang di punggungnya.
“Reza?” kata Aldi tak percaya. “Kok bisa?”
“Pak Derri yang nyuruh. Dia mau kalau Reza dan Bintang ikut berkelaborasi dengan kita. Iya, kan, Bintang?”
Bintang turun dari tangga rumah Alin sambil mengangguk antusias.
“Kok loe gak bilang, sih?” kata Aldi sebal.
Alin mendengus, “Kalau aku bilang, nanti kamu gak setuju”
Aldi mentap Alin sebal, lalu membuang muka.
“Mmm… gini, maaf sebelumnya. Btw, kita kapan mulai latihannya, ya? Kasihan Reza udah nunggu dari tadi” kata Bintang berusaha untuk memecah kebisuan diantara mereka.
Mereka berempat saling bertatapan. Lalu, mengangguk tertawa sebentar.
“Kalau gitu, kita mulai sekarang, ya?” kata Reza.
Alin mengangguk sambil tersenyum samar. Ia membimbing Bintang, Reza, dan Aldi masuk keruang musik yang pernah mereka buat bersama-sama dulu.

~~~~~~~~
“APA??? Ikut mengisi acara perpisahan kelas dua belas sabtu ini? Kok gak ngajak-ngajak, sih!” kata Dessy sebal.
“Iya, kok Alin doang yang ikut. Padahal, kita-kita juga mau, loh!” tambah Rahma.
“Ya, udah. Gimana kita suruh Alin untuk bilang ke Pak Derri kalau kita ikutan juga?” usul Vivi.
Alin hanya melongo aja mendengar ocehan teman-temannya.
“Ide, bagus, tuh! Buruan, Lin. Kapan kamu mau bilang?” tanya Devi tak sabar.
“Aduh… apaan, sih! Aku tadi kan tidak bilang ‘Iya’. Lagian, kalau kalian mau ikut, ngomong aja sendiri sama Pak Derri. Kok mesti aku, sih!” protes Alin.
“Oh, gitu! Jadi, Alin gak mau, nih?” kata Rahma dengan nada mengancam.
Alin menggigit bibirnya, lalu mengangguk lesu.
“Baiklah, aku akan bilang” kata Alin lesu. Ia menoleh kearah Bintang, “Bintang, kamu mau temani Alin sebentar?” tanya Alin.
Bintang mengangguk dengan senang hati. Melihat hal itu, wajah Alin berubah menjadi semangat. Mereka berdua pun pergi keluar kelas.
“Gak pa-pa, tuh?” bisik Cika ke telinga Dessy.
“Iya, gak pa-pa tuh, Des? Sepertinya mereka dekat sekali” ujar Rahma.
Dessy menggigit bibirnya sambil menggeleng cepat.
“Me, memangnya ada hubungannya denganku? Lagipula, mereka kan hanya sepupuan. Jadi, gak mungkin mereka ada sesuatu” jelas Dessy cepat.
“Hah? Mereka sepupuan?” tanya Devi tak percaya.
Dessy mengangguk. “Memangnya Alin tidak pernah bilang, ya?”
Mereka semua mengangguk serempak.
“Masa’ ,sih? Mungkin kalian lupa kali kalau Alin pernah bilang” ujar Dessy.
Tapi, mereka semua tetap saja menggeleng.
“Eh, mungkin kali, ya! Lagian, waktu aku melihat dia yang selalu bersama Alin, sampai pernah datang kerumahnya  sampai bawa-bawa orang tua. Apa memang mereka sepupuan? Sepupu jauh kali?” ujar Vivi.
“Wah, mungkin, kali! Mungkin mereka dijodohin, kali” kata Devi ikut memanas-manasi Dessy.
“Ah, gak mungkin. Kalian terlalu berlebihan” sangkal Dessy.
“Iya, gak mungkin kali orangtua Alin main jodoh-jodohan. Loe kira ini zaman Siti Nurbaya?” kata Aldi ikut-ikutan. Entah sejak kapan dia ada disana iktu nimbrung bareng Dessy dan teman-teman. “Lagipula, mereka memang saudara dekat. Udah kayak adik-kakak malah” tambahnya, kemudian ia berlalu pergi. Yang lain hanya melongo melihat Aldi.
“Jadi, kamu beneran suka sama Bintang?” tanya Devi memecah kebisuan.
Devi diam sebentar, lalu menatap Devi tajam. “Aku akan jawab kalau Devi juga jawab. Tapi, ini jujur, loh!”
“Emangnya Dessy mau jawab apa?” tanya Devi penasaran.
“Devi suka kan sama Bagas? Bagas yang pemain basket itu?” tanya Dessy.
Devi terdiam. Ia hanya menatap Rahma bingung, lalu menatap temannya satu per satu. Kemudian, kembali menatap Rahma.
“Hah? Devi suka sama Bagas?” tanya Vivi tak percaya.
“Ssshhh… Vivi, jangan besar-besar. Nanti, banyak yang tahu” kata Devi malu.
“Oh, jadi benar?” tanya Vivi lagi.
“Aku bakal jawab kalau kalian jawab jujur. Vivi sebenarnya suka sama Kak Randi, kan? Cika juga…”
“Kok, Cika jadi ikut-ikutan. Cika kan diam dari tadi” protes Cika.
“Bodoh! Kan Cika bagian dari 7 AppLe. Jadi, Cika juga harus jujur dengan kita semua” kata Devi tak mau kalah.
“Kalau begitu, siapa orang yang Rahma suka? Rahma kan termasuk kelompok 7 AppLe. Jadi, Rahma juga harus jujur” kata Cika tak mau kalah.
Rahma menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak menyangka masalahnya menjadi serumit ini. Padahal, awalnya mereka hanya menggoda Dessy doang. Eh, sekarang malah berakhir di jawab jujur.
“Oke, kita semua harus jawab jujur. Aku, Devi, Dessy, Cika, Vivi, dan Riri gak ditanya, ya, sama Alin juga?” tanya Rahma baru sadar.
“Ya udah! Kita tunggu mereka aja. Gimana? Setuju?” usul Vivi.
Mereka semua mengangguk setuju.

~~~~~~~~
Bintang menatap wajah Alin yang tampak bete lama. Tidak pernah ia melihat Alin seperti ini sebelumnya. Ia bertekad untuk menghiburnya.
“Din, kenapa kamu mau menuruti kemaun mereka?” tanya Bintang.
Alin menghela napasnya kuat. “Kalau gak, aku akan di bulan-bulani mereka. Lagian, aku juga merasa tidak enak pada mereka. Aku terlihat seperti orang egois”
“Kalau begitu, Dinda mau gak temaniku jalan-jalan sore nanti?” tanya Bintang.
Alin berhenti sebentar, lalu menatap Bintang lama. Kemudian, ia menunduk lemas.
“Bintang, bisakah kamu tidak memanggil dengan sebutan ‘Dinda’?” pinta Alin.
Bintang menyerngit bingung. “Kenapa?”
“Karena, setiap kali aku mendengar nama panggilan itu, aku merasa sangat sakit. Seperti ada luka masa lalu yang kembali robek setelah aku sudah bersusah payah untuk menyembuhkannya” jelas Alin.
Bintang terdiam. Berusaha memahami maksud perkataan Alin. Kemudian ia mengangguk lemas.
“Baiklah, jika itu yang Alin mau. Apapun, akan aku turuti”
Ada sedikit perasaan bersalah dihati Alin mendengarnya. Tapi, mau bagaimana lagi. Setiap kali Bintang memanggilnya dengan sebutan ‘Dinda’, ia merasa sesak.
Maafkan aku, Bintang.

~~~~~~~~
‘Braakkk’ Rahma membanting pintu kamarnya dengan kesal. Entah mengapa, dari kemarin Ibunya terus-terusan memarahinya.
“Buk… buk… bukk… Rahma, buka pintunya” teriak ibunya dari luar.
Rahma berusaha mengabaikannya dengan menyetel musik dikamarnya besar-besar. Ia ingin istirahat dulu hari ini. Kalau ia keluar, malah-malah ia akan berpikir melakukan sesuatu yang buruk.
Rahma meletakkan kepalanya diatas bantal sambil menikmati lagu ‘Up All Night’ dari One Direction. Lagu ini mengingatkannya pada seseorang yang menyanyi lagu ini kemarin. Ia jadi terbayang-bayang wajah Heri di pikirannya.

It feels like we've been living in fast-forward
Another moment passing by (U-up all night)
The party's ending but it's now o-ur never
Nobody's going home tonight (U-up all night)

Tiba-tiba saja ia memukul kepalanya sendiri.
“Aaarrrgghhh… aku pasti sudah gila karena memikirkannya” kata Rahma. Namun, ia kembali memikirkannya lagi. “Apa benar aku menyukainya? Masa iya, sih? Ah, itu pasti tidak mungkin. Tapi, kalau aku tidak suka, mengapa aku bisa memikirkannya? Aaaaa….”

I wanna stay up all night
And jump around until we see the sun
I wanna stay up all night
And find a girl and tell her she's the one
Hold on to the feeling
And don't let it goCause we got the floor now
Get out of controlI wanna stay up all night
And do it all with you

Rahma memutuskan untuk tidur. Tapi, setelah 30 menit ia berbaring diranjanganya, ia masih tetap terjaga. Sedangkan, lagu tadi sudah berganti ke lagu Monita, ‘Kekasih Sejati’.

Aku yang memikirkan
Namun aku tak banyak berharap
Kau membuat waktuku
Tersita dengan angan tentangmu
Mencoba lupakan
Tapi ku tak bisa
Mengapa begini
Rahma melempar bantalnya dengan sebal.
“Aaarrggghhh…. Kalau begini terus, aku bisa beneran gila” oceh Rahma.

~~~~~~~~
Perpustakaan memang tidak selalu ramai. Tapi, khusus hari ini, perpustakaan kelihatan sangat ramai. Tentu saja, karena genk 7 AppLe lagi iseng-isengnya bergosip di perpustakaan(kayak gak ada tempat gosip yang lain aja).
“Oke, kita mulai sekarang” kata Vivi serius.
“Sebentar, sebentar. Btw, kita kesini mau ngapain, ya? Kayaknya penting banget” kata Alin yang sedari tadi bingung dengan sikap teman-temannya.
“Aku setuju. Kalian aneh, deh, dari kemarin” tambah Riri.
“Loh, kalian tidak tau. Bukannya kita sedang main jujur-jujuran” ujar Dessy.
Alin dan Riri menggeleng kompak.
“Udah, gak usah dipermasalahkan. Yang penting, semuanya ada disini, kan? Oke, kita mulai Dari Dessy dulu, lalu Devi, aku, Cika, Rahma, Alin, dan terakhir Riri. Dessy, buruan jawab, kamu suka Bintang, gak?” tanya Vivi to the point.
Dessy terdiam sebentar, lalu menunduk malu. “Iya”
“Oke. Lalu Devi, apa benar kamu suka Bagas?” tanya Vivi.
Devi mengangguk.
“Kalau Vivi, kamu beneran gak suka sama Kak Randit?” tanya Dessy.
Vivi tampak sedang berpikir. Ia mengangguk, lalu menggeleng.
“Dulu iya, sekarang tidak. Ini jujur, loh!” jelas Vivi saat ia melihat teman-temannya memasang tampang kecewa saat ia memberikan jawaban.
“Sekarang Cika. Kamu pacaran, kan, dengan Reihan?” tanya Devi.
Cika menghirup napas, kemudian menghembuskannya pelan. Saatnya ia harus jujur dengan teman-temannya. Lagipula, cepat atau lambat, orang-orang akan tau.
“Iya”
“Hah? Benarkah? Berapa bulan?” tanya Alin yang tampak antusias.
“Ummm…” Cika menghitung jarinya, kemudian ia menunjukkan dua jarinya. “Kalau tidak salah, baru dua bulan”
Mereka mengangguk-angguk.
“Sekarang Rahma. Siapa orang yang Rahma suka dikelas? Jawab jujur, ya!” kata Cika.
Rahma mengangguk. “Aku… aku suka… Ummm…. Heri” jawabnya pelan berharap tak ada orang yang mendengarnya. Tapi, tanpa melihat pun ia bisa tahu kalau teman-temannya menatapnya dengan tatapan tak percaya.
“Tuh,kan, Des! Benar dugaan kita” kata Alin pada Dessy sambil tos-tosan. Rahma mendelik sebal kearah mereka berdua.
“Buruan, Lin! Sekarang giliranmu” kata Rahma tak sabaran.
Alin terdiam. “Me, memangnya, kalian mau tanya apa?”
Mereka semua tampak sibuk memikirkan pertanyaan untuk Alin. Dalam hati, Alin berharap mereka tidak menanyakan hal-hal yang aneh.
“Kamu…” Alin menoleh kearah Dessy dengan pandangan cemas. “Kamu, sebenarnya ada hubungan apa dengan… Umm… Bintang?”
Alin terdiam terpaku. Namun, beberapa saat kemudian, dia langsung tertawa terbahak-bahak. Yang lain hanya memandang bingung Alin yang tertawa sendiri.
“A, Alin. Kenapa kamu ketawa, sih? Emangnya ada yang lucu?” tanya Dessy. Pipinya bersemu merah karena malu melihat Alin yang tertawa mendengar pertanyaan darinya. Mungkin, kalau tahu begitu jadinya, ia tidak akan tanya.
“Oke, oke…” kata Alin saat tawanya sudah mereda. Tapi, ia masih tersenyum saat ia kembali melihat wajah Dessy yang memerah. “Aku akan jawab. Sebenarnya… aku dan Bintang gak ada hubungan apa-apa. Hanya sepupu dekat. Malah, kami seperti adik kakak” jawab Alin.
Semua orang, kecuali Riri, menatap Alin kagum.
“Waw, mengapa kata-katanya bisa sama?” komentar Vivi.
Alin menyerngit bingung. “Maksudnya?”
“Iya, yah. Kemarin, Aldi bilang gitu juga ke kita” kata Rahma.
“Aaaaahhh..… mungkin, dia meng-copy jawabanku waktu dia tanya ke aku soal Bintang. Udah, ah, jangan terlalu dipikirkan. Bentar lagi masuk. Mending, kita tanya Riri langsung tentang cowok yang sering ia temui di dapur sekolah” kata Alin berusaha mengalihkan pembicaraan. Tapi, cukup membuat Riri ternganga mendengarnya. Ia benar-benar tak menyangka kalau Alin tahu tentang Ferdi.
“Udah, jawab aja yang jujur. Kita semua sudah jawab jujur, loh! Jadi, kamu juga harus jawab jujur” desak Devi.
Riri sebisa mungkin memasang tampang biasa saja. Dan semua orang pun tertipu dengan penampilannya itu. “Ya, aku memang sering bertemu dengannya. Tapi, kami hanya berteman, kok! Gak ada yang lain” jawab Riri jujur. Tentu saja, karena Riri berniat untuk memberi jawaban saat kenaikan kelas nanti.
Mereka semua mengangguk mengerti. Tak lama, bel masuk pun berbunyi dan mereka semua berbondong-bondong masuk kekelas, karena setelah ini mereka ada pelajaran fisika. Kalau mereka terlamabat, bisa-bisa Pak Joko menghukum mereka dengan membuat kumpulan rumus-rumus dari kelas 1 sampai kelas 3.

~~~~~~~~
Lemari pakaian terbuka begitu saja. Pakaian-pakaian bertebaran di seluruh sudut kamar Alin. Sedangkan, sang pemilik kamar sedang terbang bebas ke alam mimpi di tempat tidurnya yang empuk. Ia tadi sedang memilih-milih baju untuk acara perpisahan besok. Tapi, karena menurutnya tidak ada yang pas, dan karena ia sudah capek memilih-milih pakaian, akhirnya ia memilih tidur dengan meninggalkan pakaian-pakaiannya yang masih berantakan.
“Ya ampun, Lin. Kok, kamarmu berantakan gini, sih? Gimana kalau orangtuamu tau?” kata Bintang. Tapi, si yang punya nama tak menghiraukannya. Tentu saja, karena ia masih berlayardi pulau mimpi.
“Ummm… Awas… Lin, awas…” gumam Alin tak jelas.
Bintang menghampirinya dengan khawatir. Di pegangnya dahi Alin yang ternyata panas. Alin demam. Cepat-cepat Bintang keluar dari kamar Alin untuk mengambil peralatan mengompres. Tapi, ia terhenti tepat di depan pintu Alin saat ia mendengar Alin bergumam dengan tidak jelas. Tapi, ia masih bisa mendengarnya.
“Kalian…. Pembunuh….”

~~~~~~~~
Sudah lebih dari 2 jam Cika berdiri di depan kacanya. Tapi, selama itu pula ia tidak berhasil menemukan pakaian yang pas untuk dirinya. Dessy yang menemaninya hampir tertidur di ranjang Cika saking lamanya ia menunggu Cika.
“Cika, udah selesai belum?” tanya Dessy yang entah kesekian kalinya.
Cika menggeleng yang kesekian kalinya. Ia meletakkan pakaiannya begitu saja dilantai, dan berjalan menghampiri Dessy.
“Des, aku bingung mau pakai apa. Kamu ada ide nggak?” tanya Cika sambil duduk disebelah Dessy.
Dessy menarik napas pelan, lalu menghembuskannya. Sedari tadi ia juga sudah membantu Cika memilih-milih pakaian. Tapi, tak ada yang cocok dihati Cika. Kalau boleh jujur, ia sendiri sudah bosan menunggunya.
“Cika, aku tadi kan sudah bantu kamu. Tapi, kamu-nya aja yang terlalu cerewet. Aku aja udah bosan nunggu. Lihat, nih, dandananku aja hampir luntur. Lihat” Dessy memamerkan pipinya pada Cika.
Cika menghela napas kuat. Ia melihat sekelilingnya dengan seksama. Pandangannya jatuh pada gaun berwarna ungu muda dengan sedikit hiasan bunga. Ia mengangguk, kemudian berjalan mengambil gaun itu, lalu menunjukkan gaun itu pada Dessy.
“Baiklah, Des! Kuputuskan untuk memilih gaun ini saja. Gimana?” tanya Cika.
Dessy mengangguk setuju. Tapi, seperti yang sudah ia duga, Cika malah mengambil gaun yang lain.
“Atau yang ini?” tanya Cika lagi.
Dessy hanya bisa menggeleng-gelengka kepalanya melihat Cika. Sepertinya ia akan menunggu lebih lama lagi disana.

~~~~~~~~
Senja yang mewarnai langit perlahan menyelinap pergi. Matahari juga sudah berpindah ke belahan bumi yang lain. Di berbagai sudut Sma Garuda Internasional mulai banyak dipenuhi oleh siswa-siswi serta para guru. Bukan hanya murid dari Sma Garuda Internasional saja yang datang, tapi beberapa Sma lain, seperti Sma Bakti Nusantara juga datang untuk meramaikan suasana. Tak banyak, hanya perwakilannya saja yang datang. Tapi, Lidya beruntung bisa menjadi perwakilan dari Smanya. Dengan begitu, ia bisa bertemu Alin, temanya yang sudah lama tidak ia temui akhir-akhir ini.
‘Brruukkk’ Lidya tidak sengaja menabrak laki-laki yang tidak ia kenal.
“Sorry” ucap Lidya cepat, kemudian ia berlalu pergi tanpa sempat melihat wajah yang ia tabrak tadi. Ia ingin cepat-cepat segera bertemu Alin.
Ia menebarkan pandangannya keseluruh penjuru sekolah, menajamkan penglihatannya, dan mencoba mengenali satu per satu orang yang ada di balik gaun-gaun indah yang mereka pakai. Lidya sama sekali tidak mengenali orang-orang itu.
Seorang perempuan bergaun nila kebiru-biruan dengan rambut ia kepang sebagian, berjalan mendekati Lidya sambil tersenyum.
“Hai” sapa perempuan itu.
Lidya celingak-celinguk melihat sekelilingnya, dan kembali menghadap depan.
“Aku?” tanya Lidya ragu.
Perempuan itu mengangguk. “Masa kamu tidak tahu siapa aku, Lid?”
Lidya menatap perempuan didepannya dengan seksama. Dilihat sekilas, ia memang mirip dengan seseorang. Ia mulai memperhatikan dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dan…
“Astaga, Alin? Ini kamu? Waw, kamu terlihat sangat cantik. Sampai-sampai aku tidak bisa mengenalimu” oceh Lidya.
Alin tertawa kecil mendengarnya ocehan Lidya. Dari awal juga ia yakin kalau Lidya sama sekali tidak mengenalinya. Makanya, ia menghampiri Lidya yang nampaknya kebingungan.
“Lidya ada-ada aja. Aku biasa aja, kok! Tapi, kalo cantik sih… udah dari dulu, ya. Hahaha…”
Lidya langsung meneloyor kepala Alin tanpa ampun. Alin menggosok-gosok kepalanya pelan. Lidya melihat ke panggung dan menunjuk salah seorang yang ada di panggung.
“Itu, kalau tidak salah, itu Dessy, kan? Dia ikut mengisi acara ini?” tanyanya.
Alin mengangguk. “Aku juga. Setelah ini giliranku. Tapi, orang itu belum juga datang dari tadi. Menyebalkan” raut wajah Alin langsung berubah bete.
Musik sudah berhenti. Dessy dan yang lainnya turun dari panggung, kemudian disusul sang MC mulai berbicara tentang penampilan selanjutnya. Tak berapa lama Satria naik keatas panggung dan mulai membaca puisi.
“Loh, bukannya setelah ini giliranmu, Lin?” tanya Dessy yang ternyata sudah berdiri tepat disampingnya.
Alin menoleh sebentar, lalu mengangguk lemah.
“Aahhh… pasti gara-gara dia, ya?” tebak Devi.
Alin kembali mengangguk. Sedangkan, Lidya menyerngit bingung.
“Dia? Siapa dia?” tanya Lidya penasaran.
“Apa yang kalian maksud itu aku?” Aldi muncul dari belakang Lidya dengan memasang tampang bete. Ia berdiri tepat di sebelah Lidya. “Sorry, aku datangnya telat. Aku punya alasan. Dan alasan itu adalah orang ini” Aldi menunjuk ke arah Lidya yang sedang berdiri kaku di sampingnya.
“Mengapa Lidya? Memangnya Lidya sudah berbuat apa padamu?” tanya Alin. Ia menatap Aldi tajam.
“Dia menumpahkan minumanku sehingga bajuku basah. Dia hanya mengucapkan maaf, lalu pergi begitu saja. Aaarrrgghh… Kalau saja dia bukan anak teman ayahku…”
“Oh, ya! Aku ingat sekarang. Kamu yang waktu itu datang ke pesta ulang tahunku, kan?” tebak Lidya. Wajahnya terlihat sangat cerah.
“Iya” jawab Aldi datar.
“Ummm… soal tadi, aku benar-benar minta maaf. Alin, kamu maukan memaafkannya? Ini semua salahku. Sebagai gantinya, bagaimana kalau besok kita jalan-jalan?” tawar Lidya.
Alin tadi yang kelihatan sebal setengah mati berubah menjadi senang, walaupun itu sedikit dipaksa.
“Oke, aku maafkan! Tapi, ingat, ya! Ini semua karena Lidya. Kalau gitu, kita ke panggung sekarang” ajak Alin sambil berlalu.
Aldi mengikutinya dari belakang sambil tersenyum melihat tingkah Alin yang tampak uring-uringan. Lidya yang melihat itu semua berubah menjadi bete.
“Des, mereka berdua sama sekali tidak punya hubungan apapun, kan?” tanya Lidya tanpa basa-basi.
Dessy mengangguk. “Memangnya kenapa?”
Lidya menggeleng cepat. Ia malah pergi meninggalkan Dessy dan yang lainnya tanpa pamit terlebih dahulu.
“Dia kenapa? Kelihatannya aneh sekali” komentar Vivi.
Dessy hanya mengangkat kedua bahunya tidak tahu.

~~~~~~~~
“Oke… Biar malam semakin dingin, tapi suasana saat ini semakin memanas. Baiklah, daripada suasananya semakin panas gara-gara penasaran, mari kita tampilkan penampilan dari kelas XI A, Aldi and friends” teriak MC penuh semangat.
Alin, Aldi, Bintang, dan Reza naik keatas panggung. Jantung Alin berdegup sangat kencang. Kaki dan tangannya gemetaran. Sebuah tangan menggenggam tangannya erat. Alin menoleh dan melihat Bintang sedang tersenyum padanya.
“Alin baik-baik saja, kan? Jangan terlalu gugup. Mari kita lakukan sama seperti waktu itu dan latihan” kata Bintang memberi semangat.
Alin mengangguk senang. Mereka pun berjalan ke posisi mereka masing-masing.
“Baiklah,” kata Aldi. “Kami akan membawakan sebuah lagu ciptaan kami sendiri. Judulnya adalah ‘Meraih Mimpi Bersama’. Kalian penasaran, gak?” semua menjawab ‘iya’. “Oke, daripada kalian tambah penasaran, lebih baik kita mulai sekarang. Kita nyanyi dan joget bareng-bareng, ya?”
Musik mulai menggema ke seantero sekolah. Semua orang mulai menikmati penampilan sekarang. Aldi mengangkat mikrponnya dan mulai bernyanyi.

Waktu demi waktu bergulir
Setiap itu kita selalu membuat kenangan
Bersama kita lewati rintangan
Yang menghalangi jalan kita

Jangan pernah menyerah
Untuk menggapai suatu impian
Bersama kita wujudkan mimpi
Dalam angan-angan kita

Kata demi kata terucap
Kadang menggores hati yang sedang sakit
Hanya kata maaf yang terlontar
Untuk mengahapus luka itu

Mari bersama-sama
Kita wujudkan mimpi kita
Walau ini semua tak mudah
Bersama kita meraih mimpi

Biarkan melodi ini mengalir dalam kenangan
Sebagai wujud nyata kita
Yang penah bersama mewujudkan mimpi

~~~~~~~~
Sekolah sudah mulai sepi karena acara sudah selesai beberapa menit yang lalu. Alin masih di sekolah, mengambil beberapa peralatan miliknya di ruang musik. Bintang dan teman-temannya yang lain sudah pada pulang. Ia keluar dari sekolah sambil menunggu angkutan atau taksi lewat. Tapi, sudah lebih dari setengah jam ia menunggu, tak ada satupun yang lewat.
“Kalau tau gini, mending aku pulang sama Bintang” oceh Alin sebal.
Tadi, Bintang ingin mengajak Alin pulang bareng. Tapi, saat Alin melihat wajah Dessy yang sepertinya cemburu pada dirinya, ia terpaksa membatalkannya. Padahal, menurutnya, Dessy tidak perlu cemburu pada dirinya. Toh, Bintang itukan sepupunya.
“Belum pulang, Lin?” suara itu membuyarkan lamunannya. Tanpa menoleh pun ia sudah tahu itu siapa.
“Belum” jawab Alin singkat. Ia sama sekali tidak menoleh ke arah Aldi.
“Mau pulang bareng?” tawar Aldi.
“Gak perlu” balas Alin dingin.
“Serius? Memangnya kamu mau menunggu sampai kapan? Memangnya, jam segini masih ada kendaraan yang lewat?” tanya Aldi berusaha menggoyahkan Alin. “Tapi, kalau itu maumu, aku duluan, ya! Bye…” kata Aldi sambil melajukan motornya keluar sekolah.
“TUNGGU…” teriak Alin. Ia menutup mulutnya, tak sadar kalau apa yang ia lakukan seperti menurunkan harga dirinya.
Aldi berhenti dan menoleh kebelakang.
“Berubah pikiran?” tanyanya sambil tersenyum mengejek. “Yah… gak pa-palah kalau sekali-kali” tambahnya.
Alin jadi ingin mengurungkan niatnya. Kalau saja malam belum larut dalam gelap, ia rela menunggu daripada harus nebeng dengan Aldi.
“Kamu masih marah ya sama aku?” tanya Aldi saat mereka dalam perjalanan pulang.
“Soal apa?” Alin malah balik bertanya.
“Lagu tadi. Aku merubah sedikit liriknya. Makanya, kamu marah. Iya, kan?”
Alin memalingkan wajahnya, walaupun ia tahu Aldi tidak akan melihatnya. Memang benar apa yang dikatakan Aldi. Ia memang sedikit marah, tapi… Musik itu ia dapatkan pertama kali dari Aldi. Dan Aldi sendiri bilang kepada Pak Derri kalau ia yang membuat semua itu. Ia sedikit kagum dengan apa yang Aldi lakukan. Jadi, ia berpikir ia tidak punya hak untuk marah pada Aldi.
“Kok diam aja?” tanya Aldi memecah lamunan Alin.
“Kupikir, aku tidak punya hak untuk marah padamu. Tadi, sih, iya! Tapi, aku rasa aku sama sekali tidak marah padamu” ujar Alin.
Aldi mengangguk. “Mau makan? Aku kasihan padamu. Dari tadi perutmu terus-terusan berbunyi” ajak Aldi.
Wajahnya Alin berubah merah karena malu. Ternyata, Aldi bisa mendengar bunyi perutnya yang keroncongan.
“Tapi, aku gak bawa uang” kata Alin malu.
“Aku yang traktir” kata Aldi sambil tersenyum.
Tentu saja Alin bisa melihat senyum Aldi dari kaca spion. Baru kali ini ia melihat Aldi tersenyum kepadanya (atau mungkin ia baru menyadarinya). Yang pasti, saat ia melihat Aldi tersenyum, jantungnya berdebar-debar.
“Tidak mungkin, aku jatuh cinta pada orang ini, kan?” tanya dalam hati. Ia berharap, perasaannya itu salah. Dan tidak pernah terjadi.

~~~~~~~~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar