♬NYANYIAN CINTA♡ (25)
“Satu lagi. Akhir-akhir ini kamu
gak pernah pake bahasa loe gue? Seingatku dulu, kamu memaksaku berbicara
seperti itu waktu aku kerumahmu pertama kali”
Aldi terdiam. “Itu… itu…”
“Itu apa?” tanya Alin tak
sabaran.
“Itu… itu terserahku, dong!
Kenapa mesti kamu yang sewot”
Alin baru saja ingin membalas
kata-kata Aldi. Tapi, bunyi bel rumahnya membuatnya untuk menahan diri. Ia
berjalan ke ruang depan dan membuka pintu.
“Hei, udah datang? Masuk, yuk?”
ajak Alin.
Aldi melongok keluar untuk
melihat siapa yang datang. Seseorang muncul dari pintu sambil membawa gitar
yang ia sandang di punggungnya.
“Reza?” kata Aldi tak percaya.
“Kok bisa?”
“Pak Derri yang nyuruh. Dia mau
kalau Reza dan Bintang ikut berkelaborasi dengan kita. Iya, kan, Bintang?”
Bintang turun dari tangga rumah
Alin sambil mengangguk antusias.
“Kok loe gak bilang, sih?” kata
Aldi sebal.
Alin mendengus, “Kalau aku
bilang, nanti kamu gak setuju”
Aldi mentap Alin sebal, lalu membuang
muka.
“Mmm… gini, maaf sebelumnya.
Btw, kita kapan mulai latihannya, ya? Kasihan Reza udah nunggu dari tadi” kata
Bintang berusaha untuk memecah kebisuan diantara mereka.
Mereka berempat saling
bertatapan. Lalu, mengangguk tertawa sebentar.
“Kalau gitu, kita mulai
sekarang, ya?” kata Reza.
Alin mengangguk sambil tersenyum
samar. Ia membimbing Bintang, Reza, dan Aldi masuk keruang musik yang pernah
mereka buat bersama-sama dulu.
~~~~~~~~
“APA??? Ikut mengisi acara
perpisahan kelas dua belas sabtu ini? Kok gak ngajak-ngajak, sih!” kata Dessy
sebal.
“Iya, kok Alin doang yang ikut.
Padahal, kita-kita juga mau, loh!” tambah Rahma.
“Ya, udah. Gimana kita suruh
Alin untuk bilang ke Pak Derri kalau kita ikutan juga?” usul Vivi.
Alin hanya melongo aja mendengar
ocehan teman-temannya.
“Ide, bagus, tuh! Buruan, Lin.
Kapan kamu mau bilang?” tanya Devi tak sabar.
“Aduh… apaan, sih! Aku tadi kan
tidak bilang ‘Iya’. Lagian, kalau kalian mau ikut, ngomong aja sendiri sama Pak
Derri. Kok mesti aku, sih!” protes Alin.
“Oh, gitu! Jadi, Alin gak mau,
nih?” kata Rahma dengan nada mengancam.
Alin menggigit bibirnya, lalu mengangguk
lesu.
“Baiklah, aku akan bilang” kata
Alin lesu. Ia menoleh kearah Bintang, “Bintang, kamu mau temani Alin sebentar?”
tanya Alin.
Bintang mengangguk dengan senang
hati. Melihat hal itu, wajah Alin berubah menjadi semangat. Mereka berdua pun
pergi keluar kelas.
“Gak pa-pa, tuh?” bisik Cika ke
telinga Dessy.
“Iya, gak pa-pa tuh, Des?
Sepertinya mereka dekat sekali” ujar Rahma.
Dessy menggigit bibirnya sambil
menggeleng cepat.
“Me, memangnya ada hubungannya
denganku? Lagipula, mereka kan hanya sepupuan. Jadi, gak mungkin mereka ada
sesuatu” jelas Dessy cepat.
“Hah? Mereka sepupuan?” tanya
Devi tak percaya.
Dessy mengangguk. “Memangnya
Alin tidak pernah bilang, ya?”
Mereka semua mengangguk
serempak.
“Masa’ ,sih? Mungkin kalian lupa
kali kalau Alin pernah bilang” ujar Dessy.
Tapi, mereka semua tetap saja
menggeleng.
“Eh, mungkin kali, ya! Lagian,
waktu aku melihat dia yang selalu bersama Alin, sampai pernah datang
kerumahnya sampai bawa-bawa orang tua.
Apa memang mereka sepupuan? Sepupu jauh kali?” ujar Vivi.
“Wah, mungkin, kali! Mungkin
mereka dijodohin, kali” kata Devi ikut memanas-manasi Dessy.
“Ah, gak mungkin. Kalian terlalu
berlebihan” sangkal Dessy.
“Iya, gak mungkin kali orangtua
Alin main jodoh-jodohan. Loe kira ini zaman Siti Nurbaya?” kata Aldi
ikut-ikutan. Entah sejak kapan dia ada disana iktu nimbrung bareng Dessy dan
teman-teman. “Lagipula, mereka memang saudara dekat. Udah kayak adik-kakak
malah” tambahnya, kemudian ia berlalu pergi. Yang lain hanya melongo melihat
Aldi.
“Jadi, kamu beneran suka sama
Bintang?” tanya Devi memecah kebisuan.
Devi diam sebentar, lalu menatap
Devi tajam. “Aku akan jawab kalau Devi juga jawab. Tapi, ini jujur, loh!”
“Emangnya Dessy mau jawab apa?”
tanya Devi penasaran.
“Devi suka kan sama Bagas? Bagas
yang pemain basket itu?” tanya Dessy.
Devi terdiam. Ia hanya menatap
Rahma bingung, lalu menatap temannya satu per satu. Kemudian, kembali menatap
Rahma.
“Hah? Devi suka sama Bagas?”
tanya Vivi tak percaya.
“Ssshhh… Vivi, jangan
besar-besar. Nanti, banyak yang tahu” kata Devi malu.
“Oh, jadi benar?” tanya Vivi
lagi.
“Aku bakal jawab kalau kalian
jawab jujur. Vivi sebenarnya suka sama Kak Randi, kan? Cika juga…”
“Kok, Cika jadi ikut-ikutan.
Cika kan diam dari tadi” protes Cika.
“Bodoh! Kan Cika bagian dari 7
AppLe. Jadi, Cika juga harus jujur dengan kita semua” kata Devi tak mau kalah.
“Kalau begitu, siapa orang yang
Rahma suka? Rahma kan termasuk kelompok 7 AppLe. Jadi, Rahma juga harus jujur”
kata Cika tak mau kalah.
Rahma menggeleng-gelengkan
kepalanya. Tak menyangka masalahnya menjadi serumit ini. Padahal, awalnya
mereka hanya menggoda Dessy doang. Eh, sekarang malah berakhir di jawab jujur.
“Oke, kita semua harus jawab
jujur. Aku, Devi, Dessy, Cika, Vivi, dan Riri gak ditanya, ya, sama Alin juga?”
tanya Rahma baru sadar.
“Ya udah! Kita tunggu mereka
aja. Gimana? Setuju?” usul Vivi.
Mereka semua mengangguk setuju.
~~~~~~~~
Bintang menatap wajah Alin yang
tampak bete lama. Tidak pernah ia melihat Alin seperti ini sebelumnya. Ia
bertekad untuk menghiburnya.
“Din, kenapa kamu mau menuruti
kemaun mereka?” tanya Bintang.
Alin menghela napasnya kuat.
“Kalau gak, aku akan di bulan-bulani mereka. Lagian, aku juga merasa tidak enak
pada mereka. Aku terlihat seperti orang egois”
“Kalau begitu, Dinda mau gak temaniku
jalan-jalan sore nanti?” tanya Bintang.
Alin berhenti sebentar, lalu
menatap Bintang lama. Kemudian, ia menunduk lemas.
“Bintang, bisakah kamu tidak
memanggil dengan sebutan ‘Dinda’?” pinta Alin.
Bintang menyerngit bingung.
“Kenapa?”
“Karena, setiap kali aku
mendengar nama panggilan itu, aku merasa sangat sakit. Seperti ada luka masa
lalu yang kembali robek setelah aku sudah bersusah payah untuk menyembuhkannya”
jelas Alin.
Bintang terdiam. Berusaha
memahami maksud perkataan Alin. Kemudian ia mengangguk lemas.
“Baiklah, jika itu yang Alin
mau. Apapun, akan aku turuti”
Ada sedikit perasaan bersalah
dihati Alin mendengarnya. Tapi, mau bagaimana lagi. Setiap kali Bintang
memanggilnya dengan sebutan ‘Dinda’, ia merasa sesak.
Maafkan aku, Bintang.
~~~~~~~~
‘Braakkk’ Rahma membanting pintu
kamarnya dengan kesal. Entah mengapa, dari kemarin Ibunya terus-terusan
memarahinya.
“Buk… buk… bukk… Rahma, buka
pintunya” teriak ibunya dari luar.
Rahma berusaha mengabaikannya
dengan menyetel musik dikamarnya besar-besar. Ia ingin istirahat dulu hari ini.
Kalau ia keluar, malah-malah ia akan berpikir melakukan sesuatu yang buruk.
Rahma meletakkan kepalanya
diatas bantal sambil menikmati lagu ‘Up All Night’ dari One Direction. Lagu ini
mengingatkannya pada seseorang yang menyanyi lagu ini kemarin. Ia jadi
terbayang-bayang wajah Heri di pikirannya.
It feels like we've been living in fast-forward
Another moment passing by (U-up all night)
The party's ending but it's now o-ur never
Nobody's going home tonight (U-up all night)
Tiba-tiba saja ia memukul
kepalanya sendiri.
“Aaarrrgghhh… aku pasti sudah
gila karena memikirkannya” kata Rahma. Namun, ia kembali memikirkannya lagi.
“Apa benar aku menyukainya? Masa iya, sih? Ah, itu pasti tidak mungkin. Tapi,
kalau aku tidak suka, mengapa aku bisa memikirkannya? Aaaaa….”
I wanna stay up all night
And jump around until we see the sun
I wanna stay up all night
And find a girl and tell her she's the one
Hold on to the feeling
And don't let it goCause we got the floor now
Get out of controlI wanna stay up all night
And do it all with you
Rahma memutuskan untuk tidur.
Tapi, setelah 30 menit ia berbaring diranjanganya, ia masih tetap terjaga.
Sedangkan, lagu tadi sudah berganti ke lagu Monita, ‘Kekasih Sejati’.
Aku yang memikirkan
Namun aku tak banyak berharap
Kau membuat waktuku
Tersita dengan angan tentangmu
Namun aku tak banyak berharap
Kau membuat waktuku
Tersita dengan angan tentangmu
Mencoba lupakan
Tapi ku tak bisa
Mengapa begini
Tapi ku tak bisa
Mengapa begini
Rahma melempar bantalnya dengan
sebal.
“Aaarrggghhh…. Kalau begini
terus, aku bisa beneran gila” oceh Rahma.
~~~~~~~~
Perpustakaan memang tidak selalu
ramai. Tapi, khusus hari ini, perpustakaan kelihatan sangat ramai. Tentu saja,
karena genk 7 AppLe lagi iseng-isengnya bergosip di perpustakaan(kayak gak ada tempat gosip yang
lain aja).
“Oke, kita mulai sekarang” kata Vivi serius.
“Sebentar, sebentar. Btw, kita kesini mau ngapain, ya?
Kayaknya penting banget” kata Alin yang sedari tadi bingung dengan sikap
teman-temannya.
“Aku setuju. Kalian aneh, deh, dari kemarin” tambah Riri.
“Loh, kalian tidak tau. Bukannya kita sedang main
jujur-jujuran” ujar Dessy.
Alin dan Riri menggeleng kompak.
“Udah, gak usah dipermasalahkan. Yang penting, semuanya ada
disini, kan? Oke, kita mulai Dari Dessy dulu, lalu Devi, aku, Cika, Rahma, Alin,
dan terakhir Riri. Dessy, buruan jawab, kamu suka Bintang, gak?” tanya Vivi to the point.
Dessy terdiam sebentar, lalu
menunduk malu. “Iya”
“Oke. Lalu Devi, apa benar kamu
suka Bagas?” tanya Vivi.
Devi mengangguk.
“Kalau Vivi, kamu beneran gak
suka sama Kak Randit?” tanya Dessy.
Vivi tampak sedang berpikir. Ia
mengangguk, lalu menggeleng.
“Dulu iya, sekarang tidak. Ini
jujur, loh!” jelas Vivi saat ia melihat teman-temannya memasang tampang kecewa
saat ia memberikan jawaban.
“Sekarang Cika. Kamu pacaran,
kan, dengan Reihan?” tanya Devi.
Cika menghirup napas, kemudian
menghembuskannya pelan. Saatnya ia harus jujur dengan teman-temannya. Lagipula,
cepat atau lambat, orang-orang akan tau.
“Iya”
“Hah? Benarkah? Berapa bulan?”
tanya Alin yang tampak antusias.
“Ummm…” Cika menghitung jarinya,
kemudian ia menunjukkan dua jarinya. “Kalau tidak salah, baru dua bulan”
Mereka mengangguk-angguk.
“Sekarang Rahma. Siapa orang
yang Rahma suka dikelas? Jawab jujur, ya!” kata Cika.
Rahma mengangguk. “Aku… aku
suka… Ummm…. Heri” jawabnya pelan berharap tak ada orang yang mendengarnya.
Tapi, tanpa melihat pun ia bisa tahu kalau teman-temannya menatapnya dengan
tatapan tak percaya.
“Tuh,kan, Des! Benar dugaan
kita” kata Alin pada Dessy sambil tos-tosan. Rahma mendelik sebal kearah mereka
berdua.
“Buruan, Lin! Sekarang
giliranmu” kata Rahma tak sabaran.
Alin terdiam. “Me, memangnya,
kalian mau tanya apa?”
Mereka semua tampak sibuk
memikirkan pertanyaan untuk Alin. Dalam hati, Alin berharap mereka tidak
menanyakan hal-hal yang aneh.
“Kamu…” Alin menoleh kearah Dessy
dengan pandangan cemas. “Kamu, sebenarnya ada hubungan apa dengan… Umm…
Bintang?”
Alin terdiam terpaku. Namun,
beberapa saat kemudian, dia langsung tertawa terbahak-bahak. Yang lain hanya
memandang bingung Alin yang tertawa sendiri.
“A, Alin. Kenapa kamu ketawa,
sih? Emangnya ada yang lucu?” tanya Dessy. Pipinya bersemu merah karena malu
melihat Alin yang tertawa mendengar pertanyaan darinya. Mungkin, kalau tahu
begitu jadinya, ia tidak akan tanya.
“Oke, oke…” kata Alin saat
tawanya sudah mereda. Tapi, ia masih tersenyum saat ia kembali melihat wajah
Dessy yang memerah. “Aku akan jawab. Sebenarnya… aku dan Bintang gak ada
hubungan apa-apa. Hanya sepupu dekat. Malah, kami seperti adik kakak” jawab Alin.
Semua orang, kecuali Riri,
menatap Alin kagum.
“Waw, mengapa kata-katanya bisa
sama?” komentar Vivi.
Alin menyerngit bingung.
“Maksudnya?”
“Iya, yah. Kemarin, Aldi bilang
gitu juga ke kita” kata Rahma.
“Aaaaahhh..… mungkin, dia
meng-copy jawabanku waktu dia tanya ke aku soal Bintang. Udah, ah, jangan terlalu
dipikirkan. Bentar lagi masuk. Mending, kita tanya Riri langsung tentang cowok
yang sering ia temui di dapur sekolah” kata Alin berusaha mengalihkan
pembicaraan. Tapi, cukup membuat Riri ternganga mendengarnya. Ia benar-benar
tak menyangka kalau Alin tahu tentang Ferdi.
“Udah, jawab aja yang jujur.
Kita semua sudah jawab jujur, loh! Jadi, kamu juga harus jawab jujur” desak
Devi.
Riri sebisa mungkin memasang
tampang biasa saja. Dan semua orang pun tertipu dengan penampilannya itu. “Ya,
aku memang sering bertemu dengannya. Tapi, kami hanya berteman, kok! Gak ada
yang lain” jawab Riri jujur. Tentu saja, karena Riri berniat untuk memberi
jawaban saat kenaikan kelas nanti.
Mereka semua mengangguk
mengerti. Tak lama, bel masuk pun berbunyi dan mereka semua berbondong-bondong
masuk kekelas, karena setelah ini mereka ada pelajaran fisika. Kalau mereka
terlamabat, bisa-bisa Pak Joko menghukum mereka dengan membuat kumpulan
rumus-rumus dari kelas 1 sampai kelas 3.
~~~~~~~~
Lemari pakaian terbuka begitu
saja. Pakaian-pakaian bertebaran di seluruh sudut kamar Alin. Sedangkan, sang
pemilik kamar sedang terbang bebas ke alam mimpi di tempat tidurnya yang empuk.
Ia tadi sedang memilih-milih baju untuk acara perpisahan besok. Tapi, karena
menurutnya tidak ada yang pas, dan karena ia sudah capek memilih-milih pakaian,
akhirnya ia memilih tidur dengan meninggalkan pakaian-pakaiannya yang masih
berantakan.
“Ya ampun, Lin. Kok, kamarmu
berantakan gini, sih? Gimana kalau orangtuamu tau?” kata Bintang. Tapi, si yang
punya nama tak menghiraukannya. Tentu saja, karena ia masih berlayardi pulau
mimpi.
“Ummm… Awas… Lin, awas…” gumam
Alin tak jelas.
Bintang menghampirinya dengan
khawatir. Di pegangnya dahi Alin yang ternyata panas. Alin demam. Cepat-cepat
Bintang keluar dari kamar Alin untuk mengambil peralatan mengompres. Tapi, ia
terhenti tepat di depan pintu Alin saat ia mendengar Alin bergumam dengan tidak
jelas. Tapi, ia masih bisa mendengarnya.
“Kalian…. Pembunuh….”
~~~~~~~~
Sudah lebih dari 2 jam Cika
berdiri di depan kacanya. Tapi, selama itu pula ia tidak berhasil menemukan
pakaian yang pas untuk dirinya. Dessy yang menemaninya hampir tertidur di
ranjang Cika saking lamanya ia menunggu Cika.
“Cika, udah selesai belum?”
tanya Dessy yang entah kesekian kalinya.
Cika menggeleng yang kesekian
kalinya. Ia meletakkan pakaiannya begitu saja dilantai, dan berjalan
menghampiri Dessy.
“Des, aku bingung mau pakai apa.
Kamu ada ide nggak?” tanya Cika sambil duduk disebelah Dessy.
Dessy menarik napas pelan, lalu
menghembuskannya. Sedari tadi ia juga sudah membantu Cika memilih-milih
pakaian. Tapi, tak ada yang cocok dihati Cika. Kalau boleh jujur, ia sendiri
sudah bosan menunggunya.
“Cika, aku tadi kan sudah bantu
kamu. Tapi, kamu-nya aja yang terlalu cerewet. Aku aja udah bosan nunggu.
Lihat, nih, dandananku aja hampir luntur. Lihat” Dessy memamerkan pipinya pada
Cika.
Cika menghela napas kuat. Ia
melihat sekelilingnya dengan seksama. Pandangannya jatuh pada gaun berwarna
ungu muda dengan sedikit hiasan bunga. Ia mengangguk, kemudian berjalan
mengambil gaun itu, lalu menunjukkan gaun itu pada Dessy.
“Baiklah, Des! Kuputuskan untuk
memilih gaun ini saja. Gimana?” tanya Cika.
Dessy mengangguk setuju. Tapi,
seperti yang sudah ia duga, Cika malah mengambil gaun yang lain.
“Atau yang ini?” tanya Cika
lagi.
Dessy hanya bisa
menggeleng-gelengka kepalanya melihat Cika. Sepertinya ia akan menunggu lebih
lama lagi disana.
~~~~~~~~
Senja yang mewarnai langit
perlahan menyelinap pergi. Matahari juga sudah berpindah ke belahan bumi yang
lain. Di berbagai sudut Sma Garuda Internasional mulai banyak dipenuhi oleh
siswa-siswi serta para guru. Bukan hanya murid dari Sma Garuda Internasional
saja yang datang, tapi beberapa Sma lain, seperti Sma Bakti Nusantara juga
datang untuk meramaikan suasana. Tak banyak, hanya perwakilannya saja yang
datang. Tapi, Lidya beruntung bisa menjadi perwakilan dari Smanya. Dengan
begitu, ia bisa bertemu Alin, temanya yang sudah lama tidak ia temui akhir-akhir
ini.
‘Brruukkk’ Lidya tidak sengaja
menabrak laki-laki yang tidak ia kenal.
“Sorry” ucap Lidya cepat,
kemudian ia berlalu pergi tanpa sempat melihat wajah yang ia tabrak tadi. Ia
ingin cepat-cepat segera bertemu Alin.
Ia menebarkan pandangannya
keseluruh penjuru sekolah, menajamkan penglihatannya, dan mencoba mengenali
satu per satu orang yang ada di balik gaun-gaun indah yang mereka pakai. Lidya
sama sekali tidak mengenali orang-orang itu.
Seorang perempuan bergaun nila
kebiru-biruan dengan rambut ia kepang sebagian, berjalan mendekati Lidya sambil
tersenyum.
“Hai” sapa perempuan itu.
Lidya celingak-celinguk melihat
sekelilingnya, dan kembali menghadap depan.
“Aku?” tanya Lidya ragu.
Perempuan itu mengangguk. “Masa
kamu tidak tahu siapa aku, Lid?”
Lidya menatap perempuan
didepannya dengan seksama. Dilihat sekilas, ia memang mirip dengan seseorang.
Ia mulai memperhatikan dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dan…
“Astaga, Alin? Ini kamu? Waw,
kamu terlihat sangat cantik. Sampai-sampai aku tidak bisa mengenalimu” oceh
Lidya.
Alin tertawa kecil mendengarnya
ocehan Lidya. Dari awal juga ia yakin kalau Lidya sama sekali tidak
mengenalinya. Makanya, ia menghampiri Lidya yang nampaknya kebingungan.
“Lidya ada-ada aja. Aku biasa
aja, kok! Tapi, kalo cantik sih… udah dari dulu, ya. Hahaha…”
Lidya langsung meneloyor kepala
Alin tanpa ampun. Alin menggosok-gosok kepalanya pelan. Lidya melihat ke
panggung dan menunjuk salah seorang yang ada di panggung.
“Itu, kalau tidak salah, itu
Dessy, kan? Dia ikut mengisi acara ini?” tanyanya.
Alin mengangguk. “Aku juga.
Setelah ini giliranku. Tapi, orang itu belum juga datang dari tadi.
Menyebalkan” raut wajah Alin langsung berubah bete.
Musik sudah berhenti. Dessy dan
yang lainnya turun dari panggung, kemudian disusul sang MC mulai berbicara
tentang penampilan selanjutnya. Tak berapa lama Satria naik keatas panggung dan
mulai membaca puisi.
“Loh, bukannya setelah ini
giliranmu, Lin?” tanya Dessy yang ternyata sudah berdiri tepat disampingnya.
Alin menoleh sebentar, lalu
mengangguk lemah.
“Aahhh… pasti gara-gara dia,
ya?” tebak Devi.
Alin kembali mengangguk.
Sedangkan, Lidya menyerngit bingung.
“Dia? Siapa dia?” tanya Lidya
penasaran.
“Apa yang kalian maksud itu
aku?” Aldi muncul dari belakang Lidya dengan memasang tampang bete. Ia berdiri
tepat di sebelah Lidya. “Sorry, aku datangnya telat. Aku punya alasan. Dan
alasan itu adalah orang ini” Aldi menunjuk ke arah Lidya yang sedang berdiri
kaku di sampingnya.
“Mengapa Lidya? Memangnya Lidya
sudah berbuat apa padamu?” tanya Alin. Ia menatap Aldi tajam.
“Dia menumpahkan minumanku
sehingga bajuku basah. Dia hanya mengucapkan maaf, lalu pergi begitu saja. Aaarrrgghh…
Kalau saja dia bukan anak teman ayahku…”
“Oh, ya! Aku ingat sekarang.
Kamu yang waktu itu datang ke pesta ulang tahunku, kan?” tebak Lidya. Wajahnya
terlihat sangat cerah.
“Iya” jawab Aldi datar.
“Ummm… soal tadi, aku
benar-benar minta maaf. Alin, kamu maukan memaafkannya? Ini semua salahku.
Sebagai gantinya, bagaimana kalau besok kita jalan-jalan?” tawar Lidya.
Alin tadi yang kelihatan sebal
setengah mati berubah menjadi senang, walaupun itu sedikit dipaksa.
“Oke, aku maafkan! Tapi, ingat,
ya! Ini semua karena Lidya. Kalau gitu, kita ke panggung sekarang” ajak Alin
sambil berlalu.
Aldi mengikutinya dari belakang
sambil tersenyum melihat tingkah Alin yang tampak uring-uringan. Lidya yang
melihat itu semua berubah menjadi bete.
“Des, mereka berdua sama sekali
tidak punya hubungan apapun, kan?” tanya Lidya tanpa basa-basi.
Dessy mengangguk. “Memangnya
kenapa?”
Lidya menggeleng cepat. Ia malah
pergi meninggalkan Dessy dan yang lainnya tanpa pamit terlebih dahulu.
“Dia kenapa? Kelihatannya aneh
sekali” komentar Vivi.
Dessy hanya mengangkat kedua
bahunya tidak tahu.
~~~~~~~~
“Oke… Biar malam semakin dingin,
tapi suasana saat ini semakin memanas. Baiklah, daripada suasananya semakin
panas gara-gara penasaran, mari kita tampilkan penampilan dari kelas XI A, Aldi
and friends” teriak MC penuh semangat.
Alin, Aldi, Bintang, dan Reza
naik keatas panggung. Jantung Alin berdegup sangat kencang. Kaki dan tangannya
gemetaran. Sebuah tangan menggenggam tangannya erat. Alin menoleh dan melihat
Bintang sedang tersenyum padanya.
“Alin baik-baik saja, kan?
Jangan terlalu gugup. Mari kita lakukan sama seperti waktu itu dan latihan”
kata Bintang memberi semangat.
Alin mengangguk senang. Mereka
pun berjalan ke posisi mereka masing-masing.
“Baiklah,” kata Aldi. “Kami akan
membawakan sebuah lagu ciptaan kami sendiri. Judulnya adalah ‘Meraih Mimpi
Bersama’. Kalian penasaran, gak?” semua menjawab ‘iya’. “Oke, daripada kalian
tambah penasaran, lebih baik kita mulai sekarang. Kita nyanyi dan joget
bareng-bareng, ya?”
Musik mulai menggema ke seantero
sekolah. Semua orang mulai menikmati penampilan sekarang. Aldi mengangkat
mikrponnya dan mulai bernyanyi.
Waktu demi waktu bergulir
Setiap itu kita selalu membuat kenangan
Bersama kita lewati rintangan
Yang menghalangi jalan kita
Jangan pernah menyerah
Untuk menggapai suatu impian
Bersama kita wujudkan mimpi
Dalam angan-angan kita
Kata demi kata terucap
Kadang menggores hati yang sedang sakit
Hanya kata maaf yang terlontar
Untuk mengahapus luka itu
Mari bersama-sama
Kita wujudkan mimpi kita
Walau ini semua tak mudah
Bersama kita meraih mimpi
Biarkan melodi ini mengalir dalam kenangan
Sebagai wujud nyata kita
Yang penah bersama mewujudkan mimpi
~~~~~~~~
Sekolah sudah mulai sepi karena
acara sudah selesai beberapa menit yang lalu. Alin masih di sekolah, mengambil
beberapa peralatan miliknya di ruang musik. Bintang dan teman-temannya yang
lain sudah pada pulang. Ia keluar dari sekolah sambil menunggu angkutan atau
taksi lewat. Tapi, sudah lebih dari setengah jam ia menunggu, tak ada satupun
yang lewat.
“Kalau tau gini, mending aku
pulang sama Bintang” oceh Alin sebal.
Tadi, Bintang ingin mengajak
Alin pulang bareng. Tapi, saat Alin melihat wajah Dessy yang sepertinya cemburu
pada dirinya, ia terpaksa membatalkannya. Padahal, menurutnya, Dessy tidak
perlu cemburu pada dirinya. Toh, Bintang itukan sepupunya.
“Belum pulang, Lin?” suara itu
membuyarkan lamunannya. Tanpa menoleh pun ia sudah tahu itu siapa.
“Belum” jawab Alin singkat. Ia
sama sekali tidak menoleh ke arah Aldi.
“Mau pulang bareng?” tawar Aldi.
“Gak perlu” balas Alin dingin.
“Serius? Memangnya kamu mau
menunggu sampai kapan? Memangnya, jam segini masih ada kendaraan yang lewat?”
tanya Aldi berusaha menggoyahkan Alin. “Tapi, kalau itu maumu, aku duluan, ya!
Bye…” kata Aldi sambil melajukan motornya keluar sekolah.
“TUNGGU…” teriak Alin. Ia
menutup mulutnya, tak sadar kalau apa yang ia lakukan seperti menurunkan harga
dirinya.
Aldi berhenti dan menoleh
kebelakang.
“Berubah pikiran?” tanyanya
sambil tersenyum mengejek. “Yah… gak pa-palah kalau sekali-kali” tambahnya.
Alin jadi ingin mengurungkan
niatnya. Kalau saja malam belum larut dalam gelap, ia rela menunggu daripada
harus nebeng dengan Aldi.
“Kamu masih marah ya sama aku?”
tanya Aldi saat mereka dalam perjalanan pulang.
“Soal apa?” Alin malah balik
bertanya.
“Lagu tadi. Aku merubah sedikit
liriknya. Makanya, kamu marah. Iya, kan?”
Alin memalingkan wajahnya,
walaupun ia tahu Aldi tidak akan melihatnya. Memang benar apa yang dikatakan
Aldi. Ia memang sedikit marah, tapi… Musik itu ia dapatkan pertama kali dari
Aldi. Dan Aldi sendiri bilang kepada Pak Derri kalau ia yang membuat semua itu.
Ia sedikit kagum dengan apa yang Aldi lakukan. Jadi, ia berpikir ia tidak punya
hak untuk marah pada Aldi.
“Kok diam aja?” tanya Aldi
memecah lamunan Alin.
“Kupikir, aku tidak punya hak
untuk marah padamu. Tadi, sih, iya! Tapi, aku rasa aku sama sekali tidak marah
padamu” ujar Alin.
Aldi mengangguk. “Mau makan? Aku
kasihan padamu. Dari tadi perutmu terus-terusan berbunyi” ajak Aldi.
Wajahnya Alin berubah merah
karena malu. Ternyata, Aldi bisa mendengar bunyi perutnya yang keroncongan.
“Tapi, aku gak bawa uang” kata
Alin malu.
“Aku yang traktir” kata Aldi
sambil tersenyum.
Tentu saja Alin bisa melihat
senyum Aldi dari kaca spion. Baru kali ini ia melihat Aldi tersenyum kepadanya (atau mungkin ia baru menyadarinya).
Yang pasti, saat ia melihat Aldi tersenyum, jantungnya berdebar-debar.
“Tidak mungkin, aku jatuh cinta pada orang ini, kan?” tanya
dalam hati. Ia berharap, perasaannya itu salah. Dan tidak pernah terjadi.
~~~~~~~~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar