ª(˘̯˘) PERASAAN YANG
TERSEMBUNYI (26)
Diantara keramaian yang
dipenuhi oleh kebisingan dan huru-hara, Devi berdiri kaku ditengah-tengahnya,
mencari seseorang, dan berharap ada keajaiban untuknya. Untuk malam ini saja.
Walaupun ia tahu, itu tidak mungkin terjadi.
“Kak, maukah kakak
berdansa denganku?” tawar seseorang pada Devi.
Devi menoleh dan
terkejut melihat orang yang ada didepannya. Tanpa sadar, ia mengangguk menerima
ajakannya. Betapa bahagianya ia, bisa berdansa dengan orang yang sangat ia
sukai. Bagas mengajaknya berdansa. Yang benar saja.
“Kak, sebenarnya, aku
sudah lama memperhatikan kakak. Dari dulu, sampai sekarang, aku selalu
memperhatikan kakak” ujar Bagas.
Senyum Devi langsung
mengembang. Jantungnya berdebar-debar tak karuan. Hatinya langsung dipenuhi
oleh Bagas. Ia jadi tak sabar menunggu kata-kata dari Bagas selanjutnya.
“Aku… sebenarnya, dari
dulu… aku suka dengan kakak. Kakak mau gak jadi pacarku?” tanya Bagas
malu-malu.
Devi menunduk malu
sambil berpura-pura sedang berpikir. Tanpa pikir panjang pun, ia pasti akan
menjawab ‘YA’.
“Iya, aku mau jadi
pacarmu” jawab Devi.
“Apa? Jadi pacarku?”
teriak seseorang yang ada di depannya. Itu bukan suara Bagas, melainkan suara
Reza.
Mendengar suara Reza, ia
langsung mengangkat kepalanya, memastikan sebuah kebenaran. Ia benar-benar
terkejut karena orang itu ternyata benar-benar Reza. Ia merasa aneh. Padahal,
tadi Bagas baru saja menembaknya. Ia menebarkan seluruh pandangannya ke
sekeliling dan tak melihat seorang pun disana selain mereka berdua. Saking
shocknya Devi, spontan ia mendorong Reza. Tetapi, ia malah tercebur ke kolam
renang yang ada di belakangnya.
‘Byyyuuuuurrrr’
Devi
langsung terbangun dari tempat tidurnya saat ia merasakan guyuran air dari
kakaknya membasahi tubuhnya.
“Nah,
bangun juga akhirnya” seru Kak Kila malas.
Ia
mengerjap-ngerjapkan matanya. Antara alam sadar dan mimpinya, ia bangkit dari
tempat tidurnya, kemudian kembali tidur di ranjangnya.
“Yaelah,
nih orang malah tidur lagi. Bangun, oy…. Bangun…” seru Kak Kila gemas. Ia terus
mengguncang-guncang tubuh Devi hingga ia terbangun dari tidurnya.
“Apaan
sih, Kak? Inikan masih pagi. Lagipula, hari ini hari minggu. Jadi, aku boleh,
dong, tidur sampai siang” jelas Devi malas. Ia kembali berbaring di ranjangnya
tanpa mempedulikan kakaknya yang sedari tadi gemas melihatnya.
“Ayolah,
Devi! Jangan terus-terusan jadi orang pemalas. Ayo, bangun, terus mandi, lalu
olahraga sana. Hari ini kita bersih-bersih rumah. Kan, pesta pertunangan kakak
dirayakan hari ini. Masa kamu lupa, sih?” jelas Kak Kila sambil memasang
tampang bete di wajahnya.
Devi
langsung beranjak turun dari ranjangnya.
“Iya,
aku bangun!”. Ia menghentak-hentakkan kakinya sakin sebalnya.
Melihat
tingkah adiknya itu, Kak Kila hanya tersenyum sambil geleng-geleng. Entah
mengapa, mengganggu Devi adalah salah satu kebahagiaan tersendiri baginya.
~~~~~~~~
Hujan
sudah berhenti. Bias warna-warni pelangi menghiasi langit biru nan sejuk. Burung-burung
berkicau menyambut datang pagi minggu. Semilir angin melambai-lambai. Indahnya
hari itu tak bisa terucapkan oleh kata-kata.
Sudah
5 menit Alin menunggu didepan gerbangnya. Tapi, orang yang ia harapkan belum
juga terlihat. Ia harus bersabar beberapa menit lagi, dan orang yang ia tunggu
keluar. Alin mengeluarkan sepeda mininya yang telah ia siapkan sedari tadi,
kemudian ia menyusul Aldi yang sudah berlari mengelilingi komplek.
‘Wuuussshhh’
Alin sengaja mengendarai sepesanya di jalanan yang becek sehingga air itu tepat
mengenai Aldi.
“Alin…
Sialan, loe! Liat, nih! Baju gue jadi kotor” oceh Aldi sebal.
Alin
hanya tertawa melihat Aldi yang tampak sebal karena perbuatannya.
Sampai-sampai, ia tidak melihat kearah depan-padahal sedang mengendarai sepeda.
“Awas,
ada lubang, tuh!” seru Aldi sambil menunjuk kearah depan.
‘Braaaakkk’
Alin terjatuh dari sepedanya. Melihat itu, Aldi tertawa. Betapa bahagianya ia
melihat Alin menderita. Dan itu membuatnya sangat senang.
“Huuuwaaaaa….”
Alin menangis dengan keras. “Aldi jahat!!! Masa orang jatuh malah diketawain.
Gak liat apa kalau orang lagi sakit” rengeknya sambil memandangi lutunya yang
berdarah.
Aldi
tampak bingung. Ada sedikit rasa bersalah dihatinya. Tapi, bukankah Alin
sendiri yang memulainya duluan.
“Huuuuwwweee…
Aldi jahat! Masa orang sakit dibiarin, sih?”
Muka
Aldi langsung berubah merah. Bukannya apa, semua orang yang ada di jalan kini
sedang memandanginya dengan tatapan aneh. Aldi langsung mendekati Alin dengan
perasaan kesal bercampur malu.
“Lin,
udah! Jangan nangis! Loe kayak anak kecil aja, deh. Pakai acara nangis segala.
Malu tau dilihatin orang-orang” bisik Aldi sebal.
Alin
berhenti menangis. “Kalau gitu, bantu aku berdiri” katanya manja.
Dengan
menahan perasaan kesal, ia membantu Alin berdiri dan juga sepedanya.
“Udah,
pulang sana” usirnya.
“Mana
bisa” protes Alin. “Lihat, lututku berdarah” katanya sambil menunjukkan bagian
yang terluka. “Kamu harus mengantarku pulang”
Aldi
mengacak-ngacak rambutnya frustasi. Lama-lama sikap Alin semakin menyebalkan
buatnya. Sepertinya, kemarin malam dia salah makan, atau ia kurang beruntung
saja hari ini.
“Oke,
gue antar. Buruan, gue malas kalo lama-lama” seru Aldi.
Dengan
wajah senang penuh kemenangan, Alin duduk di jok belakang sambil tersenyum.
Hari ini, rencananya mengerjai Aldi berjalan cukup sukses, walaupun adegan ia
jatuh dari sepeda benar-benar diluar rencana. Yang penting, ia bisa membuat
Aldi kesal hari ini.
“Kenapa
senyum-senyum?” desis Aldi, memecah lamunan Alin.
“Ah…
Si, siapa yang senyum-senyum. Orang tadi lagi merintih kesakitan, kok! Salah
lihat kali” elak Alin.
Aldi
mendengus sebal. Ia mulai mengayuh sepeda dan berjalan menuju rumah Alin. Pagi
ini, ia benar-benar kesal setengah mati gara-gara ulah Alin. Tapi, entah
mengapa, di dalam hatinya, ia merasakan sesuatu yang lain yang ia sendiri tidak
tahu. Seperti sebuah rahasia yang tak ingin diketahui siapapun. Perasaan yang tersembunyi.
~~~~~~~~
Pagi
ini, Rahma disibukkan dengan pekerjaan rumah. Hari minggu memang waktu yang
cocok untuk beres-beres rumah. Apalagi, Rahma sangat senang beres-beres rumah.
Itu akan membuatnya senang, jika ia melihat semuanya rapi daripada ia melihat
rumahnya berantakan bak kapal pecah. Tapi, pagi ini, ia sama sekali tidak minat
untuk beres-beres rumah. Ibunya sedari tadi sudah ngomel-ngomel di depan pintu
kamarnya gara-gara ia bangun kesiangan.
Aneh.
Padahal, ibunya tidak mempermasalahkan masalah bangun tidurnya. Lagipula, ia
tidak pernah sekalipun bangun lebih dari jam 8 pagi. Tapi, hari ini, ibunya
memarahinya hanya gara-gara ia bangun jam 7.
“Ibu
kenapa, sih? Dari kemarin ibu memarahi Rahma terus” kata Rahma jujur. Ia tidak
tahan mendengar ocehan ibunya setiap hari.
Ibu
mengusap wajahnya dengan kedua tangannya sambil duduk di kursi ruang depan.
Beliau sendiri juga bingung mengapa ia memarahi Rahma terus-terusan. Jujur, ia
sendiri tidak tega rasanya melihat anak sulungnya itu yang dari kemarin
memasang wajah bete gara-gara mendengar ocehannya. Tapi, ini semua demi
kebaikannya.
“Maafin
ibu, Rahma! Ibu hanya merasa capek saja akhir-akhir ini” jelas ibunya.
“Iya”
sahut Rahma.
Kedengarannya
kurang ikhlas. Tapi, ia tidak bisa merasa tidak sebal dengan sikap ibunya.
Kenapa harus dia yang di marahi? Kenapa tidak yang lainnya? Apa karena ia anak
sulung? Sungguh, ia merasa ini semua tidak adil untuknya. Tapi, inilah
hidupnya. Dan ia harus menempuh hidupnya ini.
“Ibu,
tahukah kamu kalau aku terluka?” tanya Rahma dalam hati sambil menatap wajah
ibunya yang kini semakin menua.
~~~~~~~~
Alin
duduk di sofanya sambil memperhatikan Aldi yang sedang merawat lukanya. Ia
terlihat begitu serius, sampai-sampai Alin tidak tega ingin mengganggunya.
“Selesai”
sahut Aldi senang.
Alin
tersadar dari lamunannya. Ia melihat lututnya sudah di obati dan di tempeli
plester. Dengan begitu, Aldi bisa langsung pergi dari rumahnya. Entah mengapa,
ia menjadi begitu sedih.
“Ada
apa? Mengapa wajah loe kelihatan sedih banget?” tanya Aldi khawatir.
Alin
menggeleng pelan. Mereka bertatapan satu sama lain. Tak beberapa lama,
terdengar dering telepon rumah Alin yang memecah lamunan mereka.
“Halo”
jawab Alin. Aldi masih berdiri di tempatnya. “Iya… Ada apa, Dev?”
“Malam nanti, jangan
lupa datang kerumahku, ya!” kata Devi di seberang sana.
“Datang?
Memangnya ada acara apa?” tanya Alin penasaran.
“Kakakku akan
bertunangan malam ini. Dia…”
“Hei…
menjauh dariku” teriak Aldi histeris. Alin menoleh kearah Aldi dan melihat
Dolta, kucing kesayangannya sedang bermanja ria di kaki Aldi.
“Aldi,
hentikan. Kamu menyakiti kucingku” protes Alin. Cepat-cepat ia mengambil
kucingnya, kemudian ia kembali ke teleponnya.
“Maaf,
Dev. Tadi itu…”
“Aldi ada dirumahmu? Wow, that’s really great! Kalian sedang apa?”
Untung
saja mereka sedang berbicara di telepon. Jadi, Devi tidak bisa melihat wajahnya
yang bersemu merah sekarang.
“Tidak
apa-apa! Tadi, dia mengantarkan sesuatu kerumahku untuk papaku. Sudahlah, kalau
tidak ada yang ingin disampaikan lagi, akan kututup”
“Wowowo… jangan, dong!
Gitu aja udah ngambek. Oya, sekalian ajak dia, ya?”
“Hah?
Kenapa? Kenapa kamu juga mengajaknya?” protes Alin.
“Tak apa, kan! Lagipula
dia teman sekelasku” sahut Devi.
“Kalau
begitu, kamu juga mengundang Reza?” tanya Alin dengan nada menggoda.
“Untuk apa? Dia pasti
tidak akan kuundang. Kenapa harus dia, sih?” ujar Devi.
“Kalau
begitu, undang Bintang, ya? Aku juga ingin dia ikut” pinta Alin
“Oke. Jangan lupa
datang, ya!”
Alin
mengangguk, lalu ia menutup teleponnya. Ia berbalik dan melihat Aldi kini
sedang bermain dengan kucingnya diruang depan. Ia merasa aneh. Padahal, tadi ia
mengusir Dolta dengan kasar. Tapi sekarang, ia malah asyik bermain dengan
Dolta. Apa sih yang dia mau?
“Kenapa?
Kenapa memandangiku seperti itu?” tanya Aldi dengan nada tidak senang.
“Devi
mengajak kamu datang kerumahnya malam ini” ujarnya.
“Oya?
Jam berapa?”
“Jam
7-an lah. Jadi, kamu mau? Kalau mau, ngumpul dulu dirumahku. Kita akan pergi
bareng-bareng. Bintang juga ada, kok!” jelas Alin.
Aldi
bangkit dari duduknya sambil menggendong Dolta yang sedang bergelayut manja
dilengan Aldi.
“Aku
pikir-pikir dulu. Kalau sempat, aku datang. Kucing ini boleh aku bawa pulang?”
tanya Aldi.
Alin
langsung merebut Dolta dari gendongan Aldi. Ia tak rela kalau kucingnya tinggal
bersama orang seperti Aldi.
“Tidak
boleh! Dia kucing kesayanganku” Alin mengelus-elus kucingnya lembut.
“Ya
sudah, aku pulang, ya!” kata Aldi sambil berlalu.
Alin
melihat Aldi yang berjalan keluar dari rumahnya.
“Tumben
kamu tertarik pada orang lain. Apa kamu menyukainya?” tanya Alin pada Dolta.
‘Miiiaaauuwww’
~~~~~~~~
Di
siang hari, keadaan di sekitar Monas sangat ramai. Ditemani cahaya matahari,
Cika dan Reihan asyik menelusuri tiap sudut Monas.
“Kalau
dari sini, semua kendaraan terlihat sangat ramai seperti semut yang sedang
berbaris” komentar Cika.
Reihan
menatap wajah Cika yang penuh dengan kebahagian itu. Ini kencan pertamanya.
Jadi, ia ingin kencan pertamanya ini berjalan dengan lancar. Ia tidak mau
membuat Cika sedih atau bete. Soalnya, akhir-akhir ini Cika kelihatan begitu
stress. Lagipula, minggu depan mereka akan menghadapi ulangan akhir semester
genap. Jadi, ia ingin mengajak Cika kencan sambil refreshing.
“Reihan,
kok bengong aja? Ayo, kita pergi. Aku ingin ketempat yang lain” seru Cika
memecah lamunan Reihan. Ia mengangguk dan mengikuti Cika dari belakang.
Mereka
sudah sampai di Dufan. Suasananya begitu ramai karena hari sudah melewati pukul
12 siang. Namun, itu tidak membuat Cika berdiam diri dan melihat saja. Ia
bahkan sampai rela mengantri di setiap permainan. Hari ini ia mau
bersenang-senang. Jadi, ia ingin memanfaatkan kesempatan itu sebaik mungkin.
Apalagi, ia pergi bersama Reihan.
“Han,
ayo kita naik ini” ajak Cika sambil menarik Reihan menaiki jet coaster.
Reihan
menurut saja dan naik ke jet coaster itu. Tak lama, jet coaster itu bergerak.
Cika asyik-asyiknya berteriak dengan sangat keras. Bahkan, Reihan yang duduk
disampingnya menutup kedua telinganya tak tahan mendengar teriakan Cika.
“Aku
capek. Mau pulang” ujar Cika yang sedang duduk di bangku taman dekat sana. Reihan ikut duduk
disebelahnya.
“”Cika”
panggil seseorang.
Cika
menoleh dan melihat Elda dan Robby berdiri di depan mereka.
“Hai
Elda, Rob. Kalian juga disini?” sapa Cika riang.
Mereka
berdua mengangguk.
“Kalian?
Mau pulang?” tanya Elda.
“Iya.
Cika bilang dia sudah capek” ujar Reihan
jujur. Cika langsung mencubit perut Reihan kuat.
“Oh,
kalau gitu, kita duluan, ya” seru Elda sambil mengajak Robby pergi dari situ.
Robby
mengikuti Elda. Tapi, pandangannya tak lepas dari Cika yang kelihatannya akrab
dengan Reihan.
“Mereka
pasangan yang serasi, ya?” sahut Elda.
Robby
hanya terdiam, tak menjawab kata-kata Elda. Dikepalanya, terus berputar-putar
tentang perasaannya. Elda, Cika. Kembali ke Elda, lalu Cika. Hanya
berputar-putar disitu saja. Ia tak tahu apa perasaannya yang sesungguhnya.
~~~~~~~~
Vivi
tampak menikmati tidur siangnya. Menurutnya, hari minggu adalah saat-saat
dimana ia bisa bebas memilih. Mau tidur-tiduran dirumah, mau hangout bareng teman-temannya, atau pun
belajar. Tapi, mumpung ada kesempatan buat istirahat, ia gunakan kesempatan ini
untuk tidur siang.
‘Drrrrtttt’
handphone Vivi bergetar begitu saja di
meja belajar. Vivi bermaksud membiarkannya begitu saja. Tapi, ia merasa betapa
mengganggunya sura getar hp itu.
“Ya,
halo” jawabnya malas. “Oke. Aku kesitu 5 menit lagi” katanya sembari menutup
pembicaraan.
Ia
kelihatan lesu sekali. Bagaimana tidak, padahal ia berencana untuk tidur siang
tadi. Tapi, kakak laki-lakinya tiba-tiba menelponnya untuk menjemput anaknya.
Ia malas sekali. Seandainya saja ia bisa tiduran dengan santai minggu ini juga.
Dan
benar. Bahkan, tak sampai 5 menit ia sudah menunggu di tempat les keponakannya.
Sembari menunggu keponakannya keluar, ia mengeluarkan Ipod dan headset, lalu
mendengarkan lagu untuk menghilang rasa stress.
“Vivi”
panggil seseorang.
Vivi
menoleh kearah sumber suara sambil mengecilkan volume headsetnya.
“Kak
Randi? Kok ada disini?” tanya Vivi setengah kaget.
“Sedang
menjemput adikku. Nah, itu dia” serunya santai.
Vivi
ikut melihat ke arah anak-anak yang tampak antusias keluar dari ruang belajar
mereka. Vivi tampak sedang mencari, tapi bukan orang yang dimaksud oleh Randi,
melainkan keponakannya sendiri.
“Kak
Vivi” seru Kiki, sepupunya yang gendut dan imut itu tampak bersemangat sekali
saat ia melihat wajah Vivi.
“Oh,
hai. Pulang, yuk!” ajak Vivi. Ia mengabaikan Kak Randi yang masih berdiri di
sampingnya. Ia tak peduli dengan kehadirannya.
“Oh.
Jadi, dia adikmu?” tanya Randi penasaran.
Vivi
menoleh, lalu menggeleng. “Bukan. Cuma sepupu. Kita duluan, ya”
Tanpa
menunggu jawaban dari Randi, ia langsung melengos pergi. Ia sama sekali tidak
ingin berlama-lama disana.
~~~~~~~~
Rumah
Devi kelihatan ramai sekali. Tentu saja, karena pesta pertunangan kakaknya, Kak
Kila, akan di segera dimulai beberapa puluh menit lagi. Para tamu pun sudah
mulai berbondong-bondong memenuhi seluruh isi rumah. Namun, diantara sekian
banyak orang yang hadir, Riri sama sekali tidak melihat teman-teman yang ia
kenal. Bahkan, Devi pun tidak kelihatan sekarang.
“Riri”
panggil Devi.
Riri
menoleh kearah sumber suara dengan wajah bete.
“Kamu
tadi kemana, sih? Aku tuh bete sendiri disini” sahut Riri sebal.
“Sorry,
tadi aku nemenin mamaku sebentar keluar. Maaf, ya!”. Devi melirik ke sekitarnya
mencari-cari sesuatu. “Btw, mana yang lain?”
Riri
mengangkat bahunya tak tahu. Sedangkan, Devi hanya mengangguk tak jelas. Tak
berapa lama, Alin, Aldi, dan Bintang, serta Dessy muncul.
“Hai,
sorry lama. Tadi, di jalan macet. Jadi, kita telat” kata Alin memberi alasan.
“Oh,
gak pa-pa. Santai saja. Silahkan nikmati hidangan yang telah disediakan” ujar Devi.
“Eh,
ada teman-teman Devi. Udah lama nunggu, ya?” seru mama Devi.
“Nggak,
kok, tan! Kita baru aja datang” kata Alin sopan. Ia berjalan untuk memberi
salam pada mama Devi. Yang lain mengikuti Alin.
“Oh,
kalau begitu, silahkan nikmati hidangan yang ada. Sebentar lagi acaranya akan
segera dimulai. Santai saja, ya! Tante mau kesana dulu” ujar mama Devi. Setelah
semuanya menjawab iya, beliau langsung berpindah ke sudut ruang lain.
Yang
lain sibuk menikmati hidangan yang ada. Riri langsung mengambil kue-kue yang
sudah dari tadi ia incar.
“Oh,
ya! Perkenalkan, ini Devi, adikku. Walau dia tak secantik diriku, tapi, dia
tetap adikku” seru Kak Kila yang sepertinya pada tunangannya.
Riri
dan Alin yang kebetulan berada disana menoleh, dan Riri sontak kaget melihat siapa
yang ada di samping tunangan kakak Devi. Tanpa sadar, ia menjatuhkan makanan
yang ia pegang. Orang yang berada di samping tunangan kakak Devi sepertinya
sama kagetnya dengan Riri.
“Kalau
begitu, perkenalkan. Ini Ferdi, adikku satu-satunya. Sekarang, ia kuliah
semester kedua”
Lutut
Riri seperti ingin copot. Ia benar-benar tidak menyangka bisa bertemu dengan
Ferdi di pesta pertunangan kakaknya Devi yang ternyata adik tunangan teman
kakaknya. Ini seperti takdir.
Riri
berjalan perlahan meninggalkan tempat itu. Tapi, sebuah suara menghentkan
langkahnya.
“Riri?
Kamu mau kemana?” tanya Ferdi.
‘Degh’
Riri terdiam ditempat. Bahkan, berbalik pun rasanya tak mampu. Selanjutnya, ia
bisa menebak semua teman-temannya mulai heboh, termasuk keluarga Devi. Dan itu
membuat Riri merasa malu.
~~~~~~~~
“Silahkan
menikmati hidangan yang telah disediakan” kata sang MC.
“Wow,
Riri dan Kak Ferdi tampak mesra, ya!” komentar Alin sambil menatap iri pada
mereka berdua. Devi mengangguk setuju.
“Iya,
ya. Masa muda memang menyenangkan” kata mama Devi tiba-tiba. Devi dan Alin
sampai kaget melihat kedatangan mama Devi. “Devi, sepertinya mama harus
menikmati sisa umur mama sebelum mama pergi menyusul papamu”
Devi
menyerngit, “Mama ngomong apa, sih? Maksud mama apa?”
“Mama
mau kesana, ya!” mama Devi berjalan menuju tempat para bapak yang seusia dengan
umur beliau, kemudian bercengkrama dengan santai.
Alin
melirik takut kearah Devi yang sepertinya kesal setengah mati melihat tingkah
mamanya-Bahkan, ada tanduk muncul dikepalanya-.
“Grrrrr…
Awas, ya! Jangan ada yang berani dekati mama. Kalau tidak, aku yang akan
menghajar mereka satu per satu” kata Devi garang.
Baru
saja Alin ingin mencegah Devi. Tapi, Devi keburu pergi menghampiri mamanya.
Aura yang keluar dari diri Devi pun menakutkan. Jadi, Alin mengurungkan
niatnya.
“Sepertinya,
Devi sama sekali tidak ingin punya papa baru, ya!” kata Bintang yang entah
sejak kapan sudah berdiri disamping Alin.
Alin
hanya mengangguk tanpa berkomentar. Ia tahu, karena Devi pernah cerita kalau ia
sama sekali tidak ingin ada yang menggantikan papanya. Baginya, papanya itu
hanya satu, tak ada yang lain. TITIK!.
~~~~~~~~
‘Braaaak’
suara itu mengejutkan semua orang. Bintang yang tadi sempat tidur di bangku belakang
langsung tersadar dan berusaha mempertajam penglihatannya ke sumber suara.
“Ada
apa, Om? Kok di depan ramai?” tanya Bintang pada supir baru Alin.
“Sepertinya
ada kecelakaan di depan. Mau lihat?” tawar Om Deni.
Bintang
tampak ragu. “Ramai. Susah keluarnya”
“Alin,
kamu kenapa?” suara Aldi menyadarkan Bintang. Ia baru tersadar ada Aldi di
sampingnya. Tapi, pertanyaan Aldi nmembuat ia penasaran.
Wajah
Alin tampak pucat. Tubuhnya menggigil kedinginan. Padahal, ia memakai pakaian
lengan panjang dan tebal.-Mungkin, efek AC-. Gerakan Aldi membuat Bintang
tercengang. Ia turun dari mobil, lalu menggendong Alin keluar.
“Alin,
kamu kenapa?” tanya Bintang sambil melongokan kepalanya keluar jendela.
Alin
terdiam di pelukan Aldi. Tiba-tiba saja ia menangis.
“Dessy…
Dessy…“ kata Alin terbata-bata.
Bintang
terpaku ditempat, berusaha menderna kata-kata Alin.
“Kita
kerumah sakit sekarang, ya!” kata Aldi.
Alin
menggeleng pelan. “Aku, tidak apa-apa”.
Bintang
turun dari mobil. “Kalian cari taksi saja. Dan Aldi, tolong antarkan Alin
pulang saja. Tak perlu kerumah sakit. Aku akan kedepan”
“Tapi…”
“Sudahlah,”
potong Bintang. “Antar saja dia pulang”
Aldi
pun menurut. Ia segera berlari mencari taksi. Sedangkan, Bintang berjalan
menuju tkp. Disana, ia melihat seorang gadis yang sangat ia kenal berbaring
lemah di tengah jalan dengan bersimbah darah. Ia terkejut, tapi ia berhasil
menguasai diri. Dengan tenang, ia menggendong Dessy perlahan, lalu memerintah
salah satu diantara mereka untuk mengantarnya kerumah sakit.
~~~~~~~~
Aldi
turun dari taksi sambil menggendong Alin. Ia berjalan memasuki halaman rumah
Alin. Saat mereka sudah sampai di depan pintu, Aldi membuka pintu. Terkunci.
Beberapa kali ia memencet bel, tapi sama sekali tak ada respon. Ingin rasanya
ia membangunkan Alin yang tampak terlelap di pelukannya. Tapi, ia tidak tega
untuk melakukannya.
Setelah
melalui berbagai macam pertimbangan, akhirnya ia membawa Alin kerumahnya.
Bintang sama sekali tidak bisa dihubungi. Mungkin, ia sedang sibuk mengurusi
Dessy. Ia juga tadi sempat melihat kalau Dessy tadi tertabrak.
“Ehmm…”
Alin terlihat tidak tenang dalam tidurnya. Tubuhnya masih dingin. Tapi, tidak
sedingin yang tadi. Setelah ia meletakkan Alin ke ranjangnya, ia melepas alas
kaki yang Alin kenakan, lalu memakaikannya selimut.
“Umm…”
Alin kembali menggumam tidak jelas. Ia benar-benar terlihat aneh. Tanpa sadar,
Aldi menatap Alin lama sambil mengusap-usap rambut Alin. Ia menggenggam tangan
Alin yang dingin, kemudian beranjak pergi. Tapi, Alin memegang tangan Aldi yang
tadi menggenggam tangannya dengan erat sambil menatapnya dingin.
“Kamu
pembunuh” kata Alin dingin, lalu ia kembali tertidur.
Aldi
terdiam, berusaha memahami maksud perkataan Alin yang begitu tiba-tiba. Namun,
ia sama sekali tidak mengerti. Tapi, jauh didalam dirinya, ia merasa begitu
sakit mendengarnya, seolah-olah kata-kata itu ditujukan untuknya.
Dan
Aldi hanya terpaku ditempat sambil menatap wajah Alin yang masih dalam
kegelisahan.
“Apa
maksudmu?”
~~~~~~~~