Sebelum Reza dan Bagas
mengangkat kursi itu, dengan cepat Devi pindah ke pohon yang paling dekat
dengannya.
“Tidak ada apa-apa, kak”kata
Bagas membuat Devi lega untuk saat ini.
“Yaaa…”kata Reza dengan nada
kecewa. “Padahal gue tadi lihat CICAK sedang merayap di pohon itu”
Tidak lama dari itu, terdengar
suara teriakan dari balik pohon. Reza berusaha menahan tawanya mendengar
teriakan itu.
“Siapa disana?”tanya Bagas. Teriakan
dari balik pohon langsung berhenti. Bagas menatap pohon itu curiga. Ia berjalan
mendekati pohon itu dan… ia tidak melihat siapapun. “Tidak ada siapa-siapa”
“Sudahlah, gue rasa itu
penguntit. Lebih baik, kita pergi dari sini”kata Reza.
Bagas mengangguk setuju.
Padahal, ia yakin disana tadi ada orang. Dari suara teriakan tadi pun rasanya
tidak asing baginya.
“Kenapa loe ngelamun?”tanya Reza
dengan penuh selidik.
Bagas menggeleng cepat dan
segera pergi dari tempat itu.
~~~~~~~~
Alin berjalan dengan santai
menuju kelas. Walaupun setelah ini ia harus menghadapi masalah, setidaknya
sebagian beban yang menumpuk dipundaknya terangkat. Setidaknya, itulah yang ia
pikirkan sebelum ada panggilan maut untuknya.
“Alin”panggil Devi saat Alin
baru saja menginjak kelasnya.
Alin menoleh takut kearah Devi.
“Eh, Devi. Tumben datangnya pagi”kata Alin sambil tersenyum. “Sebelumnya, Alin
ke toilet dulu, ya! Gak tahan nih…”
“Alin, mau kemana?”tanya Devi
sebelum Alin sempat melarikan diri. Ia menarik baju belakan Alin dengan kuat. “Kemarin,
kenapa langsung main kabur aja?”
“Iya deh, sorry sorry. Tapi, ia
ngajak Alin kaburkan Aldi. Lagipula, semalam Alin sama Aldi udah nyariin kalian
berdua. Tapi, gak ketemu. Ya udah, kita pulang aja”jelas Alin panjang lebar.
Tapi, sepertinya Devi tidak menerima semua penjelasan Alin.
“Udah deh, Lin! Jangan bohong!
Kamu pasti udah ngerencanain ini semua. Ya, kan? Ya kan?”desak Devi.
Alin menggeleng cepat. Ia bukan
pembohong yang baik. Makanya, Devi sendiri bisa tahu kalau Alinlah dalang dari
semua ini.
“Rahma”panggil Alin mengalihkan
topik.
Rahma hanya tersenyum pada Alin
dan langsung masuk kedalam kelas tanpa menoleh sedikitpun kearah Devi.
“Rahma”panggil Devi sambil
berjalan menghampiri Rahma. Alin ia bebaskan secara terpaksa.
Rahma hanya menoleh sebentar
kearah Devi, kemudian pergi menjauh dari Devi. Devi menatap heran Rahma.
“Rahma, kamu kenapa? Kok malah
jauhin aku, sih?”tanya Devi. Ia tidak terima diperlakukan seperti itu.
Rahma hanya melirik malas kearah
Devi, lalu keluar kelas tanpa menoleh kearah Devi lagi. Devi mengejarnya keluar
kelas.
“Rahma, tunggu”Devi berusah
menahan tangan Rahma.
“Lepasin”bentak Rahma.
Devi menggeleng,”Gak bakal
dilepas sebelum kamu jelasin ke aku kenapa kamu bersikap seperti ini sama aku”kata
Devi bersikeras.
Rahma mengambil hp-nya dan
menunjukkan sesuatu pada Devi.
“Bisa jelaskan ini?”tanya Rahma.
Devi terbelalak melihatnya.
“Bagaimana bisa… darimana kamu… Rahma, aku bener-bener gak mengerti”ujar Devi
bingung.
“Devi, harusnya kamu itu udah
tau kalau selama ini aku itu suka sama Re…za”
Devi bengong. Ia benar-benar
tidak tahu kalau selama ini Rahma suka dengan Reza, parasit yang harus dibasmi.
Ditambah lagi, Rahma salah sangka dengan melihat video saat ia menyanyi bersama
Reza malam itu.
“Rahma, tunggu dulu. Aku
benar-benar tidak mengerti. Kamu-suka-sama-Reza. Serius? Aku benar-benar tidak
tahu akan hal itu, Rahma! Aku…”
“Udah, deh!”potong Rahma cepat.
“Gak usah banyak diplomasi. Males banget dengerinnya. Yang penting, mulai
sekarang kamu jangan dekat-dekat sama aku lagi, deh! Aku tuh gak butuh teman
yang suka nusuk dari belakang. Teman makan teman kamu! Bilangnya benci sama
Reza. Eh, gak taunya berduaan sama dia! Menjijikkan”
Devi tak bisa berkata apa-apa
lagi. Perkataan Rahma benar-benar menusuk hatinya hingga kedalam. Ia
benar-benar tidak menyukai Reza. Itu kenyataan. Kenapa Rahma tidak mau mendengarkannya.
Masalah malam itu, itu hanya sebuah kebetulan. Lalu, siapa yang mengirim video
sesat itu pada Rahma?
“Aaaaaarrrrrrrrrggggggggggghhhhhhhhhh”Devi
berteriak frustasi. Ia tidak peduli dengan orang-orang yang menatapnya aneh,
termasuk Vina dkk. Devi berlari kesuatu tempat dimana bisa membuatnya tenang.
Apalagi kalau bukan lapangan basket indoor.
~~~~~~~~
Rahma duduk termenung di taman
yang berada tepat di samping kelasnya. Ia memikirkan kata-kata yang ia ucapkan
pada Devi.
“Apa aku terlalu kasar sama
Devi, ya? Kenapa aku tidak mau mendengarkan omongan dia, ya? Aku tahu Devi itu
sama sekali tidak suka sama Reza. Tapi… Aduuuhh, aku benar-benar bingung”kata
Rahma sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Egois, tidak mau mendengarkan
penjelasan orang lain, tidak percaya sama teman sendiri, hanya percaya pada
satu pihak, dan bingung pada perasaan sendiri. Itulah Rahma yang sekarang. Kamu
benar-benar berubah”ucap seseorang mengagetkan Rahma. Ia pikir, tak ada seorang
pun disana selain dirinya.
“Heri, sejak kapan kamu ada
disitu?”tanya Rahma.
“Sejak denger ada suara cewek
yang ngomong sendiri disini”jawabnya.
Rahma menatap Heri bingung.
bingung mau ngapain di depannya.
“Ngapain kamu menatapku seperti
itu? Awas, nanti naksir loh”kata Heri.
Gubraak. Cowok satu ini ternyata
over pede juga.
“Yeee… siapa lagi yang mau
naksir sama cowok kayak kamu”balas Rahma. Ia memegangi pipinya yang terasa
panas.
“Wajahmu merah, ya?”tanya Heri
dengan nada menggoda.
Rahma menggeleng cepat. Tapi, ia
merasakan jantung berdetak tak beraturan.
“Oke, balik kepermasalahanmu…
Kenapa kamu tadi bentak-bentak Devi di depan kelas. Kasihan Devi, tahu! Kamu
itu egois banget! Sampai bilang gak boleh dekat-dekat dengan kamu lagi.
Emangnya apa sih yang bikin masalah ini menjadi sulit, sampai kamu gak mau
temenan lagi sama dia?”tanya Heri bingung.
Rahma terdiam mencoba untuk
mencerna kata-kata Heri satu per satu.
“Orang ini terlalu ikut campur
urusan orang lain”batin Rahma sebal. “Tapi, ada benarnya juga”.
Rahma bangkit dari tempat duduknya
dan langsung menghampiri Heri.
“Hei, lain kali jangan ikut
campur urusan orang lain. Kamu itu tidak tahu apa masalah yang sedang aku
hadapi. Tapi, terimakasih, ya!”ucap Rahma tulus. Ia menyalami Heri sebentar
kemudian berlari kembali ke kelas.
Heri menatap Rahma aneh”Dasar
orang aneh”
~~~~~~~~
Suasana di lapangan basket
indoor sepi. Tak ada seorangpun yang latihan hari ini. Padahal, biasanya ada
banyak anak kelas 10 yang latihan untuk menghadapi lomba O2SN yang di adakan
hari ini.
“Oh iya”Devi menepuk dahinya
pelan. “Lombanya kan hari ini. Kok bisa lupa, sih!”kata Devi.
Ia terduduk lemas di
tengah-tengah lapangan basket. Sebenarnya, tujuannya kesini adalah melihat
Bagas. Tapi… Devi benar-benar bingung. Ia bangkit dan mengambil bola basket,
kemudian ia mainkan.
‘Duk…duk..duk’ Devi terus
memantulkan bola itu dan melemparnya kedalam ring. Tapi, sayangnya tidak masuk.
Berkali-kali ia coba, tapi tetap saja tidak masuk.
“Aaaaaarrghhhh”teriak Devi
frustasi. Ia melempar bola basket itu sembarang dan… masuk. Ia menatap bola itu
tidak percaya.
“Aneh, kenapa bisa
masuk?”tanyanya dalam hati. Devi melihat bola basket yang masuk dengan bola
yang barusan ia mainkan. Sama sekali beda. Devi menoleh kebelakang dan terkejut
melihat siapa orang yang barusan memasukkan bola itu.
~~~~~~~~
Vivi menatap kelasnya bingung. Pagi-pagi
begini kelasnya sudah heboh.
“Ada apa, sih? Kok heboh banget?”tanya
Vivi pada Alin yang sedang sibuk menulis sesuatu di mejanya.
Alin mendongak,”Oh, itu lagi
heboh lihat video Devi sama Reza. Katanya, di youtube banyak yang suka”kata
Alin asal. Tapi, ada benarnya sedikit.
Vivi mengangguk dan langsung duduk
di bangkunya dengan bersikap cuek. Tapi, ia juga penasaran dengan video itu.
“Video apaan, sih?”tanyanya
bingung.
Ia melihat sekelilingnya dan mendapati
Alin masih asyik menulis. Kalau Alin bersikap santai begitu, pasti ia sudah
tahu tentang video itu.
“Lin, lihat videonya,
dong!”pinta Vivi.
Alin mengambil hp-nya dan
mencari sesuatu disana. Setelah selesai, ia memberikannya pada Vivi. Vivi
melihat video yang dimaksudkan Alin.
“Wow, keren banget! So sweet deh
mereka berdua”komentar Vivi.
Alin hanya mengangguk-anggukan
kepalanya. Ia tetap konsentrasi pada kertas yang ia tulis. Diam-diam Vivi
mengintip tulisan Alin yang ditulis dengan huruf kecil-kecil. Siapapun yang
melihatnya pasti tidak tahu karena tulisan Alin bisa bikin sakit mata.
“Lagi nulis apa, Lin? Serius
amat dari tadi”tanya Vivi penasaran.
Alin segera tersadar kalau ada
Vivi di dekatnya dari tadi. Ia langsung berhenti menulis dan menyembunyikan
kertas itu.
“Enggak… gak penting juga,
kok”kata Alin.
“Gak penting? Tapi kok serius
amat?”tanya Vivi penuh selidik. Ia mencoba mengambil kertas Alin secara
diam-diam. Tapi, Alin sepertinya mengetahui niat Vivi.
“Vivi, kecoa”seru Alin.
Spontan Vivi berteriak kaget. Ia
sangat takut dengan kecoa dan Alin mengetahui itu. Tapi, dari situ Alin mencari
alasan untuk kabur dari Vivi.
“Alin, tunggu”teriak Vivi.
Namun, Alin tidak menghiraukannya. Vivi terus mengejar Alin yang berlari keluar
kelas. “Alin”panggil Vivi saat Alin sudah berlari jauh entah kemana. Vivi
berhenti sebentar di depan kelas yang ia tahu itu kelas 12 untuk mengatur
nafasnya.
“Hebat loe! Gak nyampe 1 minggu
aja loe udah bisa nyelesaiin tantangan dari kita. Iya gak bro”suara cowok itu
membuat Vivi tertarik. Ia tidak lagi mengejar Alin dan lebih memilih menguping
pembicaraan kakak kelasnya. Entah mengapa, hati nuraninya menyruh dia harus
melakukan itu.
“Hahaha… iya, dong! siapa dulu,
Randi. Kalo urusan seperti itu sih, gampang! Lagipula, gue juga udah tau kalo
Vivi itu suka sama gue”kata Randi.
Vivi terpaku. Apa kaitannya dia
suka sama Randi dengan masalah mereka? Vivi mengintip sedikit kedalam kelas.
Ada kumpulan para cowok-cowok yang ia ketahui itu adalah kumpulan Randi. Ia
melihat salah satu teman Randi memberinya sebuah amplop tebal yang mungkin bisa
di tebak itu isinya uang.
“Nih, uangnya udah dikumpulin.
Loe menang taruhan ini”kata cowok itu.
“APA???”teriak Vivi tak percaya.
Semua orang yang ada didalam kelas, termasuk Randi, menoleh kearahnya. Vivi
berlari mejauh dari kelas itu. Ia tidk mau berlama-lama berada dikelas orang
busuk itu.
“Vivi”panggil Randi. Ternyata ia
mengejar Vivi.
Vivi terus berlari tak tahu
tujuan. Bel telah berbunyi. Namun, tidak ia pedulikan. Ia benar-benar tidak
tahu kalau orang tak tahu diri itu berniat untuk mengejarnya.
“Vivi”suara itu semakin dekat
dengannya.
“Ternyata, larinya cepat
juga”batin Vivi.
“Vi, tunggu”Randi menahan tangan
Vivi. Vivi berusaha untuk memberontak. Namun, tak ada gunanya. Tenaga Randi
jauh lebih besar dibanding dirinya.
‘Plaaakkk’tamparan bebas dari
Vivi meluncur begitu saja. Randi mengusap pipinya yang ditampar. Merasa kurang
puas, Vivi menendang kaki kiri dan kanan Randi kuat-kuat hingga Randi jatuh
berlutut didepannya.
“Vi, aku mohon berhenti”kata
Randi dengan nada memohon. Ia tampak merintih kesakitan. Ingin rasanya Vivi
menolongnya. Tapi, untuk orang brengsek seperti dirinya, maaf pun tak akan ia
beri.
“Kenapa loe masih disini! Pergi
sana”bentak Vivi kuat. Semua orang sudah masuk ke kelas. Jadi, tak ada yang
melihat adegan ini. Kalau ada yang lihat pun tak jadi masalah buat Vivi.
“Aku pengen minta maaf soal
tadi”
“Oh! Terus?”kata Vivi malas.
“Cepetan, udah masuk nih!”
“Soal tadi, aku terpaksa melakukannya.
Aku sudah lama ingin mengatakannya padamu. Tapi…”
“Buruan… to the point aja”potong Vivi cepat.
“Adikku masuk rumah sakit. Dia
sakit parah. Ayah dan ibuku tidak sanggup membayar biaya rumah sakit yang
sangat besar. Makanya, aku ikut taruha itu untuk mendapatkan uang untuk biaya
rumah sakit adikku”jelas Randi.
Vivi memutar bola matanya malas.
“Alasan yang bagus. Tapi, gak ngaruh buat gue. Udah, ya! Gue balik dulu”kata
Vivi. Ia membalikkan badannya dan berjalan menuju kelas. Tapi, Randi kembali
menahan tangannya.
“Aku serius! Kalau kamu tidak
percaya, pulang sekolah ini kamu ikut aku kerumah sakit tempat adikku dirawat
sekarang”kata Randi sungguh-sungguh.
Vivi menatap Randi dalam.
Sepertinya apa yang dikatakan Randi benar.
“Kalau begitu, sms pulang sekolah
ini sms aku. Awas kalau kakak bohong, aku gak bakal segan-segan menghabisi
kakak”kata Vivi dengan nada bercanda. Itu tandanya, Vivi masih memberikannya
kesempatan kedua.
“Tentu”jawab Randi sambil
tersenyum.
~~~~~~~~
Kelas XI A tampak sepi. Padahal,
tak ada guru yang mengajar. Devi baru saja masuk ke dalam kelas. Ia mengambil
tas dibangkunya dan memindahkan tas Aldi kebangkunya. Untuk saat ini, ia tidak
mau berurusan dengan bocah tengik itu.
“Devi duduk sini, ya, Lin! Ada
urusan yang belum kita selesaikan dari tadi”seru Devi dengan senyum devilnya.
Alin mendongakkan kepalanya
sambil membalas senyuman Devi. Ia tampak bingung. Menerima berarti ia dalam
masalah. Menolak, apalagi. Cika dan Dessy yang duduk dibelakang Alin dan Devi
saling bersenggolan seperti memberi tanda. Sepertinya mereka tahu masalah apa
yang permasalahkan. Sedangkan, Rahma menatap Devi dengan penuh rasa bersalah.
Ia memikirkan bagaimana caranya ia minta maaf dengan Devi. Ia tahu, sikapnya
pada Devi tadi sangat kasar.
“Ngapain kamu lihatin Devi
terus? Naksir, ya?”goda Bintang.
Rahma langsung meneloyor kepala
Bintang tanpa berkata apapun.
~~~~~~~~
Tak ada siapapun di ruang indoor ini selain Devi. Ia hanya terdiam
memandangi bola basket yang jatuh kedalam ring. Ia yakin itu bukan bola
darinya. Jika bukan bolanya, berarti ada orang lain selain dirinya disini. Devi
membalikkan badannya dan terkejut melihat siapa orang yang kini berdiri di
depannya. BAGAS. Ia tidak percaya dan menganggap dirinya berhalusinasi. Ia
mengucek kedua matanya berulang kali dan Bagas masih ada di depannya dengan
menggunakan seragam basket.
“Bagas”seru Devi tak percaya. Ia hampir saja berteriak senang andai
saja tak ada seorangpun di sana.
“Maaf, kak, sudah mengagetkan kakak”kata Bagas malu-malu.
Devi menggeleng cepat,”Enggak, kok!”
Untuk beberapa saat suasana menjadi hening. Tak ada lagi berbicara
sampai Devi memberanikan diri untuk berbicara.
“Ngapain kamu disini?”
“Mmm… rencananya, aku mau latihan sebentar sebelum lomba”serunya sambil
mengaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Devi mengangguk. “Kakak sendiri?”
Devi terdiam. Ia tidak mungkin bilang kalau dia kesini sebenarnya untuk
melihat Bagas sedang berlatih basket. Cukup lama Devi terdiam untuk mencari
alasan yang tepat buat Bagas. Bisa gawat kalau ia berkata jujur.
“Kak”panggil Bagas membuat Devi tersadar dari lamunannya.
“Oh, ini… umm… Cuma… Cuma mau main aja. Soalnya bosan dikelas terus”
Bagas mengangguk mengerti.
Alin hanya bisa
mengangguk-anggukkan kepalanya seperti boneka mendengar cerita Devi yang terlihat
kegirangan. Saking girangnya, Alin pun habis ia pukul-pukul.
“Devi, stop! Kamu sudah membuat
rambutku berantakan dan badanku sakit-sakit”kata Alin sambil memberesi
buku-bukunya yang ada diatas meja. Devi pun berhenti, tapi senyumnya belum
berhenti. “Terus? Cuma segitu doang?”tanya Alin.
Devi mengangguk lemah. “Iya…
habis itu, dia pergi ke tempat perlombaan. Oya, dia menyuruhku datang untuk
melihatnya bertanding, loh!”tambahnya.
“Hah!!! Serius!!!”teriak Alin
tak percaya.
Devi mengangguk senang. Ia melirik
jam tangannya sebentar, kemudian menarik Alin keluar kelas.
“Kita ke tempat Bagas lomba,
yuk! Semoga masih sempat”kata Devi sebelum Alin sempat bertanya.
Alin tampak pasrah di tarik
paksa Devi.
Rahma memandangi kepergian
mereka berdua. Tadi, ia berniat untuk bilang minta maaf pada Devi. Tapi,
sepertinya waktunya belum tepat.
“Woy, ngelamun aja dari
tadi”suara itu mengagetkan Rahma. Tapi, tanpa menoleh pun ia tahu siapa orang
itu.
“Heri… Heri… Kamu lagi, kamu
lagi. Bisa gak sih gak ngagetin orang”kata Rahma sebal.
“Sorry… btw, kamu belum pulang?
Orang-orang udah pada pulang nih dari tadi”ujar Heri.
Rahma mendelik sebal. “Kamu
sendiri?”tanya Rahma balik.
“Nungguin kamu”jawab Heri jujur.
Muka Rahma berubah menjadi merah. “Maksudnya nungguin kamu minta maaf sama
Devi”tambahnya.
Rahma merengut. Ternyata, orang
itu hanya ingin mempermainkannya saja.
“Udah ah! Aku mau pulang”Rahma
langsung pergi begitu saja tanpa mempedulikan Heri.
~~~~~~~~
Panas matahari yang tadi
menyengat kulit mulai tak terasa karena hari mulai menjelang sore. Namun,
keringat yang ada di dahi Vivi dan Randi masih bercucuran. Sesekali angin
sepoi-sepoi yang melewati mereka menyapu sedikit demi sedikit keringat mereka.
Randi berhenti sebentar di persimpangan koridor rumah sakit. Ia berbelok ke
kiri dan masuk ke salah satu ruangan.
“Kakak”panggil anak laki-laki
kecil yang terbaring lemas di ranjangnya.
Vivi menutup mulutnya, tak
percaya dengan apa yang dilihatnya. Randi berkata jujur. Jadi, apa yang harus
ia lakukan selanjutnya?
“Aku tidak bohong, kan?”kata
Randi pada Vivi saat mereka berada di luar ruangan. Adiknya tampak lelah, jadi
di biarkan istrahat terlebih dahulu.
“Iya”Vivi mengangguk.
“Kamu tidak marah lagi kan sam
aku?”tanya Randi.
Vivi kembali mengangguk.
“Jadi, gimana hubungan kita? Masih
mau dilanjutkan?”tanya Randi lagi.
Vivi tampak sedang berpikir. Ia
mengangkat bahunya.
“Ya udah, kalau gak mau juga gak
pa-pa. aku tahu kalau aku sudah kelewatan”
“Aku pikir…”Vivi terdiam
sebentar. Randi tampak tak sabar menunggu jawaban Vivi. “Aku pikir kita cukup
berteman saja. Aku tidak mau menambah daftar orang yang aku benci di riwayat
hidupku. Gimana, kak?”
Randi mengangguk setuju.
Setidaknya, Vivi sudah mau memaafkannya.
“Jadi, kita temanan, kan?”tanya
Vivi.
Randi mengangguk sambil
tersenyum senang.
~~~~~~~~
Seperti biasa, Dream High Caffe
selalu banyak dikunjungi pengunjung. Namun, selalu ada tempat untuk teman-teman
Dessy jika mereka berkunjung kesini. Sudah lama Rahma tidak mengunjungi tempat
ini. Kira-kira sudah 2 atau 3 bulan yang lalu.
“Mau pesan apa, dik?”tanya
pelayan perempuan mengagetkan Rahma.
Cepat-cepat Rahma mengambil buku
menu dan melihatnya. Rahma melihat menu itu satu per satu. Baginya, semua
makanan itu kelihatannya enak-enak. Sampai-sampai ia bingung mau memesan apa.
“Dessynya ada, mbak?”tanya
Rahma. Bukannya memesan, ia malah bertanya tentang Dessy.
“Ada. Temannya Dessy, ya?”
Rahma mengangguk.
“Kalau begitu, saya panggil
Dessynya dulu, ya”pelayan wanita itu pergi.
Tak beberapa lama, Dessy datang
sambil berlari senang kearahnya.
“Rahma… kamu disini. Datang sama
siapa? Sendiri, ya?”cerocos Dessy.
Rahma hanya menggelengkan
kepalanya mendengar Dessy. Sudah lama rasanya ia tidak mendengar ocehan
teman-temannya.
“Iya.. sendiri”jawab Rahma.
“Yaa… gak seru! Kalau gitu, aku
ajak Alin dan yang lainnya, ya”usul Dessy.
Rahma tampak ragu. Ia ingin
mencegah Dessy. Tapi, apa boleh buat. Ia sudah menelepon Alin untuk mengajaknya
kesini. Sebenarnya, ia bukan tidak ingin bertemu Alin. Tapi, ia malu bertemu
Devi.
“Woy, ngelamun aja! Mikirin apa,
sih?”tanya Dessy penasaran.
“Umm… siapa aja yang kesini?”tanya Rahma
mengalihkan pembicaraan.
“Ooo… katanya Alin dan Riri mau
kesini. Devi gak bisa datang. Katanya mau nganterin mamanya kerumah sepupu.
Cika, jelas gak bisa. Dia lagi latihan buat lomba cerdas-cermat. Vivi… di
telepon berapa kali pun gak diangkat-angkat. Btw, kamu pesen apa, tadi? Nanti
aku ambil”
“Umm… belum pesen apa-apa, sih!
Aku bingung. Tapi, aku mau makan pempek lenggang. Ada, gak?”tanya Rahma polos.
“Oh, gak ada, sih! Tapi, aku
suruh mereka buat deh 4. Sekalian untuk Alin dan Riri. Aku kebelakang dulu, ya”Dessy
berlari ke belakang.
Sepi. Ditempat seramai ini pun
Rahma masih merasa sepi. Sambil menunggu Dessy, Alin dan Riri datang, ia
mengambil pisau dan tissu, lalu memainkannya.
“Rahma… ngapain ngelamun?
Perasaan kamu ngelamun terus dari tadi”ujar Alin. Ia baru saja datang bersama
Riri.
“Siapa ngelamun? Aku cuma nyari
kerjaan buat nunggu kalian” ujar Rahma.
Alin mengangguk. Ia dan Riri
langsung duduk di meja Rahma. Tak lama, Dessy pun datang bersama dengan
pelayan-pelayan yang membawakan mereka makanan dan minuman.
“Taadaaa… nih, buat kita.
Selamat menikmati”seru Dessy. Ia juga ikut gabung dengan Rahma dan yang
lainnya.
“Kita? Dessy ikutan juga?”tanya
Riri.
“Iya, dong! Masa’ kagak,
sih”kata Dessy sambil cemberut.
“Udah… makan aja ribut. Btw,
gratis, kan? Kita gak bawa uang, nih”seru Alin.
“Iya… muka GRATISAN”kata Dessy.
Semuanya pun mulai menikmati makanan yang telah di siapkan Dessy dengan lahap.
~~~~~~~~
Sekolah sudah sepi. Tentu saja,
karena hari sudah gelap. Ia tadi terlalu asyik internetan di ruang multimedia
sehingga ia lupa waktu. Bahkan, ada orang menelepon pun ia tidak tahu. Cika
memeriksa daftar panggilan di hp-nya. Ada 7 panggilan tak terjawab. Sekali dari
Dessy, sekali dari Robby dan 5 kali dari Reihan.
“Reihan? Ngapain dia
nelpon?”tanya Cika dalam hati.
Cika sibuk memencet tombol di hp,
lalu memencet tombol call di hp.
“Hallo…” terdengar suara dari seberang telepon.
“Uhm… Reihan, kenapa telepon?”tanya
Cika.
“Oh, nggak… Cuma mau pinjam buku catatan biologi untuk persiapan
ulangan besok. Malam ini bisa?”tanya Reihan.
Cika tampak berpikir. Ia ragu
untuk menjawab.
“Bisa gak?”Reihan mengulang.
“Bisa”kata Cika cepat. “Jam 7an
aja, ya?”
“Oke”balas Reihan. “Sampai bertemu nanti malam, sayang”
Reihan memutuskan teleponnya. Sesaat,
Cika terpaku ditempat. Kata terakhir Reihan membuatnya teringat saat Reihan menembaknya
setelah hari ulang tahun Alin saat pulang sekolah.
~~~~~~~~
Teriknya panas matahari serasa membakar kulit Cika. Buku-buku yang ia
bawa membuat bahu dan anggota tubuhnya yang lain pegal. Ia berhenti sejenak di
bawah pohon untuk beristirahat sejenak. Angin sepoi-sepoi mulai menari-nari
mengelilinya. Saking terbawa suasana, ia pun tertidur.
Cika terbangun dari tidurnya dan mendapati dirinya sedang berbaring
diruang UKS. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Tak ada
siapa-siapa, kecuali Reihan yang sedang tertidur di sofa.
“REIHAN?”teriak Cika yang baru tersadar ada orang lain selain dirinya
disini.
Mendengar teriakan Cika, Reihan terbangun dari tidurnya.
“Cika, udah bangun?”tanya Reihan.
Cika menutup mulutnya sambil mengangguk, sadar ia telah membangunkan Reihan.
Namun, ia menatap curiga Reihan.
“Kok aku bisa ada disini. Seingatku, aku tadi di…”Cika tampak berpikir,”…di
bawah pohon. Kamu yang bawa aku kesini”tebak Cika.
Reihan mengangguk malu. “Sorry, aku kira terjadi sesuatu padamu. Ternyata,
kamu ketiduran”ucap Reihan malu-malu.
“Kok kamu masih disini? Mana yang lain?”Cika turun dari ranjangnya, dan
melongokkan kepalanya kepalanya keluar jendela UKS.
“Udah pulang”jawab Reihan singkat.
“Hah, udah!”Cika melihat jam tangannya dan jam dinding di UKS. Keduanya
sama-sama menunjukkan pukul 4 sore. “Kenapa kamu gak bangunin aku dari tadi? Aduh,
aku telat untuk latihan cerdas-cermat, nih!”kata Cika panik.
“Sorry… aku sudah membangunkanmu dari tadi. Tapi, kamu gak
bangun-bangun juga”Reihan tampak merasa bersalah.
Cika menghela nafas. “Ya sudah, aku pulang dulu, ya”
Cika mengambil tasnya di meja dan beranjak keluar. Sebelum ia sempat
menginjakkan kakinya keluar, Reihan menahan tangannya.
“Cika… ada yang ingin kukatakan padamu”kata Reihan tiba-tiba. Cika terlihat
gugup. “Mungkin, waktunya tidak tepat. Tapi, aku tidak bisa menyimpannya lebih
lama lagi…”. Reihan mengambil nafas panjang, kemudian mengeluarkannya. Cika tampak
tak sabar menunggu. “Sebenarnya…. Aku suka padamu”
Cika diam membisu. Ia tidak yakin dengan apa yang didengarnya.
“Aku suka padamu”ulang Reihan. “Maukah kamu menerimaku?”
Cika tetap diam. Ia tampak serius berpikir.
“Sebenarnya…. Aku juga…. Suka padamu”
~~~~~~~~