Senin, 06 Agustus 2012

GUARDIAN ANGEL (19)


--IT’S TIME--

Riri dan Cika berjalan melewati koridor kelas mereka sambil membawa sekantong plastik besar berwarna hitam. Sepertinya sangat berat karena keringat mulai bercucuran di dahi mereka masing-masing.
“Ri… ri… berhenti dulu, ya! Berat banget, nih! Tanganku pegel-pegel. Lihat, merah semua”cerocos Cika.
Cika dan Riri meletakkan kantong plastik di lantai. Untuk menghilangkan rasa pegalnya. Ia sempat melakukan pemanasan.
“Cik, itu Vivi, kan? Dan…”kata-kata Riri membuat Cika berhenti dan melihat ke arah yang dimaksud Riri.
“Iya… itu beneran Vivi. Dia sama siapa, ya? Btw, ngapain mereka berdua di tengah-tengah lapangan voli?”

~~~~~~~~
“Lin, aku mau ngomong sesuatu sama kamu”kata Dessy ragu.
“Ngomong aja”balas Alin singkat.
“Umm… itu…. Tadi pagi, sekitar jam 4… Fakhri…”
“Dah tau”potong Alin cepat. Pandangannya tak lepas dari buku yang ia pegang.
“Mau ikut pulang sekolah nanti?”
“Gak! Aku masih ada kerjaan lain”
Dessy pun duduk di kursinya tanpa bertanya apapun lagi pada Alin. Bintang yang dari tadi memperhatikan mereka berdua hanya menggelengkan kepalanya.
“Des, kamu kan tahu sendiri kalau dia itu cinta mati sama… Fakhri”bisik Bintang pelan.

~~~~~~~~
“Aku suka kamu”kata-kata itu meluncur begitu saja dari Kak Randita, cowok yang dikagumi Vivi. Vivi berdiri mematung di depannya.
“Everyone, help me! Siapa yang bersedia mencubitku hari ini? Di jamin, aku gak bakalan ngamuk”oceh Vivi dalam hati. Jantungnya berdetak tak karuan.
“Kamu mau tidak menjadi pacarku?”tanya Kak Randita membuat Vivi rasanya benar-benar ingin pingsan. Ia berharap ini adalah kenyataan, bukan mimpi indah yang saat ia bangun, semua ini hanyalah ilusi semata.
“Olivia, bagaimana jawabanmu?”tanyanya lagi.
“Seseorang, tolong cubit aku sekarang”pinta Vivi dalam hati sambil tersenyum.
Dua orang datang dari arah belakang Vivi sambil mencubit pipi kiri dan kanan Vivi. Vivi meringis kesakitan dan melihat siapa yang berani-berani mengacaukan suasana romantisme ini.
“Maaf ya, kak. Olivianya kami pinjam dulu. Kalau mau acara ini dilanjutkan, nanti saja pada jam istirahat. Permisi”cerocos Cika. Lalu, ia dan Riri menyeret Vivi secara paksa masuk kedalam kelas.
“Hei, lepaskan tanganku”bentak Vivi dengan kasar. Cika dan Riri terpaksa melepaskannya. “Siapa yang menyuruh kalian mencubit pipiku dan merusak suasana romantis tadi?”cerocos Vivi cepat. Namun, beberapa detik kemudian, ia menutup mulutnya. Cika dan Riri saling berpandangan.
“Maaf ya Olivia Aliana, kalau kami berdua mengganggu suasana romantis antara kamu dan kakak rese’ itu. TAPI, ada urusan yang lebih penting daripada itu”ujar Cika panjang lebar sambil melirik kearah kelas mereka dengan tidak sabaran.
Vivi mengikuti arah lirikan Cika dan segera mendapat jawaban. Tanpa ba-bi-bu mereka bertiga langsung masuk kedalam kelas mereka sebelum Pak Joko sampai lebih dulu kekelas.

~~~~~~~~
“Hari ini aneh banget, ya”celetuk Devi saat mereka berada di dalam perpustakaan. Hari ini Bu Andini tidak mengajar karena harus pergi menemani anaknya ke rumah sakit. Jadi, semua murid XI A di suruh ke perpustakaan umtuk mengisi jam kosong itu.
“Apanya yang aneh?”tanya Dessy pelan.
“Rahma dan Alin kelihatannya lagi suram banget hidupnya. Nah, kalo Vivi kebalikannya. Kayaknya ceriiaaaaa banget dan penuh dengan warna. Ya, walaupun tadi pagi sempat uring-uringan di kelas”jawab Devi.
Rahma sedang duduk dipojok sendirian sambil asyik membaca buku-tapi, kelihatannya ia tidak menikmati bacaannya-. Kalau Vivi sedang asyik bergosip dengan Sasha dan kawan-kawannya di pojokkan lain. Alin sendiri tampaknya sedang serius mencari buku yang ingin dia baca. Padahal, sudah hampir setengah jam ia berkeliling diantara rak-rak buku. Devi, Dessy Riri dan Cika duduk di tempat membaca. Walaupun mereka tidak serius membaca, setidaknya mereka harus memegang buku supaya penjaga perpustakaan tidak terlalu curiga.
“Oh, mereka… kalau Rahma, kalian tau sendirikan masalahnya”jawab Dessy disambut anggukkan oleh yang lainnya. “Umm… kalau Vivi, I really don’t know”
Cika dan Riri saling berpandangan.
“Umm… sepertinya, Vivi habis di tembak… kakak kelas”bisik Riri pelan.
“HAH?”teriak Dessy dan Devi tak percaya. Namun, mereka menutup mulut mereka saat mereka tahu kalau semua yang ada di perpustakaan melihat mereka.
“Serius?”tanya Dessy pelan.
Cika dan Riri mengangguk.
“Nah, kalo Alin?”tanya Riri.
“Lagi mood bad kali”celetuk Heri yang entah kapan sudah ada di dekat mereka.
“Loh, sejak kapan kamu disini?”tanya Riri setengah kaget. Yang lain juga seperti itu.
“Baru aja”jawab Heri santai sambil membaca buku yanh tadi ia ambil.
“Mood bad? Bad mood kali”kata Riri. Heri hanya mengangguk saja.
“Please, kasih tau kita, Des. Kamu pasti tau”pinta Devi, tidak mempedulikan kehadiran Heri yang dianggapnya sebagai pengganggu.
Dessy baru saja ingin membuka mulutnya. Namun, ia mengurungkan. Diantara rak-rak buku, ia bisa melihat kalau Alin sedang menatapnya dengan ekspresi please-jangan-kasih-tau dengan kata yang berkaca-kaca.
“Nanti aku sms”kat Dessy akhirnya dengan nada pelan.

~~~~~~~~
Alin membalikkan badannya. Sepertinya Dessy sudah tau apa yang ia isyaratkan tadi. Ya, ia tidak mau kalau ada orang lain tau apa yang sedang ia rasakan, termasuk teman-temannya sendiri. Mengingat hal itu, matanya kembali berkaca-kaca. Beberapa kali ia mencoba menghapus setiap tetes air mata dan berusaha menahannya. Ternyata, seperti inilah yang sedang Rahma rasakan. Sangat sakit.
“Ayo, Lin! Kamu pasti bisa”ucap Alin menyemangati dirinya sendiri.
“Lin, aku ingin bicara denganmu sekarang”kata Aldi memecah lamunan Alin.
Alin mendongak. Sedari tadi ia tidak menyadari kalau Aldi ada di dekatnya.
“Untuk apa? Ini tidak ada sangkut pautnya dengan dia, kan? Atau…”Alin diam sebentar sambil menatap tajam Aldi. “Atau loe sudah tau hal ini sejak dulu”
Aldi terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa.
“Please, aku harus mengatakan ini padamu. Tapi, tidak disini”
Alin tampak sedang berpikir.
“Oke, kalau gitu loe harus turuti 1 permintaanku”
“Apa itu?”Aldi menyerngitkan dahinya.
Alin mengangkat bahunya. “Nanti aku kasih tahu”

~~~~~~~~
“Hup!” Vivi meloncat-loncat diatas tempat dengan girang sambil teriak-teriak tidak jelas. Sampai-sampai pembantunya msuk ke kamar Vivi dengan panik-takutnya Vivi lagi kesurupan-.
“Non, ada apa? non baik-baik aja, kan?”tanya pembantunya dengan nada khawatir.
Vivi bergenti meloncat dan turun dari tempat tidurnya.
“Gak pa-pa kok, bi. Hehehe…. Cuma, Vivi lagi seneng aja”kata Vivi sambil nyengir.
Bi Ina-pembantu Vivi-pun bernafas lega. Ternyata, tidak terjadi apa-apa pada anak majikannya itu.
“Ya udah, kalau begitu bibi keluar, ya”
Vivi langsung menutup pintu kamarnya saat Bi Ina sudah menghilang dari hadapannya. Vivi berjalan menuju lemarinya. Ia berhenti sebentar sambil melihat isi yang ada didalm lemarinya itu.
“Ok, It’s time”seru Vivi, kemudian ia mengobrak-abrik isi lemarinya.

~~~~~~~~
Matahari yang tadinya bersinar dengan semangatnya di puncak langit, kini mulai turun perlahan seiring dengan berkurangnya orang yang berkunjung ke pemakaman. Alin berjalan mendekati sebuah pemakaman yang tadi ramai di kunjungi orang. Ia melihat sekelilingnya. SEPI. Para pelayat sudah banyak yang pulang. Alin duduk di samping kuburan yang masih baru itu. Di nisan itu tertulis nama ‘Muhammad Fakhri’. Tanpa bisa ditahan lagi, air mata Alin langsung mengalir. Padahal, ia sudah berusaha untuk tidak menangis.
“Mengapa kamu pergi secepat ini?”tanya Alin di sela-sela tangisannya. “Kamu tidak tahu kan kalau aku dari dulu suka sama kamu. Kenapa kamu pergi tanpa tahu apa yang aku rasakan. MENGAPA? MENGAPA?”
Alin kembali menangis. Tadi pagi, saat ia bangun dari tidurnya, ia langsung mendapat kabar dari Lidya kalau Fakhri sudah tiada. Ia pun langsung menangis sampai matahari sudah benar-benar muncul di balik awan. Bahkan, alam pun tak begitu sedih dengan kepergian Fakhri.
Alin mencoba untuk berdiri sambil menggapus sisa-sisa air matanya. Setelah selesai berdoa, ia berbalik. Dari kejauhan, Alin melihat seseorang yang sepertinya sangat ia kenal. Alin berjalan mendekati supaya ia bisa melihat siapa orang itu.
“Devi”panggil Alin tidak percaya. “Mengapa kamu disini?”tanya Alin.
Devi tampak terkejut saat melihat Alin ada di dekatnya. Ia berdiri diam sambil menatap sebuah kuburan sebagai jawabannya. Alin mengangguk mengerti.

~~~~~~~~
Vivi terlihat bingung di depan cermin. Sudah berpuluh-puluh baju yang ia coba, namun tidak ada yang sesuai dengan keinginannya. Kamarnya sudah seperti lautan baju yang ada di segala sudut kamar.
“Arrrgghhh…. Bagaimana ini. Tidak ada yang cocok”gerutu Vivi.
“Hai Liv”sapa Dwi, sepupunya, yang langsung nyelonong masuk ke kamarnya tanpa melihat kalau ada gundukan baju di depannya.
“Dwi… AWAS”teriak Vivi. Tapi, telat. Dwi sudah terjatuh ke dalam lautan baju-baju Vivi.
“Ya ampun, Liv!!! Loe ini lagi ngapain, sih? Kok banyak baju disini”omel Dwi.
“Hehehe… maaf deh, Dwi. Hari ini gue mau nge-date. Loe mau gak nolongin gue. Pliiiiiiiisssssssssssss……….”
Dwi mendesah,”Ck, loe tuh emang sepupu gue yang paling menyusahkan gue. Oke, deh. Gue bantuin loe semua. Mulai dari pemilihan pakaian+dandan. Senang gak loe sekarang”ujar Dwi panjang lebar tinggi.
“Oke”balas Vivi sambil mengancungkan jempolnya.
“Kalau begitu, kita mulai dari pertama. Bereskan semua baju-baju ini. Oke” kata Dwi. Vivi langsung merengut. Semua pakaian itu harus ia bereskan sendiri? Siapa yang mau.
“Oke, tapi loe juga bantuin”kata Vivi.
“Ogah, suruh aja Bi Ina”balas Dwi tak mau kalah.
“Ya udah. Suruh Bi Ina yang beresin semua. Kita langsing ke mal aja cari bajunya. Gimana?”kata Vivi akhirnya disambut anggukan oleh Dwi.

~~~~~~~~
“Itu kuburan siapa, Dev? Kakekmu? Atau nenekmu?”tanya Alin penasaran.
“Papaku”jawab Devi singkat.
“Oh… Apa? Papamu? Emangnya papamu udah meninggal? Kapan?”cerocos Alin. Namun, beberapa detik kemudian ia menutup mulutnya. “Maaf, Dev. Aku benar-benar tidak tahu”kata Alin dengan nada bersalah.
Devi menggeleng pelan. “Tidak apa”
“Mengapa papamu bisa meninggal? Sejak kapan?”tanya Alin lagi. Lagi-lagi Alin menutup mulutnya. Itu pertanyaan yang seharusnya tidak perlu ditanyakan.
“Waktu itu aku, kelas 5 SD”kata Devi mulai bercerita. Matanya berkaca-kaca.
“Dev, gak usah cerita juga gak apa-apa, kok. Seriusss”kata Alin.
Devi menggeleng sambil tersenyum yang sepertinya dipaksa.
“Gak apa-apa, kok!”Devi berhenti sebentar dan mulai melanjutkan ceritanya. “Malam itu papaku tiba-tiba jatuh dari tempat tidurnya. Terus…”air mata Devi menetes. “Terus… mamaku teriak-teriak minta tolong. Abang dan ayukku datang… mamaku menyuruh mereka nelpon saudaraku…”Devi berhenti untuk mengatur emosinya. Air matanya terus mengalir dipipinya tanpa henti. “Waktu itu aku takut banget. Aku takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada papaku. Habis, baju papaku udah darah semua….. hiks…”
“Memangnya, papamu kenapa?”tanya Alin.
“Beliau terkena stroke…”jawab Devi lemah. Alin mengangguk mengerti. “Aku langsung cerita di rumah sakitnya, ya”kata Devi setelah tangisnya benar-benar reda.
“Iya”balas Alin.
Devi terdiam, mencoba mengingat-ingat saat itu. matanya mulai menelusuri kenangannya itu.

~~~~~~~~
“Mang Mahmud, Kak Dani, Fitri, kok kalian semua bisa ada disini?”tanya Devi heran saat ia sudah berada di ruang guru. Tasnya sudah ia sandang di punggungnya. Hanya saja beberapa buku tulis masih ia pegang. Ia tadi terburu-buru saat ia dipanggil ke ruang guru sambil membawa tas.
“Umm…”Mang Mahmud menatap Dani dan Fitri ragu.
“Kita kerumah sakit sekarang, yuk! Semua orang udah pada nunggu disana” jelas Kak Dani dengan nada yang di buat-buat.
“Ke rumah sakit? Ngapain?”tanya devi penasaran.
“Penjelasannya nanti aja ya, Dev. Yang penting kamu ikut dulu. Yuk”ajak Mang Mahmud.
Devi mengangguk dan segera mengikuti Mang Mahmud dan yang lainnya ke mobil.

“Apa papa sudah sadar?”tanya Devi saat ia sudah berada di mobil.
Mang Mahmud yang sedang menyetir mobil itu terdiam. Devi menoleh kearah Kak Dani meminta penjelasan.
“Kak, tolong jawab pertanyaan Devi. Papa sudah sadar, ya? Itu kan alasan kita kerumah sakit sekarang. Iya, kan”cerocos Devi.
“Devi… sabar, ya! Kita kesana dulu, baru kamu tau alasannya. Kalau kakak bilang sekarang, nanti bukansurprise namanya”jelas Kak Dani dengan sabarnya.
Devi mengangguk mengerti. Ia terus diam sampai mereka tiba di depan rumah sakit. Walaupun, dalam hati ia penasaran dan ada rasa tidak enak yang merasuk kedalam dirinya.

“Fitri dan kak Dani tidak turun?”tanya Devi saat mereka sudah tiba di rumah sakit.
Mereka berdua menggeleng.
“Gak pa-pa kok, kak! Fitri sama kak Dani disini aja. Kakak pergi aja duluan” kata Fitri polos.
Devi kembali mengangguk. Ia dan Mang Mahmud langsung masuk ke dalam rumah sakit menuju ruangan tempat papanya dirawat.
‘Kriieeekk’ Devi membuka pintu tempat papanya dirawat. Dilihatnya mama, Kak Kila, dan beberapa saudara-saudaranya menangis. Devi tampak bingung.
“Ma”panggil Devi saat mamanya melihat Devi masuk. Beliau langsung memeluk Devi erat.
“Ma, kenapa nangis?”tanya Devi bingung.
“Devi, sabar, ya…. Kamu harus bisa merelakan kepergian papa”kata mama Devi. Beliau menangis dipelukan Devi.
“Nggak, ma! Mama bercanda, kan! Ma, ini… nggak mungkin…hiks..”
Tangis Devi langsung memecah. Ia pun menangis di pelukan mamanya.

~~~~~~~~
“Yang sabar ya, Dev”kata Alin saat mendengar cerita Devi. Ia pun ikut menangis.
Devi mengangguk. Alin menepuk bahu Devi, memberi semangat. Satu hal yang Alin tahu, ia termasuk salah satu orang yang beruntung yang masih mempunyai orangtua yang lengkap dan masih memperhatikannya.
“Terima kasih, Dev”ucap Alin tulus.

~~~~~~~~
‘Ting tong’ bunyi bell dirumah Vivi berbunyi.
“Siapa?”tanya seseorang yang ada di dalam rumah.
“Umm… Randi”jawab cowok itu canggung.
‘Kriieeekkk’ pintu rumah Vivi terbuka. Randi melihat dari bawah sampai ke atas.
“Vi… kamu… Bukan Vivi, ya?”tanya Randi ragu.
Perempuan yang ada di depan Randi hanya tersenyum menahan tawanya.
“Iya… aku Dwi, sepupunya Vivi”ujar Dwi.
“Umm… Vivinya ada?”tanya Randi.
Dwi mengangguk, lalu menoleh kebelakang. Randi juga ikut melongok ke arah belakang Dwi dan…
“Vi, kamu… cantik”puji Randi.
Vivi tersipu malu. Sedangkan, Dwi hanya geleng-geleng.
“Udah… pergi sana. Ntar, keburu luntur tuh dandanan Vivi”ejek Dwi disambut pelototan mata oleh Vivi.
Randi tertawa pelan. Wajah Vivi berubah merah.
“Kalau begitu, kita pergi sekarang, yuk!”ajak Randi.
Vivi mengangguk.
“Kalau begitu, hati-hati dijalan, ya”seru Dwi.

~~~~~~~~
Alin melirik jam tangannya dengan sebal. Sudah hampir satu jam ia menunggu di depan café Dessy. Tetapi, orang yang ia tunggu-tunggu belum datang juga.
“Berapa lama lagi, sih, MISS LELET itu akan datang?1 jam? Atau 2 jam?” gerutu Alin sebal.
Sekali lagi Alin melihat-lihat sekelilingnya. Belum juga ada tanda-tanda kalau Devi bakalan datang. Yang ada, ia melihat seorang perempuan yang malam ini terlihat sangat cantik bergandengan mesra dengan seorang laki-laki yang sepertinya sangat ia kenal. Perempuan itu juga sepertinya sudah tidak asing lagi baginya.
Alin terlonjak kaget saat ia melihat wajah kedua orang itu.
“Vivi”panggil Alin.
Vivi menoleh kearah sumber suara. Ia sama kagetnya dengan Alin saat melihat Alin berjalan menghampirinya.
“Vivi… kamu dan Kak Randi pacaran, ya?”

~~~~~~~~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar