--▶ IT’S TIME ◀--
Riri dan Cika berjalan melewati
koridor kelas mereka sambil membawa sekantong plastik besar berwarna hitam.
Sepertinya sangat berat karena keringat mulai bercucuran di dahi mereka
masing-masing.
“Ri… ri… berhenti dulu, ya! Berat
banget, nih! Tanganku pegel-pegel. Lihat, merah semua”cerocos Cika.
Cika dan Riri meletakkan kantong
plastik di lantai. Untuk menghilangkan rasa pegalnya. Ia sempat melakukan
pemanasan.
“Cik, itu Vivi, kan? Dan…”kata-kata
Riri membuat Cika berhenti dan melihat ke arah yang dimaksud Riri.
“Iya… itu beneran Vivi. Dia sama
siapa, ya? Btw, ngapain mereka berdua di tengah-tengah lapangan voli?”
~~~~~~~~
“Lin, aku mau ngomong sesuatu sama
kamu”kata Dessy ragu.
“Ngomong aja”balas Alin singkat.
“Umm… itu…. Tadi pagi, sekitar jam 4…
Fakhri…”
“Dah tau”potong Alin cepat.
Pandangannya tak lepas dari buku yang ia pegang.
“Mau ikut pulang sekolah nanti?”
“Gak! Aku masih ada kerjaan lain”
Dessy pun duduk di kursinya tanpa
bertanya apapun lagi pada Alin. Bintang yang dari tadi memperhatikan mereka
berdua hanya menggelengkan kepalanya.
“Des, kamu kan tahu sendiri kalau dia
itu cinta mati sama… Fakhri”bisik Bintang pelan.
~~~~~~~~
“Aku suka kamu”kata-kata itu meluncur
begitu saja dari Kak Randita, cowok yang dikagumi Vivi. Vivi berdiri mematung
di depannya.
“Everyone, help me! Siapa yang
bersedia mencubitku hari ini? Di jamin, aku gak bakalan ngamuk”oceh Vivi dalam hati.
Jantungnya berdetak tak karuan.
“Kamu mau tidak menjadi pacarku?”tanya
Kak Randita membuat Vivi rasanya benar-benar ingin pingsan. Ia berharap ini
adalah kenyataan, bukan mimpi indah yang saat ia bangun, semua ini hanyalah
ilusi semata.
“Olivia, bagaimana jawabanmu?”tanyanya
lagi.
“Seseorang, tolong cubit aku
sekarang”pinta Vivi dalam hati sambil tersenyum.
Dua orang datang dari arah belakang
Vivi sambil mencubit pipi kiri dan kanan Vivi. Vivi meringis kesakitan dan
melihat siapa yang berani-berani mengacaukan suasana romantisme ini.
“Maaf ya, kak. Olivianya kami pinjam
dulu. Kalau mau acara ini dilanjutkan, nanti saja pada jam istirahat.
Permisi”cerocos Cika. Lalu, ia dan Riri menyeret Vivi secara paksa masuk
kedalam kelas.
“Hei, lepaskan tanganku”bentak Vivi
dengan kasar. Cika dan Riri terpaksa melepaskannya. “Siapa yang menyuruh kalian
mencubit pipiku dan merusak suasana romantis tadi?”cerocos Vivi cepat. Namun,
beberapa detik kemudian, ia menutup mulutnya. Cika dan Riri saling
berpandangan.
“Maaf ya Olivia Aliana, kalau kami
berdua mengganggu suasana romantis antara kamu dan kakak rese’ itu. TAPI, ada
urusan yang lebih penting daripada itu”ujar Cika panjang lebar sambil melirik
kearah kelas mereka dengan tidak sabaran.
Vivi mengikuti arah lirikan Cika dan
segera mendapat jawaban. Tanpa ba-bi-bu mereka bertiga langsung masuk kedalam
kelas mereka sebelum Pak Joko sampai lebih dulu kekelas.
~~~~~~~~
“Hari ini aneh banget, ya”celetuk Devi
saat mereka berada di dalam perpustakaan. Hari ini Bu Andini tidak mengajar
karena harus pergi menemani anaknya ke rumah sakit. Jadi, semua murid XI A di
suruh ke perpustakaan umtuk mengisi jam kosong itu.
“Apanya yang aneh?”tanya Dessy pelan.
“Rahma dan Alin kelihatannya lagi
suram banget hidupnya. Nah, kalo Vivi kebalikannya. Kayaknya ceriiaaaaa banget
dan penuh dengan warna. Ya, walaupun tadi pagi sempat uring-uringan di
kelas”jawab Devi.
Rahma sedang duduk dipojok sendirian
sambil asyik membaca buku-tapi, kelihatannya ia tidak menikmati bacaannya-.
Kalau Vivi sedang asyik bergosip dengan Sasha dan kawan-kawannya di pojokkan
lain. Alin sendiri tampaknya sedang serius mencari buku yang ingin dia baca.
Padahal, sudah hampir setengah jam ia berkeliling diantara rak-rak buku. Devi,
Dessy Riri dan Cika duduk di tempat membaca. Walaupun mereka tidak serius
membaca, setidaknya mereka harus memegang buku supaya penjaga perpustakaan
tidak terlalu curiga.
“Oh, mereka… kalau Rahma, kalian tau
sendirikan masalahnya”jawab Dessy disambut anggukkan oleh yang lainnya. “Umm…
kalau Vivi, I really don’t know”
Cika dan Riri saling berpandangan.
“Umm… sepertinya, Vivi habis di
tembak… kakak kelas”bisik Riri pelan.
“HAH?”teriak Dessy dan Devi tak
percaya. Namun, mereka menutup mulut mereka saat mereka tahu kalau semua yang
ada di perpustakaan melihat mereka.
“Serius?”tanya Dessy pelan.
Cika dan Riri mengangguk.
“Nah, kalo Alin?”tanya Riri.
“Lagi mood bad kali”celetuk Heri yang
entah kapan sudah ada di dekat mereka.
“Loh, sejak kapan kamu disini?”tanya
Riri setengah kaget. Yang lain juga seperti itu.
“Baru aja”jawab Heri santai sambil
membaca buku yanh tadi ia ambil.
“Mood bad? Bad mood kali”kata Riri.
Heri hanya mengangguk saja.
“Please, kasih tau kita, Des. Kamu
pasti tau”pinta Devi, tidak mempedulikan kehadiran Heri yang dianggapnya sebagai
pengganggu.
Dessy baru saja ingin membuka
mulutnya. Namun, ia mengurungkan. Diantara rak-rak buku, ia bisa melihat kalau
Alin sedang menatapnya dengan ekspresi please-jangan-kasih-tau dengan kata yang
berkaca-kaca.
“Nanti aku sms”kat Dessy akhirnya dengan
nada pelan.
~~~~~~~~
Alin membalikkan badannya. Sepertinya
Dessy sudah tau apa yang ia isyaratkan tadi. Ya, ia tidak mau kalau ada orang
lain tau apa yang sedang ia rasakan, termasuk teman-temannya sendiri. Mengingat
hal itu, matanya kembali berkaca-kaca. Beberapa kali ia mencoba menghapus
setiap tetes air mata dan berusaha menahannya. Ternyata, seperti inilah yang
sedang Rahma rasakan. Sangat sakit.
“Ayo, Lin! Kamu pasti bisa”ucap Alin
menyemangati dirinya sendiri.
“Lin, aku ingin bicara denganmu sekarang”kata
Aldi memecah lamunan Alin.
Alin mendongak. Sedari tadi ia tidak
menyadari kalau Aldi ada di dekatnya.
“Untuk apa? Ini tidak ada sangkut
pautnya dengan dia, kan? Atau…”Alin diam sebentar sambil menatap tajam Aldi.
“Atau loe sudah tau hal ini sejak dulu”
Aldi terdiam. Ia tidak tahu harus
berkata apa.
“Please, aku harus mengatakan ini
padamu. Tapi, tidak disini”
Alin tampak sedang berpikir.
“Oke, kalau gitu loe harus turuti 1
permintaanku”
“Apa itu?”Aldi menyerngitkan dahinya.
Alin mengangkat bahunya. “Nanti aku
kasih tahu”
~~~~~~~~
“Hup!” Vivi meloncat-loncat diatas
tempat dengan girang sambil teriak-teriak tidak jelas. Sampai-sampai
pembantunya msuk ke kamar Vivi dengan panik-takutnya Vivi lagi kesurupan-.
“Non, ada apa? non baik-baik aja,
kan?”tanya pembantunya dengan nada khawatir.
Vivi bergenti meloncat dan turun dari
tempat tidurnya.
“Gak pa-pa kok, bi. Hehehe…. Cuma,
Vivi lagi seneng aja”kata Vivi sambil nyengir.
Bi Ina-pembantu Vivi-pun bernafas
lega. Ternyata, tidak terjadi apa-apa pada anak majikannya itu.
“Ya udah, kalau begitu bibi keluar,
ya”
Vivi langsung menutup pintu kamarnya
saat Bi Ina sudah menghilang dari hadapannya. Vivi berjalan menuju lemarinya.
Ia berhenti sebentar sambil melihat isi yang ada didalm lemarinya itu.
“Ok, It’s time”seru Vivi, kemudian ia
mengobrak-abrik isi lemarinya.
~~~~~~~~
Matahari yang tadinya bersinar dengan
semangatnya di puncak langit, kini mulai turun perlahan seiring dengan
berkurangnya orang yang berkunjung ke pemakaman. Alin berjalan mendekati sebuah
pemakaman yang tadi ramai di kunjungi orang. Ia melihat sekelilingnya. SEPI.
Para pelayat sudah banyak yang pulang. Alin duduk di samping kuburan yang masih
baru itu. Di nisan itu tertulis nama ‘Muhammad Fakhri’. Tanpa bisa ditahan
lagi, air mata Alin langsung mengalir. Padahal, ia sudah berusaha untuk tidak
menangis.
“Mengapa kamu pergi secepat ini?”tanya
Alin di sela-sela tangisannya. “Kamu tidak tahu kan kalau aku dari dulu suka
sama kamu. Kenapa kamu pergi tanpa tahu apa yang aku rasakan. MENGAPA? MENGAPA?”
Alin kembali menangis. Tadi pagi, saat
ia bangun dari tidurnya, ia langsung mendapat kabar dari Lidya kalau Fakhri
sudah tiada. Ia pun langsung menangis sampai matahari sudah benar-benar muncul
di balik awan. Bahkan, alam pun tak begitu sedih dengan kepergian Fakhri.
Alin mencoba untuk berdiri sambil
menggapus sisa-sisa air matanya. Setelah selesai berdoa, ia berbalik. Dari
kejauhan, Alin melihat seseorang yang sepertinya sangat ia kenal. Alin berjalan
mendekati supaya ia bisa melihat siapa orang itu.
“Devi”panggil Alin tidak percaya.
“Mengapa kamu disini?”tanya Alin.
Devi tampak terkejut saat melihat Alin
ada di dekatnya. Ia berdiri diam sambil menatap sebuah kuburan sebagai
jawabannya. Alin mengangguk mengerti.
~~~~~~~~
Vivi terlihat bingung di depan cermin.
Sudah berpuluh-puluh baju yang ia coba, namun tidak ada yang sesuai dengan
keinginannya. Kamarnya sudah seperti lautan baju yang ada di segala sudut
kamar.
“Arrrgghhh…. Bagaimana ini. Tidak ada
yang cocok”gerutu Vivi.
“Hai Liv”sapa Dwi, sepupunya, yang
langsung nyelonong masuk ke kamarnya tanpa melihat kalau ada gundukan baju di
depannya.
“Dwi… AWAS”teriak Vivi. Tapi, telat.
Dwi sudah terjatuh ke dalam lautan baju-baju Vivi.
“Ya ampun, Liv!!! Loe ini lagi
ngapain, sih? Kok banyak baju disini”omel Dwi.
“Hehehe… maaf deh, Dwi. Hari ini gue
mau nge-date. Loe mau gak nolongin gue. Pliiiiiiiisssssssssssss……….”
Dwi mendesah,”Ck, loe tuh emang sepupu
gue yang paling menyusahkan gue. Oke, deh. Gue bantuin loe semua. Mulai dari
pemilihan pakaian+dandan. Senang gak loe sekarang”ujar Dwi panjang lebar
tinggi.
“Oke”balas Vivi sambil mengancungkan
jempolnya.
“Kalau begitu, kita mulai dari
pertama. Bereskan semua baju-baju ini. Oke” kata Dwi. Vivi langsung merengut.
Semua pakaian itu harus ia bereskan sendiri? Siapa yang mau.
“Oke, tapi loe juga bantuin”kata Vivi.
“Ogah, suruh aja Bi Ina”balas Dwi tak
mau kalah.
“Ya udah. Suruh Bi Ina yang beresin
semua. Kita langsing ke mal aja cari bajunya. Gimana?”kata Vivi akhirnya
disambut anggukan oleh Dwi.
~~~~~~~~
“Itu kuburan siapa, Dev? Kakekmu? Atau
nenekmu?”tanya Alin penasaran.
“Papaku”jawab Devi singkat.
“Oh… Apa? Papamu? Emangnya papamu udah
meninggal? Kapan?”cerocos Alin. Namun, beberapa detik kemudian ia menutup
mulutnya. “Maaf, Dev. Aku benar-benar tidak tahu”kata Alin dengan nada
bersalah.
Devi menggeleng pelan. “Tidak apa”
“Mengapa papamu bisa meninggal? Sejak
kapan?”tanya Alin lagi. Lagi-lagi Alin menutup mulutnya. Itu pertanyaan yang
seharusnya tidak perlu ditanyakan.
“Waktu itu aku, kelas 5 SD”kata Devi
mulai bercerita. Matanya berkaca-kaca.
“Dev, gak usah cerita juga gak
apa-apa, kok. Seriusss”kata Alin.
Devi menggeleng sambil tersenyum yang
sepertinya dipaksa.
“Gak apa-apa, kok!”Devi berhenti
sebentar dan mulai melanjutkan ceritanya. “Malam itu papaku tiba-tiba jatuh
dari tempat tidurnya. Terus…”air mata Devi menetes. “Terus… mamaku
teriak-teriak minta tolong. Abang dan ayukku datang… mamaku menyuruh mereka
nelpon saudaraku…”Devi berhenti untuk mengatur emosinya. Air matanya terus
mengalir dipipinya tanpa henti. “Waktu itu aku takut banget. Aku takut terjadi
sesuatu yang tidak diinginkan pada papaku. Habis, baju papaku udah darah
semua….. hiks…”
“Memangnya, papamu kenapa?”tanya Alin.
“Beliau terkena stroke…”jawab Devi
lemah. Alin mengangguk mengerti. “Aku langsung cerita di rumah sakitnya,
ya”kata Devi setelah tangisnya benar-benar reda.
“Iya”balas Alin.
Devi terdiam, mencoba mengingat-ingat
saat itu. matanya mulai menelusuri kenangannya itu.
~~~~~~~~
“Mang Mahmud, Kak Dani, Fitri, kok
kalian semua bisa ada disini?”tanya Devi heran saat ia sudah berada di ruang
guru. Tasnya sudah ia sandang di punggungnya. Hanya saja beberapa buku tulis
masih ia pegang. Ia tadi terburu-buru saat ia dipanggil ke ruang guru sambil
membawa tas.
“Umm…”Mang Mahmud menatap Dani dan
Fitri ragu.
“Kita kerumah sakit sekarang, yuk!
Semua orang udah pada nunggu disana” jelas Kak Dani dengan nada yang di
buat-buat.
“Ke rumah sakit? Ngapain?”tanya devi
penasaran.
“Penjelasannya nanti aja ya, Dev. Yang
penting kamu ikut dulu. Yuk”ajak Mang Mahmud.
Devi mengangguk dan segera mengikuti
Mang Mahmud dan yang lainnya ke mobil.
“Apa papa sudah sadar?”tanya Devi saat
ia sudah berada di mobil.
Mang Mahmud yang sedang menyetir mobil
itu terdiam. Devi menoleh kearah Kak Dani meminta penjelasan.
“Kak, tolong jawab pertanyaan Devi.
Papa sudah sadar, ya? Itu kan alasan kita kerumah sakit sekarang. Iya,
kan”cerocos Devi.
“Devi… sabar, ya! Kita kesana dulu,
baru kamu tau alasannya. Kalau kakak bilang sekarang, nanti bukansurprise namanya”jelas Kak Dani dengan
sabarnya.
Devi mengangguk mengerti. Ia terus
diam sampai mereka tiba di depan rumah sakit. Walaupun, dalam hati ia penasaran
dan ada rasa tidak enak yang merasuk kedalam dirinya.
“Fitri dan kak Dani tidak turun?”tanya
Devi saat mereka sudah tiba di rumah sakit.
Mereka berdua menggeleng.
“Gak pa-pa kok, kak! Fitri sama kak
Dani disini aja. Kakak pergi aja duluan” kata Fitri polos.
Devi kembali mengangguk. Ia dan Mang
Mahmud langsung masuk ke dalam rumah sakit menuju ruangan tempat papanya
dirawat.
‘Kriieeekk’ Devi membuka pintu tempat
papanya dirawat. Dilihatnya mama, Kak Kila, dan beberapa saudara-saudaranya
menangis. Devi tampak bingung.
“Ma”panggil Devi saat mamanya melihat
Devi masuk. Beliau langsung memeluk Devi erat.
“Ma, kenapa nangis?”tanya Devi
bingung.
“Devi, sabar, ya…. Kamu harus bisa
merelakan kepergian papa”kata mama Devi. Beliau menangis dipelukan Devi.
“Nggak, ma! Mama bercanda, kan! Ma,
ini… nggak mungkin…hiks..”
Tangis Devi langsung memecah. Ia pun
menangis di pelukan mamanya.
~~~~~~~~
“Yang sabar ya, Dev”kata Alin saat
mendengar cerita Devi. Ia pun ikut menangis.
Devi mengangguk. Alin menepuk bahu
Devi, memberi semangat. Satu hal yang Alin tahu, ia termasuk salah satu orang
yang beruntung yang masih mempunyai orangtua yang lengkap dan masih
memperhatikannya.
“Terima kasih, Dev”ucap Alin tulus.
~~~~~~~~
‘Ting tong’ bunyi bell dirumah Vivi
berbunyi.
“Siapa?”tanya seseorang yang ada di
dalam rumah.
“Umm… Randi”jawab cowok itu canggung.
‘Kriieeekkk’ pintu rumah Vivi terbuka.
Randi melihat dari bawah sampai ke atas.
“Vi… kamu… Bukan Vivi, ya?”tanya Randi
ragu.
Perempuan yang ada di depan Randi
hanya tersenyum menahan tawanya.
“Iya… aku Dwi, sepupunya Vivi”ujar
Dwi.
“Umm… Vivinya ada?”tanya Randi.
Dwi mengangguk, lalu menoleh
kebelakang. Randi juga ikut melongok ke arah belakang Dwi dan…
“Vi, kamu… cantik”puji Randi.
Vivi tersipu malu. Sedangkan, Dwi
hanya geleng-geleng.
“Udah… pergi sana. Ntar, keburu luntur
tuh dandanan Vivi”ejek Dwi disambut pelototan mata oleh Vivi.
Randi tertawa pelan. Wajah Vivi
berubah merah.
“Kalau begitu, kita pergi sekarang,
yuk!”ajak Randi.
Vivi mengangguk.
“Kalau begitu, hati-hati dijalan,
ya”seru Dwi.
~~~~~~~~
Alin melirik jam tangannya dengan
sebal. Sudah hampir satu jam ia menunggu di depan café Dessy. Tetapi, orang
yang ia tunggu-tunggu belum datang juga.
“Berapa lama lagi, sih, MISS LELET itu
akan datang?1 jam? Atau 2 jam?” gerutu Alin sebal.
Sekali lagi Alin melihat-lihat
sekelilingnya. Belum juga ada tanda-tanda kalau Devi bakalan datang. Yang ada,
ia melihat seorang perempuan yang malam ini terlihat sangat cantik bergandengan
mesra dengan seorang laki-laki yang sepertinya sangat ia kenal. Perempuan itu
juga sepertinya sudah tidak asing lagi baginya.
Alin terlonjak kaget saat ia melihat
wajah kedua orang itu.
“Vivi”panggil Alin.
Vivi menoleh kearah sumber suara. Ia
sama kagetnya dengan Alin saat melihat Alin berjalan menghampirinya.
“Vivi… kamu dan Kak Randi pacaran,
ya?”
~~~~~~~~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar