Jumat, 07 Maret 2014

GUARDIAN ANGEL (EPILOG)

EPILOG


“Ini, tolong bawa dia ke mobil gue. Gue masih mau ke dalam. Masih ada urusan yang belum aku selesaikan,” ujar Aldi cepat sambil memberikan Alin pada Bintang.
Bintang mengangguk tanda mengerti. Ia segera melakukan apa yang diperintah Aldi. Aldi segera berlari menuju rumah sakit. Namun, baru beberapa meter ia berlari, ia berbalik.
“Gue gak lama. Cuma 5 menit aja. Tolong jaga dia baik-baik, ya!” teriak Aldi.
Bintang kembali mengangguk. Aldi meneruskan langkahnya masuk kerumah sakit. Ada sesuatu yang harus ia bicarakan dengan Fakhri.
‘Tok…tok..’
“Masuk,”  perintah Fakhri dari dalam ruangannya. Perlahan ia melihat bayangan hitam masuk kedalam ruangannya sampai orang itu menghidupkan lampu dan Fakhri bisa melihat jelas kedatangan Aldi.
“Loe? Kenapa kesini? Umm… baiklah, akan aku jelaskan semuanya,” cerocos Fakhri sebelum Aldi sempat berbicara.
“Kenapa loe ngelakuin itu pada Alin? Bukankah kamu sangat menyukainya?” tanyanya garang. Entah mengapa emosinya langsung naik ke ubun-ubun saat melihat Fakhri. Apalagi, saat melihat keadaan Alin yang mengenaskan tadi.
“Gue udah tau loe pasti mau nanyain itu. Itu karena, gue gak tega melihat dia menderita. Gue lebih gak tega lagi melihat dia menangisi kepergian gue nanti,” jelas Fakhri.
“Jadi, loe tega ngeliat dia menangis seharian diluar sendirian sampai kedinginan. Loe tega, hah?” nada suaranya meninggi.
“Itu juga yang gue sesalin,” Fakhri tertunduk lesu. Ia tidak berani mengangkat kepalanya mendengar kata-kata Aldi tadi. “Lalu, apa yang harus gue lakukan untuk menebus semua kesalahan gue?” tanya Fakhri.
“Terserah, loe! Loe bisakan buat dia bahagia walau hanya sebentar aja? Ini juga demi kebaikan loe. Jangan sampai loe pergi dengan meninggalkan penyesalan.”
“Baiklah,” kata Fakhri akhirnya. “Tapi, mengapa loe mau melakukan ini semua?”
Aldi menyerngit,”Maksudnya?”
“Kenapa loe melakukan ini semua demi Alin? Padahal, aku dengar dari Alin kamu itu sering gangguin dia, jahatin dia. Tapi, dibelakangnya, kamu begitu baik dan selalu melindunginya. Mengapa?”
Aldi menghela napasnya kuat-kuat. Seharusnya ini adalah sesuatu yang mudah. Tapi, entah mengapa, ini menjadi hal yang paling sulit untuk dikatakan.
“Itu… itu karena, dia mirip dengan seseorang yang pernah aku sayangi, yang pernah menjadi bagian dalam hidupku. Dia mirip dengan adik angkatku,” jelas Aldi.
“Benarkah?” Fakhri mengangguk-angguk mengerti. Dia diam beberapa saat. “Tapi, mengapa kamu menganggap dia itu adik angkatmu? Mungkin saja kamu salah orang, kan?” tanya Fakhri, membuat Aldi ragu.
“Itu juga yang aku pikirkan kemarin kemarin. Tapi, saat pertama kali aku melihatnya, suaranya, cara ia memperkenalkan diri, sikapnya, dan matanya, begitu mirip dengan adik angkatku.”
“Tapi, bukankah dia sudah meninggal?” tiba-tiba wajah Aldi berubah. “Maaf, aku tidak sengaja. Aku tahu ini dari papamu. Tapi, aku tidak bisa menahan rasa ingin tahuku.”
Aldi kembali menghela napas.
“Aku sering mengingat hal itu pada diriku. Tapi, entah mengapa, sebagian dari diriku menolak kenyataan itu.”
Fakhri turun dari ranjangnya. Ia menepuk bahu Aldi pelan, seakan-akan dengan begitu beban yang ada dipundaknya berkurang.
“Gue harap loe benar. Hanya itukah alasanmu?”
“Tidak,” Aldi menggeleng. “Semenjak dia pergi dari rumahku, didalam hatiku, aku berjanji akan menjadi malaikat pelindungnya. Yah, aku akan menjadi malaikat pelindungnya walau nyawa sekalipun taruhannya. Karena, aku ingin dia tahu betapa aku sangat mencintainya.”

~~~~~~~~


~SELESAI~

GUARDIAN ANGEL (33)

PERTEMUAN KEMBALI (33)


8 tahun kemudian...

Devi berjalan menelusuri ubin-ubin di rumah sakit. Tenggorokannya masih terasa sakit. Namun, saat melihat dokter THT yang memeriksanya, rasa sakit itu mulai berkurang.
“Devi!” panggil seseorang. Suara itu terdengar tidak asing lagi di telinganya.
“Oh, Vivi! Kamu sedang bertugas, ya?” tanya Devi.
Vivi mengangguk singkat. Ia menatap Devi sengit. “Sedang apa disini?”
“Oh... Aku sedang berobat. Tenggorokanku sakit sejak kemarin, bahkan sempat hilang. Uhukk... uhuk...”
“Umm? Benarkah? Bukannya sedang menengok sang kekasih?” tanya Vivi penuh selidik.
“Ya... enggaklh... Umm... mungkin, iya juga...” ujarnya malu-malu.
“Cieee..” seru Vivi. Ia melirik jam tangannya, seraya berkata, “Eh, aku duluan, ya! Aku agak sibuk.”
“Baiklah...” balas Devi. “Oya, kamu gak ikutan reuni hari ini?” tanyanya.
Vivi melirik jam tangannya lagi. “Mungkin. Kalau sempat. Tapi, aku bakal usahain. Aku duluan, ya! Salam aja untuk yang lain,” seru Vivi sambil berlalu.
Devi mengangguk. Ia meraba saku bajunya dan mengambil ponselnya.
“Oh, benarkah? Yes...” serunya sambil berlari meninggalkan rumah sakit.

~~~~~~~~

Suasana di kafe “KITA” Nampak ramai. Banyak sekali orang-orang datang berbondong-bondong mengunjungi kade tersebut. Dari luar, kafe ini terlihat sederhana dan minimalis. Namun, ada banyak tanaman yang menghiasi kafe ini. Perpaduan antara dinding cat abu-abu dengan tanaman hijau dihiasi beraneka warna bunga-bunga membuat kafe ini terlihat begitu menarik dan menyejukkan. Didalamnya juga dihiasi banyak tanaman. Kafe ini terbagi dua, satu didalam ruangan dan satunya lagi berada diluar. Untuk yang diluar, kafe ini didesain seolah-olah kita berada di alam terbuka. Dengan banyak pepohonan dan kolam ikan, kafe ini menjadi tempat yang cocok bagi kita untuk menenangkan pikiran kita.
“Cukup bagus,” komentar Robby saat ia pertama kali menapaki kakinya dikafe ini.
“Tentu saja,” jawab Alin bangga. “Aku hanya ingin membuat kafeku ini berbeda dengan kafe-kafe lain.”
“Ya, kamu benar,” seru Reihan.
Ya, kafe KITA ini milik Alin. Ia sudah lama ingin membuat sebuah kafe. Sebenarnya, ini semua berawal dari Riri ia kelihatannya cukup berbakat dalam hal memasak. Kemudian, ini juga berawal dari kesukaannya pada tanaman. Apalagi, semakin hari tanaman di Jakarta terlihat berkurang.
“Oya, ada lagi yang ingin kutunjukkan pada kalian.”
Alin memandu teman-temannya berjalan ke arah kanan melewati kolam ikan. Mereka terus berjalan hingga kepojok halaman. Disana, ada bangunan kecil sederhana berwarna biru. Ada banyak orang disana, terutama anak-anak.
“Itu apa?” tanya Putra penasaran.
“Perpustakaan kecil. Ini juga kubuat karena hobiku yang suka membaca dan menulis,” jelas Alin senang.
“Ah… aku sudah lapar. Kenapa loe gak ajak kita ke tempat makan saja?” seru Beni.
Alin hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah Beni. Akhirnya, ia mengajak teman-temannya ke sebuah ruangan yang terletak diluar. Disana terdapat 10 meja dengan tiap-tiap meja berisi 4 sampai 5 kursi sehingga mereka bisa bebas memilih tempat duduk yang mereka sukai.
“Riri dan kak Ferdi akan mengantarkan makanannya sebentar lagi. Tapi, kita masih harus menunggu teman-teman kita yang belum datang. Jadi kalian harus bersabar dulu, ya…” ujar Alin.
Semua orang langsung ribut. Ada yang meng-iyakan perkataan Alin. Namun, ada juga yang menggerutu malas karena sudah merasa kelaparan.
Riri dan Ferdi sama-sama bekerja disini. Tapi, untuk beberapa bulan kedepan mereka mengambil cuti karena akan menikah. Dan semua orang terlihat senang karena akhirnya Ferdi dan Riri bisa bersatu setelah beberapa tahun lamanya Ferdi menunggu demi Riri.
“Maaf, aku telat,” kata Devi dengan napas senin-kamis. Ia langsung ikut bergabung dengan Dessy, Cika, dan Rahma.
“Kupikir kamu tidak datang kesini,” seru Alin setengah merajuk.
“Sorry…” balas Devi sambil cengengesan. “Aku tadi masih ada urusan. Maafkan aku…”
Alin hanya tersenyum melihat sikap temannya yang satu ini.
“Vivi mana? Kok belum datang?” tanya Cika.
“Oh, tadi dia bilang masih ada pasien yang harus dia urus. Katanya, dia pasti datang. Tapi, agak telat,” jawab Devi setelah napasnya mulai normal kembali.
“Oh… Kalau begitu, aku kedalam dulu, ya. Masih ada yang harus kuurus,” kata Alin sambil melangkah masuk kedalam.
Sepeninggal Alin, suasana tba-tiba berubah hening. Devi tampak heran. Ia memandangi satu per satu temannya bertanya-tanya mengapa mereka tiba-tiba berubah hening.
“Kalian kenapa?” tanya Devi yang tak mampu lagi menahan rasa penasarannya.
“Kamu gak lihat wajah Alin tadi? Dia kelihatan begitu sedih,” jawab Dessy.
Wajah Devi langsung berubah bingung. “Loh, bukannya dari tadi dia senyum mulu?”
“Ya. Tapi, matanya gak bisa nyembunyiin perasaannya yang sebenarnya. Kamu tau kenapa?” tanya Rahma.
Devi menggeleng, sama sekali tidak mengerti maksud teman-temannya itu.
“Itu karena seseorang yang dia harapkan tidak ada disini,” jawab Cika.
Rahma dan Dessy mengangguk setuju.
“Seseorang?? Maksud kalian…” Devi sepertinya baru menyadari maksud dari perkataan teman-temannya. “Jangan bilang kalau orang itu…”
Tanpa menunggu Devi menyelesaikan kata-katanya, mereka bertiga langsung mengangguk.

~~~~~~~~
Vivi tampak serius mengemudi mobilnya sambil sesekali melirik jam tangannya. Dengan harap-harap cemas, ia berharap semoga ia tidak menjad lebih lambat lagi menghadiri acara launching kafe Alin. Begitu melihat tempat tujuan sudah dekat, ia mmpercepat laju mobilnya, kemudian berjalan turun memasuki kafe.
“Apakah aku telat?” tanya Vivi pada Devi dan teman-teman lainnya.
“O, tentu saja tidak. Loe malah datang terlalu cepat,” sindir Beni.
Vivi mengerti maksud Beni ialah ia datang begitu telat. Tentu saja. Menjadi seorang dokter memang cukup menyita waktu. Ia harus lebih dulu menyelamati nyawa orang lain dari kepentingan pribadi. Walau cukup melelahkan, tapi inilah impiannya sejak dulu. Menjadi seorang dokter. Dan mimpi itu sekarang sudah berubah menjadi kenyataan, walau terkadang merasa seperti mimpi karena ia sama sekali tidak menyangka bisa menjadi sekarang.
“Ben, kita tau kalo loe itu udah kelaparan. Tapi, loe juga gak boleh ngomong gitu. Ini semua bukan salah Vivi juga, kok!” bela Avril.
Beni memutar bola matanya malas. “Gue emang laper. Tapi, maksud gue bukan kayak gitu. Udah tau telat, masih aja nanya.”
Dibilang seperti itu, Vivi langsung merengut. Tapi, ia berusaha untuk mengabaikan masalah kecil itu. Matanya langsung beralih kearah Devi.
“Dev, aku punya sesuatu yang ingin kutunjukkan padamu.”
Devi menatap Vivi dengan tatapan bertanya. “Apa?”
“Seorang dokter,” seru Vivi sambil mengedipkan sebelah matanya kepada Devi membuat wajah Devi berubah menjadi merah padam.
“Siapa?” tanya Cika, Rahma, dan Dessy hampir bersamaan.
Sebelum Vivi sempat menjawab, seseorang muncul keruangan itu membuat mata mereka semuanya membulat.
“REZA???” teriak mereka bersamaan.
“Jadi, kamu… sama Reza…”
“Bukan… Bukan…” potong Devi membuat mereka bertiga terdiam. Reza yang saat itu baru datang juga langsung terkejut mendengar teriakan Devi.
“Loe kenapa teriak-teriak gitu, Dev? Sakau?”
Devi terlalu malas untuk membalas kata-kata Reza. Jadi, ia lebih memilih mengabaikannya.
“Bukan, kok! Bukan Reza. Reza kan bukan dokter,” jelas Vivi.
“Jadi siapa?” tanya Rahma penasaran.
Laki-laki yang sedari tadi berdiri dibelakang Vivi kini menampaki dirinya didepan Devi dan teman-temannya yang lain.
“Perkenalkan, nama saya Alexandrio Vanderwick,” serunya. Nama orang itu benar-benar bule, tapi mukanya itu ASIA BANGET. Kulit putih, mata agak sipit, hidung mancung… Pokoknya, ganteng banget, deh!
“Ehem, sejak kapan loe ngegaet cowok kayak gitu? Kok tampangnya bertolak belakang sama loe?” desis Reza tajam.
Devi kini tak bisa tinggal diam lagi. Emosinya benar-benar memuncak.
“Rus, plis, deh! Jangan cari masalah ama gue. Gue tau loe cemburu dan sirik sama gue, tapi jangan terlalu ditunjukkin, deh! Sadar nggak, sih! Badan loe dari dulu sampai sekarang masih sama kayak dulu. KAYAK LIDI. Jadi, mending loe diam aja, gak usah cari rebut ama gue. Gue udah capek dan bosan debat ama loe…” sembur Devi.
Reza mendengus,”Oke, gue setuju. Gue juga udah males debat ama loe. Yah… setidaknya, loe udah ada kemajuannya,” balas Reza.
Dessy, Cika, Rahma, dan Vivi hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah mereka. Si Alex sendiri cuma diam tak mau ikut campur dalam masalah tersebut.
Beni yang ternyata melihat kejadian tadi langsung berdiri dan berseru.“Oke, untuk merayakan perdamaian antara Devi dan Reza,” ia sama sekli tak menghiraukan tatapan menusuk dari Devi. “Mari kita mulai dengan membaca doa,” lanjutnya. “Doa selesai. Dan kepada para hadirin yang telah datang diacara hari ini, silahkan nikmati hidangan yang telah disediakan.”
Walau ia menyuruh orang untuk menikmati, tetapi ia sudah lebih dulu menyantap makanan yang tersedia. Perdebatan antara Devi dan Reza penyelamat baginya karena akhirnya ia bisa menyuruh semua temannya untuk makan.
“Jadi, bagaimana dengan Bagas?” bisik Dessy pelan.
Devi hanya mengangkat bahunya. Bagas adalah orang yang ia sukai waktu SMA. Itu sudah terjadi lama sekali. Jadi, ia tidak boleh mengingatnya terus. Sekarang, ia sudah punya Alex. Dan biarkan Bagas menjadi bagian dari masa lalunya.

~~~~~~~~
Suasana diatas cukup menenangkan hati. Sedari tadi, Alin merasa dadanya terasa sesak saat melihat satu per satu tamu yang datang dan berharap diantara mereka ada orang yang ia harapkan. Namun, orang itu belum muncul juga sampai sekarang.
Dasar pembohong, batinnya kesal.
Ia benar-benar kesal. Untungnya, suasana heboh yang ada dibawah sana kembali membuatnya tenang. Setidaknya, teman-temannya menikmati pesta mereka walau ia tidak ada disana. Ia terlalu berminat melayani mereka semua.
‘Kriieeekk’ pintu balkon terbuka. Dengan sekejap Alin memutar badannya dan melihat Bintang berdiri sambil tersenyum.
“Maaf, karena aku bukan Aldi,” kata Bintang seolah-olah mengerti kekecewaan yang ada dimata Alin.
“Aku tahu,”sungutnya, lalu kembali memutar badannya. Bintang berjalan menghampirinya, dan berdiri tepat disamping kanannya.
“Aku datang kesini bermaksud ingin menghiburmu. Mengapa kamu sama sekali tidak menghargai sikap baikku ini?” tanya Bintang.
“Hufftt… Daripada menemaniku, mending kamu menemani mereka yang ada dibawah sana. Atau… Kau bisa menemani Dessy yang masih sendiri itu,” ujar Alin.
Bintang memutar kedua bola matanya malas. “Dessy sudah ada yang punya.”
“Mengapa kalian putus?” tanya Alin. Ia mengabaikan kata-kata Bintang yang tadi.
“Alasannya singkat. Kami tidak cocok dan… Putus,” jawab Bintang.
“Itu saja?” tanya Alin. Ia ingin jawaban yang lebih lagi.
“Iya,” jawab Bintang berusaha meyakinkan.
Sebenarnya, ia tidak sepenuhnya bohong. Tapi, alasannya yang sebenarnya, karena ia sibuk mengurusi Alin. Semenjak Aldi pergi ke London, Alin benar-benar merasa kesepian. Jadi, ia harus terus menemani Alin. Dan, karena terlalu sibuk mengurusi Alin, ia jadi tidak punya waktu untuk Dessy dan mereka akhirnya putus. Tapi, semenjak itu ia sadar kalau ternyata ia tidak benar-benar menyukai Dessy.
Bintang melirik jam tangannya sekilas, kemudian berseru,”Sudahlah, aku sudah bosan menemanimu terus.”
Mendengar hal itu, Alin merasa tidak enak dan mengira ia telah mengabaikan Bintang selama ini.
“Bintang, tunggu…”
Pintu sempat tertutup karena kerpergian Bintang. Namun, pintu itu terbuka lagi dan Alin benar-benar shock melihat orang yang muncul di balik pintu itu.
“Aldi…” suara Alin nyaris tidak terdengar karena terlalu shock. Ia benar-benar tidak tahu harus melakukan apa. Ia berlari kearah Aldi dan langsung memeluknya.
Long time no see,” bisik Aldi. Ia membalas pelukan Alin.
“Jahat!!! Kenapa baru datang sekarang? Padahal aku sudah menunggumu dari tadi. Tapi, mengapa baru datang sekarang? Aku sampai lelah menunggu…” kata Alin tanpa menarik napas.
“Maaf. Aku janji tidak akan meninggalkanmu lagi. Mulai sekarang, hari ini, detik ini, aku akan selalu berada disampingmu. Menjagamu…” janjinya.
Alin mengangguk sambil menangis sesenggukan. Dan mereka pun kembali berpelukan.
Didepan pintu, Bintang berdiri sambil tersenyum senang melihat adegan tersebut.
“Semoga kalian bahagia selamanya,” katanya tulus sambil berlalu meninggalkan tempat itu.
Langit terlihat cerah. Senyum matahari pun terlihat bahagia, sama seperti orang-orang yang ada di kafe tersebut. Dan mereka semua tersenyum dan tertawa bahagia karena mereka sudah menemukan kebahagian mereka dan orang yang akan menjaga mereka selamanya.



~THE END~

GUARDIAN ANGEL (32)

ISI HATI… (32)


Alin duduk terdiam diatas tempat tidurnya saat Vivi menerobos masuk kekamarnya tanpa mengucapkan salam. Dia hanya menyerbu masuk ke kamar Alin sambil berceloteh ria di depan wajah Alin. Sadar kalau yang diajak ngomong sama sekali tidak merespon, ia pun iseng mengajak Alin pergi belanja.
“Woi, kenapa mukamu membeku gitu, sih? Keluar, yuk! Kita pergi belanja,” ajak Vivi. Namun, Alin hanya menggeleng. Vivi berusaha menghibur Alin, namun Alin hanya mematung di atas tempat tidur. Vivi mengangkat kedua bahunya menyerah. “Sudahlah, kalau kamu benar-benar menyukainya, mengapa tidak kau kejar? Mengapa kamu tidak mau mengatakan hal yang sebenarnya padanya? Jangan pernah bohongi perasaanmu…”
Alin menoleh sambil memandang Vivi bingung. “Apa maksudmu?” tanyanya.
Vivi memutar-mutar kedua bola matanya malas. “Sudahlah, aku sudah muak dengan sikap pengecutmu,” desisnya.
Ia menyerahkan kotak kecil berwarna hitam ke Alin. Dengan cepat, Alin menyambar kotak itu dan melihat isinya.
“Kelereng?” desis Vivi sambil mengangkat sebelah alisnya. Heran karena Aldi hanya memberi Alin sebuah kelereng dan itu mampu membuat Alin… menitikkan air mata.
“Lin?”
“Dimana dia sekarang?” tanya Alin cepat. Ia langsung mengambil jaketnya dan berjalan keluar kamar.
“Tadi, setelah bertemu dengannya di depan rumahmu, da pergi naik taksi sambil membawa koper dan barang-barang lainnya. Sepertinya, dia…”
Tanpa mendengar kata-kata Vivi lagi, ia langsung berlari keluar rumah, memanggil taksi, dan pergi ke bandara. Vivi masih terdiam di kamar Alin. Sedikit shock melihat sikap temannya yang seperti itu. Namun, ia langsung tersenyum karena Alin sudah masuk kedalam perangkapnya.

~~~~~~~~
Rumah menjadi lebih sepi saat sekembalinya ia dari tempat Vivi. Setelah 2 hari satu malam ia menginap ditempat Vivi, ia pun akhirnya memutuskan untuk kembali kerumahnya. Itu pun dengan susah payah Vivi membujuk Rahma untuk kembali kerumahnya karena orangtuanya benar-benar khawatir padanya. Dan ia pun kembali pulang kerumah.
Saat ia kembali kerumah, suasananya jadi sedikit berubah. Ibunya tidak lagi giat mengomelinya seperti dulu. Ayahnya pun jadi jarang berada dirumah karena urusan pekerjaan. Adik-adiknya pun berubah menjadi penurut saat ia menyuruh mereka melakukan sesuatu. Ternyata, semenjak ia pergi dari rumah ini, ia semuanya jadi berubah. Ia jadi bingung apakah ia harus senang atau tidak dengan perubahan ini. Tapi, yang pasti ia jadi merasa sedikit asing dengan suasana ini. Namun, setidaknya ini membuat perasaannya menjadi lebih tenang.
“Rahma,”
Rahma menoleh dan melihat ibunya berdiri didepan pintu kamarnya dengan canggung. Ia langsung menyuruh ibunya masuk dan duduk disampingnya.
“Rahma,” panggil ibunya lembut. Rahma menoleh dan menatap sepasang mata tua itu lembut. “Maafkan, ibu! Ibu… Ibu sama sekali tidak bermaksud untuk menjualmu. Ibu…” Air mata itu mengalir begitu saja, dan tangisnya pun pecah.
“Ibu,” Rahma sendiri sudah tidak sanggup menahan bendungan air mata yang sudah menumpuk dipelupuk matanya. Mereka pun berpelukan dan menangis bersama.
“Maafkan, ibu…” ucapnya ibunya berkali-kali.
“Iya, bu. Rahma tahu. Ibu tidak salah, Rahma yang salah. Rahma tahu ibu tidak akan menjual Rahma. Ibu mana, sih, yang tega menjual anaknya sendiri,” ujar Rahma. “Rahma yang salah, Rahma yang egois dan tidak piker panjang…” Ia diam sebentar untuk mengambil napas. “Rahma janji akan membantu ibu mencari uang. Rahma juga akan giat belajar supaya bisa dapat beasiswa dan ibu tidak perlu membiayai uang kuliah Rahma.
Rahma mungkin keras kepala, suka membantah. Tapi, Rahma janji akan berubah menjadi anak yang baik dan berbakti kepada orangtua. Rahma janji…”
Ibunya hanya bisa mengangguk dalam pelukannya, tak sanggup untuk mengatakan apapun. Tapi, mulai saat itu ia benar-benar merasa bebannya terangkat dan hatinya lega.

~~~~~~~~
Bandara terlihat begitu ramai. Tentu saja. Karena bandara tidak pernah sepi. Tapi, itu membuat Alin takut. Di antara sekian banyak orang ini, bisakah ia menemukan Aldi? Bisakah Aldi mendengar suaranya yang terus berteriak memanggil-manggil namanya? Walau rasa malu telah menjalarinya, karena beberapa orang disana memandangnya bingung dan aneh, tapi rasa takut itu lebih mendominasi dirinya. Ia takut, takut tidak bisa bertemu dengannya lagi. Takut akan kehilangannya lagi. Ia benar-benar takut.
“ALDIII...” teriak Alin. Tapi, sang pemilik nama sama sekali tidak ia temukan. Tanpa sadar, ia jatuh berlutut dan menangis.
“Aldi…” panggilnya pelan. Suaranya terdengar lirih.
“Iya…”
“Kamu dimana?”
“Aku disini.”
“Kenapa kamu pergi?”
“Karena aku harus
“Kenapa kamu pergi secepat ini?”
“Aku belum pergi… Aku baru akan pergi besok pagi…”
“Tapi, mengapa kamu tidak ada?” tanya Alin. Tiba-tiba ia baru menyadari sesuatu. “Aldi? Kamu disini? Kamu belum pergi?” serbu Alin dan ia pun langsung memeluk Aldi erat.
Aldi hanya diam saja sambil menahan tawa melihat tingkah Alin yang seperti itu. Alin merasakan bahu Aldi bergetar karena menahan tawa. Ia langsung berubah menjadi malu. Malu, karena ia sudah berlari mengejar Aldi. Malu, karena ia sudah melakukan hal-hal yang memalukan. Sungguh, besok-besok ia tidak mau lagi datang kebandara. Lebih baik ia mendekam didalam kamar ketimbang mengantar Aldi kebandara besok.
“Auuwww…”
Alin memukul punggung Aldi kuat karena ia tidak berhenti tertawa. Alin langsung melepas pelukannya.
“Berhenti tertawa atau aku akan membunuhmu sekarang,” ancam Alin.
Aldi mengangkat kedua tangannya tanda menyerah.
“Oke, oke… Aku berhenti. Tapi, kamu benar-benar…auww… lucu…”
Alin meninju bahu Aldi kuat supaya ia diam dan tutup mulut. Bila perlu, lupakan semua kejadian yang memalukan tadi.
“Lalu, kenapa kamu mencarimu? Mengapa kamu mengira aku sudah pergi?” tanya Aldi setelah ia sudah benar-benar bisa mengendalikan tawanya dan mencoba untuk tidak mengingatnya dulu. Kalau tidak, ia akan tertawa lagi tanpa bisa berhenti.
“Itu… tadi, tadi Vivi bilang kalau kamu… sudah pergi.” “Vivi sialan. Aku dikerjain dia. Dia bilang tadi kamu udah pergi bawa koper sama barang-barang, terus… Apa itu artinya kalau kamu udah pergi,” jelas Alin tanpa menarik napas sedikit pun.
“Wah, kayaknya kamu sudah diperdaya oleh Vivi. Tapi, aku jadi berterima kasih padanya karena aku bisa tahu isi hatimu yang sebenarnya,” kata Aldi senang.
Muka Alin langsung berubah merah. Hari ini, ia benar-benar-benar dibuat malu oleh Vivi dan membuat malu diri sendiri. Tapi, benar apa kata Vivi. Ia tidak boleh menjadi pengecut lagi. Ia harus jujur dengan perasaanya sendiri.
“Mulai sekarang, jangan pergi tanpa mengucapkan sepatah kata padaku. Dan… Kamu harus rajin-rajin memberiku kabar. Dan yang paling penting, jangan mendekati, apalagi SOK AKRAB dengan cewek-cewek bule disana. Mengerti???”
Aldi tersenyum senang mendengar kata-kata yang keluar dari mulut cewek yang ia suka didepannya itu.
“Janji!”
Alin mengangkat jari kelingkingnya, dan Aldi menautkannya. Dan mereka saling berjanji untuk tidak saling berpisah lagi.


~~~~~~~~