PERTEMUAN KEMBALI (33)
8 tahun kemudian...
Devi berjalan
menelusuri ubin-ubin di rumah sakit. Tenggorokannya masih terasa sakit. Namun,
saat melihat dokter THT yang memeriksanya, rasa sakit itu mulai berkurang.
“Devi!” panggil seseorang. Suara itu terdengar tidak asing
lagi di telinganya.
“Oh, Vivi! Kamu sedang bertugas, ya?” tanya Devi.
Vivi mengangguk singkat. Ia menatap Devi sengit. “Sedang apa
disini?”
“Oh... Aku sedang berobat. Tenggorokanku sakit sejak
kemarin, bahkan sempat hilang. Uhukk... uhuk...”
“Umm? Benarkah? Bukannya sedang menengok sang kekasih?”
tanya Vivi penuh selidik.
“Ya... enggaklh... Umm... mungkin, iya juga...” ujarnya
malu-malu.
“Cieee..” seru Vivi. Ia melirik jam tangannya, seraya
berkata, “Eh, aku duluan, ya! Aku agak sibuk.”
“Baiklah...” balas Devi. “Oya, kamu gak ikutan reuni hari
ini?” tanyanya.
Vivi melirik jam tangannya lagi. “Mungkin. Kalau sempat.
Tapi, aku bakal usahain. Aku duluan, ya! Salam aja untuk yang lain,” seru Vivi
sambil berlalu.
Devi mengangguk. Ia meraba saku bajunya dan mengambil ponselnya.
“Oh, benarkah? Yes...” serunya sambil berlari meninggalkan
rumah sakit.
~~~~~~~~
Suasana di kafe “KITA” Nampak ramai. Banyak sekali
orang-orang datang berbondong-bondong mengunjungi kade tersebut. Dari luar,
kafe ini terlihat sederhana dan minimalis. Namun, ada banyak tanaman yang
menghiasi kafe ini. Perpaduan antara dinding cat abu-abu dengan tanaman hijau
dihiasi beraneka warna bunga-bunga membuat kafe ini terlihat begitu menarik dan
menyejukkan. Didalamnya juga dihiasi banyak tanaman. Kafe ini terbagi dua, satu
didalam ruangan dan satunya lagi berada diluar. Untuk yang diluar, kafe ini didesain
seolah-olah kita berada di alam terbuka. Dengan banyak pepohonan dan kolam
ikan, kafe ini menjadi tempat yang cocok bagi kita untuk menenangkan pikiran
kita.
“Cukup bagus,” komentar Robby saat ia pertama kali menapaki
kakinya dikafe ini.
“Tentu saja,” jawab Alin bangga. “Aku hanya ingin membuat
kafeku ini berbeda dengan kafe-kafe lain.”
“Ya, kamu benar,” seru Reihan.
Ya, kafe KITA ini milik Alin. Ia sudah lama ingin membuat
sebuah kafe. Sebenarnya, ini semua berawal dari Riri ia kelihatannya cukup
berbakat dalam hal memasak. Kemudian, ini juga berawal dari kesukaannya pada
tanaman. Apalagi, semakin hari tanaman di Jakarta terlihat berkurang.
“Oya, ada lagi yang ingin kutunjukkan pada kalian.”
Alin memandu teman-temannya berjalan ke arah kanan melewati
kolam ikan. Mereka terus berjalan hingga kepojok halaman. Disana, ada bangunan
kecil sederhana berwarna biru. Ada banyak orang disana, terutama anak-anak.
“Itu apa?” tanya Putra penasaran.
“Perpustakaan kecil. Ini juga kubuat karena hobiku yang suka
membaca dan menulis,” jelas Alin senang.
“Ah… aku sudah lapar. Kenapa loe gak ajak kita ke tempat
makan saja?” seru Beni.
Alin hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah Beni.
Akhirnya, ia mengajak teman-temannya ke sebuah ruangan yang terletak diluar. Disana
terdapat 10 meja dengan tiap-tiap meja berisi 4 sampai 5 kursi sehingga mereka
bisa bebas memilih tempat duduk yang mereka sukai.
“Riri dan kak Ferdi akan mengantarkan makanannya sebentar
lagi. Tapi, kita masih harus menunggu teman-teman kita yang belum datang. Jadi
kalian harus bersabar dulu, ya…” ujar Alin.
Semua orang langsung ribut. Ada yang meng-iyakan perkataan
Alin. Namun, ada juga yang menggerutu malas karena sudah merasa kelaparan.
Riri dan Ferdi sama-sama bekerja disini. Tapi, untuk
beberapa bulan kedepan mereka mengambil cuti karena akan menikah. Dan semua
orang terlihat senang karena akhirnya Ferdi dan Riri bisa bersatu setelah
beberapa tahun lamanya Ferdi menunggu demi Riri.
“Maaf, aku telat,” kata Devi dengan napas senin-kamis. Ia
langsung ikut bergabung dengan Dessy, Cika, dan Rahma.
“Kupikir kamu tidak datang kesini,” seru Alin setengah
merajuk.
“Sorry…” balas Devi sambil cengengesan. “Aku tadi masih ada
urusan. Maafkan aku…”
Alin hanya tersenyum melihat sikap temannya yang satu ini.
“Vivi mana? Kok belum datang?” tanya Cika.
“Oh, tadi dia bilang masih ada pasien yang harus dia urus.
Katanya, dia pasti datang. Tapi, agak telat,” jawab Devi setelah napasnya mulai
normal kembali.
“Oh… Kalau begitu, aku kedalam dulu, ya. Masih ada yang harus
kuurus,” kata Alin sambil melangkah masuk kedalam.
Sepeninggal Alin, suasana tba-tiba berubah hening. Devi
tampak heran. Ia memandangi satu per satu temannya bertanya-tanya mengapa
mereka tiba-tiba berubah hening.
“Kalian kenapa?” tanya Devi yang tak mampu lagi menahan rasa
penasarannya.
“Kamu gak lihat wajah Alin tadi? Dia kelihatan begitu
sedih,” jawab Dessy.
Wajah Devi langsung berubah bingung. “Loh, bukannya dari
tadi dia senyum mulu?”
“Ya. Tapi, matanya gak bisa nyembunyiin perasaannya yang
sebenarnya. Kamu tau kenapa?” tanya Rahma.
Devi menggeleng, sama sekali tidak mengerti maksud
teman-temannya itu.
“Itu karena seseorang yang dia harapkan tidak ada disini,”
jawab Cika.
Rahma dan Dessy mengangguk setuju.
“Seseorang?? Maksud kalian…” Devi sepertinya baru menyadari
maksud dari perkataan teman-temannya. “Jangan bilang kalau orang itu…”
Tanpa menunggu Devi menyelesaikan kata-katanya, mereka
bertiga langsung mengangguk.
~~~~~~~~
Vivi tampak serius mengemudi mobilnya sambil sesekali
melirik jam tangannya. Dengan harap-harap cemas, ia berharap semoga ia tidak
menjad lebih lambat lagi menghadiri acara launching kafe Alin. Begitu melihat
tempat tujuan sudah dekat, ia mmpercepat laju mobilnya, kemudian berjalan turun
memasuki kafe.
“Apakah aku telat?” tanya Vivi pada Devi dan teman-teman
lainnya.
“O, tentu saja tidak. Loe malah datang terlalu cepat,”
sindir Beni.
Vivi mengerti maksud Beni ialah ia datang begitu telat.
Tentu saja. Menjadi seorang dokter memang cukup menyita waktu. Ia harus lebih
dulu menyelamati nyawa orang lain dari kepentingan pribadi. Walau cukup
melelahkan, tapi inilah impiannya sejak dulu. Menjadi seorang dokter. Dan mimpi
itu sekarang sudah berubah menjadi kenyataan, walau terkadang merasa seperti
mimpi karena ia sama sekali tidak menyangka bisa menjadi sekarang.
“Ben, kita tau kalo loe itu udah kelaparan. Tapi, loe juga
gak boleh ngomong gitu. Ini semua bukan salah Vivi juga, kok!” bela Avril.
Beni memutar bola matanya malas. “Gue emang laper. Tapi,
maksud gue bukan kayak gitu. Udah tau telat, masih aja nanya.”
Dibilang seperti itu, Vivi langsung merengut. Tapi, ia
berusaha untuk mengabaikan masalah kecil itu. Matanya langsung beralih kearah
Devi.
“Dev, aku punya sesuatu yang ingin kutunjukkan padamu.”
Devi menatap Vivi dengan tatapan bertanya. “Apa?”
“Seorang dokter,” seru Vivi sambil mengedipkan sebelah
matanya kepada Devi membuat wajah Devi berubah menjadi merah padam.
“Siapa?” tanya Cika, Rahma, dan Dessy hampir bersamaan.
Sebelum Vivi sempat menjawab, seseorang muncul keruangan itu
membuat mata mereka semuanya membulat.
“REZA???” teriak mereka bersamaan.
“Jadi, kamu… sama Reza…”
“Bukan… Bukan…” potong Devi membuat mereka bertiga terdiam.
Reza yang saat itu baru datang juga langsung terkejut mendengar teriakan Devi.
“Loe kenapa teriak-teriak gitu, Dev? Sakau?”
Devi terlalu malas untuk membalas kata-kata Reza. Jadi, ia
lebih memilih mengabaikannya.
“Bukan, kok! Bukan Reza. Reza kan bukan dokter,” jelas Vivi.
“Jadi siapa?” tanya Rahma penasaran.
Laki-laki yang sedari tadi berdiri dibelakang Vivi kini
menampaki dirinya didepan Devi dan teman-temannya yang lain.
“Perkenalkan, nama saya Alexandrio Vanderwick,” serunya.
Nama orang itu benar-benar bule, tapi mukanya itu ASIA BANGET. Kulit putih,
mata agak sipit, hidung mancung… Pokoknya, ganteng banget, deh!
“Ehem, sejak kapan loe ngegaet cowok kayak gitu? Kok
tampangnya bertolak belakang sama loe?” desis Reza tajam.
Devi kini tak bisa tinggal diam lagi. Emosinya benar-benar
memuncak.
“Rus, plis, deh! Jangan cari masalah ama gue. Gue tau loe
cemburu dan sirik sama gue, tapi jangan terlalu ditunjukkin, deh! Sadar nggak,
sih! Badan loe dari dulu sampai sekarang masih sama kayak dulu. KAYAK LIDI.
Jadi, mending loe diam aja, gak usah cari rebut ama gue. Gue udah capek dan
bosan debat ama loe…” sembur Devi.
Reza mendengus,”Oke, gue setuju. Gue juga udah males debat
ama loe. Yah… setidaknya, loe udah ada kemajuannya,” balas Reza.
Dessy, Cika, Rahma, dan Vivi hanya bisa menggelengkan kepala
melihat tingkah mereka. Si Alex sendiri cuma diam tak mau ikut campur dalam
masalah tersebut.
Beni yang ternyata melihat kejadian tadi langsung berdiri
dan berseru.“Oke, untuk merayakan perdamaian antara Devi dan Reza,” ia sama
sekli tak menghiraukan tatapan menusuk dari Devi. “Mari kita mulai dengan
membaca doa,” lanjutnya. “Doa selesai. Dan kepada para hadirin yang telah
datang diacara hari ini, silahkan nikmati hidangan yang telah disediakan.”
Walau ia menyuruh orang untuk menikmati, tetapi ia sudah
lebih dulu menyantap makanan yang tersedia. Perdebatan antara Devi dan Reza
penyelamat baginya karena akhirnya ia bisa menyuruh semua temannya untuk makan.
“Jadi, bagaimana dengan Bagas?” bisik Dessy pelan.
Devi hanya mengangkat bahunya. Bagas adalah orang yang ia
sukai waktu SMA. Itu sudah terjadi lama sekali. Jadi, ia tidak boleh
mengingatnya terus. Sekarang, ia sudah punya Alex. Dan biarkan Bagas menjadi
bagian dari masa lalunya.
~~~~~~~~
Suasana diatas cukup menenangkan hati. Sedari tadi, Alin
merasa dadanya terasa sesak saat melihat satu per satu tamu yang datang dan
berharap diantara mereka ada orang yang ia harapkan. Namun, orang itu belum
muncul juga sampai sekarang.
Dasar pembohong, batinnya kesal.
Ia benar-benar kesal. Untungnya, suasana heboh yang ada
dibawah sana kembali membuatnya tenang. Setidaknya, teman-temannya menikmati
pesta mereka walau ia tidak ada disana. Ia terlalu berminat melayani mereka
semua.
‘Kriieeekk’ pintu balkon terbuka. Dengan sekejap Alin
memutar badannya dan melihat Bintang berdiri sambil tersenyum.
“Maaf, karena aku bukan Aldi,” kata Bintang seolah-olah
mengerti kekecewaan yang ada dimata Alin.
“Aku tahu,”sungutnya, lalu kembali memutar badannya. Bintang
berjalan menghampirinya, dan berdiri tepat disamping kanannya.
“Aku datang kesini bermaksud ingin menghiburmu. Mengapa kamu
sama sekali tidak menghargai sikap baikku ini?” tanya Bintang.
“Hufftt… Daripada menemaniku, mending kamu menemani mereka
yang ada dibawah sana. Atau… Kau bisa menemani Dessy yang masih sendiri itu,”
ujar Alin.
Bintang memutar kedua bola matanya malas. “Dessy sudah ada
yang punya.”
“Mengapa kalian putus?” tanya Alin. Ia mengabaikan kata-kata
Bintang yang tadi.
“Alasannya singkat. Kami tidak cocok dan… Putus,” jawab
Bintang.
“Itu saja?” tanya Alin. Ia ingin jawaban yang lebih lagi.
“Iya,” jawab Bintang berusaha meyakinkan.
Sebenarnya, ia tidak sepenuhnya bohong. Tapi, alasannya yang
sebenarnya, karena ia sibuk mengurusi Alin. Semenjak Aldi pergi ke London, Alin
benar-benar merasa kesepian. Jadi, ia harus terus menemani Alin. Dan, karena
terlalu sibuk mengurusi Alin, ia jadi tidak punya waktu untuk Dessy dan mereka
akhirnya putus. Tapi, semenjak itu ia sadar kalau ternyata ia tidak benar-benar
menyukai Dessy.
Bintang melirik jam tangannya sekilas, kemudian
berseru,”Sudahlah, aku sudah bosan menemanimu terus.”
Mendengar hal itu, Alin merasa tidak enak dan mengira ia
telah mengabaikan Bintang selama ini.
“Bintang, tunggu…”
Pintu sempat tertutup karena kerpergian Bintang. Namun,
pintu itu terbuka lagi dan Alin benar-benar shock melihat orang yang muncul di
balik pintu itu.
“Aldi…” suara Alin nyaris tidak terdengar karena terlalu
shock. Ia benar-benar tidak tahu harus melakukan apa. Ia berlari kearah Aldi
dan langsung memeluknya.
“Long time no see,”
bisik Aldi. Ia membalas pelukan Alin.
“Jahat!!! Kenapa baru datang sekarang? Padahal aku sudah
menunggumu dari tadi. Tapi, mengapa baru datang sekarang? Aku sampai lelah
menunggu…” kata Alin tanpa menarik napas.
“Maaf. Aku janji tidak akan meninggalkanmu lagi. Mulai
sekarang, hari ini, detik ini, aku akan selalu berada disampingmu. Menjagamu…”
janjinya.
Alin mengangguk sambil menangis sesenggukan. Dan mereka pun
kembali berpelukan.
Didepan pintu, Bintang berdiri sambil tersenyum senang
melihat adegan tersebut.
“Semoga kalian bahagia selamanya,” katanya tulus sambil
berlalu meninggalkan tempat itu.
Langit terlihat cerah. Senyum matahari pun terlihat bahagia,
sama seperti orang-orang yang ada di kafe tersebut. Dan mereka semua tersenyum
dan tertawa bahagia karena mereka sudah menemukan kebahagian mereka dan orang
yang akan menjaga mereka selamanya.
~THE END~