Jumat, 07 Maret 2014

GUARDIAN ANGEL (32)

ISI HATI… (32)


Alin duduk terdiam diatas tempat tidurnya saat Vivi menerobos masuk kekamarnya tanpa mengucapkan salam. Dia hanya menyerbu masuk ke kamar Alin sambil berceloteh ria di depan wajah Alin. Sadar kalau yang diajak ngomong sama sekali tidak merespon, ia pun iseng mengajak Alin pergi belanja.
“Woi, kenapa mukamu membeku gitu, sih? Keluar, yuk! Kita pergi belanja,” ajak Vivi. Namun, Alin hanya menggeleng. Vivi berusaha menghibur Alin, namun Alin hanya mematung di atas tempat tidur. Vivi mengangkat kedua bahunya menyerah. “Sudahlah, kalau kamu benar-benar menyukainya, mengapa tidak kau kejar? Mengapa kamu tidak mau mengatakan hal yang sebenarnya padanya? Jangan pernah bohongi perasaanmu…”
Alin menoleh sambil memandang Vivi bingung. “Apa maksudmu?” tanyanya.
Vivi memutar-mutar kedua bola matanya malas. “Sudahlah, aku sudah muak dengan sikap pengecutmu,” desisnya.
Ia menyerahkan kotak kecil berwarna hitam ke Alin. Dengan cepat, Alin menyambar kotak itu dan melihat isinya.
“Kelereng?” desis Vivi sambil mengangkat sebelah alisnya. Heran karena Aldi hanya memberi Alin sebuah kelereng dan itu mampu membuat Alin… menitikkan air mata.
“Lin?”
“Dimana dia sekarang?” tanya Alin cepat. Ia langsung mengambil jaketnya dan berjalan keluar kamar.
“Tadi, setelah bertemu dengannya di depan rumahmu, da pergi naik taksi sambil membawa koper dan barang-barang lainnya. Sepertinya, dia…”
Tanpa mendengar kata-kata Vivi lagi, ia langsung berlari keluar rumah, memanggil taksi, dan pergi ke bandara. Vivi masih terdiam di kamar Alin. Sedikit shock melihat sikap temannya yang seperti itu. Namun, ia langsung tersenyum karena Alin sudah masuk kedalam perangkapnya.

~~~~~~~~
Rumah menjadi lebih sepi saat sekembalinya ia dari tempat Vivi. Setelah 2 hari satu malam ia menginap ditempat Vivi, ia pun akhirnya memutuskan untuk kembali kerumahnya. Itu pun dengan susah payah Vivi membujuk Rahma untuk kembali kerumahnya karena orangtuanya benar-benar khawatir padanya. Dan ia pun kembali pulang kerumah.
Saat ia kembali kerumah, suasananya jadi sedikit berubah. Ibunya tidak lagi giat mengomelinya seperti dulu. Ayahnya pun jadi jarang berada dirumah karena urusan pekerjaan. Adik-adiknya pun berubah menjadi penurut saat ia menyuruh mereka melakukan sesuatu. Ternyata, semenjak ia pergi dari rumah ini, ia semuanya jadi berubah. Ia jadi bingung apakah ia harus senang atau tidak dengan perubahan ini. Tapi, yang pasti ia jadi merasa sedikit asing dengan suasana ini. Namun, setidaknya ini membuat perasaannya menjadi lebih tenang.
“Rahma,”
Rahma menoleh dan melihat ibunya berdiri didepan pintu kamarnya dengan canggung. Ia langsung menyuruh ibunya masuk dan duduk disampingnya.
“Rahma,” panggil ibunya lembut. Rahma menoleh dan menatap sepasang mata tua itu lembut. “Maafkan, ibu! Ibu… Ibu sama sekali tidak bermaksud untuk menjualmu. Ibu…” Air mata itu mengalir begitu saja, dan tangisnya pun pecah.
“Ibu,” Rahma sendiri sudah tidak sanggup menahan bendungan air mata yang sudah menumpuk dipelupuk matanya. Mereka pun berpelukan dan menangis bersama.
“Maafkan, ibu…” ucapnya ibunya berkali-kali.
“Iya, bu. Rahma tahu. Ibu tidak salah, Rahma yang salah. Rahma tahu ibu tidak akan menjual Rahma. Ibu mana, sih, yang tega menjual anaknya sendiri,” ujar Rahma. “Rahma yang salah, Rahma yang egois dan tidak piker panjang…” Ia diam sebentar untuk mengambil napas. “Rahma janji akan membantu ibu mencari uang. Rahma juga akan giat belajar supaya bisa dapat beasiswa dan ibu tidak perlu membiayai uang kuliah Rahma.
Rahma mungkin keras kepala, suka membantah. Tapi, Rahma janji akan berubah menjadi anak yang baik dan berbakti kepada orangtua. Rahma janji…”
Ibunya hanya bisa mengangguk dalam pelukannya, tak sanggup untuk mengatakan apapun. Tapi, mulai saat itu ia benar-benar merasa bebannya terangkat dan hatinya lega.

~~~~~~~~
Bandara terlihat begitu ramai. Tentu saja. Karena bandara tidak pernah sepi. Tapi, itu membuat Alin takut. Di antara sekian banyak orang ini, bisakah ia menemukan Aldi? Bisakah Aldi mendengar suaranya yang terus berteriak memanggil-manggil namanya? Walau rasa malu telah menjalarinya, karena beberapa orang disana memandangnya bingung dan aneh, tapi rasa takut itu lebih mendominasi dirinya. Ia takut, takut tidak bisa bertemu dengannya lagi. Takut akan kehilangannya lagi. Ia benar-benar takut.
“ALDIII...” teriak Alin. Tapi, sang pemilik nama sama sekali tidak ia temukan. Tanpa sadar, ia jatuh berlutut dan menangis.
“Aldi…” panggilnya pelan. Suaranya terdengar lirih.
“Iya…”
“Kamu dimana?”
“Aku disini.”
“Kenapa kamu pergi?”
“Karena aku harus
“Kenapa kamu pergi secepat ini?”
“Aku belum pergi… Aku baru akan pergi besok pagi…”
“Tapi, mengapa kamu tidak ada?” tanya Alin. Tiba-tiba ia baru menyadari sesuatu. “Aldi? Kamu disini? Kamu belum pergi?” serbu Alin dan ia pun langsung memeluk Aldi erat.
Aldi hanya diam saja sambil menahan tawa melihat tingkah Alin yang seperti itu. Alin merasakan bahu Aldi bergetar karena menahan tawa. Ia langsung berubah menjadi malu. Malu, karena ia sudah berlari mengejar Aldi. Malu, karena ia sudah melakukan hal-hal yang memalukan. Sungguh, besok-besok ia tidak mau lagi datang kebandara. Lebih baik ia mendekam didalam kamar ketimbang mengantar Aldi kebandara besok.
“Auuwww…”
Alin memukul punggung Aldi kuat karena ia tidak berhenti tertawa. Alin langsung melepas pelukannya.
“Berhenti tertawa atau aku akan membunuhmu sekarang,” ancam Alin.
Aldi mengangkat kedua tangannya tanda menyerah.
“Oke, oke… Aku berhenti. Tapi, kamu benar-benar…auww… lucu…”
Alin meninju bahu Aldi kuat supaya ia diam dan tutup mulut. Bila perlu, lupakan semua kejadian yang memalukan tadi.
“Lalu, kenapa kamu mencarimu? Mengapa kamu mengira aku sudah pergi?” tanya Aldi setelah ia sudah benar-benar bisa mengendalikan tawanya dan mencoba untuk tidak mengingatnya dulu. Kalau tidak, ia akan tertawa lagi tanpa bisa berhenti.
“Itu… tadi, tadi Vivi bilang kalau kamu… sudah pergi.” “Vivi sialan. Aku dikerjain dia. Dia bilang tadi kamu udah pergi bawa koper sama barang-barang, terus… Apa itu artinya kalau kamu udah pergi,” jelas Alin tanpa menarik napas sedikit pun.
“Wah, kayaknya kamu sudah diperdaya oleh Vivi. Tapi, aku jadi berterima kasih padanya karena aku bisa tahu isi hatimu yang sebenarnya,” kata Aldi senang.
Muka Alin langsung berubah merah. Hari ini, ia benar-benar-benar dibuat malu oleh Vivi dan membuat malu diri sendiri. Tapi, benar apa kata Vivi. Ia tidak boleh menjadi pengecut lagi. Ia harus jujur dengan perasaanya sendiri.
“Mulai sekarang, jangan pergi tanpa mengucapkan sepatah kata padaku. Dan… Kamu harus rajin-rajin memberiku kabar. Dan yang paling penting, jangan mendekati, apalagi SOK AKRAB dengan cewek-cewek bule disana. Mengerti???”
Aldi tersenyum senang mendengar kata-kata yang keluar dari mulut cewek yang ia suka didepannya itu.
“Janji!”
Alin mengangkat jari kelingkingnya, dan Aldi menautkannya. Dan mereka saling berjanji untuk tidak saling berpisah lagi.


~~~~~~~~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar