ISI HATI… (32)
Alin duduk terdiam
diatas tempat tidurnya saat Vivi menerobos masuk kekamarnya tanpa mengucapkan
salam. Dia hanya menyerbu masuk ke kamar Alin sambil berceloteh ria di depan
wajah Alin. Sadar kalau yang diajak ngomong sama sekali tidak merespon, ia pun
iseng mengajak Alin pergi belanja.
“Woi, kenapa mukamu membeku gitu, sih? Keluar, yuk! Kita
pergi belanja,” ajak Vivi. Namun, Alin hanya menggeleng. Vivi berusaha
menghibur Alin, namun Alin hanya mematung di atas tempat tidur. Vivi mengangkat
kedua bahunya menyerah. “Sudahlah, kalau kamu benar-benar menyukainya, mengapa
tidak kau kejar? Mengapa kamu tidak mau mengatakan hal yang sebenarnya padanya?
Jangan pernah bohongi perasaanmu…”
Alin menoleh sambil memandang Vivi bingung. “Apa maksudmu?”
tanyanya.
Vivi memutar-mutar kedua bola matanya malas. “Sudahlah, aku
sudah muak dengan sikap pengecutmu,” desisnya.
Ia menyerahkan kotak kecil berwarna hitam ke Alin. Dengan
cepat, Alin menyambar kotak itu dan melihat isinya.
“Kelereng?” desis Vivi sambil mengangkat sebelah alisnya.
Heran karena Aldi hanya memberi Alin sebuah kelereng dan itu mampu membuat
Alin… menitikkan air mata.
“Lin?”
“Dimana dia sekarang?” tanya Alin cepat. Ia langsung
mengambil jaketnya dan berjalan keluar kamar.
“Tadi, setelah bertemu dengannya di depan rumahmu, da pergi
naik taksi sambil membawa koper dan barang-barang lainnya. Sepertinya, dia…”
Tanpa mendengar kata-kata Vivi lagi, ia langsung berlari
keluar rumah, memanggil taksi, dan pergi ke bandara. Vivi masih terdiam di
kamar Alin. Sedikit shock melihat sikap temannya yang seperti itu. Namun, ia
langsung tersenyum karena Alin sudah masuk kedalam perangkapnya.
~~~~~~~~
Rumah menjadi lebih sepi saat sekembalinya ia dari tempat
Vivi. Setelah 2 hari satu malam ia menginap ditempat Vivi, ia pun akhirnya
memutuskan untuk kembali kerumahnya. Itu pun dengan susah payah Vivi membujuk
Rahma untuk kembali kerumahnya karena orangtuanya benar-benar khawatir padanya.
Dan ia pun kembali pulang kerumah.
Saat ia kembali kerumah, suasananya jadi sedikit berubah.
Ibunya tidak lagi giat mengomelinya seperti dulu. Ayahnya pun jadi jarang
berada dirumah karena urusan pekerjaan. Adik-adiknya pun berubah menjadi
penurut saat ia menyuruh mereka melakukan sesuatu. Ternyata, semenjak ia pergi
dari rumah ini, ia semuanya jadi berubah. Ia jadi bingung apakah ia harus
senang atau tidak dengan perubahan ini. Tapi, yang pasti ia jadi merasa sedikit
asing dengan suasana ini. Namun, setidaknya ini membuat perasaannya menjadi
lebih tenang.
“Rahma,”
Rahma menoleh dan melihat ibunya berdiri didepan pintu
kamarnya dengan canggung. Ia langsung menyuruh ibunya masuk dan duduk
disampingnya.
“Rahma,” panggil ibunya lembut. Rahma menoleh dan menatap
sepasang mata tua itu lembut. “Maafkan, ibu! Ibu… Ibu sama sekali tidak bermaksud
untuk menjualmu. Ibu…” Air mata itu mengalir begitu saja, dan tangisnya pun
pecah.
“Ibu,” Rahma sendiri sudah tidak sanggup menahan bendungan
air mata yang sudah menumpuk dipelupuk matanya. Mereka pun berpelukan dan
menangis bersama.
“Maafkan, ibu…” ucapnya ibunya berkali-kali.
“Iya, bu. Rahma tahu. Ibu tidak salah, Rahma yang salah.
Rahma tahu ibu tidak akan menjual Rahma. Ibu mana, sih, yang tega menjual
anaknya sendiri,” ujar Rahma. “Rahma yang salah, Rahma yang egois dan tidak
piker panjang…” Ia diam sebentar untuk mengambil napas. “Rahma janji akan
membantu ibu mencari uang. Rahma juga akan giat belajar supaya bisa dapat
beasiswa dan ibu tidak perlu membiayai uang kuliah Rahma.
Rahma mungkin keras kepala, suka membantah. Tapi, Rahma
janji akan berubah menjadi anak yang baik dan berbakti kepada orangtua. Rahma
janji…”
Ibunya hanya bisa mengangguk dalam pelukannya, tak sanggup
untuk mengatakan apapun. Tapi, mulai saat itu ia benar-benar merasa bebannya
terangkat dan hatinya lega.
~~~~~~~~
Bandara terlihat begitu ramai. Tentu saja. Karena bandara
tidak pernah sepi. Tapi, itu membuat Alin takut. Di antara sekian banyak orang
ini, bisakah ia menemukan Aldi? Bisakah Aldi mendengar suaranya yang terus
berteriak memanggil-manggil namanya? Walau rasa malu telah menjalarinya, karena
beberapa orang disana memandangnya bingung dan aneh, tapi rasa takut itu lebih
mendominasi dirinya. Ia takut, takut tidak bisa bertemu dengannya lagi. Takut
akan kehilangannya lagi. Ia benar-benar takut.
“ALDIII...” teriak Alin. Tapi, sang pemilik nama sama sekali
tidak ia temukan. Tanpa sadar, ia jatuh berlutut dan menangis.
“Aldi…” panggilnya pelan. Suaranya terdengar lirih.
“Iya…”
“Kamu dimana?”
“Aku disini.”
“Kenapa kamu pergi?”
“Karena aku harus
“Kenapa kamu pergi secepat ini?”
“Aku belum pergi… Aku baru akan pergi besok pagi…”
“Tapi, mengapa kamu tidak ada?” tanya Alin. Tiba-tiba ia
baru menyadari sesuatu. “Aldi? Kamu disini? Kamu belum pergi?” serbu Alin dan
ia pun langsung memeluk Aldi erat.
Aldi hanya diam saja sambil menahan tawa melihat tingkah
Alin yang seperti itu. Alin merasakan bahu Aldi bergetar karena menahan tawa.
Ia langsung berubah menjadi malu. Malu, karena ia sudah berlari mengejar Aldi.
Malu, karena ia sudah melakukan hal-hal yang memalukan. Sungguh, besok-besok ia
tidak mau lagi datang kebandara. Lebih baik ia mendekam didalam kamar ketimbang
mengantar Aldi kebandara besok.
“Auuwww…”
Alin memukul punggung Aldi kuat karena ia tidak berhenti
tertawa. Alin langsung melepas pelukannya.
“Berhenti tertawa atau aku akan membunuhmu sekarang,” ancam
Alin.
Aldi mengangkat kedua tangannya tanda menyerah.
“Oke, oke… Aku berhenti. Tapi, kamu benar-benar…auww… lucu…”
Alin meninju bahu Aldi kuat supaya ia diam dan tutup mulut.
Bila perlu, lupakan semua kejadian yang memalukan tadi.
“Lalu, kenapa kamu mencarimu? Mengapa kamu mengira aku sudah
pergi?” tanya Aldi setelah ia sudah benar-benar bisa mengendalikan tawanya dan
mencoba untuk tidak mengingatnya dulu. Kalau tidak, ia akan tertawa lagi tanpa
bisa berhenti.
“Itu… tadi, tadi Vivi bilang kalau kamu… sudah pergi.” “Vivi
sialan. Aku dikerjain dia. Dia bilang tadi kamu udah pergi bawa koper sama
barang-barang, terus… Apa itu artinya kalau kamu udah pergi,” jelas Alin tanpa
menarik napas sedikit pun.
“Wah, kayaknya kamu sudah diperdaya oleh Vivi. Tapi, aku
jadi berterima kasih padanya karena aku bisa tahu isi hatimu yang sebenarnya,”
kata Aldi senang.
Muka Alin langsung berubah merah. Hari ini, ia
benar-benar-benar dibuat malu oleh Vivi dan membuat malu diri sendiri. Tapi,
benar apa kata Vivi. Ia tidak boleh menjadi pengecut lagi. Ia harus jujur
dengan perasaanya sendiri.
“Mulai sekarang, jangan pergi tanpa mengucapkan sepatah kata
padaku. Dan… Kamu harus rajin-rajin memberiku kabar. Dan yang paling penting,
jangan mendekati, apalagi SOK AKRAB dengan cewek-cewek bule disana.
Mengerti???”
Aldi tersenyum senang mendengar kata-kata yang keluar dari
mulut cewek yang ia suka didepannya itu.
“Janji!”
Alin mengangkat jari kelingkingnya, dan Aldi menautkannya.
Dan mereka saling berjanji untuk tidak saling berpisah lagi.
~~~~~~~~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar