Indah Nurul Hannah
Hari ini hari pertama aku masuk
sekolah. Aku sedikit merasa gugup, tapi aku sangat senang akhirnya aku bisa
pindah ke sekolah yang kuinginkan. Aku pindah ke salah satu sekolah swasta yang
sangat terkenal di Jakarta. Disana banyak sekali orang-orang keren, termasuk
diriku. Hehehe.
Oya, sebelumnya aku ingin
memperkenalkan diriku. Namaku Indah Nurul Hannah. Keluargaku baru saja
dipindahkan ke Jakarta karena ada urusan pekerjaan. Sebelumnya aku sempat
tinggal di Batam. Yah, walaupun sedih harus meninggalkan teman lama, tapi aku
harus tetap bisa menyesuaikan diri. Toh, ini bukan baru kali pertama aku pindah
sekolah. Orangtuaku sering dipindah tugaskan, jadi aku sudah terbiasa seperti
ini. Yah, seperti nomaden gitu lah!
Oke, cukup curhatnya. Sekarang
waktunya kembali ke sekolah!
Sudah sekitar 10 menit aku
mengelilingi sekolah ini, tapi aku tak kunjung menemukan ruang Kepala Sekolah.
“Aaaarrggggghh, mengapa sekolah
ini terlalu besar?” gerutuku kesal. Padahal, aku sendiri yang memilih ingin
bersekolah disini. Tapi, sekarang aku menyesal telah memilih sekolah ini. Lebih
baik aku bersekolah di sekolah negeri yang mempunyai kualitas yang gak kalah
bagusnya disbanding sekolah swasta ini.
Sepanjang perjalanan aku terus
menggerutu. Mana aku tidak bertemu seorang pun lagi disini. OH NO!!! I’m feeling frustrate!!!
“Hey…” seseorang menepuk pundakku
dari belakang, membuatku hampir terjungkal kebelakang ketika aku melihat siapa
yang menepukku itu. “Apa yang sedang kamu lakukan disini?” tanyanya.
Melihat orang ini aku nyaris
melompat bahagia karena akhirnya aku menemukan penolongku. Dan mungkin sekarang
air mataku sudah mulai menitik keluar saking bahagianya.
***
“Oh, jadi kamu sedang mencari
ruang kepala sekolah?” tanyaa laki-laki itu.
Aku mengangguk cepat.
Dia tersenyum seraya
berkata,”Baiklah, aku akan mengantarmu kesana.”
“Terima kasih banyak, ya. Aku
merasa sangat tertolong,” kataku jujur.
Dia kembali tersenyum. “Tidak
apa-apa. Sudah menjadi tugas seorang manusia untuk menolong sesama manusia.”
“Terima kasih,” kataku lagi.
“Kamu murid baru?” tanya
penasaran.
“Yep!”
“Pantas saja aku seperti tidak
pernah melihatmu sebelum ini. Oya, ini ruangannya.”
Aku terdiam sebentar. Bukankah
aku tadi sempat melewati ini? Mengapa aku tidak bisa membaca tulisan sebesar
ini tadi?
“Kalau begitu, aku tinggal ya.
Permisi.” Dia berjalan meninggalkanku tanpa aku sempat mengucapkan terima kasih
padanya. Terlebih lagi namanya. Bahkan, aku sudah lupa dengan wajahnya.
***
Suasana kelas tampak hening.
Semua orang tampak sibuk dengan buku mereka masing-masing. Sebagian lagi sibuk
dengan laptop mereka. Mungkin kalian semua penasaran apa yang sedang mereka
lakukan, termasuk aku. Tapi, yang pasti mereka sedang belajar, bukan
bermain-main.
“Hey, kamu murid baru kan” tanya
perempuan yang duduk disebelah kananku.
“Ya,” kataku sambil mengangguk.
Bukankah tadi aku sudah memperkenalkan diri tadi didepan? Tapi kenapa
sepertinya tidak ada yang memperhatikanku?
“Aku Cita, senang berkenalan
denganmu.” Cita mengulurkan tangannya.
“Indah,” kataku sambil membalas
uluran tangannya.
“Kamu pasti sangat kebingungan
sekarang.”
Ting tong! Dia benar sekali.
Sepertinya ekspresi wajahku terlalu mudah dibaca sampai-sampai Cita bisa mengetahui apa yang ada
dipikiranku.
“Pffftt,” dia seperti sedang
menahan tawanya, membuat sedikit kesal. “Maaf-maaf, sekarang kami sedang jam
pelajaran bebas. Jadi, masing-masing dari kami mendapat tugas dari guru untuk
mengerjakannya. Tapi, masing-masing dari kami mendapatkan tugas berbeda. Ada
yang disuruh mengerjakan soal olimpiade Biologi, Fisika, Kimia, Matematika,
membuat program, sketsa gambar, dan desain.
Sebenarnya, ini adalah kelas
khusus, yang isinya orang yang mempunyai bakat dan keahlian mereka
masing-masing, baik itu akademik, seni, maupun olahraga. Tapi, disini isinya
adalah orang-orang yang punya keahlian, baik di akademik maupun non akademik,”
jelas Cita.
“Oh…” gumamku kagum. Jadi, kelas
ini isinya orang-orang hebat. Sebentar, lalu apa keahlianku?
“Lalu, apa yang keahlianmu
sehingga kamu bisa masuk ke kelas ini?”
Ting tong! Lagi-lagi dia bertanya
tentang pertanyaan bagus lagi. Apa ya keahlianku?
“Maaf, bukannya sombong, tapi gak
sembarang orang yang bisa masuk ke kelas ini. Ada banyak tes untuk bisa masuk
kelas ini. Lihatlah, kelas ini hanya terdiri dari 30 orang saja, sedangkan
kelas lainnya berisi 35-40 orang.”
Ah, aku kembali merasa putus asa.
Mengapa Pak Kepala Sekolah memasukkan aku ke kelas ini?
“Entahlah! Aku kurang tau,”
jawabku lemah.
“Sudahlah, jangan pesimis dulu.
Toh, kamu murid baru. Butuh waktu untuk bisa menyesuaikan diri. Lagipula, aku
tau kamu pasti punya sesuatu dalam dirimu yang belum kamu ketahui.”
“Oya?”
“Sudah kubilang, tidak sembarang
orang bisa masuk kelas ini.”
***
Cita Yuniar
“Cita… Bagaimana ini? Aku lupa
bawa dompet.”
Aku memutar kedua bola mataku.
Anak baru ini ternyata membuatku cukup repot hari ini. Pertama, kesekolah tidak
membawa buku apapun kecuali alat tulis. Kedua, tidak sengaja menjatuhkan
mikroskop di laboratorium. Untung saja Kevin cepat tanggap menangkap mikroskop
itu jika tidak dia akan mendapat masalah. Dan sekarang… LUPA BAWA DOMPET???
YANG BENAR SAJA!!!
“Indah, kapan sih kamu tidak
membuat masalah? Masa semuanya harus aku yang urus?” omelku sambil mencubit
kedua pipinya gemas.
“Aaahh, sakeett,” katanya lucu.
Kulepaskan kedua tanganku dari pipinya. “Ya maaf. Aku sendiri juga bingung
kenapa bisa lupa bawa dompet. Lain kali gak kayak gini, deh!”
Aku menghela napas. “Baiklah,
hari ini aku traktir kamu. Tapi, lain kali kamu harus traktir aku dua kali
lipat, ya...”
“Siap bos!!!” sahutnya sambil
membawa makanan dan minuman kami ke meja.
“Hari ini sepertinya aku
benar-benar kurang beruntung,” katanya tiba-tiba. Ya, aku mengerti itu dan
sangat setuju dengan pernyataannya.”Masa baru hari pertama aku sudah bikin masalah,,
tadi sempat tersesat pula waktu mau nyari ruang kepala sekolah. Terus, sekarang
lupa bawa dompet lagi. Sebel banget.”
“Nasib! Lagian, kok bisa? Untung
aja tadi pagi itu pelajaran kosong. Kalau nggak, kamu pasti sudah mendapat
masalah,” tambahku.
“Tuh kan? Untung aja dewa
penolong masih mau menyelamatkanku hari ini. Kalo nggak, habislah aku,” ocehnya
sambil memasukkan sesendok penuh siomay kedalam mulutnya. Aku hanya tertawa
kecil melihat tingahnya yang lucu. Dia memang sedikit menyusahkan, tapi dia
lucu dan baik. Entah apa yang membuat hatiku tergerak untuk berkenalan dan
ingin berteman dengannya.
“Hai, Vin,” panggil cewek-cewek
yang duduk di meja sebelah kanan kami dengan genit.
Aku menoleh dan melihat 4 orang cowok
sedang membawa makanan dan minuman mereka. Ah, biar kutebak! Para lelaki itu
akan menyahut dan melancarkan rayuan mereka pada cewek-cewek itu dan menyuruh
mereka untuk memberi mereka tempat karena disini sudah tidak ada tempat lagi.
“Hai, semuanya. Kalian semua
selalu terlihat cantik setiap hari,” kata salah satu cowok dari mereka.
“Aaahh, kalian bisa saja.”
Oke, to the point aja. Aku mau muntah kalo mereka tetap melanjutkannya.
“Bolehkah kami duduk disini?”
kata cowok yang tadi.
Cewek-cewek itu berteriak senang.
“Tentu saja. Lagipula kami semua sudah selesa. Kalian berempat silahkan duduk
saja disini.”
“Baiklah, kalo begitu terima
kasih.”
“Cit, Cit, CITAAA…”
“Ya?” tanyaku kaget. Kenapa dia
tiba-tiba memanggilku?
“Kamu kenapa ngelamun, sih? Aku
tuh udah berapa kali manggil kamu. Sampe bosan, nih!” omelnya.
“Ya, maaf.” Aku kembali
memperhatikan cowok-cowok tadi. Aku merasa aneh, dari dulu sampai sekarang
kenapa pandanganku tidak pernah lepas dari orang itu.
“Jadi, siapa yang sedang kamu
incar diantara mereka?”
Aku terkejut ketika mengetahui
Indah sudah duduk disampingku sambil ikut memperhatikan 4 cowok itu. “Ng…nggak!
Aku…”
“Sudahlah, ngaku aja,” katanya.
Aku hanya diam dan tersipu malu.
“Aku hanya merasa aneh karena akhirnya mereka bisa berkumpul secara lengkap,”
aku mencoba untuk mengalihkan pembicaraan.
“Lengkap? Emangnya mereka gak
pernah ngumpul bareng kayak gitu?”
Sip, akhirnya dia salah fokus.
“Yep! Biasanya mereka bertiga.
Yah, walaupun sekarang anggota mereka belum lengkap.”
“Masih ada satu lagi?” tanyanya
penasaran.
“Iya, satunya lagi di Australia
buat studi banding gitu. Tapi, aku hanya merasa aneh sama cowok itu. Biasanya
dia suka hilang dan jarang banget ngumpul bareng grupnya.”
“O…”
Gitu doang responnya? Untungnya
bel masuk langsung berbunyi. Kalo nggak, bakal aku ceramahin dia abis-abisan.
***
Indah Nurul Hannah
“Jadi, kamu mau ikut ekskul apa
nanti?”
Aku masih sibuk menghitung hukum
gaya Newton saat dia menanyaiku hal itu.
“Eh, apa ya?” aku berhenti sebentar
sambil melirik tugas fisikanya yang ternyata sudah terisi semua. Aku langsung
merengut melihatnya. Punyaku masih kurang dua lagi dan itu membuatku cukup
frustasi menghitungnya.
“Tentu saja. Disini, setiap orang
wajib mengikuti minimal satu ekskul. Yah, kemampuan akademik memang sangat
penting, tapi mempunyai kemampuan non akademik bisa jadi nilai plus buat kita,”
jelasnya.
Aku terdiam sambil
berpikir.”Kira-kira apa, ya?” tanyaku pada diri sendiri. “Hmm, sepertinya itu
bisa dipikirkan nanti. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana caranya
menyelesaikan soal nomor 9 dan 10 ini?”
Cita tertawa kecil. Sepertinya
sedari tadi dia sudah mengetahui masalahku tanpa berniat menawarkan bantuan.
“Baklah, aku ajarin…”
***
“Kira-kira aku mau masuk ekskul
apa ya?” tanyaku pada diri sendiri.
Aku sekarang sedang berdiri di
lapangan basket sambil mendribel bola basket sembari menunggu mobil jemputanku
datang. Sudah lebih dari 30 menit aku menunggu, tapi jemputanku tak kunjung
datang.
‘Duk…duk…duk…’ aku masih sibuk mendrible
bola basket ini ke tanah, sama sekali belum berminat untuk memasukkannya ke
dalam ring yang masih berdiri kokoh di depanku. Ketika aku berniat untuk
memasukinya, sebuah bola melayang kearahku.
“AWASSS!!!” teriak seseorang dari
pinggiran lapangan basket. Namun terlambat, bola itu sudah menghantam kepalaku
dengan sangat keras ke kepalaku.
‘Brukk…’ Aku terjatuh begitu saja
karena tidak kuat menahan serangan tiba-tiba itu. Sekilas aku melihat sesosok
pria berlari menghampiriku. Namun, mataku tak sempat menerjemahkan siapa
laki-laki tersebut karena langsung pingsan ditempat. Selanjutnya, aku tidak
tahu apa yang terjadi padaku.
***
To be continued…