Selasa, 30 Desember 2014

STORY OF MY LOVE (PART I)

Indah Nurul Hannah

Hari ini hari pertama aku masuk sekolah. Aku sedikit merasa gugup, tapi aku sangat senang akhirnya aku bisa pindah ke sekolah yang kuinginkan. Aku pindah ke salah satu sekolah swasta yang sangat terkenal di Jakarta. Disana banyak sekali orang-orang keren, termasuk diriku. Hehehe.
Oya, sebelumnya aku ingin memperkenalkan diriku. Namaku Indah Nurul Hannah. Keluargaku baru saja dipindahkan ke Jakarta karena ada urusan pekerjaan. Sebelumnya aku sempat tinggal di Batam. Yah, walaupun sedih harus meninggalkan teman lama, tapi aku harus tetap bisa menyesuaikan diri. Toh, ini bukan baru kali pertama aku pindah sekolah. Orangtuaku sering dipindah tugaskan, jadi aku sudah terbiasa seperti ini. Yah, seperti nomaden gitu lah!
Oke, cukup curhatnya. Sekarang waktunya kembali ke sekolah!
Sudah sekitar 10 menit aku mengelilingi sekolah ini, tapi aku tak kunjung menemukan ruang Kepala Sekolah.
“Aaaarrggggghh, mengapa sekolah ini terlalu besar?” gerutuku kesal. Padahal, aku sendiri yang memilih ingin bersekolah disini. Tapi, sekarang aku menyesal telah memilih sekolah ini. Lebih baik aku bersekolah di sekolah negeri yang mempunyai kualitas yang gak kalah bagusnya disbanding sekolah swasta ini.
Sepanjang perjalanan aku terus menggerutu. Mana aku tidak bertemu seorang pun lagi disini. OH NO!!! I’m feeling frustrate!!!
“Hey…” seseorang menepuk pundakku dari belakang, membuatku hampir terjungkal kebelakang ketika aku melihat siapa yang menepukku itu. “Apa yang sedang kamu lakukan disini?” tanyanya.
Melihat orang ini aku nyaris melompat bahagia karena akhirnya aku menemukan penolongku. Dan mungkin sekarang air mataku sudah mulai menitik keluar saking bahagianya.
***
“Oh, jadi kamu sedang mencari ruang kepala sekolah?” tanyaa laki-laki itu.
Aku mengangguk cepat.
Dia tersenyum seraya berkata,”Baiklah, aku akan mengantarmu kesana.”
“Terima kasih banyak, ya. Aku merasa sangat tertolong,” kataku jujur.
Dia kembali tersenyum. “Tidak apa-apa. Sudah menjadi tugas seorang manusia untuk menolong sesama manusia.”
“Terima kasih,” kataku lagi.
“Kamu murid baru?” tanya penasaran.
“Yep!”
“Pantas saja aku seperti tidak pernah melihatmu sebelum ini. Oya, ini ruangannya.”
Aku terdiam sebentar. Bukankah aku tadi sempat melewati ini? Mengapa aku tidak bisa membaca tulisan sebesar ini tadi?
“Kalau begitu, aku tinggal ya. Permisi.” Dia berjalan meninggalkanku tanpa aku sempat mengucapkan terima kasih padanya. Terlebih lagi namanya. Bahkan, aku sudah lupa dengan wajahnya.
***
Suasana kelas tampak hening. Semua orang tampak sibuk dengan buku mereka masing-masing. Sebagian lagi sibuk dengan laptop mereka. Mungkin kalian semua penasaran apa yang sedang mereka lakukan, termasuk aku. Tapi, yang pasti mereka sedang belajar, bukan bermain-main.
“Hey, kamu murid baru kan” tanya perempuan yang duduk disebelah kananku.
“Ya,” kataku sambil mengangguk. Bukankah tadi aku sudah memperkenalkan diri tadi didepan? Tapi kenapa sepertinya tidak ada yang memperhatikanku?
“Aku Cita, senang berkenalan denganmu.” Cita mengulurkan tangannya.
“Indah,” kataku sambil membalas uluran tangannya.
“Kamu pasti sangat kebingungan sekarang.”
Ting tong! Dia benar sekali. Sepertinya ekspresi wajahku terlalu mudah dibaca sampai-sampai  Cita bisa mengetahui apa yang ada dipikiranku.
“Pffftt,” dia seperti sedang menahan tawanya, membuat sedikit kesal. “Maaf-maaf, sekarang kami sedang jam pelajaran bebas. Jadi, masing-masing dari kami mendapat tugas dari guru untuk mengerjakannya. Tapi, masing-masing dari kami mendapatkan tugas berbeda. Ada yang disuruh mengerjakan soal olimpiade Biologi, Fisika, Kimia, Matematika, membuat program, sketsa gambar, dan desain.
Sebenarnya, ini adalah kelas khusus, yang isinya orang yang mempunyai bakat dan keahlian mereka masing-masing, baik itu akademik, seni, maupun olahraga. Tapi, disini isinya adalah orang-orang yang punya keahlian, baik di akademik maupun non akademik,” jelas Cita.
“Oh…” gumamku kagum. Jadi, kelas ini isinya orang-orang hebat. Sebentar, lalu apa keahlianku?
“Lalu, apa yang keahlianmu sehingga kamu bisa masuk ke kelas ini?”
Ting tong! Lagi-lagi dia bertanya tentang pertanyaan bagus lagi. Apa ya keahlianku?
“Maaf, bukannya sombong, tapi gak sembarang orang yang bisa masuk ke kelas ini. Ada banyak tes untuk bisa masuk kelas ini. Lihatlah, kelas ini hanya terdiri dari 30 orang saja, sedangkan kelas lainnya berisi 35-40 orang.”
Ah, aku kembali merasa putus asa. Mengapa Pak Kepala Sekolah memasukkan aku ke kelas ini?
“Entahlah! Aku kurang tau,” jawabku lemah.
“Sudahlah, jangan pesimis dulu. Toh, kamu murid baru. Butuh waktu untuk bisa menyesuaikan diri. Lagipula, aku tau kamu pasti punya sesuatu dalam dirimu yang belum kamu ketahui.”
“Oya?”
“Sudah kubilang, tidak sembarang orang bisa masuk kelas ini.”
***
Cita Yuniar

“Cita… Bagaimana ini? Aku lupa bawa dompet.”
Aku memutar kedua bola mataku. Anak baru ini ternyata membuatku cukup repot hari ini. Pertama, kesekolah tidak membawa buku apapun kecuali alat tulis. Kedua, tidak sengaja menjatuhkan mikroskop di laboratorium. Untung saja Kevin cepat tanggap menangkap mikroskop itu jika tidak dia akan mendapat masalah. Dan sekarang… LUPA BAWA DOMPET??? YANG BENAR SAJA!!!
“Indah, kapan sih kamu tidak membuat masalah? Masa semuanya harus aku yang urus?” omelku sambil mencubit kedua pipinya gemas.
“Aaahh, sakeett,” katanya lucu. Kulepaskan kedua tanganku dari pipinya. “Ya maaf. Aku sendiri juga bingung kenapa bisa lupa bawa dompet. Lain kali gak kayak gini, deh!”
Aku menghela napas. “Baiklah, hari ini aku traktir kamu. Tapi, lain kali kamu harus traktir aku dua kali lipat, ya...”
“Siap bos!!!” sahutnya sambil membawa makanan dan minuman kami ke meja.
“Hari ini sepertinya aku benar-benar kurang beruntung,” katanya tiba-tiba. Ya, aku mengerti itu dan sangat setuju dengan pernyataannya.”Masa baru hari pertama aku sudah bikin masalah,, tadi sempat tersesat pula waktu mau nyari ruang kepala sekolah. Terus, sekarang lupa bawa dompet lagi. Sebel banget.”
“Nasib! Lagian, kok bisa? Untung aja tadi pagi itu pelajaran kosong. Kalau nggak, kamu pasti sudah mendapat masalah,” tambahku.
“Tuh kan? Untung aja dewa penolong masih mau menyelamatkanku hari ini. Kalo nggak, habislah aku,” ocehnya sambil memasukkan sesendok penuh siomay kedalam mulutnya. Aku hanya tertawa kecil melihat tingahnya yang lucu. Dia memang sedikit menyusahkan, tapi dia lucu dan baik. Entah apa yang membuat hatiku tergerak untuk berkenalan dan ingin berteman dengannya.
“Hai, Vin,” panggil cewek-cewek yang duduk di meja sebelah kanan kami dengan genit.
Aku menoleh dan melihat 4 orang cowok sedang membawa makanan dan minuman mereka. Ah, biar kutebak! Para lelaki itu akan menyahut dan melancarkan rayuan mereka pada cewek-cewek itu dan menyuruh mereka untuk memberi mereka tempat karena disini sudah tidak ada tempat lagi.
“Hai, semuanya. Kalian semua selalu terlihat cantik setiap hari,” kata salah satu cowok dari mereka.
“Aaahh, kalian bisa saja.”
Oke, to the point aja. Aku mau muntah kalo mereka tetap melanjutkannya.
“Bolehkah kami duduk disini?” kata cowok yang tadi.
Cewek-cewek itu berteriak senang. “Tentu saja. Lagipula kami semua sudah selesa. Kalian berempat silahkan duduk saja disini.”
“Baiklah, kalo begitu terima kasih.”
“Cit, Cit, CITAAA…”
“Ya?” tanyaku kaget. Kenapa dia tiba-tiba memanggilku?
“Kamu kenapa ngelamun, sih? Aku tuh udah berapa kali manggil kamu. Sampe bosan, nih!” omelnya.
“Ya, maaf.” Aku kembali memperhatikan cowok-cowok tadi. Aku merasa aneh, dari dulu sampai sekarang kenapa pandanganku tidak pernah lepas dari orang itu.
“Jadi, siapa yang sedang kamu incar diantara mereka?”
Aku terkejut ketika mengetahui Indah sudah duduk disampingku sambil ikut memperhatikan 4 cowok itu. “Ng…nggak! Aku…”
“Sudahlah, ngaku aja,” katanya.
Aku hanya diam dan tersipu malu. “Aku hanya merasa aneh karena akhirnya mereka bisa berkumpul secara lengkap,” aku mencoba untuk mengalihkan pembicaraan.
“Lengkap? Emangnya mereka gak pernah ngumpul bareng kayak gitu?”
Sip, akhirnya dia salah fokus.
“Yep! Biasanya mereka bertiga. Yah, walaupun sekarang anggota mereka belum lengkap.”
“Masih ada satu lagi?” tanyanya penasaran.
“Iya, satunya lagi di Australia buat studi banding gitu. Tapi, aku hanya merasa aneh sama cowok itu. Biasanya dia suka hilang dan jarang banget ngumpul bareng grupnya.”
“O…”
Gitu doang responnya? Untungnya bel masuk langsung berbunyi. Kalo nggak, bakal aku ceramahin dia abis-abisan.
***
Indah Nurul Hannah

“Jadi, kamu mau ikut ekskul apa nanti?”
Aku masih sibuk menghitung hukum gaya Newton saat dia menanyaiku hal itu.
“Eh, apa ya?” aku berhenti sebentar sambil melirik tugas fisikanya yang ternyata sudah terisi semua. Aku langsung merengut melihatnya. Punyaku masih kurang dua lagi dan itu membuatku cukup frustasi menghitungnya.
“Tentu saja. Disini, setiap orang wajib mengikuti minimal satu ekskul. Yah, kemampuan akademik memang sangat penting, tapi mempunyai kemampuan non akademik bisa jadi nilai plus buat kita,” jelasnya.
Aku terdiam sambil berpikir.”Kira-kira apa, ya?” tanyaku pada diri sendiri. “Hmm, sepertinya itu bisa dipikirkan nanti. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana caranya menyelesaikan soal nomor 9 dan 10 ini?”
Cita tertawa kecil. Sepertinya sedari tadi dia sudah mengetahui masalahku tanpa berniat menawarkan bantuan.
“Baklah, aku ajarin…”
***
“Kira-kira aku mau masuk ekskul apa ya?” tanyaku pada diri sendiri.
Aku sekarang sedang berdiri di lapangan basket sambil mendribel bola basket sembari menunggu mobil jemputanku datang. Sudah lebih dari 30 menit aku menunggu, tapi jemputanku tak kunjung datang.
‘Duk…duk…duk…’ aku masih sibuk mendrible bola basket ini ke tanah, sama sekali belum berminat untuk memasukkannya ke dalam ring yang masih berdiri kokoh di depanku. Ketika aku berniat untuk memasukinya, sebuah bola melayang kearahku.
“AWASSS!!!” teriak seseorang dari pinggiran lapangan basket. Namun terlambat, bola itu sudah menghantam kepalaku dengan sangat keras ke kepalaku.
‘Brukk…’ Aku terjatuh begitu saja karena tidak kuat menahan serangan tiba-tiba itu. Sekilas aku melihat sesosok pria berlari menghampiriku. Namun, mataku tak sempat menerjemahkan siapa laki-laki tersebut karena langsung pingsan ditempat. Selanjutnya, aku tidak tahu apa yang terjadi padaku.
***
To be continued…

PESAWAT KERTAS



            “Dan juara pertama adalah.... Keisha Natasha...”
Semua orang bertepuk tangan dengan riuh dan bergantian  memberi ucapan selamat pada Keisha. Keisha naik ke atas panggung, menerima penghargaan dari kepala sekolah, kemudian menyampaikan beberapa ucapan terima kasih kepada semuanya. Kemudian, ia turun dari panggung dan berjalan menghampiri teman-temannya.
“Selamat Keisha! Kamu memang pantas mendapatkannya,” kata Ani sambil menjabat tangan Keisha.
Keisha tersenyum senang. Kemudian, bergantian ia berjabat tangan dengan teman-temannya yang lain yang juga ingin memberikan selamat kepada Keisha. Perlahan, orang-orang mulai bubar meninggalkan tempat acara. Tak lama, dari atas atap, terlihat ribuan pesawat yang terbuat dari kertas terbang mewarnai langit sekolah dan mendarat di setiap sudut sekolah. Bu Lisa, kepala sekolah Keisha, tampak geram melihat ulah anak-anak muridnya yang dinilainya mengotori sekolah.
“Maaf, bu! Kami berjanji akan membersihkan semuanya,” kata Keisha.
Bu Lisa mengangguk setuju. Ia percaya dengan kata-kata Keisha. Dan benar. Seusai semua pesawat kertas di terbangkan semua, para murid kelas 12 mulai sibuk mencari pesawat kertas. Para osis juga ikut turun tangan karena mereka juga terlibat. Untungnya, mereka tampak senang. Bagi mereka, hari terakhir di SMA adalah hari yang paling di kenang. Dan untuk membuat kenangan-kenangan itu, mereka berencana untuk menerbangkan ribuan pesawat kertas yang mereka ambil dari kertas-kertas yang tidak di pakai.
*
“Senangnya,” seru Nia yang duduk disamping Keisha saat mereka sudah selesai mengumpuli semua pesawat kertas itu.
Keisha yang saat itu sedang meneguk minumannya menghentikan gerakannya dan menoleh kearah Nia sebentar. Kemudian, ia kembali minum.
“Tentu saja,” kata Keisha setelah ia selesai menghabiskan minumannya. “Aku benar-benar tidak menyangka kalau acaranya berjalan dengan sukses. Aku pikir, Bu Lisa akan mengamuk karena sekolahnya kita buat kacau.”
“Pfffttt…” Nia menahan tawanya mendengar kata-kata Keisha. “Mana mungkin!  Bu Lisa gak bakalan marah kalau kamu yang ngomong,” kata Nia.
“Jadi, itu alasan kalian menyuruhku untuk bicara soal ini kepada Bu Lisa.”
Nia mengangguk. “Tapi, jangan marah, ya!”
Keisha hanya tersenyum.
“Keisha, nanti kamu mau lanjut kemana?” tanya Ani. Entah sejak kapan ia sudah duduk di samping Keisha.
“Pramugari,” jawab Keisha pasti. Sudah lama ia bermimpi menjadi seorang pramugari.
“Kenapa pramugari? Padahal kamu lebih cocok jadi dokter,” seru Nia.
Keisha menggeleng, kemudian tersenyum kepada kedua temannya.
“Aku ingin menjadi pramugari karena itu mimpiku sejak kecil,” jelasnya.
Keisha jadi teringat masa kecilnya saat mamanya bertanya apa cita-citanya nanti. Ia menjawab ingin keliling dunia dengan menggunakan pesawat. Dan menjadi pramugari adalah bagian dari impiannya itu. Ia berpikir, menjadi pramugari adalah berarti mewujudkan mimpinya.
Tak berapa lama, mobil yang Keisha tunggu tiba. Ia pamit pada kedua temannya, lalu melangkah masuk kedalam mobil.
Mobil itu melaju dengan kecepatan sedang. Namun, saat mobil mereka berada di persimpangan, sebuah mobil kijang yang datang dari arah yang berlawanan melaju dengan kecepatan kencang menerobos lampu merah. Saat mobil itu berusaha untuk mengerem, mobil itu malah membanting stirnya ke sebelah kanan menabrak mobil yang ditumpangi Keisha. Mobil yang di tumpangi Keisha tak dapat menghindar sehingga tabrakan itu tak dapat dihindari lagi.
Mobil yang di tumpangi Keisha terbalik. Keisha yang saat itu sedang asyik mengutak-atik ponselnya terkejut dan langsung tak sadarkan diri.
*
‘Tiitt… tiittt… tiitt…’ bunyi mesin untuk memeriksa detak jantung terdengar menyakitkan telinga. Keisha bangun dan melihat kedua orangtuanya sedang menangis di sampingnya. Ia merasa bingung. Tapi, ia mencoba untuk bersikap biasa.
“Ma, pa, ada apa? Apa yang terjadi?” tanya Keisha. Ia masih belum ingat dengan kecelakaan yang ia alami saat itu.
Keisha menatap mama dan papanya lama, berharap salah satu dari mereka bisa menjawab pertanyaannya yang mudah. Tapi, kelihatannya mereka berdua enggan menjawab. Ada rasa penasaran yang menggebu-gebu dalam dirinya.
Ia biarkan kedua orangtuanya diam dan mencoba bangkit dari tempat tidur agar ia bisa melihat lebih jelas kedua orangtuanya. Namun, ia merasa kakinya tak bisa digerakkan. Rasa pusing dikepalanya membuat ia kembali berbaring.
“Keisha...” kata mama dan papanya serempak. Ada rasa khawatir yang tergambar di wajah mereka.
“Ma, pa, kok Keisha tidak bisa merasakan apapun di kaki Keisha. Kenapa, ma?”
Pertanyaan Keisha membuat air mata mamanya tumpah. Papa langsung menenangkan istrinya yang saat itu tidak bisa berhenti menangis.
“Ma, pa, jawab, dong! Keisha kan gak tahu kalau mama dan papa gak jawab. Keisha janji Keisha gak bakal protes atau komentar dengan apa yang Keisha dengar nanti,” janji Keisha.
Papa Keisha mengambil napas panjang, kemudian menghembuskannya dengan pelan. Perlu cukup persiapan untuk mengatakan hal itu pada Keisha. Beliau berharap, Keisha bisa menerimanya dengan hati yang lapang saat ia mengetahuinya nanti.
“Begini, Keisha. Beberapa hari yang lalu, kamu mengalami kecelakaan. Sudah hampir seminggu kamu tak sadarkan diri...”
“Lalu?” potong Keisha seolah tak sabar menantikan kata-kata selanjutnya. Ia berharap tidak terjadi sesuatu yang menghebohkannya nanti.
“Papa mengkhawatirkan soal kakimu,” sambung papanya.
Keisha masih terdiam, tak mengerti kemana arah pembicaraan papanya.
“Kaki sebelah kananmu hancur. Jadi... harus diamputasi.”
Sesaat, suasana berubah menjadi hening. Tak ada satupun dari mereka yang membuka mulut. Beberapa detik kemudian, setelah Keisha bisa mencerna semua yang papanya katakan, ia terdiam. Ia sudah berjanji tidak akan protes. Tapi, ia menjadi sangat kesal. Jika ia hanya punya satu kaki, itu berarti ia tidak bisa menjadi pramugari.
*
Sudah seminggu lebih sejak kepulangannya dari rumah sakit, ia terus mengurung dirinya di kamar. Ia jadi sulit diatur. Teman-temannya yang ingin datang menjenguk tak ia hiraukan. Bahkan, ia malah mengusir mereka semua yang datang. Melihat tingkah putrinya itu, kedua orangtuanya jadi khawatir. Mereka tidak tahu apa yang harus lakukan untuk membuat putri mereka menjadi seperti dulu.
“Keisha, buka pintunya! Ayo makan dulu! Nanti kamu sakit,” kata mamanya lembut.
Keisha membuka pintu kamarnya, mengambil nampan yang dibawa mamanya, lalu menutupnya kembali tanpa mengucapkan sepatah katapun. Beliau hanya bisa mengurut dadanya melihat sikap Keisha tadi.
*
Keisha terbangun dari tidurnya saat ia mendengar ponselnya berbunyi karena alarm. Ia melihat layar ponselnya sebentar, lalu mematikannya. Seharusnya, hari ini ia pergi ke sekolah pramugari untuk belajar. Namun, karena kecelakaan yang ia alami, membuat cita-citanya menjadi hancur.
Ia bangkit dari tempat tidurnya, duduk dikursi roda, kemudian hendak keluar dari kamar. Namun, gerakannya terhenti saat melihat selebaran tentang pramugari bertebaran di meja belajarnya. Melihat hal itu, ia menjadi kesal. Diambilnya semua selebaran itu, dibuatnya pesawat kertas, lalu ia terbangkan keluar jendela kamarnya.
Pesawat-pesawat itu terbang kesana kemari mengikuti kemana angin melaju. Keisha melihat pesawat-pesawat itu lama. Seandainya ia tidak mengalami kecelakaan itu, seandainya kakinya tidak hancur, seandainya…
“Aaarrrgggghhhh……..” Keisha meninju dinding kamarnya dengan penuh amarah. Ia hanya bisa memikirkan seandainya. Kenyataannya, tidak seperti yang ia harapkan. Satu mimpi yang ia inginkan sudah terbang tinggi meninggalkannya. Tidak tahu kemana mimpi itu akan mendarat. Namun, ia mulai berpikir semoga bukan hanya itu saja mimpinya.
*
Udara di taman rumah sakit terasa sangat sejuk. Bunga-bunga bermekaran dengan indah saat itu. Keisha memetik satu, kemudian ia selipkan ke telinganya. Dalam hati ia berharap, semoga tak ada seorang pun yang memarahinya karena telah memetik bunga sembarangan.
Siang itu Keisha datang kerumah sakit untuk menjalani terapi. Ia mulai bisa menerima kenyataan kalau ia hanya punya satu kaki dan merelakan mimpinya terbang jauh. Baginya yang terpenting adalah membahagiakan kedua orangtuanya dan orang-orang terdekatnya. Ia tahu, orangtuanya pasti merasa sedih melihat sikapnya beberapa minggu terakhir. Begitu juga dengan teman-temannya. Ia jadi merasa bersalah karena waktu itu telah mengusir mereka. Seharusnya, ia bisa bersikap lebih professional menerima kenyataan hidupnya.
“Kak, mengapa melamun?” tanya seorang anak gadis.
Keisha merasa bingung. Anak itu buta, tapi anak itu tahu kalau ia sedang melamun.
“Tidak apa. Oya, siapa namamu?” tanya Keisha.
“Gita Lestari,” jawab Gita polos.
Keisha tersenyum. “Nama kakak Keisha. Sedang apa kamu disini?”
“Sedang menjalani pemeriksaan rutin. Agak membosankan, sih! Tapi, aku ingin sembuh. Jadi, suka gak suka, aku harus tetap melakukannya,” jawab Gita jujur.
Keisha mengangguk. Anak itu terlihat sangat jujur dan polos. Ia begitu menyukainya. Keisha memandang sekelilingnya. Sepi.
“Kakak cari siapa?” tanya Gita lagi.
“Kamu sendirian kesini?” tanya Keisha bingung.
Gita mengangguk.
“Kok, bisa?” tanya Keisha hati-hati. Ia takut kalau pertanyaan itu menyinggung hati Gita.
“Aku sudah terbiasa,” jawabnya.
Tongkat yang ia bawa mulai bergerak-gerak seperti mencari sesuatu. Kemudian, ia berjalan menuju kursi taman dan duduk disana. Keisha menggerakkan kursi rodanya mendekati Gita.
“Kak, aku memang tidak bisa melihat dengan mata. Aku dilahirkan buta sejak kecil,” kata Gita tiba-tiba. Tangan kanannya bergerak, menepuk-nepuk dadanya pelan. “Tapi, aku bisa melihatnya dengan mata hatiku,” sambungnya.
Keisha menjadi terharu. Bagaimana bisa seorang anak kecil berpikir lebih dewasa dibanding dirinya. Ia menjadi malu mengingat sikapnya yang ia nilai sangat kekanak-kanakan.
“Kamu punya mimpi?” tanya Keisha. Tiba-tiba ia jadi teringat mimpinya saat kecil.
“Ya,” jawab Gita antusias. “Aku bermimpi ingin menjadi seorang penulis.”
Keisha terkesiap mendengar jawaban Gita. Seorang anak gadis buta bermimpi menjadi seorang penulis. Kedengarannya sangat aneh.
“Memang aneh,” seru Gita yang sepertinya bisa membaca pikiran Keisha. “Tapi, suatu saat nanti, aku yakin aku bisa menjadi seorang penulis. Aku tidak akan menyerah.”
Keisha kagum mendengar jawabannya. Ia pun mulai berpikir apa mimpinya. Sudah pasti keliling dunia. Dan ia jadi optimis dengan itu semua. Jika seorang anak gadis buta bisa bermimpi tentang suatu hal yang tidak mungkin, kenapa ia tidak.
*
Rumah sakit benar-benar membuat rindu. Setiap kali Keisha datang kesini, selalu ada sesuatu yang membuatku kembali semangat. Pertama, keinginan untuk sembuh. Kedua, keinginan untuk bertemu Gita. Ia benar-benar menyayanginya seperti adiknya sendiri. Dan tidak bertemu dengannya beberapa hari ini membuatnya benar-benar rindu.
“Oke, sekarang sudah selesai. Sepertinya ada banyak kemajuan sekarang. Saya benar-benar tidak menyangka. Mungkin, dalam waktu dekat ini, kamu sudah bisa menggunakan tongkat. Bahkan, bisa menggunakan kaki palsu,” kata dokter senang.
“Terima kasih, dok! Apa aku boleh pergi sekarang?” tanya Keisha tak sabaran.
Sang dokter mengangguk. Ia tahu kalau Keisha sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Gita. Beberapa hari terakhir mereka sangat akrab. Namun, sepertinya ia melupakan sesuatu.
Keisha melihat ruang tempat Gita dirawat sangat ramai. Ia berjalan mendekat dan melihat orang-orang menangis di dalam ruangan. Ia melangkah masuk ke dalam ruangan dengan bingung. Apa yang terjadi sebenarnya?
“Tante... Gita...”
“Gita sudah pergi, Keisha! Dia sudah pergi meninggalkan dunia ini...” kata Tante Wati, ibunya Gita.
Beberapa saat ia terdiam. Air matanya tumpah begitu saja tanpa bisa ia hentikan. Bagaimana? Bagaimana bisa anak sebaik Gita harus pergi dari dunia secepat ini? Tidak mungkin.
“Tapi... Kenapa, tan?” tanya Keisha tak mengerti.
“Dari kecil ia sudah menderita banyak penyakit dan akhirnya terjadi komplikasi. Oleh sebab itu...” Tante Wati tak dapat melanjutkan kata-katanya lagi.
Semua terus menangis. Tidak mempercayai kenyataan yang benar-benar terjadi. Apakah ini adil buat Gita?
*
Hujan mewarnai proses pemakaman Gita. Keisha dan kedua orangtuanya ikut melayat. Ia ingin melihat Gita untuk kali terakhirnya.
“Ma, kenapa Gita harus mengalami ini semua? Bukankah Gita anak baik? Tapi, mengapa ia harus mengalami ini semua? Apakah Tuhan tidak adil?” tanya Keisha. Ia menatap nanar kuburan Gita.
“Sssttt... Keisha! Kamu tidak boleh bicara seperti itu. Allah itu sungguh adil. Mungkin, ini yang terbaik untuk Gita. Kita tidak bisa berbuat apa-apa atas apa yang telah terjadi,” kata mamanya lembut.
Keisha tak peduli. Ia hanya berpikir benarkah ini yang terbaik untuk Gita?
“Keisha,” panggil Tante Wati. “Ada surat untukmu. Ini, dari Gita.”
Keisha mengambil surat itu dari Tante Wati dan segera membacanya.

Untuk Kak Keisha,
Kak Keisha... Mungkin, saat kakak sedang membaca surat ini, aku sudah tak ada lagi di dunia ini. Tapi, aku ingin kakak tahu sesuatu.
Semenjak aku bertemu kakak, aku merasa senang. Akhirnya, aku bisa mempunyai seorang teman tanpa harus memandangku seperti orang hina. Kakak baik, ceria, dan penuh percaya diri. Dan itu membuatku kagum pada kakak.
Kak, Gita tahu kalau kakak punya mimpi yang sempat hancur karena kaki kakak. Tapi, aku ingin kakak bangkit lagi. Kadang, apa yang kita impikan tidak seperti yang kita harapkan. Dan harapan kita tidak selalu menjadi cita-cita kita.
Kak, teruslah berjuang. Jangan pernah menyerah. Pikirkanlah masa depan kakak. Aku tahu hidupku tak akan lama, tapi aku selalu optimis untuk mengahadapi hari esok. Jadi, aku ingin kakak sepertiku. Selama kita masih hidup, kita harus bisa membahagiakan orang-orang di sekitar kita. Sekali lagi, jangan menyerah. Semangat!!!

Adikmu tersayang,

Gita

Surat itu sudah basah oleh air. Bukan karena hujan, tapi oleh air mata Keisha yang jatuh tanpa bisa dibendung lagi. Ia tak habis pikir bagaimana bisa ia rela menyuruh perawat untuk menulis surat ini. Kata-katanya begitu menyentuh, hingga rasanya ia merasa malu pada Gita.
“Ma,” panggil Keisha setelah ia merasa agak baikan.
“Ada apa, Keisha?” tanya mamanya bingung.
“Aku ingin mama melakukan sesuatu untukku. Apakah mama mau?”
“Dengan senang hati,” jawab mamanya tulus.
*
            5 tahun kemudian….
Bunyi pesawat sedang lepas landas benar-benar membuat saking telinga. Apalagi, saat pesawat mulai terbang ke angkas, membuat telinga semakin sakit. Keisha sengaja mengunyah permen karet supaya telinganya tidak sakit.
“Setelah ini kita akan pergi ke Singapura untuk mengadakan launching buku barumu. Kemudian, kita akan pergi ke Malaysia...”
Asisten Keisha terus berceloteh tentang jadwalnya. Untungnya, ia segera berhenti karena para pramugari sudah mendelik kesal kearahnya. Keisha tidak berhenti memandang langit di depannya. Kemudian, ia mendesah.
“Keisha, apa yang sedang kamu pikirkan?” tanya mama yang duduk tepat di sebelahnya.
“Hanya masalah impian, harapan, dan cita-cita,” jawab Keisha. Ia kembali memandang langit. “Kurasa apa yang ia katakan ada benarnya. Tak semua impian seperti yang kita harapkan. Dan harapan kita tak selalu menjadi apa yang kita cita-citakan. Yang terpenting adalah semangat serta usaha.”
Mamanya tersenyum bangga. Ia senang karena putrinya bangkit lagi dari keterpurukannya. Dan beliau juga ingin berterima kasih  kepada Gita. Karena dia, putrinya bisa menjadi orang yang tegar.
Pesawat itu terus terbang tinggi menuju angkasa. Menggapai langit harapan dan cita-cita. Menuju gerbang masa depan yang cemerlang dan indah. Dengan usaha dan doa, semua itu akan terwujud. Tanpa itu, apa yang telah lama di impikan, hanya akan menjadi mimpi konyol dalam keterpurukan. Dan Keisha memahami itu semua. Dan ia bangga menjadi seorang penulis seperti sekarang.

SELESAI

DI BAWAH LANGIT MENDUNG


‘Jlleedarr’
Suara guntur memekakkan telinga. Aku menutup jendela ruang tempat kakak di rawat. Aku harus bertarung dengan angin yang begitu kencang. Aku berhasil menutup jendela itu. Sambil memandang langit, aku melamun.
“Dinda,” panggil Kak Geo lemah.
Aku menoleh dan berjalan mendekatinya. Kulihat dia membelai tanganku lembut sambil memandangku penuh arti.
“Ada apa? Apa yang kau pikirkan?” tanyanya.
Aku tersenyum. Melihat kakakku berbaring lemah di rumah sakit ini membuatku merasa simpati. Mama bekerja keras pagi hingga malam mencari uang  untuk biaya operasi kakak. Sedangkan, aku bermalas-malasan di rumah.
“Banyak,” jawabku. “UN, PTN, kakak, mama, papa...”
Kak Geo tertawa mendengar jawabanku. Aku menyerngit bingung.
“Ada apa? Ada yang lucu?” tanyaku penuh selidik.
“Tentu saja,” jawabnya. “Kamu benar-benar lucu. Kamu tahu tidak, kamu itu lama-lama mulai mirip mama. Sibuk dengan ini itu, sibuk memikirkan ini dan itu. Apa kamu berencana untuk menikah setelah lulus sekolah?”
Aku sudah bersiap untuk menghajarnya habis-habisan, jika aku tidak ingat kalau  ia sedang sakit. Dia ini., sedang sakit pun masih sempat mengatai orang.
“Aku capek!” katanya tiba-tiba.
Aku menatapnya dengan tatapan letih. Sungguh Geo yang malang. Sudah hampir setahun ia berbaring di rumah sakit. Ia terlihat bosan berada disini.
“Kakak tidur saja.” Aku menaikkan selimutnya hingga menutupi dada.
“Bukan, bukan itu maksudku. Maksudku, aku sudah capek seperti ini. Aku ingin mengakhiri segalanya,” katanya.
“Jangan berpikir yang macam-macam, kak!” kataku. Aku berharap ia tidak memikirkan soal kematian. “Tidurlah.”
Aku menatap matanya yang indah. Kugenggam erat tangannya yang hangat. Dari situ, kusalurkan rasa kasih dan sayangku yang tulus kepadanya. Dengan begini, apakah dia bisa merasakan kehadiran diriku dalam dirinya?
“Selamat tidur,” ucapku.
“Selamat tidur,” balasnya.
Tak lama, ia tertidur pulas. Kulirik jam tanganku yang menunjukkan pukul 9 malam. Sudah waktunya aku pulang.
Kumatikan lampu ruangannya dan berjalan keluar tanpa membuat suara gaduh. Lalu, perlahan aku meninggalkan rumah sakit ini.
*
“Assalammualaikum,” ucapku ketika aku sudah sampai di rumah.
“Wa’alaikumsalam,” balas mama. Ia tampak sibuk dengan acara menjahitnya.
Kuabaikan mama yang tampak serius itu. Aku berjalan masuk ke kamar, kemudian menghempaskan badanku di ranjangku yang paling nyaman. Hari ini aku benar-benar letih. Dalam hati aku bertanya, apakah aku bisa melewati ini semua? Besok, aku harus mengikuti Ujian Nasional. Ah, aku tidak yakin bisa melewati ini semua dengan mudah. Tapi, dalam hati aku berharap, semoga aku bisa melewati ini semua.
*
Hari berlalu dengan cepat. Tanpa sadar Ujian Nasional sudah kulewati. Ada banyak hambatan, tapi aku harap itu bukan masalah besar. Kupercerpat langkah kakiku menuju ruangan tempat kakak di rawat. Ah, aku benar-benar merindukannya.
“Selamat siang, kak!” seruku saat aku masuk ke ruangannya.
“Oh, kamu datang begitu cepat. Apa ujian sudah selesai?” tanyanya.
“Ya,” jawabku sambil menarik kursi ke samping ranjangnya.
“Bagaimana ujiannya?” tanyanya lagi.
“Umm… lumayan sulit. Tapi, aku bisa mengerjakannya. Ini semua berkat Kak Geo yang mau mengajariku. Aku sudah banyak merepotkan kakak,” ujarku.
“Tidak apa-apa,” katanya. “Aku senang bisa membantumu.”
Ia menatap mataku dalam-dalam membuatku salting. Melihatnya seperti itu, aku jadi deg-degan. Ah, perasaan apa ini? Apa aku mulai menyukai kakakku?
“Kamu ikut bimbel?”
“Apa?” tanyaku.
“Kamu ikut bimbel?” ulangnya.
Aku menggeleng. “Aku kerja sambilan untuk mencari uang. Aku tidak ingin kakak berlama-lama di rumah sakit. Pokoknya, kakak harus sembuh. Sungguh, aku merasa sangat kesepian jika aku di rumah,” ujarku.
Dia membelai rambutku pelan dan menyentuh pipiku lembut.
“Kalau begitu, minggu depan kita jalan-jalan, yuk?” ajaknya.
Aku mengangguk senang. Akhirnya, aku bisa jalan-jalan lagi dengan Kak Geo. Hari minggu, tunggu aku!
*
“Selamat malam! Sampai jumpa,” kataku sambil berjalan keluar restoran.
Hari ini aku bekerja di sebuah restoran keluarga untuk membantu biaya operasi kakakku. Pernahkah aku bilang penyakit apa yang kakakku derita? Umm… kurasa belum. Kakakku menderita kanker otak stadium dua. Oleh karena itu, ia harus segera di operasi supaya kankernya itu tidak bertambah parah.
Melihat bagaimana perjuangan ibuku untuk mencari uang, aku tidak tega. Sejak itu, aku diam-diam kerja sambilan. Tak ada yang tahu, kecuali Kak Geo.
*
‘Praanggg’
Bunyi gelas pecah itu berasal dari dapur belakang. Aku mendesah. Kupercepat langkahku memasuki kamar. Lagi-lagi terjadi lagi. Inilah yang membuatku merasa bosan berada di rumah.
“Kenapa papa melakukan ini semua?” tanya mama.
Aku menghempaskan tubuhku ke ranjang. Kututup kepalaku dengan bantal. tidak ingin mendengar suara gaduh itu.
“Ini semua gara-gara mama. Coba mama tidak mengambilnya, semua ini tidak akan terjadi,” jawab papa.
Aku terus mengurung diri di kamar. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang mereka katakan. Sejak kemarin, mereka terus membicarakan hal itu. Beruntung Kak Geo tidak ada disini. Jadi, dia tidak perlu mendengar semua pertengkaran yang membosankan ini.
“Aaaahhhh...”
Kudengar mama berteriak kencang. Aku khawatir dan lasung melangkah turun ke dapur. Mama sedang duduk berlutut di samping meja makan. Wajahnya merah bekas di tampar. Aku menatapnya sedih.
“Mama...”
Aku memeluk mama erat. Sungguh menyedihkan. Aku dan mama memang orang yang paling hebat, bisa bertahan diantara reruntuhan rumah tangga ini. Dan aku tak tahu apakah itu suatu kebanggaan atau tidak. Aku tak peduli. Sungguh, aku hanya ingin keluargaku utuh dan bisa hidup bahagia. Apa aku bisa mendapatkannya?
*
   Pagi itu udara sangat sejuk. Cuaca saat ini sangat mendukung untuk pergi jalan-jalan. Kudorong kursi roda Kak Geo ke taman. Disini adalah tempat yang paling indah di rumah sakit.
“Dinda,” panggil Kak Geo membuatku menoleh. “Ada apa? Sejak kemarin kamu melamun terus. Ada apa? Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?” tanya Kak Geo dengan tampang penasaran.
Aku menggeleng. Aku tidak ingin Kak Geo mengetahui apa yang telah terjadi di rumah selama ia berada di rumah sakit. Cukup sudah ia memikirkan tentang penyakitnya. Aku tidak ingin menambah bebannya lagi.
“Aku lapar,” jawabku asal-asalan. Sedetik kemudian, perutku benar-benar keroncongan. Tuhan memang mendukungku sepenuhnya.
“Kalau begitu, ayo makan!” ajaknya semangat.
Kami membentangkan tikar disana, lalu menata makanan yang sengaja kubawa dari rumah supaya aku bisa makan bersamanya disini. Mama sengaja masak banyak untuk kami. Sayang, mama harus bekerja dan tidak bisa ikut bersama kami. Kalau papa… Taruhan, deh! Dia pasti tidak mau.
“Selamat makan,” kataku.
Tak lupa kami berdoa, kemudian melahap semua makanan itu sampai habis. Setelah itu, kami bermain perahu kertas sampai-sampai kami dimarahi tukang kebersihan karena dituduh telah mengotori lingkungan rumah sakit. Aku sangat senang. Begitu juga dengan Kak Geo. Ia kelihatan begitu bahagia.
“Dinda, ada sesuatu yang ingin kukatakan,” katanya serius.
Aku yang saat itu sedang mengganti bunga hanya menyerngit bingung.
“Segitu pentingnya sampai kakak terlihat begitu serius,” kataku berusaha untuk tertawa. Tapi, ia sama sekali tidak tertawa.
“Ini serius, Dinda! Aku tidak main-main,” katanya dengan wajah yang memerah membuatku semakin tertawa. Ia menatapku dengan tatapan sengit.
“Oke, baiklah!” kataku setelah aku bisa menghentikan tawa konyolku ini. “Apa yang ingin kakak katakan?”
 “Umm… itu… tentang perasaanku. Aku ingin kamu tahu…” Ia berhenti sebentar, lalu menatapku serius. “Aku menyukaimu.”
Aku diam sebentar.
“Aku juga, kak! Aku saaangat menyukai kakak,” kataku.
“Bukan… Bukan itu maksudku. Aku menyukaimu sebagai seorang perempuan, bukan sebagai adik. Aku… mencintaimu,” katanya.
Aku terdiam. Kata-katanya membuatku deg-degan. Apakah ini lelucon? Atau sebuah kejutan? Aku ingin tertawa, tapi ia kelihatan serius.
“Kak… Aku tidak mengerti. Kita kakak adik. Tidak mungkin diantara kita ada perasaan seperti itu,” tukasku.
Ia menggenggam tanganku erat. Tangannya yang lain menyentuh pipiku lembut. Tatapan matanya menunjukkan kalau ia serius.
“Dinda,” panggilnya lembut membuatku deg-degan.
“Maaf, kak!”
Aku melepaskan diri dari Kak Geo dan berjalan keluar tanpa mengucapkan sepatah kata lagi padanya. Kenapa Kak Geo? Aku tidak mengenalnya yang itu. Aku….
‘Deg… deg..’
Ah, mengapa aku berdebar-debar. Aku senang saat kakak bilang kalau ia menyukaiku. Aku juga. Tapi… Aku benar-benar tidak mengerti. Ah, apa yang terjadi sebenarnya?
*
“Dinda,” panggil Keyla, teman kerja paruh waktuku di restoran.
Aku tersentak kaget. Untung saja nampan yang kubawa tidak jatuh. Kalau tidak, aku bakal habis.
“Yah, ngelamun lagi. Kamu dipanggil manajer sekarang. Buruan,” katanya.
Aku bergegas ke ruang manajer. Disana, ia sedang berdiri sambil melipat kedua tangannya di dada. Saat aku masuk, ia langsung menatapku dengan… Aku tak tahu pasti. Soalnya, aku langsung menundukkan kepalaku
“Kamu tahu kenapa kamu dipanggil kesini?” tanyanya dingin.
Aku menggeleng. Mana aku tahu. Tiba-tiba saja aku dipanggil. Apa aku telah melakukan kesalahan?
“Oh, kamu benar-benar tidak tahu?” tanyanya tak percaya.
Aku kembali menggeleng. Aku benar-benar tidak tahu. Sungguh.
“Ini.” Ia melempar sebuah amplop warna coklat ke atas meja. Aku terdiam memandanginya.  Apa maksudnya?
“Sa… saya… dipecat, pak?” tanyaku takut-takut.
Manajer itu malah tertawa mendengar pertanyaanku. Aku menyerngit bingung. Bagian mananya yang lucu?
“Bukan…” katanya setelah ia berhenti tertawa. “Kamu tidak dipecat. Saya hanya membermu gaji. Bukankah ini akhir bulan?”
Hah? Benarkah? Kenapa aku ini bodoh sekali.
“Umm… terimakasih, pak!” ucapku. Aku tak tahu lagi harus berkata apa.
“Baiklah, silahkan keluar,” perintahnya.
Aku keluar dengan hati gembira. Kuhitung jumlah uangnya. Ah, dengan begini, kakak bisa segera di operasi. Kakak, tunggu aku.
*
Mama tampak sibuk menghitung seluruh jumlah uang yang kami punya. Aku menunggu dengan cemas. Semoga cukup, semoga cukup.
“Haahh…” mama mendesah. Apa uangnya tidak cukup?
“Ada apa, ma?” tanyaku.
“Akhirnya, uangnya sudah terkumpul. Dengan begini, Geo bisa langsung di operasi,” kata mama dengan wajah senang.
Aku menghembuskan napas lega. Mama benar-benar bikin aku khawatir. Dengan begini, Kak Geo sudah bisa operasi. Akhirnya, penantian kakak selama ini tidak sia-sia. Tunggulah kami, kakak. Kami akan segera ke rumah sakit sekarang.
*
“Kak Geo,” teriakku senang. Aku langsung memeluk kakak erat.
“Dinda,” katanya senang. Ia membalas pelukanku.
‘Deg’
Ya ampun, kenapa aku berdebar-debar. Tiba-tiba saja aku teringat dengan pernyataan kakak waktu itu. Aku langsung melepaskan diri dari pelukan kakak. Tapi, ia kembali menarikku ke dalam pelukannya.
“Jangan,” katanya. “Jangan dulu… Biarkan aku seperti ini sebenatar,” katanya.
Kubiarkan kakak memelukku. Terdengar jelas suara detak jantung kakak. Ah, apa dia juga berdebar-debar?
“Kak, apa kakak takut?” tanyaku.
“Ya,” jawabnya. Ia masih memelukku dengan erat. “Aku takut aku tidak bisa melihatmu lagi. Aku takut aku tidak bisa menyentuhmu lagi. Aku takut. Aku benar-benar takut.”
Aku tersenyum. “Aku juga, kak. Mama juga. Tapi, kami berharap operasi ini berjalan lancar,” kataku berusaha menenangkannya.
“Kamu belum menjawab pernyataanku waktu itu,” katanya tiba-tiba.
‘Blush’
Wajahku langsung memerah. Untung saja ia tidak bisa melihatnya.
“Ah, yang waktu itu. Aku… aku…”
Arrrghhh, kenapa susah sekali mengatakannya. Katakan saja aku suka dia hanya sebagai keluarga. Kenapa susah sekali. Tapi…
“Jawab yang jujur,” pintanya. Ia melepaskan pelukannya dan menatapku.
“A, aku… aku juga suka kakak. Aku tidak tahu sejak kapan. Kupikir rasa suka ini hanyalah rasa suka sebagai keluarga. Tapi, setelah kupikir-pikir, ternyata aku salah. Aku juga menyukai kakak,” ujarku malu.
“Benarkah?” tanyanya dengan wajah sumringah.
Ah, dia benar-benar senang. Tapi, bagaimana ini? Bukankah kita kakak adik? Apa boleh kita punya perasaan seperti ini? Ingin kukatakan seperti itu padanya. Tapi, ia sudah lebih dulu berbicara yang lain.
“Syukurlah. Dengan begini, aku bisa tenang,” katanya.
“Geo, sudah saatnya kamu operasi,” kata mama setelah ia selesai mengurus administrasinya.
Kami berjalan ke ruang operasi. Aku berjalan dengan gugup. Apakah ini akan berhasil? Kak Geo menggenggam tanganku erat.
“Dinda, mungkin ini sudah terlambat. Tapi, aku senang aku bisa mendengar jawabanmu. Aku tahu kamu pasti memikirkannya. Tapi, cepat atau lambat, kamu akan tahu jawabannya. Maaf, aku belum bisa memberitahumu tentang itu,” cerocosnya.
Aku menyerngit bingung. Ia bicara tentang apa? Apa yang akan kuketahui nanti? Aku benar-benar ingin bertanya, tetapi ia sudah masuk ke ruang operasi.
Semoga berhasil, batinku
*
Langit tampak mendung. Sepertinya akan turun hujan. Namun, waktu telah berlalu dan hujan tak kunjung turun. Tanah gersang baru saja ingin berteriak gembira ketika melihat matahari muncul kembali dari kegelapan awan. Apa langit sedang bercanda? Ia sengaja membuat langit mendung, kemudian menjatuhkan harapan kami yang mengharapkan hujan turun dengan memunculkan matahari.
Suara gemuruh terdengar di depan rumah. Sepertinya mama dan papa sudah kembali dari pemakaman. Aku mendesah. Air mataku kembali tumpah. Mengapa? Mengapa kakak pergi meninggalkanku? Mengapa? Padahal aku sudah terlanjur menyukainya. Lalu, bagaimana dengan perasaan ini? Apa yang harus kulakukan dengan hatiku yang separuh hancur ini?
“Sudahlah, ma! Sudah saatnya dia pergi. Ikhlaskan saja,” hibur papa.
Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Bukankah operasinya berjalan dengan sukses? Bukankah dokter bilang kakak akan sembuh jika dia operasi?
Aku masih ingat kata-kata terakhir kakak sebelum ia sempat menghembuskan nafas terakhir.
“Dinda, jaga dirimu baik-baik. Sampai kapanpun, aku tetap mencintaimu.”
Apa yang kakak katakan? Aku benar-benar tidak mengerti. Apakah kakak tahu kalau aku kesepian disini. Sepi sendiri. Tak ada yang menemani. Separuh hatiku telah pergi ke dunia lain. Dunia yang berbeda denganku. Lalu, harus kuapakan separuh hatiku yang hancur ini.
“Ma, sudahlah. Jangan menangis lagi. Untuk apa menangisi dia? Bukannya dia bukan anak kita?” tanya papa.
APA? Apa yang papa katakan? BUKAN ANAK KITA? Apa maksudnya?
“Pa, jangan bicara seperti itu. Walau dia bukan anak kandungku, tapi dia sudah aku anggap anakku sendiri,” kata mama.
Apa? Jadi, Kak Geo bukan kakak kandungku. Oh, aku baru ingat kata-kata kakak sebelum dioperasi. Apakah ini yang dia maksud?
“Kau ini bodoh sekali. Kau lebih memilih bocah tengik itu daripada suamimu. Kau tahu tidak, aku ini sudah kau terlantarkan selama 4 bulan terakhir ini. Kau bekerja siang malam untuk membiayai operasinya yang gagal itu. Bukankah itu sia-sia?” bentak papa.
‘Kriieekk’
Aku keluar dari kamarku. Biasanya aku akan terus berdiam diri di dalam kamar, sengaja menulikan apa yang mereka katakan. Tapi, kali ini aku tidak bisa tinggal diam. Pertama, dia telah mengatai mama dengan sangat kejam. Kedua, Kak Geo. Aku tak akan siapapun menghinanya, termasuk papaku sendiri. Tidak, bukan berarti aku lebih mementingkan cintaku ketimbang orangtuaku. Tapi, papa benar-benar kelewatan.
“Papa,” kataku garang. “Cabut semua kata-kata papa. Cukup sudah papa menghina Kak Geo. Cukup sudah papa menyakiti hati mama. Bukankah papa sudah menelantarkan kami selama 10 bulan? Papa tak pernah bekerja. Aku malu punya seorang bapak yang pengangguran dan kerjaannya marah-marah. Papa tahu, papa itu tidak tahu diri. Tidak tahu berhutang budi.”
‘Plaakk’
Satu tamparan mendarat dengan bebas di pipiku. Bibirku berdarah karena papa menamparku dengan kuat. Mama tampak khawatir.
“Kamu sudah berani kurang ajar, hah? Dasar anak tak tahu diri.”
Papa ingin menamparku lagi. Tapi, mama menahannya.
“Cukup! Sekarang, lebih baik kau pergi dari rumah ini. Aku sudah tidak tahan lagi denganmu. Cukup sudah aku menahan diri. Sekarang juga kemasi barang-barangmu dan pergi dari rumahku,” kata mama.
Papa terdiam. Oh, akhirnya dia tidak bisa berkutik lagi. Aku menyungging senyum sinis padanya. Kena kau sekarang, pa!
“Ayo, cepat!” perintah mama.
Papa segera mengemasi barang-barangnya dan pergi dari rumah. Kutatap langit yang kembali mendung. Oh, aku tak tahu bagaimana suasana hatiku. Hatiku sudah hancur. Aku ingin menangis. Tapi, tak bisa. Bagai langit mendung yang tidak menurunkan hujan, aku rasa diriku sama dengan langit mendung saat ini
*
Sudah satu bulan sejak kejadian itu. Tapi mama kelihatan begitu sedih. Mama sudah bercerai dari papa. Tapi, mengapa mama sedih?
“Apa mama menyesal?” bisikku sambil memeluk mama erat.
Semuanya memang sudah pergi. Kak Geo dan papa. Tapi, setidaknya aku masih punya mama yang sangat kusayangi.
“Mungkin. Sejak kemarin, mama terus memikirkan papamu. Seperti, apa yang ia lakukan sekarang? Dimana ia tinggal? Apa yang dia makan?”
“Ma…” Hanya itu yang bisa kukatakan. Bahkan, mama masih memikirkan papa yang segitu jahatnya pada kami. Aku tak tahu mengapa papa berubah. Tapi, tak bisa dipungkiri. Kadang, aku juga merindukan papa.
“Kau juga, sayang?” tanya mama lembut.
“Sedikit,” kataku jujur. “Tapi, lebih baik papa tidak kembali kesini. Aku tidak ingin mama menderita lagi.”
Mama membelai rambutku dengan penuh kasih sayang. Mama yang hebat. Mama yang selalu menginspirasiku untuk dapat lebih maju. Mama yang selalu menguatkan dan melindungiku. Aku sayang mama. Aku tidak ingin kehilangan mamaku yang hanya satu-satunya di dunia ini.
“Setidaknya aku masih punya mama,” ujarku. Hanya itu yang bisa kukatakan dari ribuan kata yang ingin kusampaikan. “Jadi, mama jangan pergi dariku. Aku tidak mau hidup tanpa mama. Aku sayang mama.”
Mama memelukku erat, kemudian mencium dahiku dengan lembut.
“Tidurlah, sayang! Hari sudah larut malam.”
Mama mengantarku ke kamar. Ia menyanyikan lagu sebelum tidur dan berdoa untukku. Aku tidak ingat kapan terakhir kali mama bernyanyi untukku atau membaca dongeng sebelum tidur. Aku jadi ingat Kak Geo yang selalu jahil saat aku sedang tidur. Atau, papa yang selalu mengajak kami bermain saat malam. Aku tidak ingat kapan masa-masa terindah itu berakhir begitu saja.
‘Kriingg’
Dering telepon berbunyi. Mama turun ke bawah untuk mengangkat telepon. Kudengar mama begitu shock. Apa yang telah terjadi? Masih adakah masalah yang harus kami lewati? Apa ini semua belum berakhir?
*
Langit mendung itu masih saja menemani hariku. Dia tak pernah letih menyembunyikan hujan dan matahari dalam kegelapannya. Ia masih bisa bertahan dengan tumpukan-tumpukan es yang masih keras di dalamnya. Benarkah hujan tak akan turun?
Proses pemakaman sudah selesai. Semua orang mulai bubar meninggalkan pemakaman. Kali ini aku datang. Aku datang untuk menghadiri proses pemakaman papa. Apa papa begitu penting untukku sampai aku melangkahkan kaki ke tempat ini? Entahlah, aku tak tahu.
“Dinda, ayo pulang!” ajak mama.
Aku mengangguk dan mengikuti mama berjalan meninggalkan pemakaman. Kulihat mama biasa-biasa saja. Ia tidak menangis histeris seperti waktu Kak Geo meninggal. Aku bingung melihatnya.
“Mama tidak sedih?” tanyaku.
“Tentu saja sedih,” jawab mama lemah.
Oh, terlihat jelas di wajahnya. Suaranya juga menandakan kesedihan Tapi, mengapa mama tidak menitikkan  air mata sedikitpun?
“Mama sudah tidak bisa menangis lagi. Air mata mama sudah kering,” jawab mama.
Aku menyerngit bingung. Apa aku tadi bersuara? Kurasa tidak.
“Umm… benar,” kataku.
Aku setuju dengan mama. Aku sama dengan mama. Kami sedih, tapi tidak setitik pun menitikkan air mata. Air mata kami telah habis menangisi kepergian orang-orang yang kami sayangi.
Berbeda dengan Kak Geo. Aku tidak bisa menangisi kepergian papa. Air mataku telah kering oleh dendam dan rasa sakit hati. Luka ini tak bisa menutupi kebohongan hati. Senyum ini tak lagi berpura-pura. Dan langit mendung ini menandakan suasana hatiku yang sesungguhnya. Aku hanya bisa mengatakan selamat tinggal masa lalu dan berharap masa depan yang cerah menantiku. Kelak, aku dan mama akan menemukan kebahagian kami suatu saat nanti.

SELESAI