Selasa, 30 Desember 2014

STORY OF MY LOVE (PART I)

Indah Nurul Hannah

Hari ini hari pertama aku masuk sekolah. Aku sedikit merasa gugup, tapi aku sangat senang akhirnya aku bisa pindah ke sekolah yang kuinginkan. Aku pindah ke salah satu sekolah swasta yang sangat terkenal di Jakarta. Disana banyak sekali orang-orang keren, termasuk diriku. Hehehe.
Oya, sebelumnya aku ingin memperkenalkan diriku. Namaku Indah Nurul Hannah. Keluargaku baru saja dipindahkan ke Jakarta karena ada urusan pekerjaan. Sebelumnya aku sempat tinggal di Batam. Yah, walaupun sedih harus meninggalkan teman lama, tapi aku harus tetap bisa menyesuaikan diri. Toh, ini bukan baru kali pertama aku pindah sekolah. Orangtuaku sering dipindah tugaskan, jadi aku sudah terbiasa seperti ini. Yah, seperti nomaden gitu lah!
Oke, cukup curhatnya. Sekarang waktunya kembali ke sekolah!
Sudah sekitar 10 menit aku mengelilingi sekolah ini, tapi aku tak kunjung menemukan ruang Kepala Sekolah.
“Aaaarrggggghh, mengapa sekolah ini terlalu besar?” gerutuku kesal. Padahal, aku sendiri yang memilih ingin bersekolah disini. Tapi, sekarang aku menyesal telah memilih sekolah ini. Lebih baik aku bersekolah di sekolah negeri yang mempunyai kualitas yang gak kalah bagusnya disbanding sekolah swasta ini.
Sepanjang perjalanan aku terus menggerutu. Mana aku tidak bertemu seorang pun lagi disini. OH NO!!! I’m feeling frustrate!!!
“Hey…” seseorang menepuk pundakku dari belakang, membuatku hampir terjungkal kebelakang ketika aku melihat siapa yang menepukku itu. “Apa yang sedang kamu lakukan disini?” tanyanya.
Melihat orang ini aku nyaris melompat bahagia karena akhirnya aku menemukan penolongku. Dan mungkin sekarang air mataku sudah mulai menitik keluar saking bahagianya.
***
“Oh, jadi kamu sedang mencari ruang kepala sekolah?” tanyaa laki-laki itu.
Aku mengangguk cepat.
Dia tersenyum seraya berkata,”Baiklah, aku akan mengantarmu kesana.”
“Terima kasih banyak, ya. Aku merasa sangat tertolong,” kataku jujur.
Dia kembali tersenyum. “Tidak apa-apa. Sudah menjadi tugas seorang manusia untuk menolong sesama manusia.”
“Terima kasih,” kataku lagi.
“Kamu murid baru?” tanya penasaran.
“Yep!”
“Pantas saja aku seperti tidak pernah melihatmu sebelum ini. Oya, ini ruangannya.”
Aku terdiam sebentar. Bukankah aku tadi sempat melewati ini? Mengapa aku tidak bisa membaca tulisan sebesar ini tadi?
“Kalau begitu, aku tinggal ya. Permisi.” Dia berjalan meninggalkanku tanpa aku sempat mengucapkan terima kasih padanya. Terlebih lagi namanya. Bahkan, aku sudah lupa dengan wajahnya.
***
Suasana kelas tampak hening. Semua orang tampak sibuk dengan buku mereka masing-masing. Sebagian lagi sibuk dengan laptop mereka. Mungkin kalian semua penasaran apa yang sedang mereka lakukan, termasuk aku. Tapi, yang pasti mereka sedang belajar, bukan bermain-main.
“Hey, kamu murid baru kan” tanya perempuan yang duduk disebelah kananku.
“Ya,” kataku sambil mengangguk. Bukankah tadi aku sudah memperkenalkan diri tadi didepan? Tapi kenapa sepertinya tidak ada yang memperhatikanku?
“Aku Cita, senang berkenalan denganmu.” Cita mengulurkan tangannya.
“Indah,” kataku sambil membalas uluran tangannya.
“Kamu pasti sangat kebingungan sekarang.”
Ting tong! Dia benar sekali. Sepertinya ekspresi wajahku terlalu mudah dibaca sampai-sampai  Cita bisa mengetahui apa yang ada dipikiranku.
“Pffftt,” dia seperti sedang menahan tawanya, membuat sedikit kesal. “Maaf-maaf, sekarang kami sedang jam pelajaran bebas. Jadi, masing-masing dari kami mendapat tugas dari guru untuk mengerjakannya. Tapi, masing-masing dari kami mendapatkan tugas berbeda. Ada yang disuruh mengerjakan soal olimpiade Biologi, Fisika, Kimia, Matematika, membuat program, sketsa gambar, dan desain.
Sebenarnya, ini adalah kelas khusus, yang isinya orang yang mempunyai bakat dan keahlian mereka masing-masing, baik itu akademik, seni, maupun olahraga. Tapi, disini isinya adalah orang-orang yang punya keahlian, baik di akademik maupun non akademik,” jelas Cita.
“Oh…” gumamku kagum. Jadi, kelas ini isinya orang-orang hebat. Sebentar, lalu apa keahlianku?
“Lalu, apa yang keahlianmu sehingga kamu bisa masuk ke kelas ini?”
Ting tong! Lagi-lagi dia bertanya tentang pertanyaan bagus lagi. Apa ya keahlianku?
“Maaf, bukannya sombong, tapi gak sembarang orang yang bisa masuk ke kelas ini. Ada banyak tes untuk bisa masuk kelas ini. Lihatlah, kelas ini hanya terdiri dari 30 orang saja, sedangkan kelas lainnya berisi 35-40 orang.”
Ah, aku kembali merasa putus asa. Mengapa Pak Kepala Sekolah memasukkan aku ke kelas ini?
“Entahlah! Aku kurang tau,” jawabku lemah.
“Sudahlah, jangan pesimis dulu. Toh, kamu murid baru. Butuh waktu untuk bisa menyesuaikan diri. Lagipula, aku tau kamu pasti punya sesuatu dalam dirimu yang belum kamu ketahui.”
“Oya?”
“Sudah kubilang, tidak sembarang orang bisa masuk kelas ini.”
***
Cita Yuniar

“Cita… Bagaimana ini? Aku lupa bawa dompet.”
Aku memutar kedua bola mataku. Anak baru ini ternyata membuatku cukup repot hari ini. Pertama, kesekolah tidak membawa buku apapun kecuali alat tulis. Kedua, tidak sengaja menjatuhkan mikroskop di laboratorium. Untung saja Kevin cepat tanggap menangkap mikroskop itu jika tidak dia akan mendapat masalah. Dan sekarang… LUPA BAWA DOMPET??? YANG BENAR SAJA!!!
“Indah, kapan sih kamu tidak membuat masalah? Masa semuanya harus aku yang urus?” omelku sambil mencubit kedua pipinya gemas.
“Aaahh, sakeett,” katanya lucu. Kulepaskan kedua tanganku dari pipinya. “Ya maaf. Aku sendiri juga bingung kenapa bisa lupa bawa dompet. Lain kali gak kayak gini, deh!”
Aku menghela napas. “Baiklah, hari ini aku traktir kamu. Tapi, lain kali kamu harus traktir aku dua kali lipat, ya...”
“Siap bos!!!” sahutnya sambil membawa makanan dan minuman kami ke meja.
“Hari ini sepertinya aku benar-benar kurang beruntung,” katanya tiba-tiba. Ya, aku mengerti itu dan sangat setuju dengan pernyataannya.”Masa baru hari pertama aku sudah bikin masalah,, tadi sempat tersesat pula waktu mau nyari ruang kepala sekolah. Terus, sekarang lupa bawa dompet lagi. Sebel banget.”
“Nasib! Lagian, kok bisa? Untung aja tadi pagi itu pelajaran kosong. Kalau nggak, kamu pasti sudah mendapat masalah,” tambahku.
“Tuh kan? Untung aja dewa penolong masih mau menyelamatkanku hari ini. Kalo nggak, habislah aku,” ocehnya sambil memasukkan sesendok penuh siomay kedalam mulutnya. Aku hanya tertawa kecil melihat tingahnya yang lucu. Dia memang sedikit menyusahkan, tapi dia lucu dan baik. Entah apa yang membuat hatiku tergerak untuk berkenalan dan ingin berteman dengannya.
“Hai, Vin,” panggil cewek-cewek yang duduk di meja sebelah kanan kami dengan genit.
Aku menoleh dan melihat 4 orang cowok sedang membawa makanan dan minuman mereka. Ah, biar kutebak! Para lelaki itu akan menyahut dan melancarkan rayuan mereka pada cewek-cewek itu dan menyuruh mereka untuk memberi mereka tempat karena disini sudah tidak ada tempat lagi.
“Hai, semuanya. Kalian semua selalu terlihat cantik setiap hari,” kata salah satu cowok dari mereka.
“Aaahh, kalian bisa saja.”
Oke, to the point aja. Aku mau muntah kalo mereka tetap melanjutkannya.
“Bolehkah kami duduk disini?” kata cowok yang tadi.
Cewek-cewek itu berteriak senang. “Tentu saja. Lagipula kami semua sudah selesa. Kalian berempat silahkan duduk saja disini.”
“Baiklah, kalo begitu terima kasih.”
“Cit, Cit, CITAAA…”
“Ya?” tanyaku kaget. Kenapa dia tiba-tiba memanggilku?
“Kamu kenapa ngelamun, sih? Aku tuh udah berapa kali manggil kamu. Sampe bosan, nih!” omelnya.
“Ya, maaf.” Aku kembali memperhatikan cowok-cowok tadi. Aku merasa aneh, dari dulu sampai sekarang kenapa pandanganku tidak pernah lepas dari orang itu.
“Jadi, siapa yang sedang kamu incar diantara mereka?”
Aku terkejut ketika mengetahui Indah sudah duduk disampingku sambil ikut memperhatikan 4 cowok itu. “Ng…nggak! Aku…”
“Sudahlah, ngaku aja,” katanya.
Aku hanya diam dan tersipu malu. “Aku hanya merasa aneh karena akhirnya mereka bisa berkumpul secara lengkap,” aku mencoba untuk mengalihkan pembicaraan.
“Lengkap? Emangnya mereka gak pernah ngumpul bareng kayak gitu?”
Sip, akhirnya dia salah fokus.
“Yep! Biasanya mereka bertiga. Yah, walaupun sekarang anggota mereka belum lengkap.”
“Masih ada satu lagi?” tanyanya penasaran.
“Iya, satunya lagi di Australia buat studi banding gitu. Tapi, aku hanya merasa aneh sama cowok itu. Biasanya dia suka hilang dan jarang banget ngumpul bareng grupnya.”
“O…”
Gitu doang responnya? Untungnya bel masuk langsung berbunyi. Kalo nggak, bakal aku ceramahin dia abis-abisan.
***
Indah Nurul Hannah

“Jadi, kamu mau ikut ekskul apa nanti?”
Aku masih sibuk menghitung hukum gaya Newton saat dia menanyaiku hal itu.
“Eh, apa ya?” aku berhenti sebentar sambil melirik tugas fisikanya yang ternyata sudah terisi semua. Aku langsung merengut melihatnya. Punyaku masih kurang dua lagi dan itu membuatku cukup frustasi menghitungnya.
“Tentu saja. Disini, setiap orang wajib mengikuti minimal satu ekskul. Yah, kemampuan akademik memang sangat penting, tapi mempunyai kemampuan non akademik bisa jadi nilai plus buat kita,” jelasnya.
Aku terdiam sambil berpikir.”Kira-kira apa, ya?” tanyaku pada diri sendiri. “Hmm, sepertinya itu bisa dipikirkan nanti. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana caranya menyelesaikan soal nomor 9 dan 10 ini?”
Cita tertawa kecil. Sepertinya sedari tadi dia sudah mengetahui masalahku tanpa berniat menawarkan bantuan.
“Baklah, aku ajarin…”
***
“Kira-kira aku mau masuk ekskul apa ya?” tanyaku pada diri sendiri.
Aku sekarang sedang berdiri di lapangan basket sambil mendribel bola basket sembari menunggu mobil jemputanku datang. Sudah lebih dari 30 menit aku menunggu, tapi jemputanku tak kunjung datang.
‘Duk…duk…duk…’ aku masih sibuk mendrible bola basket ini ke tanah, sama sekali belum berminat untuk memasukkannya ke dalam ring yang masih berdiri kokoh di depanku. Ketika aku berniat untuk memasukinya, sebuah bola melayang kearahku.
“AWASSS!!!” teriak seseorang dari pinggiran lapangan basket. Namun terlambat, bola itu sudah menghantam kepalaku dengan sangat keras ke kepalaku.
‘Brukk…’ Aku terjatuh begitu saja karena tidak kuat menahan serangan tiba-tiba itu. Sekilas aku melihat sesosok pria berlari menghampiriku. Namun, mataku tak sempat menerjemahkan siapa laki-laki tersebut karena langsung pingsan ditempat. Selanjutnya, aku tidak tahu apa yang terjadi padaku.
***
To be continued…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar