Matahari cerah menatap langit yang mulai gelap. Semilir angin
mulai berhembus semakin kencang melawan bumi. Bulir-bulir air perlahan jatuh
membasahi tanah yang gersang. Pohon-pohon tampak menari senang di dalam hujan.
Namun, tidak demikiannya dengan Kina, perempuan manis bermbut panjang dan hitam
yang tengah duduk di halte bus. Sedari tadi ia murung memikirkan sesuatu.
“Hai, Kina,” panggil seorang cowok dari dalam mobil.
Kina mendongak dan melihat Alan sedang melihatnya. “Hai,” balas
Kina.
“Ngelamun aja, nih! Mau pulang bareng, gak?” tawar Alan.
Kina tampak ragu. Bukannya apa, didalam sana aja pacar Alan, Gita.
Ia merasa tidak enak jika harus mengganggu waktu berdua mereka.
“Gita, kamu tidak keberatankan kalau Kina pulang bareng kita?
Lagipula, kasihan Kina harus menunggu sendirian disini,” ujar Alan yang
sepertinya bisa membaca pikiran Kina.
Gita mengangguk sambil memasang senyum yang sedikit dipaksa. Mau
menolak pun tidak mungkin. Setiap kali Alan melihat Kina, ia pasti akan selalu
memperhatikan Kina ketimbang dirinya. Gita merasa cemburu dengan kedekatan
mereka, tapi Alan sudah berkali-kali menjelaskan kalau mereka hanya teman.
“Serius, nih?” tanya Kina ragu.
Gita mengangguk. Setelah dipikir-pikir, ia merasa tidak tega
meninggalkan Kina sendirian. Ia berusaha melenyapkan sifat egoisnya dan
berusaha berpikir positif.
Kina masuk ke dalam mobil dan duduk dibangku belakang dengan
manis. Ia membuka tasnya dan mengambil komik kesukaannya, kemudian membacanya
dalam diam. Itu tandanya, ia tidak ingin diganggu. Sebenarnya, ia merasa tidak
enak dengan Gita. Tapi, apa boleh buat, ia sendiri tidak mau menunggu
lama-lama. Ia sudah bosan menunggu, menunggu perasaan seseorang yang tidak
pernah terbuka untuknya.
“Kina, aku pulang duluan, ya? Bye,” kata Gita yang sudah turun
dari mobil.
Kina hanya melongok, tidak sadar dengan waktu yang berjalan sangat
cepat ini. Mobil Alan meninggalkan rumah Gita dengan cepat. Alan menggelengkan
kepalanya melihat Kina yang sedari tadi hanya bengong.
“Kenapa, Kin? Lagi galau, ya?” tanya Alan sambil tertawa kecil.
Kina mengabaikannya sambil berpura-pura membaca komik. Tapi,
pikirannya tidak fokus membaca. Entah mengapa, hatinya selalu gugup saat ia
sedang berdua dengan Alan.
“Mau pindah kedepan? Biar kita bisa bicara dengan leluasa,” tawar
Alan, tapi terdengar memaksa. Menolak
pun rasanya tidak bisa.
Kina pindah ke depan, lalu kembali menatap komiknya. Ia yakin
kalau Alan pasti akan menanyainya setelah ini.
“Kok bisa kamu putus sama Deva?” tanya Alan. Tuh, kan! Benar apa
yang Kina duga.
“Mungkin gak jodoh kali, ya! Makanya kami putus,” jawab Kina
datar.
“Pantesan galau mulu,” ejek Alan.
Kina menatapnya sengit, lalu mencubit perutnya kuat. Alan merintih
kesakitan, tapi ia tidak membalasnya. Sebenarnya, Kina sama sekali tidak
mempunyai perasaan sedikitpun pada Deva. Setelah cintanya ditolak Alan, Deva
langsung menembaknya dan ia pun menerimanya. Deva sangat perhatian padanya,
tapi ia bersikap biasa saja. Hampir setahun ia berpacaran dengan Deva, tapi ia
sama sekali tidak memiliki perasaan suka pada Deva. Sebaliknya, ia semakin
menyukai Alan dan tidak bisa melupakannya.
“Mungkin,
hubungan kita tidak bisa di teruskan lagi. Aku benar-benar tidak bisa
melanjutkan sebuah hubungan tanpa ikatan seperti ini,” kata Deva miris.
Kina
terdiam. Ia benar-benar merasa bersalah. Tapi, apa boleh buat, ia juga tidak
bisa melanjutkan hubungan yang seperti angin ini.
“Tuh, kan, ngelamun lagi! Pasti lagi ngelamunin Deva. Lagian, kok
kalian bisa putus? Siapa yang mutusin?” tanya Alan bertubi-tubi.
Kina hanya mengehela napasnya pelan. Kalau masalah ini, ia tidak
bisa menceritakannya pada Alan. Karena, ini terlalu pribadi. Lagipula, ini ada
hubungannya dengan Alan. Kina melongokkan kepalanya keluar jendela dan baru
menyadari sesuatu.
“Lan, inikan bukan jalan kerumahku. Kamu gak nyasar, kan?” tanya
Kina.
Alan menggeleng, ”Bukannya tadi aku bilang aku mau makan dulu
sebelum kita pulang?”
Kina menyerngit bingung. Perasaan Alan tidak pernah mengatakan hal
itu. dan itu tentu saja benar. Alan memang suka membuat keputusan sendiri tanpa
persetujuannya.
“Udah, aku yang traktir, kok!” kata Alan dan Kina pun mengangguk
senang.
Alan langsung meluncurkan mobilnya ke arah Dufan. Sudah lama Kina
dan Alan tidak mengunjungi tempat ini bersama-sama karena terlalu sibuk dengan
urusan sekolah, juga pacar mereka.
“Mari kita bersenang-senang,” ajak Alan.
Kina mengangguk malu. Alan terlihat beda dari biasanya. Walaupun
perasaan itu sudah lama menghilang, tapi masih terpendam di hatinya. Dan
sekarang, rasa itu kembali muncul pada dirinya.
Alan menggandeng tangannya erat. Mengajaknya berlari kesana
kemari, bermain riang di setiap sudut Dufan, dan berjingkrak-jingkrak ria di
atas Monas.
“Capek!” keluh Kina. Tiba-tiba ia mendengar hp-nya berbunyi. Ia
terpaksa harus melepaskan tangan Alan yang sedari tadi menggenggam tangannya
terus tanpa sekalipun ia melepaskannya. “Halo… Oh, Gita!... Ada. Mau bicara?...
Baiklah…” Kina memberikan hp-nya pada Alan. “Gita mau bicara padamu,” kata
Kina.
Alan menerima hp Kina, kemudian ditempelkannya di telinga. “Halo,
git!... Mmm, sebentar..” Alan meraba-raba saku celananya, lalu berpindah ke
tasnya dan mengambil hp dari dalam sana. Ia mengutak-atik hp itu, kemudian
berbicara lagi dengan Gita di hp. “Oh, maaf! Hp-ku di silent. Maafkan aku. Memangnya ada apa?... oh, begitu. Ya sudah,
selamat malam!” Alan memutuskan teleponnya dan memberikan hp itu pada Kina yang
sedang menatapnya dengan pandangan penasaran.
“Dia ngomong apa?” tanya Kina.
“Dia hanya menanyakan keberadaanku. Oya, kamu mau pulang atau
masih mau main?” tanya Alan seolah-olah mengalihkan pembicaraan.
Andai saja, andai saja hari masih terang, tanpa ragu ia akan mengucap
‘masih’. Ia masih ingin berlama-lama dengan Alan. Tapi, ia tidak boleh egois.
Alan sekarang milik Gita, bukan miliknya.
“Sudah malam,” Kina memandang langit yang penuh bintang dengan
sedih. “Aku takut mamaku khawatir jika aku pulang larut malam,” ujar Kina.
Alan tersenyum samar. Matanya menunjukkan sedikit kekecewaan.
Atau, mungkin saja itu hanya perasaan Kina saja.
“Kalau begitu, kita pulang sekarang!” ajak Alan dan menuntun Kina
masuk kedalam mobilnya.
“Kina,” panggil Alan.
Kina menoleh seraya berkata, ”Ada apa?”
“Hari Jum’at besok, kalau sempat, temani aku jalan-jalan lagi, ya?”
pintanya.
Kina menatap matanya lurus. Lalu mengangguk. Mungkin, ini
pemikiran yang pali egois baginya, tetapi ia juga tidak bisa menolak Alan. Dan
mungkin, ini menjadi hal yang terakhir baginya.
+++
‘Tiin.. tinn…’ klakson mobil Alan benar-benar memekakkan telinga.
Kina keluar dengan dari pintu rumahnya. Selembar sweeter panjang berwarna baby blue dengan jeans hitam serta sepatu kets berwarna biru putih membuatnya tampak
manis. Rambutnya ia kepang sebagian, sisanya ia gerai begitu saja. Ia menyadari
kalau sedari tadi Alan memperhatikannya dari atas sampai kebawah.
Kina berdehem. “Umm, mana Gita? Kamu tidak ajak dia?”
Alan menyalakan mesin mobilnya sambil menggeleng. “Dia bilang hari
ini tidak bisa ikut karena harus mengikuti les Kimia. Orangtuanya akan marah
kalau dia sampai bolos les,” jawabnya.
Kina mengangguk mengerti. Jadi, mereka berdua saja hari ini. Apa? Berdua?
Kina baru tersadar. Ia juga berpikir kalau Alan sengaja mengajaknya karena
pasti ada sesuatu.
“Umm, kamu ada masalah?” tanya Kina hati-hati, takut menyinggung
perasaan Alan.
“Sedikit,” jawabnya singkat. “Tapi, aku sedang senang beberapa
hari ini. Jadi, karena Gita tidak bisa menemaniku, tidak ada salahnyakan kalau
aku mengajak temanku jalan-jalan.”
Kina menghela napas pelan, lalu mengangguk.
“Iya, ini hanya sebatas hubungan pertemanan,” katanya dalam hati.
“Kina,” panggil Alan tanpa memalingkan wajahnya dari jalan.
“Ya!”
“Hari ini, kamu manis sekali. Aku baru sadar kalau kamu semanis
ini,” puji Alan.
“Hey,” Kina menyikut Alan pelan. “Kalau aku katakan ini pada Gita,
dia pasti akan marah.”
Ekspresi wajahnya tiba-tiba berubah.
“Umm, kita mau kemana sekarang?” tanya Kina yang menyadari
perubahan Alan.
“Lihat saja nanti!”
+++
Mereka sudah sampai ditempat perkebunan the yang sangat terkenal
di Bandung. Kina dan Alan turun dari mobil. Mereka berdua berjalan masuk ke
area perkebunan teh.
“Wow, sudah lama sekali aku tidak kesini. Aku rindu sekali,” kata
Kina sambil membentangkan tangannya selebar mungkin. Ia berjalan sambil
berputar-putar.
“Benarkah? Tidak sia-sia aku mengajakmu. Paman dan bibi juga
merindukanmu,” ujar Alan.
“Hah? Benarkah? Kalau gitu, ayo cepat! Aku sudah lama tidak makan
rengginang buatan bibimu,” kata Kina bersemangat.
Alan berjalan mendekati Kina, lalu mengamit tangan Kina.
Kina melirik tangannya yang ada digenggaman tangan Alan, lalu
memandang wajah Alan.
“Mungkin aku egois. Mungkin aku berkhianat. Tapi, untuk kali ini
saja, biarkan aku merasakan cintaku mengalir dengan tenang, bagaikan air
sungai. Walau hanya sementara saja, yang penting aku bisa merasakan bahagia
saat jatuh cinta,” katanya dalam hati.
+++
Pemandangan kota Bandung sangat indah dimalam hari, apalagi
dilihat dari tempat yang tinggi. Alan dan Kina kini sedang duduk berdua di
bukit yang berada tak jauh dari rumah paman dan bibi Alan, menikmati
pemandangan kota Bandung malam hari. Dinginnya angin malam menusuk kedalam pori-pori
Kina yang kini sedang menggosok-gosok kedua lengannya untuk menghangatkan
tubuhnya.
“Kamu kedinginan?” tanya Alan.
Kina menggeleng. Ia tidak mau merepotkan Alan lagi hari ini.
Namun, tiba-tiba saja tubuhnya menjadi hangat. Ia baru tersadar kalau Alan
memakaikannya jaket.
“Tak apa,” kata Alan mendahului Kina. “Aku baik-baik saja.”
Kina menghela napas. Ia menatap wajah Alan yang sedang menikmati
pemandangan malam. Alan cukup tampan baginya. Sedari dulu ia sadar. Karena Alan
tampan, makanya ia jatuh cinta padanya.
Tapi, itu bukan alasan sebenarnya. Ia sendiri tidak tau mengapa ia
bisa suka pada Alan. Awalnya, ia hanya teman dekat Alan saat Alan baru pindah
kesekolahnya. Dulu, Alan itu homeschooling.
Ia kurang cepat bergaul dengan orang lain. Tapi, semakin sering ia mengajak
Alan berbicara, ia menjadi teman. Dan semenjak itu Alan mau berteman dengan
siapapun. Tapi, Alan selalu mengajak Kina bermain. Dan beberapa bulang
kemudian, ia jatuh cinta pada Alan. Kemudian, ia putuskan untuk menembaknya.
Tapi, tak disangka ia ditolak. Itu membuatnya sedih. Ia ingin segera melupakan
Alan. Tapi, jika Alan terus ada didekatnya seperti ini, mana bisa ia
melupakannya.
Alan menggosok-gosok badannya untuk menghangatkan badannya. Kina
baru menyadari itu.
“Alan, kamu kedinginan?” tanya Kina membeo pertanyaan Alan tadi.
Alan hanya menggeleng. Tanpa menunggu jawaban dari Alan, Kina
mengambil kedua tangan Alan, lalu menggosok-gosokkannya.
“Gimana? Udah mendingan?” tanya Kina. Ia tidak sadar kalau sedari
tadi Alan terus melihatnya.
“Iya,” jawab Alan.
“Kalau gitu, kita pulang, yuk! Lagian, udah jam 8. Besok, kita
harus sekolah,” usul Kina.
Alan mengangguk setuju. Mereka turun dari bukit. Kina turun tanpa
memperhatikan jalan sehingga ia terpeleset jatuh.
“Awww…” rintihnya pelan. Ia memandangi kakinya yang terasa sakit.
“Kina, kamu baik-baik saja? Ada yang luka?” tanya Alan khawatir.
“Tak apa. Aku baik-baik saja,” kata Kina sambil tersenyum. Ia
mencoba untuk berdiri, tapi kakinya terkilir sehingga ia terjatuh lagi.
“Sini, biar kugendong.” Alan menggendong Kina dipunggungnya. Kina
hanya diam saja melihat perlakuan Alan padanya.
“Alan, berat tidak?” tanya Kina saat mereka sedang berjalan menuju
mobil Alan yang letaknya hapir satu kilometer, bahkan lebih.
“Tidak apa! Lagipula tubuhmu kurus, jadi tidak berat-berat amat,” kata
Alan.
“Tapi, tadi aku makan banyak sekali, loh, dirumah bibimu. Masa
beratku tidak bertambah?”
“Masa’ baru makan sehari, berat badanmu langsung naik 2 kilo?”
“Ah, benar juga, ya!” kata Kina malu. “Tapi, terimakasih banyak.
Hari ini aku senang sekali”
“Sama-sama. Aku juga sangat senang hari ini”
“Bagaimana lain kali kita kesini lagi?” usul Kina.
Alan berhenti sebentar, lalu kembali berjalan. Raut wajahnya
berubah muram.
“I really
hope it!” batinnya.
+++
Angin segar dipagi sabtu membuat hatinya tenang. Ingin rasanya ia
cepat-cepat sampai disekolah dan menyapa Alan pagi ini. Tapi, sesampainya
didepan kelasnya, ia melihat Gita sedang berdiri didepan kelasnya. Ini hal aneh
baginya. Ia memang sekelas dengan Alan, tapi tidak sekelas dengan Gita. Jadi,
mungkin saja Gita berdiri karena menunggu Alan datang. Tapi, ia merasakan
sesuatu yang aneh pagi ini.
“Kina, ikut aku sekarang!” perintah Gita cepat. Ia bisa merasakan
tatapan tidak suka dari Gita.
“Ba, baik...” kata Kina menurut. Apa Gita mau membahas hal
kemarin?
‘Plakkk’
Gita langsung saja menamparnya kuat saat mereka sudah sampai di
taman sekolah. Kina hanya diam sambil memegangi pipinya yang sakit.
“Kamu itu memang cewek jalang, ya! Sudah tau kalau Alan sudah
punya pacar, tapi kamu masih saja mau merebutnya dariku. Harusnya kamu sadar
diri, dong!” omel Gita.
“Maksud kamu?” Kina meminta penjelasan.
“Pura-pura gak tau lagi. Kemarin, kamu maksa diakan buat pergi ke
Bandung supaya kamu bisa berdua-duaan dengan dia? Kamu itu, sudah kubiarkan
dekat dengannya karena kamu itu temannya. Tapi, kamu malah ngelunjak. Dasar,
tukang rebut pacar orang,” desisnya.
‘Plakkk’
Tangannya refleks menampar mulut Gita. Sedetik kemudian, ia
menyesal telah melakukannya. Tapi, ia tidak suka di kata-katai seperti itu.
“Gita, maaf karena aku telah menamparmu. Tapi, aku ingin kamu
dengar dulu penjelasan dariku. Kemarin itu, aku tidak memaksanya. Dia bilang
paman dan bibi ingin bertemu denganku. Lagipula, bukankah Alan sudah mengajakmu
kemarin?” kata Kina membela diri.
Alis Gita terangkat. “Kamu bilang apa? Alan sudah mengajakku? Mana
pernah dia mengajakku. Udah, deh, jangan ngeles lagi. Atau, jangan-jangan itu
hanya alasan kamu saja. Iya, kan? Udah, deh, ngaku aja. Aku tuh udah muak
dengan sikap kamu yang seolah-olah tak ada perasaan apapun padanya. Padahal,
kamu masih sukakan sama dia?”tuding Gita.
Kina terdiam. Yang dikatakan Gita terakhir tadi benar. Ia masih
suka pada Alan. Tapi, ia tidak pernah sekalipun memaksa Alan.
‘Bruuukk’
Kina jatuh ketanah karena Gita mendorong tubuhnya keras. Tiba-tiba
rasa sakit dikakinya kembali muncul.
“Oh, tidak! Ada apa denganku?” kata Kina dalam hati. Entah
mengapa, ia jadi ingin menangis.
“Kina,” suara Alan membuat Gita terdiam. Melihat adegan ini, ia
tahu Alan pasti akan marah padanya.
“Gita, apa yang telah kamu lakukan pada Kina?” tanya Alan pada
Gita. Lalu, ia mengalihkan pandangannya ke Kina yang masih terduduk dibawah
sambil menundukkan kepalanya. “Kina, kamu…”
Kina melepaskan tangannya dari tangan Alan. Entah mengapa ia jadi
ingin marah dengannya.
“Pergi sana, aku tidak mau lagi berteman dengan Alan,” kata Kina
sambil mencoba untuk berdiri. Tapi, ia kembali terjatuh dan duduk lagi di tanah.
“Kina,” panggil Alan lagi, tapi Kina berusaha mengabaikannya dan
mencoba untuk berdiri. Ia berhasil berdiri, kemudian berjalan menuju kelasnya
sambil menyeret-nyeret kakinya yang sakit.
“Kina,” panggil Alan lagi, tapi Kina sudah pergi jauh darinya. Ia
hendak menyusul Kina, tapi Gita menahannya.
“Jangan susul dia! Kumohon,” pinta Gita lirih.
Alan menghembuskan napasnya kuat. Ia berbalik dan kini berhadapan
dengan Gita.
“Gita, ada sesuatu yang ingin kubicarakan. Sebenarnya, sudah lama
aku ingin mengatakan hal ini padamu. Tapi, baru sekarang aku bisa mengatakannya,”
ujar Alan.
Gita menggeleng. “Tidak, aku tidak ingin berbicara padamu
sekarang. Aku capek.” Air matanya tumpah begitu saja tanpa bisa dihentikan. Ia
berbalik dan berjalan meninggalkan Alan. “Tolong
jangan katakan itu. Tolong jangan katakan itu,” pinta Gita dalam hati.
“Sebenarnya aku suka Kina,” ucap Alan jujur.
Gita berbalik. Ia menghapus air matanya sambil menatap Alan sinis.
“Kalau kamu suka Kina, mengapa kamu menerima aku menjadi pacarmu?
Mengapa kamu menolak dia? Padahal, sedari dulu kamu suka dia, kan? Kenapa?
Kenapaaa?” tanya Gita.
Alan tertunduk. “Maaf...” katanya lagi.
Tanpa basa-basi, Gita langsung pergi meninggalkan Alan yang masih terdiam.
+++
Sudah dua minggu Alan tidak masuk sekolah. Sejak kejadian itu,
Kina tak pernah sekalipun berbicara dengan Alan. Walaupun ingin, ia berusaha
menahan diri untuk tidak berbicara padanya.
“Kina,” panggil Deva yang ternyata sudah duduk di depan bangkunya.
Deva adalah teman sebangkunya, sekaligus mantan pacarnya. Tapi, mereka masih
tetap berteman walaupun mereka putus.
“Kamu kangen sama Alan?” tanya Deva yang sedari tadi melihat Kina
terus-terusan memperhatikan bangku Alan.
Kina langsung menghadap Deva dan menggeleng cepat.
“Ceile… pake gak ngaku, lagi. Bilang aja kangen, kan?” goda Deva.
Kina kembali menggeleng. “Udah, ah! Gak usah bahas dia lagi,” kata
Kina malas.
Deva mengangguk. “Oke, oke, kita tak perlu bahas soal dia. Kalau
gitu, kita bahas kamu aja, ya! Kamu tau gak hari ini hari apa?”
Kina tampak berpikir, lalu menggeleng. Ia benar-benar tidak tahu
apa yang sedang Deva lakukan.
“Masa, sih? Apakah kamu sudah hilang ingatan. Hari ini kan hari
ulang tahun mu.”
Kina hanya terdiam, lalu tertunduk lesu. Ia benar-benar tidak
ingat hari ulang tahunnya. Lagipula, setiap hari ulang tahunnya tiba, tak ada
seorang pun yang mengucapkan selamat ulang tahun padanya, kecuali Alan. Tapi,
apa gunanya. Orangtuanya pergi ke luar negeri untuk tugas. Alan, tidak mungkin.
Ia kan lagi marahan dengannya. Mungkin, hanya Deva yang mengucapkan selamat
ulang tahunnya untuk hari ini.
“Happy birthday,” ucapnya membuat Kina mendongak. “Wish you all
the best.”
Kina tersenyum. Entah mengapa, hari ini ia jadi ingin tersenyum.
Mungkin karena Deva, atau sesuatu yang membahagiakan akan terjadi hari ini.
+++
“Kin,” panggil Gita.
Kina yang baru saja masuk kedalam rumahnya terkejut melihat Gita
ada didalam ruang tamu. Setelah kejadian beberapa minggu yang lalu, Kina tidak
bisa mempercayai apa yang terjadi hari ini.
“Gi, Gita. Kok, kamu bisa ada disini?”
“Kin, kamu jangan salah paham dulu, ya! Soal kejadian waktu itu,
aku benar-benar minta maaf padamu. Sungguh, aku sangat menyesal,” ujar Gita
sungguh.
Kina mengangguk. “Gak pa-pa, kok! Aku juga sudah memaafkanmu.
Lagipula, aku yang salah. Btw, kenapa kamu kesini? Ada yang ingin kamu
bicarakan?”
“Umm… sebenarnya…” Gita terlihat ragu. “Ini tentang Alan.”
Ekspresi wajah Kina langsung berubah. Ia menunduk, mencoba
membunyikan wajahnya.
“Aku ingin bilang, aku dan Alan sudah putus waktu itu. Aku sangat
sedih waktu itu. Tapi, saat mendengar penjelasan dari Alan, akhirnya aku bisa
mengerti. Lagipula, kamu jangan terus-terusan jauhi dia. Kasihan dia,” kata
Gita. Sepertinya ia tahu kalau Kina sedang marah dengan Alan.
“Lalu?” tanya Kina berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Dia meminta tolong padamu mengantarkan ini padamu,” Gita
memberikannya sepucuk surat berwarna biru. Ia menerimanya dengan pandangan
bertanya. “Dia bilang itu hal penting yang harus ia lakukan. Dia berharap, kamu
bisa mengabulkan permintaanya”. Gita terdiam beberapa saat. “Kalau gitu, aku
pulang dulu, ya!”
Kina mengangguk. Ia masih diam ditempat.
“Oya,” Gita berbalik. “Kupikir, ini adalah kesempatan bagus
untukmu. Aku harap, kamu bisa menggunakan kesempatan ini sebaik mungkin supaya
tak ada penyesalan dimasa depan,” pesannya.
Kina kembali mengangguk. Ia harap seperti itu juga.
+++
Kina berbaring gelisah diranjangnya. Sudah 1 jam lebih ia
berbaring ditempat tidurnya, tetapi matanya benar-benar tidak bisa diajak kompromi.
Ia putuskan untuk tidak menemui Alan hari ini.
Tolong temui
aku di taman kita biasa jam 11 malam. Ada sesuatu yang ingin kukatakan. Aku
mohon, kali ini saja. Alan….
Kina menghela napasnya kuat-kuat. Ia menatap jam bekernya yang
tengah menunjukkan pukul 9 malam. Karena terlalu serius memandang jam, ia
akhirnya tertidur pulas.
+++
Alan mengendarai motornya dengan kecepatan penuh. Pandangannya
lurus kedepan, memperhatikan jalan di depannya. Ia melirik jam tangannya yang
hampir menunjukkan pukul 11 tanpa memperhatikan jalan.
Saat ia hampir mencapai simpang empat, lampu lalu lintas yang tadi
berwarna hijau berubah menjadi merah. Alan menghadap kedepan dan baru menyadari
lampu itu sudah berubah menjadi merah. Kendaraan yang ada disimpang lain
melajukan kendaraannya. Karena mengendarai dengan kecepatan penuh, Alan tidak
sempat mengerem. Ia hanya membantingkan stang motornya ke kanan. Namun,
terlambat, ia menabrak mobil truk yang ada didepannya dan…
Brrraaaakkk….
Tiba-tiba saja semua menjadi gelap.
+++
“Tidak….” Kina terbangun dari mimpinya. Napasnya tidak beraturan.
Tubuhnya bercucuran keringat. Ia menghela napasnya.
“Hanya mimpi,” gumamnya.
Ia melirik jam bekernya yang sudah menunjukkan tepat pukul 11.
“Apa?” teriaknya tak percaya dengan mata melotot. Ia langsung
melompat dari tempat tidur, mengambil pakaiannya di lemari, mengganti bajunya,
lalu pergi kesuatu tempat. Ke taman.
+++
Sudah hampir setengah jam Kina menunggu, tapi Alan belum datang
juga. Ia mengenakan sweeter berwarna hitam, dengan setelan jeans berwarna biru tua. Rambutnya ia kucir kuda. Sambil memegang
17 balon berwarna-warni, ia duduk dikursi taman, menuggu kedatangan Alan. Tapi,
sudah pukul setengah dua belas lewat, tapi ia belum juga datang.
“Huh, katanya jam 11. Tapi, jam segini aja dia tidak ada disini.
Gimana, sih?” gerutu Kina.
Dengan sabar ia menunggu Alan, walaupun ia sendiri sudah
uring-uringan.
“Oke, kalau sampai jam 12 tepat dia gak datang, aku akan pulang,” putus
Kina.
Kina duduk dikursinya dengan sabar. Secercah harapan muncul
dihatinya, berharap Alan akan datang, sesuai dengan janjinya.
Kupikir, ini
adalah kesempatan bagus untukmu. Aku harap, kamu bisa menggunakan kesempatan
ini sebaik mungkin supaya tak akan ada penyesalan dimasa depan
Kata-kata Gita masih terngiang ditelinganya. Sampai saat ini, dia
belum mengerti maksud perkataannya. Tapi, ia sepertinya tidak bisa berharap
banyak. Alan memang sering ingkar janji padanya. Namun, Alan selalu membayar
janjinya. Tapi, Kina tidak mau kalau Alan membayar janjinya nanti. Ia ingin
secepatnya Alan datang kehadapannya sekarang. TITIK.
‘Teng.. teng… tenggg…’
Jam menunjukkan tepat pukul 12.
“Tak ada harapan lagi,” Kina melepaskan balon yang tadi ia pegang
begitu saja, dan…
“Alan,” teriaknya tak percaya. Alan muncul di depannya. Ia tak
menyadarinya karena sedari tadi ia memegang balon yang menghalangi
pandangannya. Tanpa pikir panjang, ia berlari kepelukan Alan.
“Selamat ulang tahun,” bisik Alan pelan. “Walaupun terlambat, aku
tetap ingin mengucapkan selamat ulang tahun,” bisiknya lagi.
Kina melepaskan pelukannya, lalu menatap Alan lekat-lekat. “Tidak.
Untukmu, tidak ada kata terlambat. Aku… aku juga ingin mengucapkan selamat
ulang tahun untukmu,” kata Kina, lalu kembali memeluk Alan. Alan membalas
pelukan Kina erat.
“Kita dimana?” tanya Kina saat mereka sudah berada di suatu
tempat. Seperti taman bermain.
“Di taman bermain, dimana saat kamu pertama kali mengajakku
jalan-jalan,” kenang Alan.
Kina tersenyum malu. Ia tidak menyangka kalau Alan masih ingat.
“Kina, maukah kamu menjadi pacarku sekarang?” tanya Alan
tiba-tiba. Kina kelihatan sangat bingung. Tapi, akhirnya ia mengangguk juga.
Alan memeluk Kina erat, seolah-olah Kina akan pergi begitu saja
jika ia lepaskan. Tapi, ia tahu Kina tidak akan kemana-mana selama ia masih ada
disini. Didunia ini.
“Kalau begitu, ayo main!” ajak Alan. Ia menarik Kina duduk di
ayunan, lalu ia mendorong Kina yang kini sedang berteriak riang. Lalu, ia
pindah kepermainan lain. Ia duduk disana, dan benda itu bergerak memutar sampai
kepalanya pusing. Lalu, mereka kejar-kejaran di bawah air terjun yang berada
tak jauh dari taman bermain itu.
“Brrr…” Kina kedinginan karena tadi sempat bermain air. Alan
menatap Kina sambil tersenyum.
“Begini hangat?” tanya Alan sambil memakaikannya jas yang sedari
tadi ia kenakan.
Kina mengangguk. Saat tangan mereka bersentuhan, Kina baru
menyadari kalau sedari tadi tangan Alan sangat dingin. Sedingin es.
“Alan, tanganmu dingin sekali. Sini, aku hangatkan.” Kina berusaha
menggosok-gosokkan tangannya untuk menghangatkan tangan Alan. Tapi, usahanya
sia-sia. Tangan Alan tetap dingin.
“Sudahlah, aku tidak apa-apa.” Alan melepaskan tangannya dari
Kina.
“Kita pulang, yuk!” ajak Kina.
Alan terlihat enggan. Namun, akhirnya ia mengangguk juga. Ia
berjalan menemani Kina pulang kerumahnya.
“Kina,” panggil Alan. Kina menoleh. “Soal waktu itu, aku minta
maaf. Aku…”
“Aku mengerti,” potong Kina cepat. “Aku sudah memaafkanmu. Jadi,
jangan meminta maaf lagi,” ujar Kina sambil tersenyum samar.
“Kin, kalau nanti aku pergi, maukah kamu melupakanku?” tanya Alan
tiba-tiba.
Kina menyerngit bingung. “Kamu ngomong apa, sih! Kamu tahu, kan.
Dari dulu sampai sekarang, aku tak pernah sekalipun melupakanmu. Melupakan
cintaku padamu. Jadi, aku harap kamu jangan ngomong yang aneh-aneh lagi.”
Alan tersenyum pahit. Hatinya terasa sangat perih. Ternyata,
selama ini Kina tidak pernah melupakannya, walaupun Kina berpacaran dengan
Deva. Kini, ia tahu mengapa Kina putus dengan Deva. Mungkin, itu semua karena
dirinya.
Mereka berdua sudah sampai di depan rumah Kina. Alan tertunduk
lesu. Melihat itu, Kina memegang bahu Alan sambil menatapnya lurus-lurus.
“Ada apa, Lan? Kamu sedih karena sudah berpisah denganku? Jangan
khawatir, bukankah besok kita akan bertemu lagi?” cerocos Kina.
Alan mengangkat kepalanya, lalu menatap Kina lekat-lekat. Ia tidak
mengangguk, juga tidak menggeleng. Ia hanya tersenyum samar.
“Ada sesuatu untukmu.” Alan berjalan ke pagar rumah Kina dan
mengambil sesuatu yang ternyata sebuket bunga mawar merah. Entah sejak kapan
mawar-mawar ini ada disana, tetapi Kina tidak ingin memikirkan hal itu dan
segera melupakannya.
“Terima kasih”ucap Kina senang. “Kalau begitu, aku masuk dulu, ya!”
Alan memandangi punggung Kina yang sedang berjalan memasuki
rumahnya. Ia berhenti di depan pintu, kemudian ia mengambil sesuatu di saku
celananya. HP.
“Halo, Git? Ada apa? Kenapa kamu menelepon malam-malam begini?
Dan… astaga… kamu menangis? Ada apa, Git? Apa terjadi sesuatu?” cerocos Kina.
Alan masih berdiri ditempatnya tadi sambil memandangi Kina yang
sedang menelepon. Tiba-tiba saja ia mengehela napas kuat.
“Mungkin, sudah saatnya,” gumam Alan.
“Kin… Alan,
Kin. Alan…” kata Gita di sela-sela tangisnya. Kina juga bisa mendengar suara
orang menangis dilatar itu. “ Ia… ia…”
“Git, cepat katakan padaku. Ada apa dengan Alan?” tanya Kina
bingung. Ia menoleh kebelakan dan melihat Alan masih ditempatnya.
“Dia
meninggal. Dia meninggal…” kata Gita.
Kina tertawa, ”Gita, kamu sedang bercanda? Dia belum meninggal,
kok! Dia masih ada disini, di depan mataku.”
“Tidak, Kin!
Aku tidak berbohong. Dia meninggal jam 12 saat perjalanan untuk bertemu
denganmu. Percayalah, Kina. Aku sama sekali tidak bohong,” kata Gita sungguh.
Kina berusaha mempercayai kata-kata Gita. Tapi, rasanya tidak masuk akal. Kalau Alan sudah meninggal, lalu
siapa orang yang ada di depannya. Tunggu, tadi ia memegang tangan Alan yang
dingin. Tapi, saat ia ingin mengahangatkannya, tangan itu masih tetap dingin
sedingin es. Lalu, jangan bilang kalau di depannya ini…
“Kamu benar, Kin!” kata Alan di tempatnya berdiri. Sepertinya ia
bisa membaca pikiran Kina. “Aku kesini hanya ingin mengungkapkan isi hatiku
yang sesungguhnya. Sedari dulu, aku sudah menyukaimu. Saat kamu menembakku, aku
ingin sekali menerimamu. Tapi, kata dokter, hidupku hanya tinggal sebulan
gara-gara penyakit lupus yang kuderita. Tapi, setelah aku pergi untuk berobat
dan aku dinyatakan sembuh dari penyakitku, kau sudah bersama dengan Deva. Itu
membuatku sedih. Tapi, ketika aku tahu kamu putus dengan Deva, aku berusaha
untuk terus bersamamu. Aku tau kalau caraku ini bisa membuat hati Gita terluka.
“Tapi, Gita bisa mengerti perasaanku dan dia merestui hubungan
kita. Tapi…” Alan diam beberapa saat. “Kurasa, kita memang tidak jodoh,” katanya
sedih.
Hp yang Kina pegang tadi terjatuh begitu saja. Air matanya
mengalir begitu deras tanpa bisa dihentikan. Ia menangis histeris.
“Selamat tinggal,” kata Alan. Perlahan tubuhnya mulai memudar.
Kina menggeleng, ”Tidak!!!” Ia berlari memeluk Alan erat. Tapi,
Alan sudah menghilang darihadapannya. Kina menangis menjadi-jadi.
“Jahat!” teriak Kina. “Kamu jahat!!! Kenapa kamu merahasiakan itu
semua dariku? Mengapa?” Kina jatuh berlutut sambil menangis dalam diam. “Alan,
asal kamu tahu, sampai kapanpun, aku akan tetap mencintaimu. Aku tak akan
melupakanmu,” bisiknya lirih.
Angin berhembus pelan membelai rambutnya pelan. Kina tetap
menangis di depan rumahnya. Ia berharap ini semua hanya mimpi. Tapi, ia tahu,
ini adalah kenyataan. Dan ia harus menghadapi kenyataan pahit ini.
+++
Selama proses pemakaman berlangsung, Kina tetap diam. Deva yang
berdiri disampingnya sibuk menenangkan Gita yang sedari tadi menangis histeris
melihat mayat Alan dimasukkan keliang kubur. Orangtua Alan juga ikut menangis. Kina
sendiri, bukannya tidak sedih atau mau menangis, tapi ia sudah capek menangis
sampai pagi tadi sehingga ia tidak bisa menangis lagi saat melihat mayat Alan.
Setelah proses pemakaman selesai, semua orang keluar dari tempat
pemakaman itu. Ia sendiri masih menunggu sampai semua orang sudah pergi, lalu
ia melangkahkan kakinya ke tanah pemakaman itu. Dia
tersenyum miris melihat nama yang tertulis dinisan itu.
“Kenapa kamu pergi
secepat ini? Mengapa kamu bisa meninggalkan aku sendiri di dunia ini?”. Air
mata Kina menitik dipipinya. Diluar dugaannya, ia pikir ia tidak akan menangis
lagi. Namun, air mata itu tidak bisa ditahan lagi hingga mereka memberontak
keluar.
“Jangan menangis!” bisik
Alan yang entah darimana. Walau samar-samar, tapi ia masih bisa mendengarnya.
Betapa ia sangat merindukan suaranya itu.
Kina kembali tersenyum miris. Dia meletakkan sebuket
bunga mawar yang Alan berikan tadi dia atas makam itu, lalu berdo’a sejenak.
Setelah berdo’a, dia menarik nafas, lalu menghembuskannya pelan. Dia menatap
makam itu sejenak.
“Apakah kamu akan
melupakanku?” tanya Kina.
Bagaikan bisikan, samar-samar Kina mendengar suara Alan. “Tidak,” jawab Alan. “Karena kamu adalah belahan jiwaku.”
Kina tersenyum mendengarnya. Walaupun sedih, tapi ia cukup
bahagia. Ia tahu, walaupun Alan sudah tiada, tapi Alan pasti menginginkan kalau
dia hidup bahagia.
Ia bangkit dan berjalan meninggalkan pemakaman. Entah mengapa,
bebannya terasa ringan sekali. Ia sedih, tapi bahagia.
Angin bertiup sedikit
kencang. Kina menoleh sebentar. Samar-samar, ia melihat bayangan Alan sedang
tersenyum sambil memandangi dirinya. Berharap, Kina bisa hidup bahagia walau
tanpa dirinya.
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar