“Dan juara pertama adalah.... Keisha
Natasha...”
Semua
orang bertepuk tangan dengan riuh dan bergantian memberi ucapan selamat pada Keisha. Keisha
naik ke atas panggung, menerima penghargaan dari kepala sekolah, kemudian
menyampaikan beberapa ucapan terima kasih kepada semuanya. Kemudian, ia turun
dari panggung dan berjalan menghampiri teman-temannya.
“Selamat
Keisha! Kamu memang pantas mendapatkannya,” kata Ani sambil menjabat tangan
Keisha.
Keisha
tersenyum senang. Kemudian, bergantian ia berjabat tangan dengan teman-temannya
yang lain yang juga ingin memberikan selamat kepada Keisha. Perlahan,
orang-orang mulai bubar meninggalkan tempat acara. Tak lama, dari atas atap,
terlihat ribuan pesawat yang terbuat dari kertas terbang mewarnai langit
sekolah dan mendarat di setiap sudut sekolah. Bu Lisa, kepala sekolah Keisha,
tampak geram melihat ulah anak-anak muridnya yang dinilainya mengotori sekolah.
“Maaf,
bu! Kami berjanji akan membersihkan semuanya,” kata Keisha.
Bu
Lisa mengangguk setuju. Ia percaya dengan kata-kata Keisha. Dan benar. Seusai
semua pesawat kertas di terbangkan semua, para murid kelas 12 mulai sibuk
mencari pesawat kertas. Para osis juga ikut turun tangan karena mereka juga
terlibat. Untungnya, mereka tampak senang. Bagi mereka, hari terakhir di SMA
adalah hari yang paling di kenang. Dan untuk membuat kenangan-kenangan itu,
mereka berencana untuk menerbangkan ribuan pesawat kertas yang mereka ambil
dari kertas-kertas yang tidak di pakai.
*
“Senangnya,”
seru Nia yang duduk disamping Keisha saat mereka sudah selesai mengumpuli semua
pesawat kertas itu.
Keisha
yang saat itu sedang meneguk minumannya menghentikan gerakannya dan menoleh
kearah Nia sebentar. Kemudian, ia kembali minum.
“Tentu
saja,” kata Keisha setelah ia selesai menghabiskan minumannya. “Aku benar-benar
tidak menyangka kalau acaranya berjalan dengan sukses. Aku pikir, Bu Lisa akan
mengamuk karena sekolahnya kita buat kacau.”
“Pfffttt…”
Nia menahan tawanya mendengar kata-kata Keisha. “Mana mungkin! Bu Lisa gak bakalan marah kalau kamu yang
ngomong,” kata Nia.
“Jadi,
itu alasan kalian menyuruhku untuk bicara soal ini kepada Bu Lisa.”
Nia
mengangguk. “Tapi, jangan marah, ya!”
Keisha
hanya tersenyum.
“Keisha,
nanti kamu mau lanjut kemana?” tanya Ani. Entah sejak kapan ia sudah duduk di
samping Keisha.
“Pramugari,”
jawab Keisha pasti. Sudah lama ia bermimpi menjadi seorang pramugari.
“Kenapa
pramugari? Padahal kamu lebih cocok jadi dokter,” seru Nia.
Keisha
menggeleng, kemudian tersenyum kepada kedua temannya.
“Aku
ingin menjadi pramugari karena itu mimpiku sejak kecil,” jelasnya.
Keisha
jadi teringat masa kecilnya saat mamanya bertanya apa cita-citanya nanti. Ia
menjawab ingin keliling dunia dengan menggunakan pesawat. Dan menjadi pramugari
adalah bagian dari impiannya itu. Ia berpikir, menjadi pramugari adalah berarti
mewujudkan mimpinya.
Tak
berapa lama, mobil yang Keisha tunggu tiba. Ia pamit pada kedua temannya, lalu
melangkah masuk kedalam mobil.
Mobil
itu melaju dengan kecepatan sedang. Namun, saat mobil mereka berada di
persimpangan, sebuah mobil kijang yang datang dari arah yang berlawanan melaju
dengan kecepatan kencang menerobos lampu merah. Saat mobil itu berusaha untuk
mengerem, mobil itu malah membanting stirnya ke sebelah kanan menabrak mobil
yang ditumpangi Keisha. Mobil yang di tumpangi Keisha tak dapat menghindar
sehingga tabrakan itu tak dapat dihindari lagi.
Mobil
yang di tumpangi Keisha terbalik. Keisha yang saat itu sedang asyik
mengutak-atik ponselnya terkejut dan langsung tak sadarkan diri.
*
‘Tiitt…
tiittt… tiitt…’ bunyi mesin untuk memeriksa detak jantung terdengar menyakitkan
telinga. Keisha bangun dan melihat kedua orangtuanya sedang menangis di
sampingnya. Ia merasa bingung. Tapi, ia mencoba untuk bersikap biasa.
“Ma,
pa, ada apa? Apa yang terjadi?” tanya Keisha. Ia masih belum ingat dengan
kecelakaan yang ia alami saat itu.
Keisha
menatap mama dan papanya lama, berharap salah satu dari mereka bisa menjawab
pertanyaannya yang mudah. Tapi, kelihatannya mereka berdua enggan menjawab. Ada
rasa penasaran yang menggebu-gebu dalam dirinya.
Ia
biarkan kedua orangtuanya diam dan mencoba bangkit dari tempat tidur agar ia
bisa melihat lebih jelas kedua orangtuanya. Namun, ia merasa kakinya tak bisa
digerakkan. Rasa pusing dikepalanya membuat ia kembali berbaring.
“Keisha...”
kata mama dan papanya serempak. Ada rasa khawatir yang tergambar di wajah
mereka.
“Ma,
pa, kok Keisha tidak bisa merasakan apapun di kaki Keisha. Kenapa, ma?”
Pertanyaan
Keisha membuat air mata mamanya tumpah. Papa langsung menenangkan istrinya yang
saat itu tidak bisa berhenti menangis.
“Ma,
pa, jawab, dong! Keisha kan gak tahu kalau mama dan papa gak jawab. Keisha
janji Keisha gak bakal protes atau komentar dengan apa yang Keisha dengar
nanti,” janji Keisha.
Papa
Keisha mengambil napas panjang, kemudian menghembuskannya dengan pelan. Perlu
cukup persiapan untuk mengatakan hal itu pada Keisha. Beliau berharap, Keisha
bisa menerimanya dengan hati yang lapang saat ia mengetahuinya nanti.
“Begini,
Keisha. Beberapa hari yang lalu, kamu mengalami kecelakaan. Sudah hampir
seminggu kamu tak sadarkan diri...”
“Lalu?”
potong Keisha seolah tak sabar menantikan kata-kata selanjutnya. Ia berharap
tidak terjadi sesuatu yang menghebohkannya nanti.
“Papa
mengkhawatirkan soal kakimu,” sambung papanya.
Keisha
masih terdiam, tak mengerti kemana arah pembicaraan papanya.
“Kaki
sebelah kananmu hancur. Jadi... harus diamputasi.”
Sesaat,
suasana berubah menjadi hening. Tak ada satupun dari mereka yang membuka mulut.
Beberapa detik kemudian, setelah Keisha bisa mencerna semua yang papanya
katakan, ia terdiam. Ia sudah berjanji tidak akan protes. Tapi, ia menjadi
sangat kesal. Jika ia hanya punya satu kaki, itu berarti ia tidak bisa menjadi
pramugari.
*
Sudah
seminggu lebih sejak kepulangannya dari rumah sakit, ia terus mengurung dirinya
di kamar. Ia jadi sulit diatur. Teman-temannya yang ingin datang menjenguk tak
ia hiraukan. Bahkan, ia malah mengusir mereka semua yang datang. Melihat
tingkah putrinya itu, kedua orangtuanya jadi khawatir. Mereka tidak tahu apa
yang harus lakukan untuk membuat putri mereka menjadi seperti dulu.
“Keisha,
buka pintunya! Ayo makan dulu! Nanti kamu sakit,” kata mamanya lembut.
Keisha
membuka pintu kamarnya, mengambil nampan yang dibawa mamanya, lalu menutupnya
kembali tanpa mengucapkan sepatah katapun. Beliau hanya bisa mengurut dadanya
melihat sikap Keisha tadi.
*
Keisha
terbangun dari tidurnya saat ia mendengar ponselnya berbunyi karena alarm. Ia
melihat layar ponselnya sebentar, lalu mematikannya. Seharusnya, hari ini ia
pergi ke sekolah pramugari untuk belajar. Namun, karena kecelakaan yang ia
alami, membuat cita-citanya menjadi hancur.
Ia
bangkit dari tempat tidurnya, duduk dikursi roda, kemudian hendak keluar dari
kamar. Namun, gerakannya terhenti saat melihat selebaran tentang pramugari
bertebaran di meja belajarnya. Melihat hal itu, ia menjadi kesal. Diambilnya
semua selebaran itu, dibuatnya pesawat kertas, lalu ia terbangkan keluar
jendela kamarnya.
Pesawat-pesawat
itu terbang kesana kemari mengikuti kemana angin melaju. Keisha melihat
pesawat-pesawat itu lama. Seandainya ia tidak mengalami kecelakaan itu,
seandainya kakinya tidak hancur, seandainya…
“Aaarrrgggghhhh……..”
Keisha meninju dinding kamarnya dengan penuh amarah. Ia hanya bisa memikirkan
seandainya. Kenyataannya, tidak seperti yang ia harapkan. Satu mimpi yang ia
inginkan sudah terbang tinggi meninggalkannya. Tidak tahu kemana mimpi itu akan
mendarat. Namun, ia mulai berpikir semoga bukan hanya itu saja mimpinya.
*
Udara
di taman rumah sakit terasa sangat sejuk. Bunga-bunga bermekaran dengan indah
saat itu. Keisha memetik satu, kemudian ia selipkan ke telinganya. Dalam hati
ia berharap, semoga tak ada seorang pun yang memarahinya karena telah memetik
bunga sembarangan.
Siang
itu Keisha datang kerumah sakit untuk menjalani terapi. Ia mulai bisa menerima
kenyataan kalau ia hanya punya satu kaki dan merelakan mimpinya terbang jauh.
Baginya yang terpenting adalah membahagiakan kedua orangtuanya dan orang-orang
terdekatnya. Ia tahu, orangtuanya pasti merasa sedih melihat sikapnya beberapa
minggu terakhir. Begitu juga dengan teman-temannya. Ia jadi merasa bersalah
karena waktu itu telah mengusir mereka. Seharusnya, ia bisa bersikap lebih
professional menerima kenyataan hidupnya.
“Kak,
mengapa melamun?” tanya seorang anak gadis.
Keisha
merasa bingung. Anak itu buta, tapi anak itu tahu kalau ia sedang melamun.
“Tidak
apa. Oya, siapa namamu?” tanya Keisha.
“Gita
Lestari,” jawab Gita polos.
Keisha
tersenyum. “Nama kakak Keisha. Sedang apa kamu disini?”
“Sedang
menjalani pemeriksaan rutin. Agak membosankan, sih! Tapi, aku ingin sembuh.
Jadi, suka gak suka, aku harus tetap melakukannya,” jawab Gita jujur.
Keisha
mengangguk. Anak itu terlihat sangat jujur dan polos. Ia begitu menyukainya.
Keisha memandang sekelilingnya. Sepi.
“Kakak
cari siapa?” tanya Gita lagi.
“Kamu
sendirian kesini?” tanya Keisha bingung.
Gita
mengangguk.
“Kok,
bisa?” tanya Keisha hati-hati. Ia takut kalau pertanyaan itu menyinggung hati
Gita.
“Aku
sudah terbiasa,” jawabnya.
Tongkat
yang ia bawa mulai bergerak-gerak seperti mencari sesuatu. Kemudian, ia
berjalan menuju kursi taman dan duduk disana. Keisha menggerakkan kursi rodanya
mendekati Gita.
“Kak,
aku memang tidak bisa melihat dengan mata. Aku dilahirkan buta sejak kecil,”
kata Gita tiba-tiba. Tangan kanannya bergerak, menepuk-nepuk dadanya pelan.
“Tapi, aku bisa melihatnya dengan mata hatiku,” sambungnya.
Keisha
menjadi terharu. Bagaimana bisa seorang anak kecil berpikir lebih dewasa
dibanding dirinya. Ia menjadi malu mengingat sikapnya yang ia nilai sangat
kekanak-kanakan.
“Kamu
punya mimpi?” tanya Keisha. Tiba-tiba ia jadi teringat mimpinya saat kecil.
“Ya,”
jawab Gita antusias. “Aku bermimpi ingin menjadi seorang penulis.”
Keisha
terkesiap mendengar jawaban Gita. Seorang anak gadis buta bermimpi menjadi
seorang penulis. Kedengarannya sangat aneh.
“Memang
aneh,” seru Gita yang sepertinya bisa membaca pikiran Keisha. “Tapi, suatu saat
nanti, aku yakin aku bisa menjadi seorang penulis. Aku tidak akan menyerah.”
Keisha
kagum mendengar jawabannya. Ia pun mulai berpikir apa mimpinya. Sudah pasti
keliling dunia. Dan ia jadi optimis dengan itu semua. Jika seorang anak gadis
buta bisa bermimpi tentang suatu hal yang tidak mungkin, kenapa ia tidak.
*
Rumah
sakit benar-benar membuat rindu. Setiap kali Keisha datang kesini, selalu ada
sesuatu yang membuatku kembali semangat. Pertama, keinginan untuk sembuh.
Kedua, keinginan untuk bertemu Gita. Ia benar-benar menyayanginya seperti adiknya
sendiri. Dan tidak bertemu dengannya beberapa hari ini membuatnya benar-benar
rindu.
“Oke,
sekarang sudah selesai. Sepertinya ada banyak kemajuan sekarang. Saya
benar-benar tidak menyangka. Mungkin, dalam waktu dekat ini, kamu sudah bisa
menggunakan tongkat. Bahkan, bisa menggunakan kaki palsu,” kata dokter senang.
“Terima
kasih, dok! Apa aku boleh pergi sekarang?” tanya Keisha tak sabaran.
Sang
dokter mengangguk. Ia tahu kalau Keisha sudah tidak sabar ingin bertemu dengan
Gita. Beberapa hari terakhir mereka sangat akrab. Namun, sepertinya ia
melupakan sesuatu.
Keisha
melihat ruang tempat Gita dirawat sangat ramai. Ia berjalan mendekat dan
melihat orang-orang menangis di dalam ruangan. Ia melangkah masuk ke dalam
ruangan dengan bingung. Apa yang terjadi sebenarnya?
“Tante...
Gita...”
“Gita
sudah pergi, Keisha! Dia sudah pergi meninggalkan dunia ini...” kata Tante
Wati, ibunya Gita.
Beberapa
saat ia terdiam. Air matanya tumpah begitu saja tanpa bisa ia hentikan.
Bagaimana? Bagaimana bisa anak sebaik Gita harus pergi dari dunia secepat ini?
Tidak mungkin.
“Tapi...
Kenapa, tan?” tanya Keisha tak mengerti.
“Dari
kecil ia sudah menderita banyak penyakit dan akhirnya terjadi komplikasi. Oleh
sebab itu...” Tante Wati tak dapat melanjutkan kata-katanya lagi.
Semua
terus menangis. Tidak mempercayai kenyataan yang benar-benar terjadi. Apakah
ini adil buat Gita?
*
Hujan
mewarnai proses pemakaman Gita. Keisha dan kedua orangtuanya ikut melayat. Ia
ingin melihat Gita untuk kali terakhirnya.
“Ma,
kenapa Gita harus mengalami ini semua? Bukankah Gita anak baik? Tapi, mengapa
ia harus mengalami ini semua? Apakah Tuhan tidak adil?” tanya Keisha. Ia
menatap nanar kuburan Gita.
“Sssttt...
Keisha! Kamu tidak boleh bicara seperti itu. Allah itu sungguh adil. Mungkin,
ini yang terbaik untuk Gita. Kita tidak bisa berbuat apa-apa atas apa yang
telah terjadi,” kata mamanya lembut.
Keisha
tak peduli. Ia hanya berpikir benarkah ini yang terbaik untuk Gita?
“Keisha,”
panggil Tante Wati. “Ada surat untukmu. Ini, dari Gita.”
Keisha
mengambil surat itu dari Tante Wati dan segera membacanya.
Untuk Kak Keisha,
Kak Keisha... Mungkin, saat kakak
sedang membaca surat ini, aku sudah tak ada lagi di dunia ini. Tapi, aku ingin
kakak tahu sesuatu.
Semenjak aku bertemu kakak, aku
merasa senang. Akhirnya, aku bisa mempunyai seorang teman tanpa harus
memandangku seperti orang hina. Kakak baik, ceria, dan penuh percaya diri. Dan
itu membuatku kagum pada kakak.
Kak, Gita tahu kalau kakak punya
mimpi yang sempat hancur karena kaki kakak. Tapi, aku ingin kakak bangkit lagi.
Kadang, apa yang kita impikan tidak seperti yang kita harapkan. Dan harapan
kita tidak selalu menjadi cita-cita kita.
Kak, teruslah berjuang. Jangan pernah
menyerah. Pikirkanlah masa depan kakak. Aku tahu hidupku tak akan lama, tapi
aku selalu optimis untuk mengahadapi hari esok. Jadi, aku ingin kakak
sepertiku. Selama kita masih hidup, kita harus bisa membahagiakan orang-orang
di sekitar kita. Sekali lagi, jangan menyerah. Semangat!!!
Adikmu tersayang,
Gita
Surat
itu sudah basah oleh air. Bukan karena hujan, tapi oleh air mata Keisha yang
jatuh tanpa bisa dibendung lagi. Ia tak habis pikir bagaimana bisa ia rela
menyuruh perawat untuk menulis surat ini. Kata-katanya begitu menyentuh, hingga
rasanya ia merasa malu pada Gita.
“Ma,”
panggil Keisha setelah ia merasa agak baikan.
“Ada
apa, Keisha?” tanya mamanya bingung.
“Aku
ingin mama melakukan sesuatu untukku. Apakah mama mau?”
“Dengan
senang hati,” jawab mamanya tulus.
*
5 tahun kemudian….
Bunyi
pesawat sedang lepas landas benar-benar membuat saking telinga. Apalagi, saat
pesawat mulai terbang ke angkas, membuat telinga semakin sakit. Keisha sengaja
mengunyah permen karet supaya telinganya tidak sakit.
“Setelah
ini kita akan pergi ke Singapura untuk mengadakan launching buku barumu. Kemudian,
kita akan pergi ke Malaysia...”
Asisten
Keisha terus berceloteh tentang jadwalnya. Untungnya, ia segera berhenti karena
para pramugari sudah mendelik kesal kearahnya. Keisha tidak berhenti memandang
langit di depannya. Kemudian, ia mendesah.
“Keisha,
apa yang sedang kamu pikirkan?” tanya mama yang duduk tepat di sebelahnya.
“Hanya
masalah impian, harapan, dan cita-cita,” jawab Keisha. Ia kembali memandang
langit. “Kurasa apa yang ia katakan ada benarnya. Tak semua impian seperti yang
kita harapkan. Dan harapan kita tak selalu menjadi apa yang kita cita-citakan.
Yang terpenting adalah semangat serta usaha.”
Mamanya
tersenyum bangga. Ia senang karena putrinya bangkit lagi dari keterpurukannya.
Dan beliau juga ingin berterima kasih kepada
Gita. Karena dia, putrinya bisa menjadi orang yang tegar.
Pesawat
itu terus terbang tinggi menuju angkasa. Menggapai langit harapan dan
cita-cita. Menuju gerbang masa depan yang cemerlang dan indah. Dengan usaha dan
doa, semua itu akan terwujud. Tanpa itu, apa yang telah lama di impikan, hanya
akan menjadi mimpi konyol dalam keterpurukan. Dan Keisha memahami itu semua.
Dan ia bangga menjadi seorang penulis seperti sekarang.
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar