Selasa, 30 Desember 2014

PESAWAT KERTAS



            “Dan juara pertama adalah.... Keisha Natasha...”
Semua orang bertepuk tangan dengan riuh dan bergantian  memberi ucapan selamat pada Keisha. Keisha naik ke atas panggung, menerima penghargaan dari kepala sekolah, kemudian menyampaikan beberapa ucapan terima kasih kepada semuanya. Kemudian, ia turun dari panggung dan berjalan menghampiri teman-temannya.
“Selamat Keisha! Kamu memang pantas mendapatkannya,” kata Ani sambil menjabat tangan Keisha.
Keisha tersenyum senang. Kemudian, bergantian ia berjabat tangan dengan teman-temannya yang lain yang juga ingin memberikan selamat kepada Keisha. Perlahan, orang-orang mulai bubar meninggalkan tempat acara. Tak lama, dari atas atap, terlihat ribuan pesawat yang terbuat dari kertas terbang mewarnai langit sekolah dan mendarat di setiap sudut sekolah. Bu Lisa, kepala sekolah Keisha, tampak geram melihat ulah anak-anak muridnya yang dinilainya mengotori sekolah.
“Maaf, bu! Kami berjanji akan membersihkan semuanya,” kata Keisha.
Bu Lisa mengangguk setuju. Ia percaya dengan kata-kata Keisha. Dan benar. Seusai semua pesawat kertas di terbangkan semua, para murid kelas 12 mulai sibuk mencari pesawat kertas. Para osis juga ikut turun tangan karena mereka juga terlibat. Untungnya, mereka tampak senang. Bagi mereka, hari terakhir di SMA adalah hari yang paling di kenang. Dan untuk membuat kenangan-kenangan itu, mereka berencana untuk menerbangkan ribuan pesawat kertas yang mereka ambil dari kertas-kertas yang tidak di pakai.
*
“Senangnya,” seru Nia yang duduk disamping Keisha saat mereka sudah selesai mengumpuli semua pesawat kertas itu.
Keisha yang saat itu sedang meneguk minumannya menghentikan gerakannya dan menoleh kearah Nia sebentar. Kemudian, ia kembali minum.
“Tentu saja,” kata Keisha setelah ia selesai menghabiskan minumannya. “Aku benar-benar tidak menyangka kalau acaranya berjalan dengan sukses. Aku pikir, Bu Lisa akan mengamuk karena sekolahnya kita buat kacau.”
“Pfffttt…” Nia menahan tawanya mendengar kata-kata Keisha. “Mana mungkin!  Bu Lisa gak bakalan marah kalau kamu yang ngomong,” kata Nia.
“Jadi, itu alasan kalian menyuruhku untuk bicara soal ini kepada Bu Lisa.”
Nia mengangguk. “Tapi, jangan marah, ya!”
Keisha hanya tersenyum.
“Keisha, nanti kamu mau lanjut kemana?” tanya Ani. Entah sejak kapan ia sudah duduk di samping Keisha.
“Pramugari,” jawab Keisha pasti. Sudah lama ia bermimpi menjadi seorang pramugari.
“Kenapa pramugari? Padahal kamu lebih cocok jadi dokter,” seru Nia.
Keisha menggeleng, kemudian tersenyum kepada kedua temannya.
“Aku ingin menjadi pramugari karena itu mimpiku sejak kecil,” jelasnya.
Keisha jadi teringat masa kecilnya saat mamanya bertanya apa cita-citanya nanti. Ia menjawab ingin keliling dunia dengan menggunakan pesawat. Dan menjadi pramugari adalah bagian dari impiannya itu. Ia berpikir, menjadi pramugari adalah berarti mewujudkan mimpinya.
Tak berapa lama, mobil yang Keisha tunggu tiba. Ia pamit pada kedua temannya, lalu melangkah masuk kedalam mobil.
Mobil itu melaju dengan kecepatan sedang. Namun, saat mobil mereka berada di persimpangan, sebuah mobil kijang yang datang dari arah yang berlawanan melaju dengan kecepatan kencang menerobos lampu merah. Saat mobil itu berusaha untuk mengerem, mobil itu malah membanting stirnya ke sebelah kanan menabrak mobil yang ditumpangi Keisha. Mobil yang di tumpangi Keisha tak dapat menghindar sehingga tabrakan itu tak dapat dihindari lagi.
Mobil yang di tumpangi Keisha terbalik. Keisha yang saat itu sedang asyik mengutak-atik ponselnya terkejut dan langsung tak sadarkan diri.
*
‘Tiitt… tiittt… tiitt…’ bunyi mesin untuk memeriksa detak jantung terdengar menyakitkan telinga. Keisha bangun dan melihat kedua orangtuanya sedang menangis di sampingnya. Ia merasa bingung. Tapi, ia mencoba untuk bersikap biasa.
“Ma, pa, ada apa? Apa yang terjadi?” tanya Keisha. Ia masih belum ingat dengan kecelakaan yang ia alami saat itu.
Keisha menatap mama dan papanya lama, berharap salah satu dari mereka bisa menjawab pertanyaannya yang mudah. Tapi, kelihatannya mereka berdua enggan menjawab. Ada rasa penasaran yang menggebu-gebu dalam dirinya.
Ia biarkan kedua orangtuanya diam dan mencoba bangkit dari tempat tidur agar ia bisa melihat lebih jelas kedua orangtuanya. Namun, ia merasa kakinya tak bisa digerakkan. Rasa pusing dikepalanya membuat ia kembali berbaring.
“Keisha...” kata mama dan papanya serempak. Ada rasa khawatir yang tergambar di wajah mereka.
“Ma, pa, kok Keisha tidak bisa merasakan apapun di kaki Keisha. Kenapa, ma?”
Pertanyaan Keisha membuat air mata mamanya tumpah. Papa langsung menenangkan istrinya yang saat itu tidak bisa berhenti menangis.
“Ma, pa, jawab, dong! Keisha kan gak tahu kalau mama dan papa gak jawab. Keisha janji Keisha gak bakal protes atau komentar dengan apa yang Keisha dengar nanti,” janji Keisha.
Papa Keisha mengambil napas panjang, kemudian menghembuskannya dengan pelan. Perlu cukup persiapan untuk mengatakan hal itu pada Keisha. Beliau berharap, Keisha bisa menerimanya dengan hati yang lapang saat ia mengetahuinya nanti.
“Begini, Keisha. Beberapa hari yang lalu, kamu mengalami kecelakaan. Sudah hampir seminggu kamu tak sadarkan diri...”
“Lalu?” potong Keisha seolah tak sabar menantikan kata-kata selanjutnya. Ia berharap tidak terjadi sesuatu yang menghebohkannya nanti.
“Papa mengkhawatirkan soal kakimu,” sambung papanya.
Keisha masih terdiam, tak mengerti kemana arah pembicaraan papanya.
“Kaki sebelah kananmu hancur. Jadi... harus diamputasi.”
Sesaat, suasana berubah menjadi hening. Tak ada satupun dari mereka yang membuka mulut. Beberapa detik kemudian, setelah Keisha bisa mencerna semua yang papanya katakan, ia terdiam. Ia sudah berjanji tidak akan protes. Tapi, ia menjadi sangat kesal. Jika ia hanya punya satu kaki, itu berarti ia tidak bisa menjadi pramugari.
*
Sudah seminggu lebih sejak kepulangannya dari rumah sakit, ia terus mengurung dirinya di kamar. Ia jadi sulit diatur. Teman-temannya yang ingin datang menjenguk tak ia hiraukan. Bahkan, ia malah mengusir mereka semua yang datang. Melihat tingkah putrinya itu, kedua orangtuanya jadi khawatir. Mereka tidak tahu apa yang harus lakukan untuk membuat putri mereka menjadi seperti dulu.
“Keisha, buka pintunya! Ayo makan dulu! Nanti kamu sakit,” kata mamanya lembut.
Keisha membuka pintu kamarnya, mengambil nampan yang dibawa mamanya, lalu menutupnya kembali tanpa mengucapkan sepatah katapun. Beliau hanya bisa mengurut dadanya melihat sikap Keisha tadi.
*
Keisha terbangun dari tidurnya saat ia mendengar ponselnya berbunyi karena alarm. Ia melihat layar ponselnya sebentar, lalu mematikannya. Seharusnya, hari ini ia pergi ke sekolah pramugari untuk belajar. Namun, karena kecelakaan yang ia alami, membuat cita-citanya menjadi hancur.
Ia bangkit dari tempat tidurnya, duduk dikursi roda, kemudian hendak keluar dari kamar. Namun, gerakannya terhenti saat melihat selebaran tentang pramugari bertebaran di meja belajarnya. Melihat hal itu, ia menjadi kesal. Diambilnya semua selebaran itu, dibuatnya pesawat kertas, lalu ia terbangkan keluar jendela kamarnya.
Pesawat-pesawat itu terbang kesana kemari mengikuti kemana angin melaju. Keisha melihat pesawat-pesawat itu lama. Seandainya ia tidak mengalami kecelakaan itu, seandainya kakinya tidak hancur, seandainya…
“Aaarrrgggghhhh……..” Keisha meninju dinding kamarnya dengan penuh amarah. Ia hanya bisa memikirkan seandainya. Kenyataannya, tidak seperti yang ia harapkan. Satu mimpi yang ia inginkan sudah terbang tinggi meninggalkannya. Tidak tahu kemana mimpi itu akan mendarat. Namun, ia mulai berpikir semoga bukan hanya itu saja mimpinya.
*
Udara di taman rumah sakit terasa sangat sejuk. Bunga-bunga bermekaran dengan indah saat itu. Keisha memetik satu, kemudian ia selipkan ke telinganya. Dalam hati ia berharap, semoga tak ada seorang pun yang memarahinya karena telah memetik bunga sembarangan.
Siang itu Keisha datang kerumah sakit untuk menjalani terapi. Ia mulai bisa menerima kenyataan kalau ia hanya punya satu kaki dan merelakan mimpinya terbang jauh. Baginya yang terpenting adalah membahagiakan kedua orangtuanya dan orang-orang terdekatnya. Ia tahu, orangtuanya pasti merasa sedih melihat sikapnya beberapa minggu terakhir. Begitu juga dengan teman-temannya. Ia jadi merasa bersalah karena waktu itu telah mengusir mereka. Seharusnya, ia bisa bersikap lebih professional menerima kenyataan hidupnya.
“Kak, mengapa melamun?” tanya seorang anak gadis.
Keisha merasa bingung. Anak itu buta, tapi anak itu tahu kalau ia sedang melamun.
“Tidak apa. Oya, siapa namamu?” tanya Keisha.
“Gita Lestari,” jawab Gita polos.
Keisha tersenyum. “Nama kakak Keisha. Sedang apa kamu disini?”
“Sedang menjalani pemeriksaan rutin. Agak membosankan, sih! Tapi, aku ingin sembuh. Jadi, suka gak suka, aku harus tetap melakukannya,” jawab Gita jujur.
Keisha mengangguk. Anak itu terlihat sangat jujur dan polos. Ia begitu menyukainya. Keisha memandang sekelilingnya. Sepi.
“Kakak cari siapa?” tanya Gita lagi.
“Kamu sendirian kesini?” tanya Keisha bingung.
Gita mengangguk.
“Kok, bisa?” tanya Keisha hati-hati. Ia takut kalau pertanyaan itu menyinggung hati Gita.
“Aku sudah terbiasa,” jawabnya.
Tongkat yang ia bawa mulai bergerak-gerak seperti mencari sesuatu. Kemudian, ia berjalan menuju kursi taman dan duduk disana. Keisha menggerakkan kursi rodanya mendekati Gita.
“Kak, aku memang tidak bisa melihat dengan mata. Aku dilahirkan buta sejak kecil,” kata Gita tiba-tiba. Tangan kanannya bergerak, menepuk-nepuk dadanya pelan. “Tapi, aku bisa melihatnya dengan mata hatiku,” sambungnya.
Keisha menjadi terharu. Bagaimana bisa seorang anak kecil berpikir lebih dewasa dibanding dirinya. Ia menjadi malu mengingat sikapnya yang ia nilai sangat kekanak-kanakan.
“Kamu punya mimpi?” tanya Keisha. Tiba-tiba ia jadi teringat mimpinya saat kecil.
“Ya,” jawab Gita antusias. “Aku bermimpi ingin menjadi seorang penulis.”
Keisha terkesiap mendengar jawaban Gita. Seorang anak gadis buta bermimpi menjadi seorang penulis. Kedengarannya sangat aneh.
“Memang aneh,” seru Gita yang sepertinya bisa membaca pikiran Keisha. “Tapi, suatu saat nanti, aku yakin aku bisa menjadi seorang penulis. Aku tidak akan menyerah.”
Keisha kagum mendengar jawabannya. Ia pun mulai berpikir apa mimpinya. Sudah pasti keliling dunia. Dan ia jadi optimis dengan itu semua. Jika seorang anak gadis buta bisa bermimpi tentang suatu hal yang tidak mungkin, kenapa ia tidak.
*
Rumah sakit benar-benar membuat rindu. Setiap kali Keisha datang kesini, selalu ada sesuatu yang membuatku kembali semangat. Pertama, keinginan untuk sembuh. Kedua, keinginan untuk bertemu Gita. Ia benar-benar menyayanginya seperti adiknya sendiri. Dan tidak bertemu dengannya beberapa hari ini membuatnya benar-benar rindu.
“Oke, sekarang sudah selesai. Sepertinya ada banyak kemajuan sekarang. Saya benar-benar tidak menyangka. Mungkin, dalam waktu dekat ini, kamu sudah bisa menggunakan tongkat. Bahkan, bisa menggunakan kaki palsu,” kata dokter senang.
“Terima kasih, dok! Apa aku boleh pergi sekarang?” tanya Keisha tak sabaran.
Sang dokter mengangguk. Ia tahu kalau Keisha sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Gita. Beberapa hari terakhir mereka sangat akrab. Namun, sepertinya ia melupakan sesuatu.
Keisha melihat ruang tempat Gita dirawat sangat ramai. Ia berjalan mendekat dan melihat orang-orang menangis di dalam ruangan. Ia melangkah masuk ke dalam ruangan dengan bingung. Apa yang terjadi sebenarnya?
“Tante... Gita...”
“Gita sudah pergi, Keisha! Dia sudah pergi meninggalkan dunia ini...” kata Tante Wati, ibunya Gita.
Beberapa saat ia terdiam. Air matanya tumpah begitu saja tanpa bisa ia hentikan. Bagaimana? Bagaimana bisa anak sebaik Gita harus pergi dari dunia secepat ini? Tidak mungkin.
“Tapi... Kenapa, tan?” tanya Keisha tak mengerti.
“Dari kecil ia sudah menderita banyak penyakit dan akhirnya terjadi komplikasi. Oleh sebab itu...” Tante Wati tak dapat melanjutkan kata-katanya lagi.
Semua terus menangis. Tidak mempercayai kenyataan yang benar-benar terjadi. Apakah ini adil buat Gita?
*
Hujan mewarnai proses pemakaman Gita. Keisha dan kedua orangtuanya ikut melayat. Ia ingin melihat Gita untuk kali terakhirnya.
“Ma, kenapa Gita harus mengalami ini semua? Bukankah Gita anak baik? Tapi, mengapa ia harus mengalami ini semua? Apakah Tuhan tidak adil?” tanya Keisha. Ia menatap nanar kuburan Gita.
“Sssttt... Keisha! Kamu tidak boleh bicara seperti itu. Allah itu sungguh adil. Mungkin, ini yang terbaik untuk Gita. Kita tidak bisa berbuat apa-apa atas apa yang telah terjadi,” kata mamanya lembut.
Keisha tak peduli. Ia hanya berpikir benarkah ini yang terbaik untuk Gita?
“Keisha,” panggil Tante Wati. “Ada surat untukmu. Ini, dari Gita.”
Keisha mengambil surat itu dari Tante Wati dan segera membacanya.

Untuk Kak Keisha,
Kak Keisha... Mungkin, saat kakak sedang membaca surat ini, aku sudah tak ada lagi di dunia ini. Tapi, aku ingin kakak tahu sesuatu.
Semenjak aku bertemu kakak, aku merasa senang. Akhirnya, aku bisa mempunyai seorang teman tanpa harus memandangku seperti orang hina. Kakak baik, ceria, dan penuh percaya diri. Dan itu membuatku kagum pada kakak.
Kak, Gita tahu kalau kakak punya mimpi yang sempat hancur karena kaki kakak. Tapi, aku ingin kakak bangkit lagi. Kadang, apa yang kita impikan tidak seperti yang kita harapkan. Dan harapan kita tidak selalu menjadi cita-cita kita.
Kak, teruslah berjuang. Jangan pernah menyerah. Pikirkanlah masa depan kakak. Aku tahu hidupku tak akan lama, tapi aku selalu optimis untuk mengahadapi hari esok. Jadi, aku ingin kakak sepertiku. Selama kita masih hidup, kita harus bisa membahagiakan orang-orang di sekitar kita. Sekali lagi, jangan menyerah. Semangat!!!

Adikmu tersayang,

Gita

Surat itu sudah basah oleh air. Bukan karena hujan, tapi oleh air mata Keisha yang jatuh tanpa bisa dibendung lagi. Ia tak habis pikir bagaimana bisa ia rela menyuruh perawat untuk menulis surat ini. Kata-katanya begitu menyentuh, hingga rasanya ia merasa malu pada Gita.
“Ma,” panggil Keisha setelah ia merasa agak baikan.
“Ada apa, Keisha?” tanya mamanya bingung.
“Aku ingin mama melakukan sesuatu untukku. Apakah mama mau?”
“Dengan senang hati,” jawab mamanya tulus.
*
            5 tahun kemudian….
Bunyi pesawat sedang lepas landas benar-benar membuat saking telinga. Apalagi, saat pesawat mulai terbang ke angkas, membuat telinga semakin sakit. Keisha sengaja mengunyah permen karet supaya telinganya tidak sakit.
“Setelah ini kita akan pergi ke Singapura untuk mengadakan launching buku barumu. Kemudian, kita akan pergi ke Malaysia...”
Asisten Keisha terus berceloteh tentang jadwalnya. Untungnya, ia segera berhenti karena para pramugari sudah mendelik kesal kearahnya. Keisha tidak berhenti memandang langit di depannya. Kemudian, ia mendesah.
“Keisha, apa yang sedang kamu pikirkan?” tanya mama yang duduk tepat di sebelahnya.
“Hanya masalah impian, harapan, dan cita-cita,” jawab Keisha. Ia kembali memandang langit. “Kurasa apa yang ia katakan ada benarnya. Tak semua impian seperti yang kita harapkan. Dan harapan kita tak selalu menjadi apa yang kita cita-citakan. Yang terpenting adalah semangat serta usaha.”
Mamanya tersenyum bangga. Ia senang karena putrinya bangkit lagi dari keterpurukannya. Dan beliau juga ingin berterima kasih  kepada Gita. Karena dia, putrinya bisa menjadi orang yang tegar.
Pesawat itu terus terbang tinggi menuju angkasa. Menggapai langit harapan dan cita-cita. Menuju gerbang masa depan yang cemerlang dan indah. Dengan usaha dan doa, semua itu akan terwujud. Tanpa itu, apa yang telah lama di impikan, hanya akan menjadi mimpi konyol dalam keterpurukan. Dan Keisha memahami itu semua. Dan ia bangga menjadi seorang penulis seperti sekarang.

SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar