Selasa, 30 Desember 2014

“SAYAP KIRI YANG HILANG”


            Malam itu hujan turun dengan lebatnya.Sesekali kilat mengerjap menerangi malam yang kelam. Seorang perempuan, kira-kira berumur belasan tahun itu sedang duduk di bingkai jendela sambil menengadahkan tangannya. Sepertinya ia sedang berdoa.
“Vita…”
Perempuan yang dipanggil Vita pun menyelesaikan doanya. Kemudian turun dari jendela menghampiri mamanya yang ada di kamarnya.
“Ada pa, ma? Mengapa mama memanggil Vita?”
“Cepat panggil Mang Ucok kesini. Papa jatuh dan tidak bangun-bangun lagi” kata mamanya panik. Vita mengangguk sambil mengambil hp-nya dan menelpon Mang Ucok.
“Ma, teleponnya tidak diangkat. Bagaimana ini?” tanya Vita mulai panik. Bisa ia lihat mamanya ikutan panik sambil tetap memangku kepala papanya.
“Coba telepon ayuk Dila. Mungkin mereka bisa membantu”
Vita menganggukkan kepalanya, kemudian melakukan apa yang disuruh mamanya.
“Ma, katanya sebentar lagi mereka datang”lapor Vita.
“Alhamdulillah. Kalau begitu, kita tinggal menunggu saja” ujar mamanya.
Tak lama, Ayuk Dila datang bersama suaminya. Mereka menggotong papa Vita masuk kedalam mobil.
“Baiklah, kalau begitu Vita dirumah, ya! Jaga Sinta baik-baik” pesan mamanya. Vita mengangguk. “Satu lagi, kalau Kak Putra dan Kak Via pulang, suruh mereka kerumah nenek. Kasihan, nenek sendirian disana”. Vita kembali mengangguk.
“Iya, ma! Hati-hati dijalan, ya!”ingat Vita.
Saat mobil itu sudah menghilang dari pandangannya, ia masuk kedalam kamarnya dan kembali berdoa.
“Ya Allah, semoga tidak terjadi apa-apa pada papaku, ya Allah. Amin…” doa Vita.
Hujan turun semakin deras, membuat suasana hati Vita semakin gelisah. Untuk menghilangkan kegelisahannya, ia segera mengambil air wudhu, kemudian melaksanakan shalat.

~+~+~+~+~+~+~+~

Vita berjalan di koridor sekolahnya menuju kelas dengan lesu. Mungkin, semalam ia kurang tidur karena terlalu memikirkan keadaan papanya. Sebelum ia sempat sampai dikelas, temannya menghampiri Vita dengan semangat.
“Vita..” panggil seorang perempuan berjilbab sambil berlari menghampiri Vita.
“Ada apa, Sha?”tanya Vita sambil tersenyum. Ia berusaha untuk menyembunyikan kegelisahannya.
“Lihat aku bawa apa?” Tisha menunjukkan selembar brosur pada Vita dengan semangat.
“Brosur apa ini?”
“Yee… baca dulu, baru tanya”
Vita tersenyum melihat tingkah temannya itu. kemudian ia mengalihkan pandangannya pada brosur. Tiba-tiba matanya membulat.
“Lomba menyanyi?” pekiknya tanpa ia tahu kalau banyak orang yang menatapnya dengan tatapan aneh.
Tisha mengangguk cepat,”Iya! Kamu ikut ya, Vit. Desi, Ima dan Eri juga ikut”pinta Tisha dengan nada memohon.
Vita menyipitkan matanya sambil melipat kedua tangannya.”Kamu sendiri?”
‘Pletak’ sebuah jitakan dari Tisha mendarat bebas di kepala Vita membuatnya meringis.
“Aww… sakit, tahu!”protes Vita sambil mengelus-elus kepalanya yang sakit.
“Kamu kan tahu sendiri kalau suaraku jelek. Jadi, mana mungkin aku ikut”omel Tisha.
Vita tertawa pelan. “Maaf, maaf… sebenarnya aku tidak bermaksud seperti itu. tapi, kalau niat sih, ada”
‘Pletak’ satu jitakan lagi mendarat di kepala Vita. Ia kembali meringis.
“Kalau berani ngomong lagi, kamu bakal dapat double” kata Tisha cepat sebelum Vita kembali protes. “Lalu, kamu ikut atau tidak?” tanya Tisha. Tapi, tak ada jawaban dari Tisha. “Kenapa diam?”
“Loh, katanya kalau aku ngomong lagi bakalan dapat double. Makanya aku diam” Tisha menepuk dahinya pelan. “Ya ampun, Vita! Bukan itu maksudku. Arrrgghh, terserah, deh! Yang penting kamu jawab dulu pertanyaanku”
“Mmm… mungkin aku tanya dulu sama mamaku”ujar Vita.
“Baiklah kalau begitu. Aku tunggu jawabanmu”

~+~+~+~+~+~+~+~

Vita berjalan menghampiri mamanya yang sedang sibuk di dapur.
“Ma, boleh tidak Vita ikut lomba nyanyi?” tanya Vita ragu. Ia tidak yakin kalau mamanya akan mengzinkannya untuk ikut.
“Tisak boleh”jawab mamanya tegas.
“Mengapa tidak? Bukankah suara Vita bagus, ma?” ujar Kak Putra yang baru saja keluar dari kamarnya.
“Pokonya, kalau mama bilang tidak, ya tidak!” mamanya pergi meninggalkan dapur.
“Sudahlah, tidak usah dipikirkan apa kata mama. Kalau kamu mau ikut, ikut saja. Biar Kak Putra yang tanggung jawab” ujar Kak Putra.
Vita menggeleng,”Vita rasa, Vita harus menuruti apa kata mama. Mungkin mama punya alasan tersendiri untuk melarang Vita”
Kak Putra memegang pundak Vita sambil menatapnya lembut.
“Yang sabar ya, Vit! Mungkin ini ada hikmahnya”
“Iya, kak! Vita juga berpikir seperti itu”kata Vita sambil tersenyum. Sepertinya hatinya sedikit lega daripada tadi pagi.
“Kalau begitu, kita pergi menjenguk papa, yuk!”ajak Kak Putra disambut anggukan dari Vita. Mereka pun segera bersiap-siap dan pergi ke rumah sakit.

~+~+~+~+~+~+~+~

Vita, Tisha, Desi dan Maya berjalan menuju rumah sampah sambil membawa tempat sampah organik dan non-organik. Mereka berjalan sambil berbincang-bincang ria.
“Lalu, apakah kamu ikut lomba nyanyi?” tanya Tisha pada Vita.
Wajah Vita berubah tegang.”Maaf, aku tidak bisa ikut. Mamaku tidak mengzinkannya”
Yang lain mengangguk. Suasana hening sejenak sampai…
“Vita, ternyata kamu disini”. Ima mengatur nafasnya sebentar,”Ada teman mamamu di sekolah. Dia menyuruhmu untuk pulang sekarang. Katanya ada urusan penting”kata Ima cepat, sampai-sampai Vita sedikit susah untuk mencernanya.
Tanpa sadar, Vita menjatuhkan tempat sampah yang ia pegang. Perasaannya berubah menjadi tidak enak.
“Kalau begitu, aku pergi duluan, ya!”kata Vita sambil berlalu pergi. Ia takut apa yang pikirkan benar-benar terjadi.
“Ya Allah, semoga tidak terjadi apa-apa pada papaku”doa Vita dalam hati.

~+~+~+~+~+~+~+~

Langit tampak gelap, padahal hari menunjukkan pukul 09.00 WIB. Tergium bau obat dimana-mana. Vita terus berlari melawan hembusan angin yang berlalu kencang. Beberapa orang yang mengenakan seragam putih-putih dilaluinya begitu saja. Ia masuk kedalam ruangan dimana papanya dirawat. Saat Vita membuka pintu, ia melihat semua keluarganya menangis di papanya. Melihat kedatangan Vita, mamanya langsung berlari menangis memeluk Vita.
“Ada apa, ma? Mengapa semua orang menangis?”
Mama Vita melepaskan pelukannya, kemudian menatap Vita lembut.
“Vita harus sabar, ya! Vita harus bisa merelakan kepergian papa”kata mama Vita disela-sela tangisan.
Perlahan air mata Vita menetes, namun segera ia tahan.
“Mama, ini bohongkan? Mama bercanda, kan? Ini tidak lucu, ma! Tidak… hiks…” air mata Vita tak terbendung lagi. Ia pun menangis di pelukan mamanya. Samar-samar ia melihat Kak Putra dan Sinta keluar dari kamar. Mama melepaskan pelukan Vita, lalu ikut keluar kamar  menyusul Kak Putra dan Sinta. Didalam, hanya tinggal Vita dan Kak Via yang masih menangisi kepergian papa mereka.
“Papa, jangan pergi! Jangan tinggalkan Via dan yang lainnya”Kak Via mengguncang-guncang tubuh papanya yang sedang terbujur kaku di ranjang. Vita menghampiri Kak Via sambil menahan tangan kakaknya.
“Kak, sudah… sudah… Biarkan papa pergi dengan tenang”
Tangis Kak Via semakin kuat. Vita memeluk Kak Via dan mereka menangis bersama.

“Pa…”kata Kak Via saat tangisannya mulai mereda. “Pergilah dengan tenang. Aku janji, aku akan menjaga mama, Kak Putra, Vita dan Sinta dengan baik”
Mendengar itu, Vita melihat papanya tersenyum untuk yang terakhir kalinya.
“Selamat jalan, pa!”ucap Vita pelan.

~+~+~+~+~+~+~+~

Selama proses pemakaman berlangsung, Vita terus menangis di pelukan Maya. Tisha, Ima, Desi, Nori dan Eri pun ikut menghibur Vita. Kak Via sedang terbaring lemah di rumah sakit karena tadi ia sempat pingsan saat melihat papanya dikubur. Sinta, adik Vita, menangis di pelukan mamanya.
“Yang sabar ya, Vit! Mungkin Allah ingin memberikan yang terbaik untuk kalian”hibur Tisha. Vita menghapus air matanya sambil mengangguk pelan.
Saat semua orang sudah pulang, Vita mendekati kuburan papanya sambil berdoa dengan khusyuk.Vita menoleh kearah mamanya yang sedang menatap sedih kearahnya.
“Waktu itu, maaf, ya. Bukannya mama tidak mau mengizinkanmu ikut lomba. Tetapi, mama takut akan terjadi hal seperti ini. Mama takut, kamu tidak bisa melihat papamu untuk yang terakhir kalinya”jelas mama Vita dengan berlinang air mata.
Vita menggeleng pelan,”Tidak apa-apa, ma! Vita tahu mama berusaha melakukan yang terbaik untuk Vita”
“Kalau begitu, kita pulang sekarang, ya! Sebentar lagi maghrib”ajak mamanya.
Vita mengangguk, kemudian berjalan meninggalkan pemakaman. Sebelum ia sempat meninggalkan pemakaman, ia menoleh ke arah kuburan papanya. Samar-samar, Vita melihat bayangan papanya yang sedang melambai kearahnya.
“Selamat tinggal, pa!” kata Vita untuk terakhir kalinya sambil membalas lambaian papanya.
Daun-daun menari bersama angin sore. Langit jingga mulai mengusungkan warna kelabu. Seperti menggambarkan suasana hati keluarga Vita. Namun, bagi Vita ini adalah awal kehidupannya untuk terbang menempuh kehidupan selanjutnya tanpa sayap kiri.



~ `THE END` ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar