Malam itu hujan turun dengan lebatnya.Sesekali kilat
mengerjap menerangi malam yang kelam. Seorang perempuan, kira-kira berumur
belasan tahun itu sedang duduk di bingkai jendela sambil menengadahkan
tangannya. Sepertinya ia sedang berdoa.
“Vita…”
Perempuan
yang dipanggil Vita pun menyelesaikan doanya. Kemudian turun dari jendela
menghampiri mamanya yang ada di kamarnya.
“Ada
pa, ma? Mengapa mama memanggil Vita?”
“Cepat
panggil Mang Ucok kesini. Papa jatuh dan tidak bangun-bangun lagi” kata mamanya
panik. Vita mengangguk sambil mengambil hp-nya dan menelpon Mang Ucok.
“Ma,
teleponnya tidak diangkat. Bagaimana ini?” tanya Vita mulai panik. Bisa ia
lihat mamanya ikutan panik sambil tetap memangku kepala papanya.
“Coba
telepon ayuk Dila. Mungkin mereka bisa membantu”
Vita
menganggukkan kepalanya, kemudian melakukan apa yang disuruh mamanya.
“Ma,
katanya sebentar lagi mereka datang”lapor Vita.
“Alhamdulillah.
Kalau begitu, kita tinggal menunggu saja” ujar mamanya.
Tak
lama, Ayuk Dila datang bersama suaminya. Mereka menggotong papa Vita masuk
kedalam mobil.
“Baiklah,
kalau begitu Vita dirumah, ya! Jaga Sinta baik-baik” pesan mamanya. Vita
mengangguk. “Satu lagi, kalau Kak Putra dan Kak Via pulang, suruh mereka
kerumah nenek. Kasihan, nenek sendirian disana”. Vita kembali mengangguk.
“Iya,
ma! Hati-hati dijalan, ya!”ingat Vita.
Saat
mobil itu sudah menghilang dari pandangannya, ia masuk kedalam kamarnya dan
kembali berdoa.
“Ya
Allah, semoga tidak terjadi apa-apa pada papaku, ya Allah. Amin…” doa Vita.
Hujan
turun semakin deras, membuat suasana hati Vita semakin gelisah. Untuk
menghilangkan kegelisahannya, ia segera mengambil air wudhu, kemudian
melaksanakan shalat.
~+~+~+~+~+~+~+~
Vita
berjalan di koridor sekolahnya menuju kelas dengan lesu. Mungkin, semalam ia
kurang tidur karena terlalu memikirkan keadaan papanya. Sebelum ia sempat sampai
dikelas, temannya menghampiri Vita dengan semangat.
“Vita..”
panggil seorang perempuan berjilbab sambil berlari menghampiri Vita.
“Ada
apa, Sha?”tanya Vita sambil tersenyum. Ia berusaha untuk menyembunyikan kegelisahannya.
“Lihat
aku bawa apa?” Tisha menunjukkan selembar brosur pada Vita dengan semangat.
“Brosur
apa ini?”
“Yee…
baca dulu, baru tanya”
Vita
tersenyum melihat tingkah temannya itu. kemudian ia mengalihkan pandangannya
pada brosur. Tiba-tiba matanya membulat.
“Lomba
menyanyi?” pekiknya tanpa ia tahu kalau banyak orang yang menatapnya dengan
tatapan aneh.
Tisha
mengangguk cepat,”Iya! Kamu ikut ya, Vit. Desi, Ima dan Eri juga ikut”pinta
Tisha dengan nada memohon.
Vita
menyipitkan matanya sambil melipat kedua tangannya.”Kamu sendiri?”
‘Pletak’
sebuah jitakan dari Tisha mendarat bebas di kepala Vita membuatnya meringis.
“Aww…
sakit, tahu!”protes Vita sambil mengelus-elus kepalanya yang sakit.
“Kamu
kan tahu sendiri kalau suaraku jelek. Jadi, mana mungkin aku ikut”omel Tisha.
Vita
tertawa pelan. “Maaf, maaf… sebenarnya aku tidak bermaksud seperti itu. tapi,
kalau niat sih, ada”
‘Pletak’
satu jitakan lagi mendarat di kepala Vita. Ia kembali meringis.
“Kalau
berani ngomong lagi, kamu bakal dapat double” kata Tisha cepat sebelum Vita
kembali protes. “Lalu, kamu ikut atau tidak?” tanya Tisha. Tapi, tak ada
jawaban dari Tisha. “Kenapa diam?”
“Loh,
katanya kalau aku ngomong lagi bakalan dapat double. Makanya aku diam” Tisha
menepuk dahinya pelan. “Ya ampun, Vita! Bukan itu maksudku. Arrrgghh, terserah,
deh! Yang penting kamu jawab dulu pertanyaanku”
“Mmm…
mungkin aku tanya dulu sama mamaku”ujar Vita.
“Baiklah
kalau begitu. Aku tunggu jawabanmu”
~+~+~+~+~+~+~+~
Vita berjalan
menghampiri mamanya yang sedang sibuk di dapur.
“Ma,
boleh tidak Vita ikut lomba nyanyi?” tanya Vita ragu. Ia tidak yakin kalau
mamanya akan mengzinkannya untuk ikut.
“Tisak
boleh”jawab mamanya tegas.
“Mengapa
tidak? Bukankah suara Vita bagus, ma?” ujar Kak Putra yang baru saja keluar
dari kamarnya.
“Pokonya,
kalau mama bilang tidak, ya tidak!” mamanya pergi meninggalkan dapur.
“Sudahlah,
tidak usah dipikirkan apa kata mama. Kalau kamu mau ikut, ikut saja. Biar Kak
Putra yang tanggung jawab” ujar Kak Putra.
Vita
menggeleng,”Vita rasa, Vita harus menuruti apa kata mama. Mungkin mama punya
alasan tersendiri untuk melarang Vita”
Kak
Putra memegang pundak Vita sambil menatapnya lembut.
“Yang
sabar ya, Vit! Mungkin ini ada hikmahnya”
“Iya,
kak! Vita juga berpikir seperti itu”kata Vita sambil tersenyum. Sepertinya
hatinya sedikit lega daripada tadi pagi.
“Kalau
begitu, kita pergi menjenguk papa, yuk!”ajak Kak Putra disambut anggukan dari
Vita. Mereka pun segera bersiap-siap dan pergi ke rumah sakit.
~+~+~+~+~+~+~+~
Vita,
Tisha, Desi dan Maya berjalan menuju rumah sampah sambil membawa tempat sampah
organik dan non-organik. Mereka berjalan sambil berbincang-bincang ria.
“Lalu,
apakah kamu ikut lomba nyanyi?” tanya Tisha pada Vita.
Wajah
Vita berubah tegang.”Maaf, aku tidak bisa ikut. Mamaku tidak mengzinkannya”
Yang
lain mengangguk. Suasana hening sejenak sampai…
“Vita,
ternyata kamu disini”. Ima mengatur nafasnya sebentar,”Ada teman mamamu di
sekolah. Dia menyuruhmu untuk pulang sekarang. Katanya ada urusan penting”kata
Ima cepat, sampai-sampai Vita sedikit susah untuk mencernanya.
Tanpa
sadar, Vita menjatuhkan tempat sampah yang ia pegang. Perasaannya berubah
menjadi tidak enak.
“Kalau
begitu, aku pergi duluan, ya!”kata Vita sambil berlalu pergi. Ia takut apa yang
pikirkan benar-benar terjadi.
“Ya
Allah, semoga tidak terjadi apa-apa pada papaku”doa Vita dalam hati.
~+~+~+~+~+~+~+~
Langit
tampak gelap, padahal hari menunjukkan pukul 09.00 WIB. Tergium bau obat
dimana-mana. Vita terus berlari melawan hembusan angin yang berlalu kencang.
Beberapa orang yang mengenakan seragam putih-putih dilaluinya begitu saja. Ia
masuk kedalam ruangan dimana papanya dirawat. Saat Vita membuka pintu, ia
melihat semua keluarganya menangis di papanya. Melihat kedatangan Vita, mamanya
langsung berlari menangis memeluk Vita.
“Ada
apa, ma? Mengapa semua orang menangis?”
Mama
Vita melepaskan pelukannya, kemudian menatap Vita lembut.
“Vita
harus sabar, ya! Vita harus bisa merelakan kepergian papa”kata mama Vita
disela-sela tangisan.
Perlahan
air mata Vita menetes, namun segera ia tahan.
“Mama,
ini bohongkan? Mama bercanda, kan? Ini tidak lucu, ma! Tidak… hiks…” air mata
Vita tak terbendung lagi. Ia pun menangis di pelukan mamanya. Samar-samar ia
melihat Kak Putra dan Sinta keluar dari kamar. Mama melepaskan pelukan Vita,
lalu ikut keluar kamar menyusul Kak
Putra dan Sinta. Didalam, hanya tinggal Vita dan Kak Via yang masih menangisi
kepergian papa mereka.
“Papa,
jangan pergi! Jangan tinggalkan Via dan yang lainnya”Kak Via
mengguncang-guncang tubuh papanya yang sedang terbujur kaku di ranjang. Vita
menghampiri Kak Via sambil menahan tangan kakaknya.
“Kak,
sudah… sudah… Biarkan papa pergi dengan tenang”
Tangis
Kak Via semakin kuat. Vita memeluk Kak Via dan mereka menangis bersama.
“Pa…”kata
Kak Via saat tangisannya mulai mereda. “Pergilah dengan tenang. Aku janji, aku
akan menjaga mama, Kak Putra, Vita dan Sinta dengan baik”
Mendengar
itu, Vita melihat papanya tersenyum untuk yang terakhir kalinya.
“Selamat
jalan, pa!”ucap Vita pelan.
~+~+~+~+~+~+~+~
Selama
proses pemakaman berlangsung, Vita terus menangis di pelukan Maya. Tisha, Ima,
Desi, Nori dan Eri pun ikut menghibur Vita. Kak Via sedang terbaring lemah di
rumah sakit karena tadi ia sempat pingsan saat melihat papanya dikubur. Sinta,
adik Vita, menangis di pelukan mamanya.
“Yang
sabar ya, Vit! Mungkin Allah ingin memberikan yang terbaik untuk kalian”hibur
Tisha. Vita menghapus air matanya sambil mengangguk pelan.
Saat
semua orang sudah pulang, Vita mendekati kuburan papanya sambil berdoa dengan
khusyuk.Vita menoleh kearah mamanya yang sedang menatap sedih kearahnya.
“Waktu
itu, maaf, ya. Bukannya mama tidak mau mengizinkanmu ikut lomba. Tetapi, mama
takut akan terjadi hal seperti ini. Mama takut, kamu tidak bisa melihat papamu
untuk yang terakhir kalinya”jelas mama Vita dengan berlinang air mata.
Vita
menggeleng pelan,”Tidak apa-apa, ma! Vita tahu mama berusaha melakukan yang
terbaik untuk Vita”
“Kalau
begitu, kita pulang sekarang, ya! Sebentar lagi maghrib”ajak mamanya.
Vita
mengangguk, kemudian berjalan meninggalkan pemakaman. Sebelum ia sempat
meninggalkan pemakaman, ia menoleh ke arah kuburan papanya. Samar-samar, Vita
melihat bayangan papanya yang sedang melambai kearahnya.
“Selamat
tinggal, pa!” kata Vita untuk terakhir kalinya sambil membalas lambaian
papanya.
Daun-daun
menari bersama angin sore. Langit jingga mulai mengusungkan warna kelabu.
Seperti menggambarkan suasana hati keluarga Vita. Namun, bagi Vita ini adalah
awal kehidupannya untuk terbang menempuh kehidupan selanjutnya tanpa sayap
kiri.
~ `THE END` ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar