‘Jlleedarr’
Suara guntur
memekakkan telinga. Aku menutup jendela ruang tempat kakak di rawat. Aku harus bertarung
dengan angin yang begitu kencang. Aku berhasil menutup jendela itu. Sambil
memandang langit, aku melamun.
“Dinda,” panggil Kak
Geo lemah.
Aku menoleh dan
berjalan mendekatinya. Kulihat dia membelai tanganku lembut sambil memandangku
penuh arti.
“Ada apa? Apa
yang kau pikirkan?” tanyanya.
Aku tersenyum.
Melihat kakakku berbaring lemah di rumah sakit ini membuatku merasa simpati. Mama
bekerja keras pagi hingga malam mencari uang
untuk biaya operasi kakak. Sedangkan, aku bermalas-malasan di rumah.
“Banyak,”
jawabku. “UN, PTN, kakak, mama, papa...”
Kak Geo tertawa
mendengar jawabanku. Aku menyerngit bingung.
“Ada apa? Ada
yang lucu?” tanyaku penuh selidik.
“Tentu saja,”
jawabnya. “Kamu benar-benar lucu. Kamu tahu tidak, kamu itu lama-lama mulai
mirip mama. Sibuk dengan ini itu, sibuk memikirkan ini dan itu. Apa kamu
berencana untuk menikah setelah lulus sekolah?”
Aku sudah bersiap
untuk menghajarnya habis-habisan, jika aku tidak ingat kalau ia sedang sakit. Dia ini., sedang sakit pun
masih sempat mengatai orang.
“Aku capek!”
katanya tiba-tiba.
Aku menatapnya
dengan tatapan letih. Sungguh Geo yang malang. Sudah hampir setahun ia
berbaring di rumah sakit. Ia terlihat bosan berada disini.
“Kakak tidur saja.”
Aku menaikkan selimutnya hingga menutupi dada.
“Bukan, bukan itu
maksudku. Maksudku, aku sudah capek seperti ini. Aku ingin mengakhiri
segalanya,” katanya.
“Jangan berpikir
yang macam-macam, kak!” kataku. Aku berharap ia tidak memikirkan soal kematian.
“Tidurlah.”
Aku menatap
matanya yang indah. Kugenggam erat tangannya yang hangat. Dari situ, kusalurkan
rasa kasih dan sayangku yang tulus kepadanya. Dengan begini, apakah dia bisa
merasakan kehadiran diriku dalam dirinya?
“Selamat tidur,”
ucapku.
“Selamat tidur,”
balasnya.
Tak lama, ia
tertidur pulas. Kulirik jam tanganku yang menunjukkan pukul 9 malam. Sudah
waktunya aku pulang.
Kumatikan lampu
ruangannya dan berjalan keluar tanpa membuat suara gaduh. Lalu, perlahan aku
meninggalkan rumah sakit ini.
*
“Assalammualaikum,”
ucapku ketika aku sudah sampai di rumah.
“Wa’alaikumsalam,”
balas mama. Ia tampak sibuk dengan acara menjahitnya.
Kuabaikan mama
yang tampak serius itu. Aku berjalan masuk ke kamar, kemudian menghempaskan
badanku di ranjangku yang paling nyaman. Hari ini aku benar-benar letih. Dalam
hati aku bertanya, apakah aku bisa melewati ini semua? Besok, aku harus
mengikuti Ujian Nasional. Ah, aku tidak yakin bisa melewati ini semua dengan
mudah. Tapi, dalam hati aku berharap, semoga aku bisa melewati ini semua.
*
Hari berlalu
dengan cepat. Tanpa sadar Ujian Nasional sudah kulewati. Ada banyak hambatan,
tapi aku harap itu bukan masalah besar. Kupercerpat langkah kakiku menuju
ruangan tempat kakak di rawat. Ah, aku benar-benar merindukannya.
“Selamat siang,
kak!” seruku saat aku masuk ke ruangannya.
“Oh, kamu datang
begitu cepat. Apa ujian sudah selesai?” tanyanya.
“Ya,” jawabku
sambil menarik kursi ke samping ranjangnya.
“Bagaimana
ujiannya?” tanyanya lagi.
“Umm… lumayan
sulit. Tapi, aku bisa mengerjakannya. Ini semua berkat Kak Geo yang mau
mengajariku. Aku sudah banyak merepotkan kakak,” ujarku.
“Tidak apa-apa,”
katanya. “Aku senang bisa membantumu.”
Ia menatap mataku
dalam-dalam membuatku salting. Melihatnya seperti itu, aku jadi deg-degan. Ah,
perasaan apa ini? Apa aku mulai menyukai kakakku?
“Kamu ikut
bimbel?”
“Apa?” tanyaku.
“Kamu ikut
bimbel?” ulangnya.
Aku menggeleng.
“Aku kerja sambilan untuk mencari uang. Aku tidak ingin kakak berlama-lama di
rumah sakit. Pokoknya, kakak harus sembuh. Sungguh, aku merasa sangat kesepian
jika aku di rumah,” ujarku.
Dia membelai
rambutku pelan dan menyentuh pipiku lembut.
“Kalau begitu,
minggu depan kita jalan-jalan, yuk?” ajaknya.
Aku mengangguk
senang. Akhirnya, aku bisa jalan-jalan lagi dengan Kak Geo. Hari minggu, tunggu
aku!
*
“Selamat malam!
Sampai jumpa,” kataku sambil berjalan keluar restoran.
Hari ini aku
bekerja di sebuah restoran keluarga untuk membantu biaya operasi kakakku.
Pernahkah aku bilang penyakit apa yang kakakku derita? Umm… kurasa belum.
Kakakku menderita kanker otak stadium dua. Oleh karena itu, ia harus segera di
operasi supaya kankernya itu tidak bertambah parah.
Melihat bagaimana
perjuangan ibuku untuk mencari uang, aku tidak tega. Sejak itu, aku diam-diam
kerja sambilan. Tak ada yang tahu, kecuali Kak Geo.
*
‘Praanggg’
Bunyi gelas pecah
itu berasal dari dapur belakang. Aku mendesah. Kupercepat langkahku memasuki
kamar. Lagi-lagi terjadi lagi. Inilah yang membuatku merasa bosan berada di
rumah.
“Kenapa papa
melakukan ini semua?” tanya mama.
Aku menghempaskan
tubuhku ke ranjang. Kututup kepalaku dengan bantal. tidak ingin mendengar suara
gaduh itu.
“Ini semua
gara-gara mama. Coba mama tidak mengambilnya, semua ini tidak akan terjadi,”
jawab papa.
Aku terus
mengurung diri di kamar. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang mereka
katakan. Sejak kemarin, mereka terus membicarakan hal itu. Beruntung Kak Geo
tidak ada disini. Jadi, dia tidak perlu mendengar semua pertengkaran yang
membosankan ini.
“Aaaahhhh...”
Kudengar mama berteriak
kencang. Aku khawatir dan lasung melangkah turun ke dapur. Mama sedang duduk
berlutut di samping meja makan. Wajahnya merah bekas di tampar. Aku menatapnya
sedih.
“Mama...”
Aku memeluk mama
erat. Sungguh menyedihkan. Aku dan mama memang orang yang paling hebat, bisa
bertahan diantara reruntuhan rumah tangga ini. Dan aku tak tahu apakah itu
suatu kebanggaan atau tidak. Aku tak peduli. Sungguh, aku hanya ingin
keluargaku utuh dan bisa hidup bahagia. Apa aku bisa mendapatkannya?
*
Pagi itu udara sangat sejuk. Cuaca saat ini
sangat mendukung untuk pergi jalan-jalan. Kudorong kursi roda Kak Geo ke taman.
Disini adalah tempat yang paling indah di rumah sakit.
“Dinda,”
panggil Kak Geo membuatku menoleh. “Ada apa? Sejak kemarin kamu melamun terus.
Ada apa? Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?” tanya Kak Geo dengan
tampang penasaran.
Aku
menggeleng. Aku tidak ingin Kak Geo mengetahui apa yang telah terjadi di rumah
selama ia berada di rumah sakit. Cukup sudah ia memikirkan tentang penyakitnya.
Aku tidak ingin menambah bebannya lagi.
“Aku
lapar,” jawabku asal-asalan. Sedetik kemudian, perutku benar-benar keroncongan.
Tuhan memang mendukungku sepenuhnya.
“Kalau
begitu, ayo makan!” ajaknya semangat.
Kami
membentangkan tikar disana, lalu menata makanan yang sengaja kubawa dari rumah
supaya aku bisa makan bersamanya disini. Mama sengaja masak banyak untuk kami.
Sayang, mama harus bekerja dan tidak bisa ikut bersama kami. Kalau papa…
Taruhan, deh! Dia pasti tidak mau.
“Selamat
makan,” kataku.
Tak
lupa kami berdoa, kemudian melahap semua makanan itu sampai habis. Setelah itu,
kami bermain perahu kertas sampai-sampai kami dimarahi tukang kebersihan karena
dituduh telah mengotori lingkungan rumah sakit. Aku sangat senang. Begitu juga
dengan Kak Geo. Ia kelihatan begitu bahagia.
“Dinda,
ada sesuatu yang ingin kukatakan,” katanya serius.
Aku
yang saat itu sedang mengganti bunga hanya menyerngit bingung.
“Segitu
pentingnya sampai kakak terlihat begitu serius,” kataku berusaha untuk tertawa.
Tapi, ia sama sekali tidak tertawa.
“Ini
serius, Dinda! Aku tidak main-main,” katanya dengan wajah yang memerah
membuatku semakin tertawa. Ia menatapku dengan tatapan sengit.
“Oke,
baiklah!” kataku setelah aku bisa menghentikan tawa konyolku ini. “Apa yang
ingin kakak katakan?”
“Umm… itu… tentang perasaanku. Aku ingin kamu
tahu…” Ia berhenti sebentar, lalu menatapku serius. “Aku menyukaimu.”
Aku
diam sebentar.
“Aku
juga, kak! Aku saaangat menyukai kakak,” kataku.
“Bukan…
Bukan itu maksudku. Aku menyukaimu sebagai seorang perempuan, bukan sebagai
adik. Aku… mencintaimu,” katanya.
Aku
terdiam. Kata-katanya membuatku deg-degan. Apakah ini lelucon? Atau sebuah
kejutan? Aku ingin tertawa, tapi ia kelihatan serius.
“Kak…
Aku tidak mengerti. Kita kakak adik. Tidak mungkin diantara kita ada perasaan
seperti itu,” tukasku.
Ia
menggenggam tanganku erat. Tangannya yang lain menyentuh pipiku lembut. Tatapan
matanya menunjukkan kalau ia serius.
“Dinda,”
panggilnya lembut membuatku deg-degan.
“Maaf,
kak!”
Aku
melepaskan diri dari Kak Geo dan berjalan keluar tanpa mengucapkan sepatah kata
lagi padanya. Kenapa Kak Geo? Aku tidak mengenalnya yang itu. Aku….
‘Deg…
deg..’
Ah,
mengapa aku berdebar-debar. Aku senang saat kakak bilang kalau ia menyukaiku.
Aku juga. Tapi… Aku benar-benar tidak mengerti. Ah, apa yang terjadi
sebenarnya?
*
“Dinda,” panggil
Keyla, teman kerja paruh waktuku di restoran.
Aku tersentak
kaget. Untung saja nampan yang kubawa tidak jatuh. Kalau tidak, aku bakal
habis.
“Yah, ngelamun
lagi. Kamu dipanggil manajer sekarang. Buruan,” katanya.
Aku bergegas ke
ruang manajer. Disana, ia sedang berdiri sambil melipat kedua tangannya di
dada. Saat aku masuk, ia langsung menatapku dengan… Aku tak tahu pasti.
Soalnya, aku langsung menundukkan kepalaku
“Kamu tahu kenapa
kamu dipanggil kesini?” tanyanya dingin.
Aku menggeleng.
Mana aku tahu. Tiba-tiba saja aku dipanggil. Apa aku telah melakukan kesalahan?
“Oh, kamu
benar-benar tidak tahu?” tanyanya tak percaya.
Aku kembali
menggeleng. Aku benar-benar tidak tahu. Sungguh.
“Ini.” Ia
melempar sebuah amplop warna coklat ke atas meja. Aku terdiam
memandanginya. Apa maksudnya?
“Sa… saya…
dipecat, pak?” tanyaku takut-takut.
Manajer itu malah
tertawa mendengar pertanyaanku. Aku menyerngit bingung. Bagian mananya yang
lucu?
“Bukan…” katanya
setelah ia berhenti tertawa. “Kamu tidak dipecat. Saya hanya membermu gaji.
Bukankah ini akhir bulan?”
Hah? Benarkah?
Kenapa aku ini bodoh sekali.
“Umm…
terimakasih, pak!” ucapku. Aku tak tahu lagi harus berkata apa.
“Baiklah,
silahkan keluar,” perintahnya.
Aku keluar dengan
hati gembira. Kuhitung jumlah uangnya. Ah, dengan begini, kakak bisa segera di
operasi. Kakak, tunggu aku.
*
Mama tampak sibuk
menghitung seluruh jumlah uang yang kami punya. Aku menunggu dengan cemas.
Semoga cukup, semoga cukup.
“Haahh…” mama
mendesah. Apa uangnya tidak cukup?
“Ada apa, ma?”
tanyaku.
“Akhirnya,
uangnya sudah terkumpul. Dengan begini, Geo bisa langsung di operasi,” kata
mama dengan wajah senang.
Aku menghembuskan
napas lega. Mama benar-benar bikin aku khawatir. Dengan begini, Kak Geo sudah
bisa operasi. Akhirnya, penantian kakak selama ini tidak sia-sia. Tunggulah
kami, kakak. Kami akan segera ke rumah sakit sekarang.
*
“Kak Geo,”
teriakku senang. Aku langsung memeluk kakak erat.
“Dinda,” katanya
senang. Ia membalas pelukanku.
‘Deg’
Ya ampun, kenapa
aku berdebar-debar. Tiba-tiba saja aku teringat dengan pernyataan kakak waktu
itu. Aku langsung melepaskan diri dari pelukan kakak. Tapi, ia kembali
menarikku ke dalam pelukannya.
“Jangan,”
katanya. “Jangan dulu… Biarkan aku seperti ini sebenatar,” katanya.
Kubiarkan kakak
memelukku. Terdengar jelas suara detak jantung kakak. Ah, apa dia juga
berdebar-debar?
“Kak, apa kakak
takut?” tanyaku.
“Ya,” jawabnya.
Ia masih memelukku dengan erat. “Aku takut aku tidak bisa melihatmu lagi. Aku
takut aku tidak bisa menyentuhmu lagi. Aku takut. Aku benar-benar takut.”
Aku tersenyum.
“Aku juga, kak. Mama juga. Tapi, kami berharap operasi ini berjalan lancar,”
kataku berusaha menenangkannya.
“Kamu belum
menjawab pernyataanku waktu itu,” katanya tiba-tiba.
‘Blush’
Wajahku langsung
memerah. Untung saja ia tidak bisa melihatnya.
“Ah, yang waktu
itu. Aku… aku…”
Arrrghhh, kenapa
susah sekali mengatakannya. Katakan saja aku suka dia hanya sebagai keluarga.
Kenapa susah sekali. Tapi…
“Jawab yang
jujur,” pintanya. Ia melepaskan pelukannya dan menatapku.
“A, aku… aku juga
suka kakak. Aku tidak tahu sejak kapan. Kupikir rasa suka ini hanyalah rasa
suka sebagai keluarga. Tapi, setelah kupikir-pikir, ternyata aku salah. Aku
juga menyukai kakak,” ujarku malu.
“Benarkah?”
tanyanya dengan wajah sumringah.
Ah, dia
benar-benar senang. Tapi, bagaimana ini? Bukankah kita kakak adik? Apa boleh
kita punya perasaan seperti ini? Ingin kukatakan seperti itu padanya. Tapi, ia
sudah lebih dulu berbicara yang lain.
“Syukurlah.
Dengan begini, aku bisa tenang,” katanya.
“Geo, sudah
saatnya kamu operasi,” kata mama setelah ia selesai mengurus administrasinya.
Kami berjalan ke
ruang operasi. Aku berjalan dengan gugup. Apakah ini akan berhasil? Kak Geo
menggenggam tanganku erat.
“Dinda, mungkin
ini sudah terlambat. Tapi, aku senang aku bisa mendengar jawabanmu. Aku tahu
kamu pasti memikirkannya. Tapi, cepat atau lambat, kamu akan tahu jawabannya.
Maaf, aku belum bisa memberitahumu tentang itu,” cerocosnya.
Aku menyerngit
bingung. Ia bicara tentang apa? Apa yang akan kuketahui nanti? Aku benar-benar
ingin bertanya, tetapi ia sudah masuk ke ruang operasi.
Semoga berhasil, batinku
*
Langit tampak
mendung. Sepertinya akan turun hujan. Namun, waktu telah berlalu dan hujan tak
kunjung turun. Tanah gersang baru saja ingin berteriak gembira ketika melihat
matahari muncul kembali dari kegelapan awan. Apa langit sedang bercanda? Ia
sengaja membuat langit mendung, kemudian menjatuhkan harapan kami yang
mengharapkan hujan turun dengan memunculkan matahari.
Suara gemuruh
terdengar di depan rumah. Sepertinya mama dan papa sudah kembali dari
pemakaman. Aku mendesah. Air mataku kembali tumpah. Mengapa? Mengapa kakak
pergi meninggalkanku? Mengapa? Padahal aku sudah terlanjur menyukainya. Lalu,
bagaimana dengan perasaan ini? Apa yang harus kulakukan dengan hatiku yang
separuh hancur ini?
“Sudahlah, ma!
Sudah saatnya dia pergi. Ikhlaskan saja,” hibur papa.
Aku tak tahu apa
yang sebenarnya terjadi. Bukankah operasinya berjalan dengan sukses? Bukankah
dokter bilang kakak akan sembuh jika dia operasi?
Aku masih ingat
kata-kata terakhir kakak sebelum ia sempat menghembuskan nafas terakhir.
“Dinda, jaga dirimu baik-baik. Sampai
kapanpun, aku tetap mencintaimu.”
Apa yang kakak
katakan? Aku benar-benar tidak mengerti. Apakah kakak tahu kalau aku kesepian
disini. Sepi sendiri. Tak ada yang menemani. Separuh hatiku telah pergi ke
dunia lain. Dunia yang berbeda denganku. Lalu, harus kuapakan separuh hatiku
yang hancur ini.
“Ma, sudahlah.
Jangan menangis lagi. Untuk apa menangisi dia? Bukannya dia bukan anak kita?”
tanya papa.
APA? Apa yang
papa katakan? BUKAN ANAK KITA? Apa maksudnya?
“Pa, jangan
bicara seperti itu. Walau dia bukan anak kandungku, tapi dia sudah aku anggap
anakku sendiri,” kata mama.
Apa? Jadi, Kak
Geo bukan kakak kandungku. Oh, aku baru ingat kata-kata kakak sebelum
dioperasi. Apakah ini yang dia maksud?
“Kau ini bodoh sekali.
Kau lebih memilih bocah tengik itu daripada suamimu. Kau tahu tidak, aku ini
sudah kau terlantarkan selama 4 bulan terakhir ini. Kau bekerja siang malam
untuk membiayai operasinya yang gagal itu. Bukankah itu sia-sia?” bentak papa.
‘Kriieekk’
Aku keluar dari
kamarku. Biasanya aku akan terus berdiam diri di dalam kamar, sengaja menulikan
apa yang mereka katakan. Tapi, kali ini aku tidak bisa tinggal diam. Pertama,
dia telah mengatai mama dengan sangat kejam. Kedua, Kak Geo. Aku tak akan
siapapun menghinanya, termasuk papaku sendiri. Tidak, bukan berarti aku lebih
mementingkan cintaku ketimbang orangtuaku. Tapi, papa benar-benar kelewatan.
“Papa,” kataku
garang. “Cabut semua kata-kata papa. Cukup sudah papa menghina Kak Geo. Cukup
sudah papa menyakiti hati mama. Bukankah papa sudah menelantarkan kami selama
10 bulan? Papa tak pernah bekerja. Aku malu punya seorang bapak yang
pengangguran dan kerjaannya marah-marah. Papa tahu, papa itu tidak tahu diri.
Tidak tahu berhutang budi.”
‘Plaakk’
Satu tamparan mendarat
dengan bebas di pipiku. Bibirku berdarah karena papa menamparku dengan kuat.
Mama tampak khawatir.
“Kamu sudah
berani kurang ajar, hah? Dasar anak tak tahu diri.”
Papa ingin
menamparku lagi. Tapi, mama menahannya.
“Cukup! Sekarang,
lebih baik kau pergi dari rumah ini. Aku sudah tidak tahan lagi denganmu. Cukup
sudah aku menahan diri. Sekarang juga kemasi barang-barangmu dan pergi dari
rumahku,” kata mama.
Papa terdiam. Oh,
akhirnya dia tidak bisa berkutik lagi. Aku menyungging senyum sinis padanya.
Kena kau sekarang, pa!
“Ayo, cepat!”
perintah mama.
Papa segera
mengemasi barang-barangnya dan pergi dari rumah. Kutatap langit yang kembali
mendung. Oh, aku tak tahu bagaimana suasana hatiku. Hatiku sudah hancur. Aku
ingin menangis. Tapi, tak bisa. Bagai langit mendung yang tidak menurunkan
hujan, aku rasa diriku sama dengan langit mendung saat ini
*
Sudah satu bulan
sejak kejadian itu. Tapi mama kelihatan begitu sedih. Mama sudah bercerai dari
papa. Tapi, mengapa mama sedih?
“Apa mama
menyesal?” bisikku sambil memeluk mama erat.
Semuanya memang
sudah pergi. Kak Geo dan papa. Tapi, setidaknya aku masih punya mama yang
sangat kusayangi.
“Mungkin. Sejak
kemarin, mama terus memikirkan papamu. Seperti, apa yang ia lakukan sekarang?
Dimana ia tinggal? Apa yang dia makan?”
“Ma…” Hanya itu
yang bisa kukatakan. Bahkan, mama masih memikirkan papa yang segitu jahatnya
pada kami. Aku tak tahu mengapa papa berubah. Tapi, tak bisa dipungkiri.
Kadang, aku juga merindukan papa.
“Kau juga,
sayang?” tanya mama lembut.
“Sedikit,” kataku
jujur. “Tapi, lebih baik papa tidak kembali kesini. Aku tidak ingin mama
menderita lagi.”
Mama membelai
rambutku dengan penuh kasih sayang. Mama yang hebat. Mama yang selalu
menginspirasiku untuk dapat lebih maju. Mama yang selalu menguatkan dan
melindungiku. Aku sayang mama. Aku tidak ingin kehilangan mamaku yang hanya
satu-satunya di dunia ini.
“Setidaknya aku
masih punya mama,” ujarku. Hanya itu yang bisa kukatakan dari ribuan kata yang
ingin kusampaikan. “Jadi, mama jangan pergi dariku. Aku tidak mau hidup tanpa
mama. Aku sayang mama.”
Mama memelukku erat,
kemudian mencium dahiku dengan lembut.
“Tidurlah,
sayang! Hari sudah larut malam.”
Mama mengantarku
ke kamar. Ia menyanyikan lagu sebelum tidur dan berdoa untukku. Aku tidak ingat
kapan terakhir kali mama bernyanyi untukku atau membaca dongeng sebelum tidur.
Aku jadi ingat Kak Geo yang selalu jahil saat aku sedang tidur. Atau, papa yang
selalu mengajak kami bermain saat malam. Aku tidak ingat kapan masa-masa
terindah itu berakhir begitu saja.
‘Kriingg’
Dering telepon
berbunyi. Mama turun ke bawah untuk mengangkat telepon. Kudengar mama begitu
shock. Apa yang telah terjadi? Masih adakah masalah yang harus kami lewati? Apa
ini semua belum berakhir?
*
Langit mendung
itu masih saja menemani hariku. Dia tak pernah letih menyembunyikan hujan dan
matahari dalam kegelapannya. Ia masih bisa bertahan dengan tumpukan-tumpukan es
yang masih keras di dalamnya. Benarkah hujan tak akan turun?
Proses pemakaman
sudah selesai. Semua orang mulai bubar meninggalkan pemakaman. Kali ini aku
datang. Aku datang untuk menghadiri proses pemakaman papa. Apa papa begitu
penting untukku sampai aku melangkahkan kaki ke tempat ini? Entahlah, aku tak
tahu.
“Dinda, ayo
pulang!” ajak mama.
Aku mengangguk
dan mengikuti mama berjalan meninggalkan pemakaman. Kulihat mama biasa-biasa
saja. Ia tidak menangis histeris seperti waktu Kak Geo meninggal. Aku bingung
melihatnya.
“Mama tidak
sedih?” tanyaku.
“Tentu saja
sedih,” jawab mama lemah.
Oh, terlihat
jelas di wajahnya. Suaranya juga menandakan kesedihan Tapi, mengapa mama tidak
menitikkan air mata sedikitpun?
“Mama sudah tidak
bisa menangis lagi. Air mata mama sudah kering,” jawab mama.
Aku menyerngit
bingung. Apa aku tadi bersuara? Kurasa tidak.
“Umm… benar,”
kataku.
Aku setuju dengan
mama. Aku sama dengan mama. Kami sedih, tapi tidak setitik pun menitikkan air
mata. Air mata kami telah habis menangisi kepergian orang-orang yang kami
sayangi.
Berbeda dengan
Kak Geo. Aku tidak bisa menangisi kepergian papa. Air mataku telah kering oleh
dendam dan rasa sakit hati. Luka ini tak bisa menutupi kebohongan hati. Senyum
ini tak lagi berpura-pura. Dan langit mendung ini menandakan suasana hatiku
yang sesungguhnya. Aku hanya bisa mengatakan selamat tinggal masa lalu dan
berharap masa depan yang cerah menantiku. Kelak, aku dan mama akan menemukan
kebahagian kami suatu saat nanti.
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar