Selasa, 30 Desember 2014

DI BAWAH LANGIT MENDUNG


‘Jlleedarr’
Suara guntur memekakkan telinga. Aku menutup jendela ruang tempat kakak di rawat. Aku harus bertarung dengan angin yang begitu kencang. Aku berhasil menutup jendela itu. Sambil memandang langit, aku melamun.
“Dinda,” panggil Kak Geo lemah.
Aku menoleh dan berjalan mendekatinya. Kulihat dia membelai tanganku lembut sambil memandangku penuh arti.
“Ada apa? Apa yang kau pikirkan?” tanyanya.
Aku tersenyum. Melihat kakakku berbaring lemah di rumah sakit ini membuatku merasa simpati. Mama bekerja keras pagi hingga malam mencari uang  untuk biaya operasi kakak. Sedangkan, aku bermalas-malasan di rumah.
“Banyak,” jawabku. “UN, PTN, kakak, mama, papa...”
Kak Geo tertawa mendengar jawabanku. Aku menyerngit bingung.
“Ada apa? Ada yang lucu?” tanyaku penuh selidik.
“Tentu saja,” jawabnya. “Kamu benar-benar lucu. Kamu tahu tidak, kamu itu lama-lama mulai mirip mama. Sibuk dengan ini itu, sibuk memikirkan ini dan itu. Apa kamu berencana untuk menikah setelah lulus sekolah?”
Aku sudah bersiap untuk menghajarnya habis-habisan, jika aku tidak ingat kalau  ia sedang sakit. Dia ini., sedang sakit pun masih sempat mengatai orang.
“Aku capek!” katanya tiba-tiba.
Aku menatapnya dengan tatapan letih. Sungguh Geo yang malang. Sudah hampir setahun ia berbaring di rumah sakit. Ia terlihat bosan berada disini.
“Kakak tidur saja.” Aku menaikkan selimutnya hingga menutupi dada.
“Bukan, bukan itu maksudku. Maksudku, aku sudah capek seperti ini. Aku ingin mengakhiri segalanya,” katanya.
“Jangan berpikir yang macam-macam, kak!” kataku. Aku berharap ia tidak memikirkan soal kematian. “Tidurlah.”
Aku menatap matanya yang indah. Kugenggam erat tangannya yang hangat. Dari situ, kusalurkan rasa kasih dan sayangku yang tulus kepadanya. Dengan begini, apakah dia bisa merasakan kehadiran diriku dalam dirinya?
“Selamat tidur,” ucapku.
“Selamat tidur,” balasnya.
Tak lama, ia tertidur pulas. Kulirik jam tanganku yang menunjukkan pukul 9 malam. Sudah waktunya aku pulang.
Kumatikan lampu ruangannya dan berjalan keluar tanpa membuat suara gaduh. Lalu, perlahan aku meninggalkan rumah sakit ini.
*
“Assalammualaikum,” ucapku ketika aku sudah sampai di rumah.
“Wa’alaikumsalam,” balas mama. Ia tampak sibuk dengan acara menjahitnya.
Kuabaikan mama yang tampak serius itu. Aku berjalan masuk ke kamar, kemudian menghempaskan badanku di ranjangku yang paling nyaman. Hari ini aku benar-benar letih. Dalam hati aku bertanya, apakah aku bisa melewati ini semua? Besok, aku harus mengikuti Ujian Nasional. Ah, aku tidak yakin bisa melewati ini semua dengan mudah. Tapi, dalam hati aku berharap, semoga aku bisa melewati ini semua.
*
Hari berlalu dengan cepat. Tanpa sadar Ujian Nasional sudah kulewati. Ada banyak hambatan, tapi aku harap itu bukan masalah besar. Kupercerpat langkah kakiku menuju ruangan tempat kakak di rawat. Ah, aku benar-benar merindukannya.
“Selamat siang, kak!” seruku saat aku masuk ke ruangannya.
“Oh, kamu datang begitu cepat. Apa ujian sudah selesai?” tanyanya.
“Ya,” jawabku sambil menarik kursi ke samping ranjangnya.
“Bagaimana ujiannya?” tanyanya lagi.
“Umm… lumayan sulit. Tapi, aku bisa mengerjakannya. Ini semua berkat Kak Geo yang mau mengajariku. Aku sudah banyak merepotkan kakak,” ujarku.
“Tidak apa-apa,” katanya. “Aku senang bisa membantumu.”
Ia menatap mataku dalam-dalam membuatku salting. Melihatnya seperti itu, aku jadi deg-degan. Ah, perasaan apa ini? Apa aku mulai menyukai kakakku?
“Kamu ikut bimbel?”
“Apa?” tanyaku.
“Kamu ikut bimbel?” ulangnya.
Aku menggeleng. “Aku kerja sambilan untuk mencari uang. Aku tidak ingin kakak berlama-lama di rumah sakit. Pokoknya, kakak harus sembuh. Sungguh, aku merasa sangat kesepian jika aku di rumah,” ujarku.
Dia membelai rambutku pelan dan menyentuh pipiku lembut.
“Kalau begitu, minggu depan kita jalan-jalan, yuk?” ajaknya.
Aku mengangguk senang. Akhirnya, aku bisa jalan-jalan lagi dengan Kak Geo. Hari minggu, tunggu aku!
*
“Selamat malam! Sampai jumpa,” kataku sambil berjalan keluar restoran.
Hari ini aku bekerja di sebuah restoran keluarga untuk membantu biaya operasi kakakku. Pernahkah aku bilang penyakit apa yang kakakku derita? Umm… kurasa belum. Kakakku menderita kanker otak stadium dua. Oleh karena itu, ia harus segera di operasi supaya kankernya itu tidak bertambah parah.
Melihat bagaimana perjuangan ibuku untuk mencari uang, aku tidak tega. Sejak itu, aku diam-diam kerja sambilan. Tak ada yang tahu, kecuali Kak Geo.
*
‘Praanggg’
Bunyi gelas pecah itu berasal dari dapur belakang. Aku mendesah. Kupercepat langkahku memasuki kamar. Lagi-lagi terjadi lagi. Inilah yang membuatku merasa bosan berada di rumah.
“Kenapa papa melakukan ini semua?” tanya mama.
Aku menghempaskan tubuhku ke ranjang. Kututup kepalaku dengan bantal. tidak ingin mendengar suara gaduh itu.
“Ini semua gara-gara mama. Coba mama tidak mengambilnya, semua ini tidak akan terjadi,” jawab papa.
Aku terus mengurung diri di kamar. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang mereka katakan. Sejak kemarin, mereka terus membicarakan hal itu. Beruntung Kak Geo tidak ada disini. Jadi, dia tidak perlu mendengar semua pertengkaran yang membosankan ini.
“Aaaahhhh...”
Kudengar mama berteriak kencang. Aku khawatir dan lasung melangkah turun ke dapur. Mama sedang duduk berlutut di samping meja makan. Wajahnya merah bekas di tampar. Aku menatapnya sedih.
“Mama...”
Aku memeluk mama erat. Sungguh menyedihkan. Aku dan mama memang orang yang paling hebat, bisa bertahan diantara reruntuhan rumah tangga ini. Dan aku tak tahu apakah itu suatu kebanggaan atau tidak. Aku tak peduli. Sungguh, aku hanya ingin keluargaku utuh dan bisa hidup bahagia. Apa aku bisa mendapatkannya?
*
   Pagi itu udara sangat sejuk. Cuaca saat ini sangat mendukung untuk pergi jalan-jalan. Kudorong kursi roda Kak Geo ke taman. Disini adalah tempat yang paling indah di rumah sakit.
“Dinda,” panggil Kak Geo membuatku menoleh. “Ada apa? Sejak kemarin kamu melamun terus. Ada apa? Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?” tanya Kak Geo dengan tampang penasaran.
Aku menggeleng. Aku tidak ingin Kak Geo mengetahui apa yang telah terjadi di rumah selama ia berada di rumah sakit. Cukup sudah ia memikirkan tentang penyakitnya. Aku tidak ingin menambah bebannya lagi.
“Aku lapar,” jawabku asal-asalan. Sedetik kemudian, perutku benar-benar keroncongan. Tuhan memang mendukungku sepenuhnya.
“Kalau begitu, ayo makan!” ajaknya semangat.
Kami membentangkan tikar disana, lalu menata makanan yang sengaja kubawa dari rumah supaya aku bisa makan bersamanya disini. Mama sengaja masak banyak untuk kami. Sayang, mama harus bekerja dan tidak bisa ikut bersama kami. Kalau papa… Taruhan, deh! Dia pasti tidak mau.
“Selamat makan,” kataku.
Tak lupa kami berdoa, kemudian melahap semua makanan itu sampai habis. Setelah itu, kami bermain perahu kertas sampai-sampai kami dimarahi tukang kebersihan karena dituduh telah mengotori lingkungan rumah sakit. Aku sangat senang. Begitu juga dengan Kak Geo. Ia kelihatan begitu bahagia.
“Dinda, ada sesuatu yang ingin kukatakan,” katanya serius.
Aku yang saat itu sedang mengganti bunga hanya menyerngit bingung.
“Segitu pentingnya sampai kakak terlihat begitu serius,” kataku berusaha untuk tertawa. Tapi, ia sama sekali tidak tertawa.
“Ini serius, Dinda! Aku tidak main-main,” katanya dengan wajah yang memerah membuatku semakin tertawa. Ia menatapku dengan tatapan sengit.
“Oke, baiklah!” kataku setelah aku bisa menghentikan tawa konyolku ini. “Apa yang ingin kakak katakan?”
 “Umm… itu… tentang perasaanku. Aku ingin kamu tahu…” Ia berhenti sebentar, lalu menatapku serius. “Aku menyukaimu.”
Aku diam sebentar.
“Aku juga, kak! Aku saaangat menyukai kakak,” kataku.
“Bukan… Bukan itu maksudku. Aku menyukaimu sebagai seorang perempuan, bukan sebagai adik. Aku… mencintaimu,” katanya.
Aku terdiam. Kata-katanya membuatku deg-degan. Apakah ini lelucon? Atau sebuah kejutan? Aku ingin tertawa, tapi ia kelihatan serius.
“Kak… Aku tidak mengerti. Kita kakak adik. Tidak mungkin diantara kita ada perasaan seperti itu,” tukasku.
Ia menggenggam tanganku erat. Tangannya yang lain menyentuh pipiku lembut. Tatapan matanya menunjukkan kalau ia serius.
“Dinda,” panggilnya lembut membuatku deg-degan.
“Maaf, kak!”
Aku melepaskan diri dari Kak Geo dan berjalan keluar tanpa mengucapkan sepatah kata lagi padanya. Kenapa Kak Geo? Aku tidak mengenalnya yang itu. Aku….
‘Deg… deg..’
Ah, mengapa aku berdebar-debar. Aku senang saat kakak bilang kalau ia menyukaiku. Aku juga. Tapi… Aku benar-benar tidak mengerti. Ah, apa yang terjadi sebenarnya?
*
“Dinda,” panggil Keyla, teman kerja paruh waktuku di restoran.
Aku tersentak kaget. Untung saja nampan yang kubawa tidak jatuh. Kalau tidak, aku bakal habis.
“Yah, ngelamun lagi. Kamu dipanggil manajer sekarang. Buruan,” katanya.
Aku bergegas ke ruang manajer. Disana, ia sedang berdiri sambil melipat kedua tangannya di dada. Saat aku masuk, ia langsung menatapku dengan… Aku tak tahu pasti. Soalnya, aku langsung menundukkan kepalaku
“Kamu tahu kenapa kamu dipanggil kesini?” tanyanya dingin.
Aku menggeleng. Mana aku tahu. Tiba-tiba saja aku dipanggil. Apa aku telah melakukan kesalahan?
“Oh, kamu benar-benar tidak tahu?” tanyanya tak percaya.
Aku kembali menggeleng. Aku benar-benar tidak tahu. Sungguh.
“Ini.” Ia melempar sebuah amplop warna coklat ke atas meja. Aku terdiam memandanginya.  Apa maksudnya?
“Sa… saya… dipecat, pak?” tanyaku takut-takut.
Manajer itu malah tertawa mendengar pertanyaanku. Aku menyerngit bingung. Bagian mananya yang lucu?
“Bukan…” katanya setelah ia berhenti tertawa. “Kamu tidak dipecat. Saya hanya membermu gaji. Bukankah ini akhir bulan?”
Hah? Benarkah? Kenapa aku ini bodoh sekali.
“Umm… terimakasih, pak!” ucapku. Aku tak tahu lagi harus berkata apa.
“Baiklah, silahkan keluar,” perintahnya.
Aku keluar dengan hati gembira. Kuhitung jumlah uangnya. Ah, dengan begini, kakak bisa segera di operasi. Kakak, tunggu aku.
*
Mama tampak sibuk menghitung seluruh jumlah uang yang kami punya. Aku menunggu dengan cemas. Semoga cukup, semoga cukup.
“Haahh…” mama mendesah. Apa uangnya tidak cukup?
“Ada apa, ma?” tanyaku.
“Akhirnya, uangnya sudah terkumpul. Dengan begini, Geo bisa langsung di operasi,” kata mama dengan wajah senang.
Aku menghembuskan napas lega. Mama benar-benar bikin aku khawatir. Dengan begini, Kak Geo sudah bisa operasi. Akhirnya, penantian kakak selama ini tidak sia-sia. Tunggulah kami, kakak. Kami akan segera ke rumah sakit sekarang.
*
“Kak Geo,” teriakku senang. Aku langsung memeluk kakak erat.
“Dinda,” katanya senang. Ia membalas pelukanku.
‘Deg’
Ya ampun, kenapa aku berdebar-debar. Tiba-tiba saja aku teringat dengan pernyataan kakak waktu itu. Aku langsung melepaskan diri dari pelukan kakak. Tapi, ia kembali menarikku ke dalam pelukannya.
“Jangan,” katanya. “Jangan dulu… Biarkan aku seperti ini sebenatar,” katanya.
Kubiarkan kakak memelukku. Terdengar jelas suara detak jantung kakak. Ah, apa dia juga berdebar-debar?
“Kak, apa kakak takut?” tanyaku.
“Ya,” jawabnya. Ia masih memelukku dengan erat. “Aku takut aku tidak bisa melihatmu lagi. Aku takut aku tidak bisa menyentuhmu lagi. Aku takut. Aku benar-benar takut.”
Aku tersenyum. “Aku juga, kak. Mama juga. Tapi, kami berharap operasi ini berjalan lancar,” kataku berusaha menenangkannya.
“Kamu belum menjawab pernyataanku waktu itu,” katanya tiba-tiba.
‘Blush’
Wajahku langsung memerah. Untung saja ia tidak bisa melihatnya.
“Ah, yang waktu itu. Aku… aku…”
Arrrghhh, kenapa susah sekali mengatakannya. Katakan saja aku suka dia hanya sebagai keluarga. Kenapa susah sekali. Tapi…
“Jawab yang jujur,” pintanya. Ia melepaskan pelukannya dan menatapku.
“A, aku… aku juga suka kakak. Aku tidak tahu sejak kapan. Kupikir rasa suka ini hanyalah rasa suka sebagai keluarga. Tapi, setelah kupikir-pikir, ternyata aku salah. Aku juga menyukai kakak,” ujarku malu.
“Benarkah?” tanyanya dengan wajah sumringah.
Ah, dia benar-benar senang. Tapi, bagaimana ini? Bukankah kita kakak adik? Apa boleh kita punya perasaan seperti ini? Ingin kukatakan seperti itu padanya. Tapi, ia sudah lebih dulu berbicara yang lain.
“Syukurlah. Dengan begini, aku bisa tenang,” katanya.
“Geo, sudah saatnya kamu operasi,” kata mama setelah ia selesai mengurus administrasinya.
Kami berjalan ke ruang operasi. Aku berjalan dengan gugup. Apakah ini akan berhasil? Kak Geo menggenggam tanganku erat.
“Dinda, mungkin ini sudah terlambat. Tapi, aku senang aku bisa mendengar jawabanmu. Aku tahu kamu pasti memikirkannya. Tapi, cepat atau lambat, kamu akan tahu jawabannya. Maaf, aku belum bisa memberitahumu tentang itu,” cerocosnya.
Aku menyerngit bingung. Ia bicara tentang apa? Apa yang akan kuketahui nanti? Aku benar-benar ingin bertanya, tetapi ia sudah masuk ke ruang operasi.
Semoga berhasil, batinku
*
Langit tampak mendung. Sepertinya akan turun hujan. Namun, waktu telah berlalu dan hujan tak kunjung turun. Tanah gersang baru saja ingin berteriak gembira ketika melihat matahari muncul kembali dari kegelapan awan. Apa langit sedang bercanda? Ia sengaja membuat langit mendung, kemudian menjatuhkan harapan kami yang mengharapkan hujan turun dengan memunculkan matahari.
Suara gemuruh terdengar di depan rumah. Sepertinya mama dan papa sudah kembali dari pemakaman. Aku mendesah. Air mataku kembali tumpah. Mengapa? Mengapa kakak pergi meninggalkanku? Mengapa? Padahal aku sudah terlanjur menyukainya. Lalu, bagaimana dengan perasaan ini? Apa yang harus kulakukan dengan hatiku yang separuh hancur ini?
“Sudahlah, ma! Sudah saatnya dia pergi. Ikhlaskan saja,” hibur papa.
Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Bukankah operasinya berjalan dengan sukses? Bukankah dokter bilang kakak akan sembuh jika dia operasi?
Aku masih ingat kata-kata terakhir kakak sebelum ia sempat menghembuskan nafas terakhir.
“Dinda, jaga dirimu baik-baik. Sampai kapanpun, aku tetap mencintaimu.”
Apa yang kakak katakan? Aku benar-benar tidak mengerti. Apakah kakak tahu kalau aku kesepian disini. Sepi sendiri. Tak ada yang menemani. Separuh hatiku telah pergi ke dunia lain. Dunia yang berbeda denganku. Lalu, harus kuapakan separuh hatiku yang hancur ini.
“Ma, sudahlah. Jangan menangis lagi. Untuk apa menangisi dia? Bukannya dia bukan anak kita?” tanya papa.
APA? Apa yang papa katakan? BUKAN ANAK KITA? Apa maksudnya?
“Pa, jangan bicara seperti itu. Walau dia bukan anak kandungku, tapi dia sudah aku anggap anakku sendiri,” kata mama.
Apa? Jadi, Kak Geo bukan kakak kandungku. Oh, aku baru ingat kata-kata kakak sebelum dioperasi. Apakah ini yang dia maksud?
“Kau ini bodoh sekali. Kau lebih memilih bocah tengik itu daripada suamimu. Kau tahu tidak, aku ini sudah kau terlantarkan selama 4 bulan terakhir ini. Kau bekerja siang malam untuk membiayai operasinya yang gagal itu. Bukankah itu sia-sia?” bentak papa.
‘Kriieekk’
Aku keluar dari kamarku. Biasanya aku akan terus berdiam diri di dalam kamar, sengaja menulikan apa yang mereka katakan. Tapi, kali ini aku tidak bisa tinggal diam. Pertama, dia telah mengatai mama dengan sangat kejam. Kedua, Kak Geo. Aku tak akan siapapun menghinanya, termasuk papaku sendiri. Tidak, bukan berarti aku lebih mementingkan cintaku ketimbang orangtuaku. Tapi, papa benar-benar kelewatan.
“Papa,” kataku garang. “Cabut semua kata-kata papa. Cukup sudah papa menghina Kak Geo. Cukup sudah papa menyakiti hati mama. Bukankah papa sudah menelantarkan kami selama 10 bulan? Papa tak pernah bekerja. Aku malu punya seorang bapak yang pengangguran dan kerjaannya marah-marah. Papa tahu, papa itu tidak tahu diri. Tidak tahu berhutang budi.”
‘Plaakk’
Satu tamparan mendarat dengan bebas di pipiku. Bibirku berdarah karena papa menamparku dengan kuat. Mama tampak khawatir.
“Kamu sudah berani kurang ajar, hah? Dasar anak tak tahu diri.”
Papa ingin menamparku lagi. Tapi, mama menahannya.
“Cukup! Sekarang, lebih baik kau pergi dari rumah ini. Aku sudah tidak tahan lagi denganmu. Cukup sudah aku menahan diri. Sekarang juga kemasi barang-barangmu dan pergi dari rumahku,” kata mama.
Papa terdiam. Oh, akhirnya dia tidak bisa berkutik lagi. Aku menyungging senyum sinis padanya. Kena kau sekarang, pa!
“Ayo, cepat!” perintah mama.
Papa segera mengemasi barang-barangnya dan pergi dari rumah. Kutatap langit yang kembali mendung. Oh, aku tak tahu bagaimana suasana hatiku. Hatiku sudah hancur. Aku ingin menangis. Tapi, tak bisa. Bagai langit mendung yang tidak menurunkan hujan, aku rasa diriku sama dengan langit mendung saat ini
*
Sudah satu bulan sejak kejadian itu. Tapi mama kelihatan begitu sedih. Mama sudah bercerai dari papa. Tapi, mengapa mama sedih?
“Apa mama menyesal?” bisikku sambil memeluk mama erat.
Semuanya memang sudah pergi. Kak Geo dan papa. Tapi, setidaknya aku masih punya mama yang sangat kusayangi.
“Mungkin. Sejak kemarin, mama terus memikirkan papamu. Seperti, apa yang ia lakukan sekarang? Dimana ia tinggal? Apa yang dia makan?”
“Ma…” Hanya itu yang bisa kukatakan. Bahkan, mama masih memikirkan papa yang segitu jahatnya pada kami. Aku tak tahu mengapa papa berubah. Tapi, tak bisa dipungkiri. Kadang, aku juga merindukan papa.
“Kau juga, sayang?” tanya mama lembut.
“Sedikit,” kataku jujur. “Tapi, lebih baik papa tidak kembali kesini. Aku tidak ingin mama menderita lagi.”
Mama membelai rambutku dengan penuh kasih sayang. Mama yang hebat. Mama yang selalu menginspirasiku untuk dapat lebih maju. Mama yang selalu menguatkan dan melindungiku. Aku sayang mama. Aku tidak ingin kehilangan mamaku yang hanya satu-satunya di dunia ini.
“Setidaknya aku masih punya mama,” ujarku. Hanya itu yang bisa kukatakan dari ribuan kata yang ingin kusampaikan. “Jadi, mama jangan pergi dariku. Aku tidak mau hidup tanpa mama. Aku sayang mama.”
Mama memelukku erat, kemudian mencium dahiku dengan lembut.
“Tidurlah, sayang! Hari sudah larut malam.”
Mama mengantarku ke kamar. Ia menyanyikan lagu sebelum tidur dan berdoa untukku. Aku tidak ingat kapan terakhir kali mama bernyanyi untukku atau membaca dongeng sebelum tidur. Aku jadi ingat Kak Geo yang selalu jahil saat aku sedang tidur. Atau, papa yang selalu mengajak kami bermain saat malam. Aku tidak ingat kapan masa-masa terindah itu berakhir begitu saja.
‘Kriingg’
Dering telepon berbunyi. Mama turun ke bawah untuk mengangkat telepon. Kudengar mama begitu shock. Apa yang telah terjadi? Masih adakah masalah yang harus kami lewati? Apa ini semua belum berakhir?
*
Langit mendung itu masih saja menemani hariku. Dia tak pernah letih menyembunyikan hujan dan matahari dalam kegelapannya. Ia masih bisa bertahan dengan tumpukan-tumpukan es yang masih keras di dalamnya. Benarkah hujan tak akan turun?
Proses pemakaman sudah selesai. Semua orang mulai bubar meninggalkan pemakaman. Kali ini aku datang. Aku datang untuk menghadiri proses pemakaman papa. Apa papa begitu penting untukku sampai aku melangkahkan kaki ke tempat ini? Entahlah, aku tak tahu.
“Dinda, ayo pulang!” ajak mama.
Aku mengangguk dan mengikuti mama berjalan meninggalkan pemakaman. Kulihat mama biasa-biasa saja. Ia tidak menangis histeris seperti waktu Kak Geo meninggal. Aku bingung melihatnya.
“Mama tidak sedih?” tanyaku.
“Tentu saja sedih,” jawab mama lemah.
Oh, terlihat jelas di wajahnya. Suaranya juga menandakan kesedihan Tapi, mengapa mama tidak menitikkan  air mata sedikitpun?
“Mama sudah tidak bisa menangis lagi. Air mata mama sudah kering,” jawab mama.
Aku menyerngit bingung. Apa aku tadi bersuara? Kurasa tidak.
“Umm… benar,” kataku.
Aku setuju dengan mama. Aku sama dengan mama. Kami sedih, tapi tidak setitik pun menitikkan air mata. Air mata kami telah habis menangisi kepergian orang-orang yang kami sayangi.
Berbeda dengan Kak Geo. Aku tidak bisa menangisi kepergian papa. Air mataku telah kering oleh dendam dan rasa sakit hati. Luka ini tak bisa menutupi kebohongan hati. Senyum ini tak lagi berpura-pura. Dan langit mendung ini menandakan suasana hatiku yang sesungguhnya. Aku hanya bisa mengatakan selamat tinggal masa lalu dan berharap masa depan yang cerah menantiku. Kelak, aku dan mama akan menemukan kebahagian kami suatu saat nanti.

SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar