Selasa, 30 Desember 2014

PETUALANGN LUNA DAN KAWAN-KAWAN



“Angkat tangan!”perintah laki-laki paruh baya berbadan kurus. Tangan kanannya memegang pistol dan kirinya memegang erat aku. “Cepat serahkan tas biru itu!”
Laki-laki yang ada didepanku terlihat bingung. Tapi, ia lebih memilih berjalan mendekati kami.
“STOP!!!”teriakku. Dia pun berhenti. “Jangan berikan tas itu pada laki-laki ini”
“Berisik sekali, kamu! Sudah bosan hidup, ya!”bentak sikurus itu padaku. “Cepat berikan tas biru itu atau kubunuh gadis ini. CEPAT!!!”
Laki-laki didepanku benar-benar bingung. Aku pun begitu.
“Seandainya waktu bisa diulang…”batinku.

***
Hari ini, murid SMA NEGERI 3 kelas XII IPA 2 akan pergi kemping di Bukit Merbaung. Semua murid terlihat menikmati perjalanan ini, kecuali aku. Aku yang duduk sendirian di dekat pintu masuk kelihatan gelisah. Aku merasa sesuatu yang buruk akan terjadi.
“Boleh aku duduk disini?”tanya seseorang padaku. Aku mendongak dan melihat Darma berdiri sambil memandangi kursi kosong disebelahku.
“Silahkan”kusingkirkan tas biru kesayanganku dari kursi itu. selama perjalanan menuju Bukit Merbaung, aku dan Darma diam saja.
Sesampainya ditempat tujuan, kami punturun dan berbaris untuk memeriksa kelengkapan. Setelah semuanya sudah lengkap, kami pun mulai mendaki bukit.
“Bapak ingatkan untuk berhati-hati dan tetap berbaris dalam barisannya. Mengerti?”pesan Pak Danu, guru yang membimbing perjalanan kami.
“Mengerti”jawab kami serempak.
Murid-murid berjalan dengan hati-hati. Aku dan Darma berjalan di baris paling belakang. Karena dibelakang, aku berjalan seenakku saja.
‘Bruukk’ aku terpeleset dan tasku jatuh kebawah. Aku tampak kesal.
“Sini, kubantuin!”Darma mengulurkan tangannya dan aku membalasnya. “Tasnya aku ambil, ya!” tawarnya.
Aku menggeleng cepat,”Biar kuambil sendiri”. Aku turun dari bukit untuk mengambil tas biruku yang jatuh. Aku juga masih sempat mendengar Darma berteriak hati-hati padaku. “Ia bawel!”batinku sebal. Entah mengapa hari ini moodku jelek. Apa ini ada kaitannya dengan firasat burukku tadi? Aaarrgghh… sudahlah, lupakan saja.
‘Kreeseekk… kreessseeekk…’ terdengar bunyi seseorang (yang pasti bukan aku)menginjak ranting kering. Spontan aku bersembunyi disalah satu poho yang paling dekat denganku. Aku mengintip kearah sumber suara dan melihat 2 laki-laki paruh baya berjalan memasuki hutan. Aku melihat sekitarku. Baru kusadari aku sudah berjalan terlalu jauh dari bukit gara-gara kebanyakan mikir.
“Bagaimana, Gun? Orang-orang itu di luar dugaan kita. Bagaimana kalau mereka sampai tahu?” kata laki-laki kurus pada temannya yang badannya sedikit berisi,tapi kepalanya gundul.           Aku menduga namanya ‘Gundul’.
“Udah, kamu serahin aja semuanya padaku! Itu hanya masalah kecil, Kuprit!”
Aku hampir tertawa mendengar nama sikurus. Tapi, aku tersadar akan sesuatu. Tujuanku sebenarnya adalah mencari tasku, bukan menguping pembicaraan Gundul dan Kuprit. Setelah mereka berdua pergi, aku berlari ketempat dimana tasku jatuh. Namun, setelah kucari kemana-mana, tas biruku tidak ditemukan. Aku berjalan sedikit memasuki hutan, mungkin aku bisa menemukannya.
“Ketemu”kataku senang. Cepat-cepat kuambil tas itu dan kembali ketempat temanku berkumpul. Ketika aku mendaki bukit, tiba-tiba firasat burukku muncul kembali. Aku menjadi gelisah.
“Aaaahh…”aku berteriak kaget saat kurasakan sebuah tangan menyentuh bahuku pelan. Dengan cepat orang itu membekap mulutku.
“Sorry, aku mengagetkanmu”kata Darma. “Soalnya kamu kelamaan, makanya aku pergi menyusulmu”tambahnya.
Aku diam saja dan kembali mendaki. Sesampainya diatas, kulihat tenda-tenda sudah berdiri kokoh. Aku senang sekali karena aku tidak perlu repot-repot membantu.
“Luna, kamu darimana aja? Kok baru sampai?”tanya Filka.
“Sorry”kataku dengan rasa bersalah. “Tadi, tasku jatuh”
Filka menatapku tak percaya dan aku membalasnya dengan tatapan aku-serius-loh!
“Kok bisa sama Darma? Kalian mojok, ya?”tuding Filka.
Aku menoleh kearah Darma. Ternyata, dia masih disini.
“Enggak, kok! Suma kebetulan”elakku. Tapi, aku tidak bohong.
“Kalian bertiga, mengapa masih disitu? Cepat kembali ketenda kalian masing-masing”perintah Pak Danu bak mandor.
Kami bertiga mengangguk dan masuk ketenda masing-masing. Itu sedikit-banyak menyelamatkanku dari interogasi Filka. Setelah sampai ketenda, aku melepas sepatu dan jaketku, lalu menyusul Dewi yang sudah lebih dulu terbang kealam mimpi. Kuabaikan Filka yang terlihat kesal padaku. Tubuhku sudah sangat letih, dan tanpa kusadari, aku sudah pergi kealam mimpi.

***
Aku terbangundari tidurku dan melihat matahari sudah pergi kebelahan bumi yang lain. Pak Danu dan lainnya sedang melaksanakan shalat maghrib berjemaah diluar. Entah bagaimana caranya, yang pasti mereka semua bisa shalat dengan tenang disana.
“luna, udah bangun?”tanya Dewi.
Suara Dewi memecah lamunanku. Aku mengangguk cepat. Tak lama, Filka juga masuk.
“Udah bangun tuan putri? Hapus dulu tuh ilernya”kata Filka.
Spontan aku mengelap pipiku, tapi tak ada iler disana. Filka tertawa kecil dan kusadari dia hanya mengejekku saja.
“Puas ketawanya?”tanyaku sebal.
Filka pun berhenti tertawa, sedangkan Dewi menatapa kami bingung.
“Ada apa?”tanyanya.
“Gak ada apa-apa! Yuk, makan! Perutku sudah lapar, nih!”ajak Filka.
Aku mengangguk setuju. Bisa kudengar cacing-cacing diperutku sedang demo karena tidak kuberi makan dari tadi siang. Kami bertiga keluar dari tenda dan mengelilingi api unggun. Tak lupa aku memakai jaket karena cuaca malam ini sangat dingin. Para cowok dari tenda seberang juga sudah pada keluar. Kami tinggal menunggu makanan kami tiba.
“Hidangan siap!”teriak Bu Yani, istri Pak Danu.
Tak lama, makanan-makanan itu sudah ada di depan kami. Setelah berdoa, kami menyantap makanan kami dengan lahap. Aku hanya menghabiskan makananku dalam 2 menit, membuat Filka dan Dewi tercengang.
“Lapar, bu?”tanya Dewi.
Aku mengangguk tanpa bersuara. Setelah selesai makan, kami mengisi waktu kami dengan bernyanyi. Ada juga Gunawan yang membaca puisi kebanggaannya ‘Pulau Bangka dengan semangat. Aku sudah bosan mendengarnya karena ini yang ke lima kalinya ia membacanya.
Jam menunjukkan pukul 21.00 WIB. Ini sudah waktunya untuk tidur, kecuali orang-orang yang mendapat jatah jaga malam. Ada 6 orang yang berjaga malam ini, yaitu aku, Dewi dan Filka. Yang cowoknya Darma, Bowo dan Reza.
“Malam ini dingin, ya!”kata Bowo.
“Kalau malam emang dingin, kali!”cibirku.
Kulihat Filka dan Dewi menguap, begitu juga dengan yang lainnya.
“Entah mengapa, aku jadi mengantuk”kata Reza.
Benar juga, aku pun menguap. Tapi, kupikir ini wajar karena hari mulai larut malam. Ditambah lagi, cuaca dingin yang menusuk rusuk kami. Tanpa disadari, kami semua tertidur pulas.

***
“Dul, gimana? Aman, gak?”
Aku terbangun dari tidurku ketika aku mendengar suara yang tak asing lagi ditelingaku.
“Aman”bisik Gundul. Tapi, aku masih bisa mendengarnya.
“Kalau begitu, cepat pergi dari sini sebelum salah satu dari mereka bangun”kata Kuprit.
Kuberanikan diri untuk membuka mataku dan meluhat dua bayangan hitam mulai menghilang dari hadapanku. Kulirik jam tanganku yang menunjukkan pukul 05.00. Ternyata, kami tertidur cukup lama. Tapi, satu hal yang tidak kumengerti, mengapa kami semua bisa tertidur? Apa ada yang sengaja menaruh obat tidur di makanan atau minuman kami? Aku menggeleng kuat dan berusaha membuang pikiran buruk dari otakku.
“Lebih baik aku membangunkan 5 orang dan yang lain”pikirku.

***
Matahari perlahan mendaki langit saat kami semua sedang sibuk mandi. Aku sudah tak tahan lagi, seluruh badanku terasa lengket. Air tawar yang ada didepanku membuatku ngiler. Karena sudah tak tahan, aku langsung mandi begitu saja dan kembali ketenda dengan basah-basahan. Filka dan Dewi hanya menggeleng melihat tingkahku, tapi aku tidak peduli.
“Tas”pintaku.
Dewi mengambil tas biruku dan memberikannya padaku. Aku menerimanya, lalu membuka tasku, dan aku terbelalak melihat isi tasku. Kututup kembali tas itu, lalu memeriksa bagian lain. Tas itu benar-benar mirip dengan tasku, tapi…
“Kenapa, Lun? Jangan bilang kamu lupa membawa baju ganti?”tebak Filka.
Aku mengangguk seraya berkata,”Boleh aku meminjam bajumu?”
Filka menggeleng, lalu mengambil bajunya dan memberikannya padaku. Kemudian, aku oergi untuk menyalin bajuku. Setelah selesai, kami bertiga keluar tenda untuk menyantap sarapan. Awalnya aku tidak mau makan, tapi aku sangat lapar dan akhirnya aku menyantap habis sarapanku.
Kami semua telah menyelesaikan sarapannya. Adegan selanjutnya adalah mencari kayu bakar. Kami dibagi 5 kelompok, 1 kelompok bertugas menjaga tenda, dan sisanya mencari kayu bakar. Aku, Filka, Darma dan Bowo kembali sekelompok mencari kayu bakar, sedangkan Dewi dan Reza mendapat tugas menjaga tenda. Dengan bimbingan Pak Danu, kami mulai meneliti hutan.
“Jangan masuk hutan terlalu dalam”pesan Pak Danu.
Kami mengangguk dan mulai mencari ranting kering untuk menjadi kayu bakar. Satu per satu ranting kering terkumpul.
“Prit, cepetan kesini!”panggil Gundul pelan.
Aku menoleh ke arah bebatuan besar. Aku menduga mereka bersumbinya di sana sambil mengawasi kami.
“Ayo kita kembali”sambungnya.
Terdengar suara langkah kaki menjauh. Aku menebarkan pandanganku dan melihat teman-teman sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Aku melangkah perlahan sambil mengambil ranting kering supaya tidak mengundang kecurigaan. Setelah aman, aku berlari menyusul Kuprit dan Gundul.
“Cepat kesini!”perintah Kuprit.
Cepat-cepat aku bersembunyi dibalik pohon sambil mengintip apa yang sedang mereka lakukan.
“Sudah saatnya kita bunuh anak-anak itu”kata Kuprit dingin.
Tubuhku membeku. Ingin rasanya aku berteriak minta tolong, tapi itu malah menambah masalah. Aku kembali mengintip dan terbelalak melihat benda yang sedang mereka pegang.
“Tasku”teriakku dalam hati. Aku yakin sekali kalau itu tasku. Buktinya, mereka mengeluarkan beberapa lembar baju dan snackku dari dalam tas itu.
“Apa benar ini tasnya?”tanya Gundul sambil menyerngit. Kuprit mengangguk. “Kamu lihat tidak isi tas ini?”suara Gundul meninggi.
Kuprit kembali mengangguk. Mau membela diri pun tidak bisa. Tapi, aku bingung mengapa tasku ada pada mereka? Mungkinkah tas biru yang ditenda itu milik mereka? Jika benar, bagaimana bisa? Apa semalam mereka menukarnya? Tapi, kurasa tudak mungkin. Aku mencoba mengingat-ingat kembali. Kemarin siang, aku turn bukit untuk mengambil tasku yang jatuh, tapi aku malah bertemu mereka. Setelah itu, aku pergi mencari tasku, tapi tidak ketemu. Aku malah menemukannya di dalam hutan, bawah pohon, dan ditutupi daun kering.
“Astaga, pantas saja aku merasa tasku lebih berat”kataku sambil menepuk dahiku pelan.
‘Kreeekkk…’ tanpa sengaja aku menginjak ranting kering. Aku gugup karena Kuprit dan Gundul menyadari kalau mereka sedang diikuti.
“Siapa disana?”teriak Gundul.
Aku terdiam, takut untuk menghadapinya. Sebuah tangan menarikku kebalik pohon dan bersembunyi disana. Aku hanya diam saja karena aku tahu siapa yang menolongku.
‘Miaaauuuww’
“Kucing, Dul!”kata Kuprit.
“Kok bisa kucing dihutan?”tanya Gundul bingung.
“Nyasar kali! Mending kita balik ke markas aja”usul Kuprit.
Aku menarik napas lega. Mereka berdua sudah menghilang dari pandanganku.
“Kamu itu bandel, ya! Bagaimana kalau kamu tadi ketahuan dan tertangkap? Aku harus bilang apa pada Pak Danu dan yang lainnya”omel Darma.
Aku mengabaikannya dan berjalan pulang. Tapi, aku tidak ingat lagi jalannya. Darma menggelengkan kepalanya melihat tingkahku.
“Ikut aku”perintahnya.
Aku mengikuti Darma sampai ke tenda. Tak lupa aku membawa ranting-ranting yang sempat kutinggalkan.
“Tuh, kan! Kalian pasti mojok lagi”tuding Filka.
Aku diam saja. Aku sendiri juga bingung mengapa dari kemarin Darma selalu membuntutiku. Setelah aku meletakkan ranting kering pada tempatnya, aku kembali ke tenda. Tak peduli dengan orang-orang yang sedang menyanyi ria di bebatuan. Keadaan sekarang kurang aman. Aku harus membuat renca untuk menyelamatkan diri. Kulirik tas biru yang sama dengan punyaku. Rencana pertama, sembunyikan tas itu dulu. Dan rencana selanjutnya, bisa kupikirkan nanti.

***
Malam sudah datang, dan firasatku kembali. Aku benar-benar takut. Wajahku memucat dan tubuhku mendingin. Dewi dan Filka menyadari perubahanku.
“Kamu sakit, Lun? Kalau sakit, kamu ditenda aja. Kami akan temanimu makan disini”kata Dewi.
Aku mengangguk setuju. Dewi dan Filka pergi keluar tenda dan kembali membawa 3 buah piring.
“Minumnya?”tanyaku.
Filka dan Dewi keluar untuk mengambil minuman, sedangkan aku membuang sebagian makanan dari piring mereka. Tak lama, mereka pun kembali.
“Waduh, lapar, Lun?”tanya Filka.
Aku mengangguk tanpa bersuara. Selesai makan, kamu bertiga langsung tidur.

***
Aku terbangun dari tidurku saat menyadari 2 orang jahat itu datang. Aku mempererat pelukan tas yang kubuat jadi bantal. Aku tidak mau kalau tas itu diambil oleh orang jahat.
“Ini yang terakhir”kata Kuprit.
Kurasakan 2 orang itu masuk dan mulai meneliti kami satu-satu, lalu keluar. Aku tercengang, kupikir bakal lama. Setelah mereka berdua pergi, aku bangkit dan melihat teman-temanku baik saja. Jam menunjukkan pukul 03.10 WIB dan aku menunggu 20 menit lagi. Setelah 20 menit berlalu, aku bangun dan berniar keluar untuk  memeriksa keadaan diluar. Baru saja aku beranjak keluar, seseorang berjalan mendekati tendaku.
“Tidak mungkin! Tidak mungkin mereka kembali”
Aku panik. Sebelum aku sempat melakukan sesuatu, pintu tendaku terbuka dan aku membeku.
“Ini aku, Darma. Aku tahu kamu pasti tidak tidur gara-gara kejadian kemarin”katanya.
“Kenapa kesini?”tanyaku dingin.
“Bowo tadi turun bukit untuk buang air. Tapi, 30 menit berlalu dan dia belum juga kembali. Aku takut dia diculik oleh si kurus dan gundul”jelas Darma.
Aku berpikir,”Kalau begini, masalahnya semakin rumit”. Aku baru teringat sesuatu. “Mengapa kamu tidak tidur?”tanyaku.
“Aku tidak makan dan minum semalam. Sudahlah, itu tidak penting. Yang penting, bagaimana caranya menolong Bowo”ujarnya.
Aku berpikir dan mulai menyusun rencana. Pertama, kami membangunkan Dewi, Filka, dan Reza. Lalu, mencari markas mereka. Sungguh diluar perkiraanku karena aku bisa menemukannya dengan mudah. Kurasakan kalau teman-temanku menatap kubingung.
“Mengapa kamu membawa tas?”tanya Reza.
Aku mengabaikannya. Mereka tidak tahu apa yang ada dalam tas ini. Kulihat sigendut sedang memerintah si kurus untuk memasukkan beberapa paket kedalam Pick-up.
“Oke,”kataku,”kita bagi-bagi tugas. Aku dan Darma menolong Bowo, Dewi dan Reza pancing si gendut dan kurus itu masuk kedalam perangkap kalian. Filka, kamu lapor polisi dan Pak Danu. INGAT, jangan sampai mengundang kecurigaan. Kita mulai sekarang”perintahku.
Kami semua bergerak. Pertama, kami menunggu si gendut dan sikurus pergi. Lalu, masuk ke dalam markas diam-diam. Masih sempat kami mengempes ban mobil itu.
“Ini apa?”tanya Darma yang sedang memegang daun berbentuk daun ubi dan bergerigi. Aku diam saja dan masuk ke pondok. Benar dugaanku, Bowo ada disana dengan tangan dan kaki terikat serta mulut dilakban.
“Ayo cepat pergi”kata Darma setelah kami selesai melepaskan ikatan Bowo. Aku dan Bowo berlari kabur, tapi dia masih diam ditempat. “Aku akan menyusul”tambahnya.
Kami berdua pergi dan bertemu Gundul dipintu keluar.
“Mau kemana kalian? Aku yakin kalian pasti kesini untuk menolong bocah ini. Tapi, diluar dugaanku, ternyata kamu membawa tas biru itu. Cepat serahkan tas itu”perintanya.
Aku merasa ngeri, tapi aku tidak boleh kelihatan lemah di depannya. Aku memberi aba-aba pada Bowo untuk kabur secara terpisah. Bowo mengangguk mengerti.
“Baiklah”kataku pasrah,”Tapi, tak semudah itu…”
Aku lari kearah timur dan Bowo kearah Barat. Seperti dugaanku, Gundul mengejarku karena incarannya adalah tas biru yang kubawa.
“Lempar”teriak Darma yang entah sejak kapan ada disampingku. Aku melemparnya dan dia menangkapnya dengan baik. Kini, Gundul berlari mengejar Darma.
Aku berhenti untuk beristirahat. Terlalu capek berlari sambil membawa tas berat. Setelah kurasa tenagaku kembali, aku pergi menyusul Darma yang tengah beristirahat di bawah pohon. Saat jarak diantara kami hampir dekat, sebuah tangan menarikku secara paksa sambil membekap mulutku.
“Hhahhahahaha…. Akhirnya aku bisa menangkapnya”kata Kuprit senang.
Aku memberontak, tapi ia malah mempererat pegangannya padaku.
“Apa yang kamu mau?”tanya Darma.
“”Pura-pura tidak tahu, lagi! Tentu saja tas biru yang sedangkamu pegang”kata Kuprit.
“Kalau begitu, sandera saja dia. Aku tak peduli”kata Darma.
Aku terbelalak mendengarnya. SERIUS???
“Ya, sudah! Kalau begitu, kami pergi saja dari sini! Lagipula, aku tak butuh bantuanmu” balasku.
Kulihat Kuprit kebingungan. Ia meraba saku belakangnya dan mengeluarkan sebuah senjata api dari sana.
“Angkat tangan! Cepat serahkan tas biru itu!”
Darma kebingungan. Bisa kutebak kalau ini diluar dugaannya. Tanpa kusadari, ia lebih memilih berjalan mendekati kami.
“STOP!!! Jangan berikan tas itu pada laki-laki ini”perintahku
“Berisik sekali, kamu! Sudah bosan hidup, ya! Cepat berikan tas biru itu atau kubunuh gadis ini. CEPAT!!!”ancam Kuprit.
Tak kusangka, Darma malah menyerahkan tas itu pada Kuprit. Dengan kasar Kuprit mendorongku pada Darma hingga aku jatuh tersungkur. Untung saja dia menahanku.
“Tak akan kubiarkan kalian begitu saja”kata Kuprit.
Kulihat  Kuprit mengarahkan pistolnya pada Darma yang berdiri membelakanginya. Dengan cepat kudorong Darma dan…
‘Dooorrr’ peluru itu melewati kami begitu saja. Kuprit pun tertawa dan meninggalkan kami begitu saja sambil membawa pergi tas biru itu.
“Luna, kamu baik-baik saja, kan?”tanya Darma khawatir. Tapi, ia tampak terkejut melihat lengan kiri atasku berdarah. Ternyata, peluru itu sempat melukai tanganku. Dengan cepat Darma merawat lukaku. Selanjutnya, aku tidak tahu apa yang terjadi karena badanku melemas dan pandanganku berubah menjadi gelap.

***
Aku terbangun dan mencium bau obat-obatan dimana-mana. Kupikir aku sudah mati, ternyata belum.
“Luna, sudah bangun?”suara Dewi terdengar serak. Sepertinya ia menangis seharian.
Aku mengangguk pelan. Kepalaku terasa pusing dan aku pun langsung melontarkan banyak pertanyaan pada Dewi.
“Berapa lama aku disini? Orangtuaku tahu tidak? Lalu, bagaimana dengan tas biru itu? Yang lain bagaimana?”
Dewi tampak kewalahan dengan pertanyaanku. Tapi, itu membuatnya yakin kalau aku baik-baik saja.
“Sudah 2 hari. Selain polisi, Pak Danu, dan kita berenam, tak ada yang tahu masalah ini. Tas biru? Kalau punyamu ada disini. Yang satunya lagi ada dikantor polisi. Selain kamu, semuanya baik-baik saja”jawab Dewi tenang.
Aku tersenyum lega. Namun, masih ada yang mengganjal pikiranku. Apa yang terjadi selanjutnya setelah aku pingsan?
“Darma langsung membawamu kerumah sakit. Si kurus masuk kedalam perangkap kami. Sampai polisi datang, kami biarkan dia tergnatung diatas pohon. Si gundul dan gendut juga” jelas Dewi yang sepertinya membaca pikiranku.
Pintu ruanganku dirawat terbuka dan Darma masuk kedalam. Sedangkan Dewi keluar. Darma berjalan mendekatiku.
“Sorry, sebelumnya aku sempat berpikir kalau kamu salah satu komplotan dari mereka. Soalnya, tanpa sengaja aku membuka tasmu dan melihat di dalamnya ada beberapa bungkus ganja dan aku sangat terkejut”jelas Darma.
Aku menggeleng,”Tidak, Darma! Seharusnya, akulah yang harus minta maaf karena aku bersikap dingin padamu”
Tanpa sadar, Darma mengulurkan tangannya. “Jadi, kita damai, nih?”
Aku tersenyum dan membalasnya. Dan kami pun tertawa bersama. Ingin rasanya aku berpetualang lagi bersama mereka, karena dengan bersama, kami bisa menjatuhkan lawan yang kuat sekalipun.


~~~SELESAI~~~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar