“Angkat
tangan!”perintah laki-laki paruh baya berbadan kurus. Tangan kanannya memegang
pistol dan kirinya memegang erat aku. “Cepat serahkan tas biru itu!”
Laki-laki
yang ada didepanku terlihat bingung. Tapi, ia lebih memilih berjalan mendekati
kami.
“STOP!!!”teriakku.
Dia pun berhenti. “Jangan berikan tas itu pada laki-laki ini”
“Berisik
sekali, kamu! Sudah bosan hidup, ya!”bentak sikurus itu padaku. “Cepat berikan
tas biru itu atau kubunuh gadis ini. CEPAT!!!”
Laki-laki
didepanku benar-benar bingung. Aku pun begitu.
“Seandainya waktu bisa diulang…”batinku.
***
Hari ini,
murid SMA NEGERI 3 kelas XII IPA 2 akan pergi kemping di Bukit Merbaung. Semua
murid terlihat menikmati perjalanan ini, kecuali aku. Aku yang duduk sendirian
di dekat pintu masuk kelihatan gelisah. Aku merasa sesuatu yang buruk akan
terjadi.
“Boleh aku
duduk disini?”tanya seseorang padaku. Aku mendongak dan melihat Darma berdiri
sambil memandangi kursi kosong disebelahku.
“Silahkan”kusingkirkan
tas biru kesayanganku dari kursi itu. selama perjalanan menuju Bukit Merbaung,
aku dan Darma diam saja.
Sesampainya
ditempat tujuan, kami punturun dan berbaris untuk memeriksa kelengkapan.
Setelah semuanya sudah lengkap, kami pun mulai mendaki bukit.
“Bapak
ingatkan untuk berhati-hati dan tetap berbaris dalam barisannya.
Mengerti?”pesan Pak Danu, guru yang membimbing perjalanan kami.
“Mengerti”jawab
kami serempak.
Murid-murid
berjalan dengan hati-hati. Aku dan Darma berjalan di baris paling belakang.
Karena dibelakang, aku berjalan seenakku saja.
‘Bruukk’ aku
terpeleset dan tasku jatuh kebawah. Aku tampak kesal.
“Sini,
kubantuin!”Darma mengulurkan tangannya dan aku membalasnya. “Tasnya aku ambil,
ya!” tawarnya.
Aku
menggeleng cepat,”Biar kuambil sendiri”. Aku turun dari bukit untuk mengambil
tas biruku yang jatuh. Aku juga masih sempat mendengar Darma berteriak
hati-hati padaku. “Ia bawel!”batinku sebal. Entah mengapa hari ini moodku
jelek. Apa ini ada kaitannya dengan firasat burukku tadi? Aaarrgghh… sudahlah,
lupakan saja.
‘Kreeseekk…
kreessseeekk…’ terdengar bunyi seseorang (yang pasti bukan aku)menginjak
ranting kering. Spontan aku bersembunyi disalah satu poho yang paling dekat
denganku. Aku mengintip kearah sumber suara dan melihat 2 laki-laki paruh baya
berjalan memasuki hutan. Aku melihat sekitarku. Baru kusadari aku sudah
berjalan terlalu jauh dari bukit gara-gara kebanyakan mikir.
“Bagaimana,
Gun? Orang-orang itu di luar dugaan kita. Bagaimana kalau mereka sampai tahu?”
kata laki-laki kurus pada temannya yang badannya sedikit berisi,tapi kepalanya
gundul. Aku menduga namanya
‘Gundul’.
“Udah, kamu
serahin aja semuanya padaku! Itu hanya masalah kecil, Kuprit!”
Aku hampir
tertawa mendengar nama sikurus. Tapi, aku tersadar akan sesuatu. Tujuanku
sebenarnya adalah mencari tasku, bukan menguping pembicaraan Gundul dan Kuprit.
Setelah mereka berdua pergi, aku berlari ketempat dimana tasku jatuh. Namun,
setelah kucari kemana-mana, tas biruku tidak ditemukan. Aku berjalan sedikit
memasuki hutan, mungkin aku bisa menemukannya.
“Ketemu”kataku
senang. Cepat-cepat kuambil tas itu dan kembali ketempat temanku berkumpul.
Ketika aku mendaki bukit, tiba-tiba firasat burukku muncul kembali. Aku menjadi
gelisah.
“Aaaahh…”aku
berteriak kaget saat kurasakan sebuah tangan menyentuh bahuku pelan. Dengan
cepat orang itu membekap mulutku.
“Sorry, aku
mengagetkanmu”kata Darma. “Soalnya kamu kelamaan, makanya aku pergi
menyusulmu”tambahnya.
Aku diam
saja dan kembali mendaki. Sesampainya diatas, kulihat tenda-tenda sudah berdiri
kokoh. Aku senang sekali karena aku tidak perlu repot-repot membantu.
“Luna, kamu
darimana aja? Kok baru sampai?”tanya Filka.
“Sorry”kataku
dengan rasa bersalah. “Tadi, tasku jatuh”
Filka
menatapku tak percaya dan aku membalasnya dengan tatapan aku-serius-loh!
“Kok bisa
sama Darma? Kalian mojok, ya?”tuding Filka.
Aku menoleh
kearah Darma. Ternyata, dia masih disini.
“Enggak,
kok! Suma kebetulan”elakku. Tapi, aku tidak bohong.
“Kalian
bertiga, mengapa masih disitu? Cepat kembali ketenda kalian
masing-masing”perintah Pak Danu bak mandor.
Kami bertiga
mengangguk dan masuk ketenda masing-masing. Itu sedikit-banyak menyelamatkanku
dari interogasi Filka. Setelah sampai ketenda, aku melepas sepatu dan jaketku,
lalu menyusul Dewi yang sudah lebih dulu terbang kealam mimpi. Kuabaikan Filka
yang terlihat kesal padaku. Tubuhku sudah sangat letih, dan tanpa kusadari, aku
sudah pergi kealam mimpi.
***
Aku
terbangundari tidurku dan melihat matahari sudah pergi kebelahan bumi yang
lain. Pak Danu dan lainnya sedang melaksanakan shalat maghrib berjemaah diluar.
Entah bagaimana caranya, yang pasti mereka semua bisa shalat dengan tenang
disana.
“luna, udah
bangun?”tanya Dewi.
Suara Dewi
memecah lamunanku. Aku mengangguk cepat. Tak lama, Filka juga masuk.
“Udah bangun
tuan putri? Hapus dulu tuh ilernya”kata Filka.
Spontan aku
mengelap pipiku, tapi tak ada iler disana. Filka tertawa kecil dan kusadari dia
hanya mengejekku saja.
“Puas
ketawanya?”tanyaku sebal.
Filka pun berhenti
tertawa, sedangkan Dewi menatapa kami bingung.
“Ada
apa?”tanyanya.
“Gak ada
apa-apa! Yuk, makan! Perutku sudah lapar, nih!”ajak Filka.
Aku
mengangguk setuju. Bisa kudengar cacing-cacing diperutku sedang demo karena
tidak kuberi makan dari tadi siang. Kami bertiga keluar dari tenda dan
mengelilingi api unggun. Tak lupa aku memakai jaket karena cuaca malam ini
sangat dingin. Para cowok dari tenda seberang juga sudah pada keluar. Kami
tinggal menunggu makanan kami tiba.
“Hidangan
siap!”teriak Bu Yani, istri Pak Danu.
Tak lama,
makanan-makanan itu sudah ada di depan kami. Setelah berdoa, kami menyantap
makanan kami dengan lahap. Aku hanya menghabiskan makananku dalam 2 menit,
membuat Filka dan Dewi tercengang.
“Lapar,
bu?”tanya Dewi.
Aku
mengangguk tanpa bersuara. Setelah selesai makan, kami mengisi waktu kami
dengan bernyanyi. Ada juga Gunawan yang membaca puisi kebanggaannya ‘Pulau
Bangka dengan semangat. Aku sudah bosan mendengarnya karena ini yang ke lima
kalinya ia membacanya.
Jam
menunjukkan pukul 21.00 WIB. Ini sudah waktunya untuk tidur, kecuali
orang-orang yang mendapat jatah jaga malam. Ada 6 orang yang berjaga malam ini,
yaitu aku, Dewi dan Filka. Yang cowoknya Darma, Bowo dan Reza.
“Malam ini
dingin, ya!”kata Bowo.
“Kalau malam
emang dingin, kali!”cibirku.
Kulihat
Filka dan Dewi menguap, begitu juga dengan yang lainnya.
“Entah
mengapa, aku jadi mengantuk”kata Reza.
Benar juga,
aku pun menguap. Tapi, kupikir ini wajar karena hari mulai larut malam.
Ditambah lagi, cuaca dingin yang menusuk rusuk kami. Tanpa disadari, kami semua
tertidur pulas.
***
“Dul,
gimana? Aman, gak?”
Aku
terbangun dari tidurku ketika aku mendengar suara yang tak asing lagi
ditelingaku.
“Aman”bisik
Gundul. Tapi, aku masih bisa mendengarnya.
“Kalau
begitu, cepat pergi dari sini sebelum salah satu dari mereka bangun”kata
Kuprit.
Kuberanikan
diri untuk membuka mataku dan meluhat dua bayangan hitam mulai menghilang dari
hadapanku. Kulirik jam tanganku yang menunjukkan pukul 05.00. Ternyata, kami
tertidur cukup lama. Tapi, satu hal yang tidak kumengerti, mengapa kami semua
bisa tertidur? Apa ada yang sengaja menaruh obat tidur di makanan atau minuman
kami? Aku menggeleng kuat dan berusaha membuang pikiran buruk dari otakku.
“Lebih baik
aku membangunkan 5 orang dan yang lain”pikirku.
***
Matahari
perlahan mendaki langit saat kami semua sedang sibuk mandi. Aku sudah tak tahan
lagi, seluruh badanku terasa lengket. Air tawar yang ada didepanku membuatku
ngiler. Karena sudah tak tahan, aku langsung mandi begitu saja dan kembali ketenda
dengan basah-basahan. Filka dan Dewi hanya menggeleng melihat tingkahku, tapi
aku tidak peduli.
“Tas”pintaku.
Dewi
mengambil tas biruku dan memberikannya padaku. Aku menerimanya, lalu membuka
tasku, dan aku terbelalak melihat isi tasku. Kututup kembali tas itu, lalu
memeriksa bagian lain. Tas itu benar-benar mirip dengan tasku, tapi…
“Kenapa,
Lun? Jangan bilang kamu lupa membawa baju ganti?”tebak Filka.
Aku
mengangguk seraya berkata,”Boleh aku meminjam bajumu?”
Filka
menggeleng, lalu mengambil bajunya dan memberikannya padaku. Kemudian, aku
oergi untuk menyalin bajuku. Setelah selesai, kami bertiga keluar tenda untuk
menyantap sarapan. Awalnya aku tidak mau makan, tapi aku sangat lapar dan
akhirnya aku menyantap habis sarapanku.
Kami semua
telah menyelesaikan sarapannya. Adegan selanjutnya adalah mencari kayu bakar.
Kami dibagi 5 kelompok, 1 kelompok bertugas menjaga tenda, dan sisanya mencari
kayu bakar. Aku, Filka, Darma dan Bowo kembali sekelompok mencari kayu bakar,
sedangkan Dewi dan Reza mendapat tugas menjaga tenda. Dengan bimbingan Pak
Danu, kami mulai meneliti hutan.
“Jangan
masuk hutan terlalu dalam”pesan Pak Danu.
Kami
mengangguk dan mulai mencari ranting kering untuk menjadi kayu bakar. Satu per
satu ranting kering terkumpul.
“Prit,
cepetan kesini!”panggil Gundul pelan.
Aku menoleh
ke arah bebatuan besar. Aku menduga mereka bersumbinya di sana sambil mengawasi
kami.
“Ayo kita
kembali”sambungnya.
Terdengar
suara langkah kaki menjauh. Aku menebarkan pandanganku dan melihat teman-teman
sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Aku melangkah perlahan sambil
mengambil ranting kering supaya tidak mengundang kecurigaan. Setelah aman, aku
berlari menyusul Kuprit dan Gundul.
“Cepat
kesini!”perintah Kuprit.
Cepat-cepat
aku bersembunyi dibalik pohon sambil mengintip apa yang sedang mereka lakukan.
“Sudah
saatnya kita bunuh anak-anak itu”kata Kuprit dingin.
Tubuhku
membeku. Ingin rasanya aku berteriak minta tolong, tapi itu malah menambah
masalah. Aku kembali mengintip dan terbelalak melihat benda yang sedang mereka
pegang.
“Tasku”teriakku
dalam hati. Aku yakin sekali kalau itu tasku. Buktinya, mereka mengeluarkan
beberapa lembar baju dan snackku dari dalam tas itu.
“Apa benar
ini tasnya?”tanya Gundul sambil menyerngit. Kuprit mengangguk. “Kamu lihat
tidak isi tas ini?”suara Gundul meninggi.
Kuprit
kembali mengangguk. Mau membela diri pun tidak bisa. Tapi, aku bingung mengapa
tasku ada pada mereka? Mungkinkah tas biru yang ditenda itu milik mereka? Jika
benar, bagaimana bisa? Apa semalam mereka menukarnya? Tapi, kurasa tudak
mungkin. Aku mencoba mengingat-ingat kembali. Kemarin siang, aku turn bukit
untuk mengambil tasku yang jatuh, tapi aku malah bertemu mereka. Setelah itu,
aku pergi mencari tasku, tapi tidak ketemu. Aku malah menemukannya di dalam
hutan, bawah pohon, dan ditutupi daun kering.
“Astaga,
pantas saja aku merasa tasku lebih berat”kataku sambil menepuk dahiku pelan.
‘Kreeekkk…’
tanpa sengaja aku menginjak ranting kering. Aku gugup karena Kuprit dan Gundul
menyadari kalau mereka sedang diikuti.
“Siapa
disana?”teriak Gundul.
Aku terdiam,
takut untuk menghadapinya. Sebuah tangan menarikku kebalik pohon dan
bersembunyi disana. Aku hanya diam saja karena aku tahu siapa yang menolongku.
‘Miaaauuuww’
“Kucing,
Dul!”kata Kuprit.
“Kok bisa
kucing dihutan?”tanya Gundul bingung.
“Nyasar
kali! Mending kita balik ke markas aja”usul Kuprit.
Aku menarik
napas lega. Mereka berdua sudah menghilang dari pandanganku.
“Kamu itu
bandel, ya! Bagaimana kalau kamu tadi ketahuan dan tertangkap? Aku harus bilang
apa pada Pak Danu dan yang lainnya”omel Darma.
Aku
mengabaikannya dan berjalan pulang. Tapi, aku tidak ingat lagi jalannya. Darma
menggelengkan kepalanya melihat tingkahku.
“Ikut
aku”perintahnya.
Aku
mengikuti Darma sampai ke tenda. Tak lupa aku membawa ranting-ranting yang
sempat kutinggalkan.
“Tuh, kan!
Kalian pasti mojok lagi”tuding Filka.
Aku diam
saja. Aku sendiri juga bingung mengapa dari kemarin Darma selalu membuntutiku.
Setelah aku meletakkan ranting kering pada tempatnya, aku kembali ke tenda. Tak
peduli dengan orang-orang yang sedang menyanyi ria di bebatuan. Keadaan
sekarang kurang aman. Aku harus membuat renca untuk menyelamatkan diri. Kulirik
tas biru yang sama dengan punyaku. Rencana pertama, sembunyikan tas itu dulu.
Dan rencana selanjutnya, bisa kupikirkan nanti.
***
Malam sudah
datang, dan firasatku kembali. Aku benar-benar takut. Wajahku memucat dan
tubuhku mendingin. Dewi dan Filka menyadari perubahanku.
“Kamu sakit,
Lun? Kalau sakit, kamu ditenda aja. Kami akan temanimu makan disini”kata Dewi.
Aku
mengangguk setuju. Dewi dan Filka pergi keluar tenda dan kembali membawa 3 buah
piring.
“Minumnya?”tanyaku.
Filka dan
Dewi keluar untuk mengambil minuman, sedangkan aku membuang sebagian makanan
dari piring mereka. Tak lama, mereka pun kembali.
“Waduh,
lapar, Lun?”tanya Filka.
Aku
mengangguk tanpa bersuara. Selesai makan, kamu bertiga langsung tidur.
***
Aku
terbangun dari tidurku saat menyadari 2 orang jahat itu datang. Aku mempererat
pelukan tas yang kubuat jadi bantal. Aku tidak mau kalau tas itu diambil oleh
orang jahat.
“Ini yang
terakhir”kata Kuprit.
Kurasakan 2
orang itu masuk dan mulai meneliti kami satu-satu, lalu keluar. Aku tercengang,
kupikir bakal lama. Setelah mereka berdua pergi, aku bangkit dan melihat
teman-temanku baik saja. Jam menunjukkan pukul 03.10 WIB dan aku menunggu 20
menit lagi. Setelah 20 menit berlalu, aku bangun dan berniar keluar untuk memeriksa keadaan diluar. Baru saja aku
beranjak keluar, seseorang berjalan mendekati tendaku.
“Tidak
mungkin! Tidak mungkin mereka kembali”
Aku panik.
Sebelum aku sempat melakukan sesuatu, pintu tendaku terbuka dan aku membeku.
“Ini aku,
Darma. Aku tahu kamu pasti tidak tidur gara-gara kejadian kemarin”katanya.
“Kenapa
kesini?”tanyaku dingin.
“Bowo tadi
turun bukit untuk buang air. Tapi, 30 menit berlalu dan dia belum juga kembali.
Aku takut dia diculik oleh si kurus dan gundul”jelas Darma.
Aku
berpikir,”Kalau begini, masalahnya semakin rumit”. Aku baru teringat sesuatu.
“Mengapa kamu tidak tidur?”tanyaku.
“Aku tidak
makan dan minum semalam. Sudahlah, itu tidak penting. Yang penting, bagaimana
caranya menolong Bowo”ujarnya.
Aku berpikir
dan mulai menyusun rencana. Pertama, kami membangunkan Dewi, Filka, dan Reza.
Lalu, mencari markas mereka. Sungguh diluar perkiraanku karena aku bisa
menemukannya dengan mudah. Kurasakan kalau teman-temanku menatap kubingung.
“Mengapa
kamu membawa tas?”tanya Reza.
Aku
mengabaikannya. Mereka tidak tahu apa yang ada dalam tas ini. Kulihat sigendut
sedang memerintah si kurus untuk memasukkan beberapa paket kedalam Pick-up.
“Oke,”kataku,”kita
bagi-bagi tugas. Aku dan Darma menolong Bowo, Dewi dan Reza pancing si gendut
dan kurus itu masuk kedalam perangkap kalian. Filka, kamu lapor polisi dan Pak
Danu. INGAT, jangan sampai mengundang kecurigaan. Kita mulai
sekarang”perintahku.
Kami semua
bergerak. Pertama, kami menunggu si gendut dan sikurus pergi. Lalu, masuk ke
dalam markas diam-diam. Masih sempat kami mengempes ban mobil itu.
“Ini
apa?”tanya Darma yang sedang memegang daun berbentuk daun ubi dan bergerigi.
Aku diam saja dan masuk ke pondok. Benar dugaanku, Bowo ada disana dengan
tangan dan kaki terikat serta mulut dilakban.
“Ayo cepat
pergi”kata Darma setelah kami selesai melepaskan ikatan Bowo. Aku dan Bowo
berlari kabur, tapi dia masih diam ditempat. “Aku akan menyusul”tambahnya.
Kami berdua
pergi dan bertemu Gundul dipintu keluar.
“Mau kemana
kalian? Aku yakin kalian pasti kesini untuk menolong bocah ini. Tapi, diluar
dugaanku, ternyata kamu membawa tas biru itu. Cepat serahkan tas
itu”perintanya.
Aku merasa
ngeri, tapi aku tidak boleh kelihatan lemah di depannya. Aku memberi aba-aba
pada Bowo untuk kabur secara terpisah. Bowo mengangguk mengerti.
“Baiklah”kataku
pasrah,”Tapi, tak semudah itu…”
Aku lari
kearah timur dan Bowo kearah Barat. Seperti dugaanku, Gundul mengejarku karena
incarannya adalah tas biru yang kubawa.
“Lempar”teriak
Darma yang entah sejak kapan ada disampingku. Aku melemparnya dan dia
menangkapnya dengan baik. Kini, Gundul berlari mengejar Darma.
Aku berhenti
untuk beristirahat. Terlalu capek berlari sambil membawa tas berat. Setelah
kurasa tenagaku kembali, aku pergi menyusul Darma yang tengah beristirahat di
bawah pohon. Saat jarak diantara kami hampir dekat, sebuah tangan menarikku
secara paksa sambil membekap mulutku.
“Hhahhahahaha….
Akhirnya aku bisa menangkapnya”kata Kuprit senang.
Aku
memberontak, tapi ia malah mempererat pegangannya padaku.
“Apa yang
kamu mau?”tanya Darma.
“”Pura-pura
tidak tahu, lagi! Tentu saja tas biru yang sedangkamu pegang”kata Kuprit.
“Kalau
begitu, sandera saja dia. Aku tak peduli”kata Darma.
Aku
terbelalak mendengarnya. SERIUS???
“Ya, sudah!
Kalau begitu, kami pergi saja dari sini! Lagipula, aku tak butuh bantuanmu”
balasku.
Kulihat
Kuprit kebingungan. Ia meraba saku belakangnya dan mengeluarkan sebuah senjata
api dari sana.
“Angkat
tangan! Cepat serahkan tas biru itu!”
Darma kebingungan.
Bisa kutebak kalau ini diluar dugaannya. Tanpa kusadari, ia lebih memilih
berjalan mendekati kami.
“STOP!!! Jangan
berikan tas itu pada laki-laki ini”perintahku
“Berisik
sekali, kamu! Sudah bosan hidup, ya! Cepat berikan tas biru itu atau kubunuh
gadis ini. CEPAT!!!”ancam Kuprit.
Tak
kusangka, Darma malah menyerahkan tas itu pada Kuprit. Dengan kasar Kuprit
mendorongku pada Darma hingga aku jatuh tersungkur. Untung saja dia menahanku.
“Tak akan
kubiarkan kalian begitu saja”kata Kuprit.
Kulihat Kuprit mengarahkan pistolnya pada Darma yang
berdiri membelakanginya. Dengan cepat kudorong Darma dan…
‘Dooorrr’
peluru itu melewati kami begitu saja. Kuprit pun tertawa dan meninggalkan kami
begitu saja sambil membawa pergi tas biru itu.
“Luna, kamu
baik-baik saja, kan?”tanya Darma khawatir. Tapi, ia tampak terkejut melihat
lengan kiri atasku berdarah. Ternyata, peluru itu sempat melukai tanganku.
Dengan cepat Darma merawat lukaku. Selanjutnya, aku tidak tahu apa yang terjadi
karena badanku melemas dan pandanganku berubah menjadi gelap.
***
Aku
terbangun dan mencium bau obat-obatan dimana-mana. Kupikir aku sudah mati,
ternyata belum.
“Luna, sudah
bangun?”suara Dewi terdengar serak. Sepertinya ia menangis seharian.
Aku
mengangguk pelan. Kepalaku terasa pusing dan aku pun langsung melontarkan
banyak pertanyaan pada Dewi.
“Berapa lama
aku disini? Orangtuaku tahu tidak? Lalu, bagaimana dengan tas biru itu? Yang
lain bagaimana?”
Dewi tampak
kewalahan dengan pertanyaanku. Tapi, itu membuatnya yakin kalau aku baik-baik
saja.
“Sudah 2
hari. Selain polisi, Pak Danu, dan kita berenam, tak ada yang tahu masalah ini.
Tas biru? Kalau punyamu ada disini. Yang satunya lagi ada dikantor polisi.
Selain kamu, semuanya baik-baik saja”jawab Dewi tenang.
Aku
tersenyum lega. Namun, masih ada yang mengganjal pikiranku. Apa yang terjadi
selanjutnya setelah aku pingsan?
“Darma
langsung membawamu kerumah sakit. Si kurus masuk kedalam perangkap kami. Sampai
polisi datang, kami biarkan dia tergnatung diatas pohon. Si gundul dan gendut
juga” jelas Dewi yang sepertinya membaca pikiranku.
Pintu
ruanganku dirawat terbuka dan Darma masuk kedalam. Sedangkan Dewi keluar. Darma
berjalan mendekatiku.
“Sorry,
sebelumnya aku sempat berpikir kalau kamu salah satu komplotan dari mereka.
Soalnya, tanpa sengaja aku membuka tasmu dan melihat di dalamnya ada beberapa
bungkus ganja dan aku sangat terkejut”jelas Darma.
Aku
menggeleng,”Tidak, Darma! Seharusnya, akulah yang harus minta maaf karena aku
bersikap dingin padamu”
Tanpa sadar,
Darma mengulurkan tangannya. “Jadi, kita damai, nih?”
Aku
tersenyum dan membalasnya. Dan kami pun tertawa bersama. Ingin rasanya aku
berpetualang lagi bersama mereka, karena dengan bersama, kami bisa menjatuhkan
lawan yang kuat sekalipun.
~~~SELESAI~~~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar