Pagi itu langit tampak mendung, tetapi tidak mengurangi keceriaan siswa-siswi SMA Muhammadiyah yang ingin pergi ke sekolah, begitu pula denganku. Aku dan temanku, Nurul sedang berjalan disepanjang jalan beraspal yang ramai dengan orang-orang yang menjalankan rutinitas mereka masing-masing. Dari ujung jalan kami melihat pak satpam yang hampir menutup pintu gerbang sekolah kami. Nurul mulai berlari sambil menarik tanganku.
“Ayo dong Rahma sayang!!!” ajak Nurul sambil menarik tanganku.
“Iya-iya, sabar non. Pak satpam nggak akan nutup gerbang kalau masih melihat orang di jalan” jawabku sambil ikut berlari.
Lalu, setelah berlari sambil membawa tas jinjingan milik Nurul, kami pun akhirnya sampai digerbang sekolah.
“Pagi, pak!” sapa Nurul kepada pak satpam.
“Makin ganteng aja dech bapak” tambahku kepada pak satpam yang terlihat sangat kesal melihat kami yang selalu saja datang terlambat.
“Siang...” sahut pak satpam dengan ketus.
“Setelah melewati pak satpam, kami bergegas menuju kelas kami di ruang kelas XII IA 2.
“Assalamu’alaikum, eh ibu! Cepet banget datangnya” Nurul mengetuk pintu sambil mengucap salam dan menyapa ibu guru yang sedang mengabsen.
“Wa’alaikumsalam!” jawab anak-anak sekelas. Namun, ibu guru hanya menoleh ke arah kami tanpa ekspresi. Dia melanjutkan membaca absen yang sudah dimulai oleh beliau sejak tadi.
“Aisyah Nur Rahma!”
“Hadir bu!” sambil mengancungkan tangan kananku. Lalu berlanjut absensi dari Aisyah hingga giliran Nurul.
“Nurul Cahyani!”
“Saya bu!” jawab Nurul sambil mengancungkan tangannya juga.
Nurul memang anak yang periang. Dia gadis yang cerdas, aktif, dan dia sudah sejak kelas X menjadi temanku di SMA. Namun, tidak ada yang pernah tahu dimana rumahnya. Aku pun yang teman dekatnya, tidak pernah diajak kerumahnya. Beberapa kali aku menawarkan diri kerumahnya, namun selalu saja dia memberi alasan agar aku tidak kerumahnya. Walaupun begitu, aku tidak pernah mempermasalahkannya. Toh, nanti juga pasti suatu saat dia akan mengajakku kerumahnya.
Bel sekolah pun berbunyi. Semua murid berhamburan keluar dari kelas. Lorong kelas XI penuh dengan hingar bingar para murid kelas XI. SMA Muhammadiyah merupakan sekolah swasta yang menurutku sedikitkan terpinggir kan dikota kami, Pangkalpinang. Letaknya saja berada didekat areal pinggiran kota, dekat dengan area yang penuh dengan alang-alang. Namun begitu, semua murid siswi diwajibkan berjilbab disini. Aku pun terpaksa masuk ke SMA ini karena tidak bisa melanjutkan ke SMA negeri dikarenakan nem ku yang rendah.
Seperti biasa aku pulang dengan Nurul. Kami berdua pulang paling akhir. Jalanan sudah sepi, hanya terlihat beberapa siswi yang menunggu jemputan. Kami berjalan sampai kesimpang jalan. Dipersimpangan inilah kami selalu berpisah jalan pulang setiap pulang sekolah, karena rumah kami yang berlawanan arah. Walaupun sebenarnya aku tidak tau dimana rumahnya Nurul.
Entah mengapa sejak berangkat sekolah, hatiku menjadi tidak karuan. Aku merasa sangat sedih sekali walaupun tidak tau apa penyebabnya. Tapi, semoga saja tidak akan terjadi apa-apa. Aku melanjutkan langkahku pulang kerumah. Sampai didekat gang rumahku, aku melihat bendera hijau tertancap diujung gang. Dan aku tersadar bahwa bendera itu tanda ada salah satu warga didaerah situ meninggal.
“Siapa yang meninggal?” pikirku.
Aku cepat-cepat berlari memasuki gang sambil berharap tidak terjadi sesuatu dengan salah satu anggota keluargaku. Dan ternyata kesedihan yang aku rasakan sejak tadi pagi menjadi kenyataan. Didepan rumahku juga tertancap bendera hijau. Aku berlari sambil menahan tangisku. Aku cepat-cepat bertanya pada salah seorang tetanggaku.
“Siapa yang meninggal, pak?”
“Maaf Rahma. Ayah dan ibumu sudah tiada. Ayahmu meninggal dalam kecelakaan tadi malam. Malam tadi ayahmu berkeliaran dijalan dalam keadaan mabok. Sedangkan ibumu, meninggal karena terlalu banyak mengonsumsi narkoba dengan lelaki yang tidak dikenal dalam keadaan memalukan” jelas Pak Gito tetanggaku, dengan nada agak menyesal.
Hati tergetar. Jantung terasa berhenti berdetak. Aku tidak menyangka orang tuaku
meninggal secara tragis seperti itu. Aku berlari kekamar dan duduk di pojokan kamar sambil menangis. Aku menangis sejadi-jadinya. Orang-orang diluar kamar mengelilingi mayat orangtuaku sambil tahlilan dan membaca surat yasin. Sangat tragis, wajah ayah pun tidak bisa aku kenali. Bagian tubuhnya ada yang hampir putus. Sedangkan ibuku pun terlihat sangat kurus. Beda dengan 6 bulan sebelumnya, saat terakhir kali aku melihatnya. Aku tidak sanggup untuk melihat. Aku pun menangis didalam kamar sendirian menangisi kepergian dua orang yang paling berarti bagiku.
“Astaghfirullah!” aku tersadar, tidak boleh menangisi kepergian mereka seperti ini. Mungkin ini sudah takdir mereka. Tapi kenapa harus meninggal dalam keadaan mabuk, dengan keadaan maksiat.
Aku langsung bangkit dan berdiri untuk mengambil air wudhu dan menghamparkan sejadahku, lalu berdoa dan mencurahkan segala kesedihanku kepada Allah swt. Dalam doaku, aku berdoa kepada Allah agar dosa-dosa ayah dan ibuku didunia diampuni. Walau pernah ku tahu, selama ini mereka tidak pernah memperlakukanku dengan baik. Ayah selalu menyiksa dan tidak pernah memberikan kasih sayangnya kepadaku lagi semenjak ibu pergi bersama lelaki lain tanpa memperdulikan dan menggapku ada. Ibu pergi meninggalkanku dan karena ayah bangkrut dari usaha TI yang dirintis sejak kepindahan kami ke pulau Bangka ini. Segala aset keluarga termasuk rumah beserta tanahnya sudah habis tergadaikan untuk membuka kembali lahan TI dan biaya operasionalnya. Namun sekali lagi usaha ayahku kali ini membawa hasil yang nihil. Lebih parahnya lagi rumah kami disita dan kami akhirnya harus pindah kerumah kecil yang pernah dibeli ayah.
Semenjak itu ayah lebih sering marah-marah tanpa sebab dan pulang kerumah dalam keadaan mabuk-mabukkan. Ayah lebih sering main judi dan main perempuan, bahkan jarang pulang. Sedangkan ibu sering kali terlihat bergonta-ganti pasangan. Ibu selalu keluar masuk hotel dengan lelaki yang berbeda-beda untuk memuaskan nafsu para lelaki itu. Padahal, sebelumnya ayah dan ibu adalah orang yang ahli ibadah yang tekun dan rajin dalam melakukan ibadahnya. Mereka adalah orang yang sangat memegang teguh prinsip dalam beragama. Tapi mengapa mereka bisa berubah menjadi seperti itu dan harus meninggal dalam keadaan belum bertaubat kepada Allah swt. Sementara kedua kakakku pun sekarang tidak tahu dimana keberadaannya. Kakakku yang pertama menurut kabar dari tetangga yang pernah bertemu dengannya, sekarang menjadi psk (pekerja seks komersial) disebuah lokalisasi di parit enam. Dan kakakku yang kedua, kabur dari rumahnya dan kawin lari dengan teman satu kampusnya karena hamil diluar nikah. Sungguh dramatis nasib keluarga kami. Semoga aku tidak masuk ke jurang dan dosa seperti kedua kakak-kakakku dan tidak berakhir tragis seperti ayah dan ibuku.
Beberapa minggu setelah kematian orangtuaku, hatiku masih labil dan masih tidak karuan. Aku tidak mempunyai seorang yang bisa menjadi tempatku dalam mencurahkan segala dukaku. Semenjak itu aku menjadi jarang dan bahkan tidak pernah lagi melaksanakan shalat wajib. Kerjaku dirumah tidak jelas, aku hanya bisa mengharapkan makanan dari tetangga yang sukarela mengantarkannya kepadaku. Itu pun tidak setiap hari bisa aku dapatkan. Sesekali aku keluar rumah untuk menjernihkan pikiranku. Namun, tetap saja tidak bisa mengobati rasa kesepianku.
Hari itu aku keluar rumah dengan pikiran kosong. Dan pakaianku seperti orang gelandangan yang compang-camping. Jangankan menunaikan shalat, mandi pun tidak pernah lagi. Disaat aku sedang kebingungan dan duduk dipinggiran jalan, tiba-tiba ada seorang bapak-bapak yang mengajakku bangun dan berniat menolongku. Aku hanya menoleh dan tertawa kepada bapak itu.
“Hahaha... bapak bisa apa, emangnya bapak siapa?”
Lalu bapak itu menolongku bangkit dan mengajakku pulang kerumahnya yang kebetulan tidak jauh dari tempatku berada.
Aku dibopong masuk kedalam mobilnya yang ada diseberang jalan. Saat itu aku tidak tau lagi dan tidak sadar apa yang terjadi. Aku tidak takut mau diapakan oleh bapak itu. Saat itu aku sudah benar-benar pasrah. Pernah sekali terbesit dipikiranku untuk mengikuti jejak kakakku yang pertama, menjadi pelacur. Toh, hidupku tak ada gunanya lagi.
Sesampainya kami dirumah bapak itu, aku dipersilahkan menempati kamar tamu yang memang sepertinya sudah dipersiapkan. Aku merasa sedikit aneh karena dirumah besar ini tidak ada orang lain yang menempatinya, bahkan pembantu pun tidak ada. Aku disuruhnya mandi dan berganti pakaian. Setelah itu aku diajak makan malam oleh bapak itu. Dan entah mengapa aku juga merasa sedikit aneh lagi dengan suasananya, segalanya yang ada dirumah itu.
“Kamu habis ini boleh istirahat kok!” tiba-tiba bapak itu berbicara.
“Eh, iya... pak!”jawabku dengan terbata-bata dan sedikit menunduk.
“Nggak usah malu-malu kok! Eh iya kenalin nama bapak Rudianto, panggil saja Mas Rudi”
“Iya pak, eh mas!” jawabku dengan sedikit ragu.
Setelah menyelesaikan makan malam aku langsung kekamar tidur. Aku merenung sebentar sambil merenungi nasibku yang sungguh tragis. Aku benar-benar tidak sanggup lagi hidup sebatang kara seperti ini. Ingin juga rasanya aku bunuh diri. Tapi aku terlalu takut menghadapi pedihnya siksaan akhirat yang sudah menantiku jika aku berbuat seperti itu.
Dalam renunganku, aku berpikir. Kemanakah tuhan itu? Kemanakah dia selama aku sendiri? Tuhan begitu tidak adil terhadapku. Mengapa dia tidak langsung menyabut nyawaku? Walau begitu, aku masih punya setitik iman dihatiku. Aku langsung mengucapkan istighfar dan menangis dalam heningnya malam dan masih menuggu hari esok. Musibah apa lagi yang akan datang padaku.
Tiba-tiba mas Rudi masuk ke kamarku tanpa mengetuk pintu kamar. Aku langsung pura-pura memejamkan mataku.
“Kamu sudah tidur Rahma? Bagus, inilah yang aku harapkan! Hehe... Hahaha...”
Aku sangat ketakutan sekali pada saat itu dan langsung bangkit berlari untuk keluar kamar, tapi apa dayaku. Ternyata pintu kamar terkunci. Dan tiba-tiba aku pingsan dan tidak sadarkan diri. Dan setelah terbangun, pakaianku sudah tanggal dari tubuhku. Lebih-lebih lagi jilbabku sudah tidak ada lagi dikepalaku. Aku langsung menangis dan menutupi badanku dengan selimut. Kali ini hidupku benar-benar sudah tidak berarti lagi. Kehormatanku sebagai satu-satunya sisa yang aku miliki kini sudah direnggut dan kini aku sudah tidak suci lagi seperti wanita. Aku tidak bisa menjaga kesucianku. Mengapa wanita diciptakan selalu seperti ini. Selalu disakiti, teraniaya, dan terpinggirkan. Wanita benar-benar selalu pelampiasan para lelaki.
Aku sudah tidak sanggup lagi. Aku sudah tidak punya harapan hidup. Aku segera bangkit dari tempat tidur dan segera memakai pakaianku. Begitu ingin memakai jilbab, terpikir olehku. Sekarang apa gunanya aku memakai penutup kepala itu. Aku sudah tidak lagi menjadi perempuan suci. Aku meninggalkan jilbab dikamar dan segera kabur dari kamar terkutuk itu. Begitu aku keluar kamar, aku terkejut begitu melihat ada beberapa lelaki berbadan besar dan mereka mencoba mengejarku. Aku pun berlari kejalanan dan tiba-tiba. Braakkkk.....
Tiba-tiba aku sudah berada disuatu tempat yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Tempat itu sangat menyeramkan dan berbau bangkai dan nanah. Disana aku melihat orang-orang yang berjatuhan dari jembatan dan terlempar kedalam api yang panas seperti mendidih. Sungguh tidak terkira panasnya. Membayangkannya saja sudah mengerikan. Diantara orang-orang yang jatuh tersebut ada yang ditancapkan besi panas ketubuhnya. Mereka digunting lidahnya dan bagian tubuhnya yang lain. Begitu juga dengan yang lain. Sungguh tidak terkira pedihnya siksaan yang mereka alami. Dan diantara orang-orang itu, aku melihat ayah dan ibuku disiksa seperti yang lain. Aku ingin menolong mereka, namun tidak bisa kulakukan. Aku ingin menyebrangi jembatan itu, tetapi aku tidak diperbolehkan masuk. Mereka berkata belum saatnya aku kesana. Aku bingung sendirian ditengah-tengah hal yang belum pernah terbayangkan olehku.
Aku membuka mata, dan kulihat Nurul bersama lelaki setengah baya disampingnya dan beberapa temanku yang lain. Kepalaku masih sedikit sakit dan baru kusadari aku sudah berada di rumah sakit dengan jarum infus berada ditanganku. Tubuhku penuh dengan perban daan badanku sungguh lemas sekali.
“Kamu sudah sadar Rahma?”
Terdengar suara Nurul yang bertanya kepadaku. Aku masih bingung kenapa bisa berada disini dan apa yang barusan aku alami. Sebelumnya seingatku, aku berlarian dijalanan dikejar oleh laki-laki yang berbadan besar, dan setelah itu aku tidak ingat apa-apa.
“Tenang Rahma, kamu sudah aman sekarang. Kamu jangan banyak bergerak”
Aku langsung menangis teringat akan semua yang aku lihat barusan dalam ketidaksadaranku. Ternyata Allah masih membukakan hidayahnya kepadaku, Allah masih sayang padaku. Aku sungguh berdosa sekali dengan apa yang selama ini kulakukan. Aku meninggalkan dan semakin jauh dari Allah. Padahal semua musibah yang diberikan kepadaku adalah semata-mata hanya ujian dari-Nya. Aku mengucapkan istighfar. Dalam hati memohon ampun kepada Allah. Aku bersyukur masih diberi hidayah dan kesempatan taubat oleh Allah. Aku menangis sambil beristighfar kepada Allah dengan dikelilingi Nurul dan teman-temanku yang lain.
Sudah sejak sebulan aku keluar dari rumah sakit. Aku kembali kesekolah dan hampir melupakan segala kesedihan yang menimpaku. Sejak saat itu aku tidak pernah lagi meninggalkan shalatku dan selalu bertasbih mengingat Allah. Dan aku selalu berdoa agar ayah dan ibuku diberi ampun atas dosa-dosanya. Semenjak saat itu juga aku diangkat menjadi anak oleh ayahnya Nurul. Ternyata selama ini Nurul adalah anak orang kaya yang selama ini menutupinya supaya tidak terlihat sombong, dan bahkan dia selalu rendah hati dan sederhana. Ya Allah ya tuhanku, mungkin ini memang jalan takdirku dan aku tidak menyia-nyiakan lagi segala karuniamu demi mencapai surgamu. Amiiinnn.......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar