♡̷̬̩̃̊♡̷̬̩̃̊♡̷̬̩̃̊♡̷̬̩̃̊♡̷̬̩̃̊♡̷̬̩̃̊♡̷̬̩̃̊♡̷̬̩̃̊♡̷̬̩̃̊♡̷̬̩̃̊♡̷̬̩̃̊♡̷̬̩̃̊♡̷̬̩̃̊♡̷̬̩̃̊♡̷̬̩̃̊♡̷̬̩̃̊♡̷̬̩̃̊♡̷̬̩̃̊♡̷̬̩̃̊♡̷̬̩̃̊♡̷̬̩̃̊♡̷̬̩̃̊♡̷̬̩̃̊♡̷̬̩̃̊♡̷̬̩̃̊♡̷̬̩̃̊♡̷̬̩̃̊♡̷̬̩̃̊♡̷̬̩̃̊♡̷̬̩̃̊♡̷̬̩̃̊♡̷̬̩̃̊♡̷̬̩̃̊♡̷̬̩̃̊♡̷̬̩̃̊♡̷̬̩̃̊♡̷̬̩̃̊♡̷̬̩̃̊♡̷̬̩̃̊♡̷̬̩̃̊♡̷̬̩̃̊♡̷̬̩̃̊♡̷̬̩̃̊♡̷̬̩̃̊♡̷̬̩̃̊♡̷̷̬̩̬̩̃̊̃̊
Saat
melihatnya dibalik tirai-tirai bening yang jatuh dari langit, untuk kali
pertamanya aku terpesona melihatnya dan pandanganku tak bisa lepas dari
pandangannya, bagaikan terhipnotis. Dan waktu seakan berhenti berputar…
Gadis itu menutup bukunya, bangkit dari tempat duduk, dan berlari
keluar perpustakaan menuju ruang kelasnya. Saking keasyikan membaca, ia lupa
kalau bel masuk sudah berbunyi 5 menit yang lalu. Ia terus berlari sebelum Pak
Yakob, guru fisikanya yang terkenal killer
itu masuk lebih dulu.
“Keasyikan lagi, Sha?”tanya Devi, teman sebangkunya, saat Nasha
sudah duduk dibangkunya.
Ya, nama gadis itu adalah Nasha, Fanasha Akhriana. Dia termasuk
gadis sederhana yang manis, berpenampilan apa adanya, gemar
membaca(sampai-sampai ia sering lupa waktu), dan juga pintar.
Nasha merapikan letak kepang rambutnya, membetulkan poni dan
seragamnya, lalu menyusun bukunya dengan rapi diatas mejanya.
“Sepertinya”gumam Nasha ragu. Ia sedikit-banyak menyadari kalau ia
selalu terlena pada buku yang dibacanya sehingga ia lupa waktu. Tapi menurutnya
itu wajar. Mungkin saja tidak bagi orang lain.
“Lain kali, aku akan membelikanmu jam beker kecil biar ada yang
bisa ngingatin kamu dengan waktu”gurau Devi dan Nasha hanya tersenyum
mendengarnya.
Tak lama, Pak Yakob pun masuk dan langsung menulis sesuatu di
papan tulis.
“Siang, anak-anak! Sekarang, kita akan memasuki materi ‘Induksi
Magnet’. Sebelum itu, kalian terlebih dahulu mencatat rumus-rumus yang akan
bapak tulis ini”Pak Yakob melanjutkan acara menulis rumusnya di papan tulis.
Beberapa murid di kelas, termasuk Nasha, terlihat malas untuk
mencatat rumus di depan.
“Jangankan menulis, melihatnya saja udah bikin pusing
kepala”gerutu Tasha yang duduk tepat didepan Nasha.
Nasha hanya menggelengkan kepalanya pelan. Fisika emang membuat
semua orang stress.
***
Gulungan-gulungan hitam menutupi langit. Rinai-rinai hujan
perlahan membasahi bumi. Nasha menatap jalanan sekolahnya dari koridor kelas
XII IPA 2 lantai 3. Teman-temannya sudah pada pulang, sedangkan ia mungkin
harus menunggu lama karena hujan. Bukannya orangtuanya tidak punya mobil, tapi
yang menjemputnya adalah Kak Dias, kakak perempuan Nasha. Ia tidak pandai
menggunakan mobil. Kedua orangtuanya pergi ke luar kota, dan supirnya sedang
cuti karena istrinya sedang melahirkan. Alhasil, ia akan dijemput dengan motor
setelah hujannya berhenti.
Nasha berjalan menuruni tangga. Ditelusurinya satu per satu anak
tangga dengan hati-hati, dan berjalan menelusuri lantai 2. Ia bersandar pada
pagar pembatas lantai 2 sambil melihat pemandangan sekolah. Ia sangat mengagumi
SMA HARAPAN INDAH ini. Setiap sisi sekolah ini selalu dihiasi dengan berbagai macam
bunga dan tanaman lainnya, membuat mata tak pernah bosan melihatnya.
Terdengar suara yang tak asing ditelinga dari lantai seberang.
Terlihat seorang laki-laki sedang menikmati permainan gitarnya sambil sesekali
menulis sesuatu di kertas lagu. Samar-samar, diantara tirai-tiran bening yang
sedikit menghalanginya, untuk pertama kalinya ia terpesona oleh laki-laki
diseberang sana. Entah perasaan apa yang telah merasuki dirinya, seolah-olah ia
terhipnotis dengan sebuah kekuatan magis yang hebat. Tiba-tiba ia teringat
dengan kata-kata yang baru saja ia baca tadi siang diperpustakaan tadi.
Saat
melihatnya dibalik tirai-tirai bening yang jatuh dari langit, untuk kali
pertamanya aku terpesona melihatnya dan pandanganku tak bisa lepas dari
pandangannya, bagaikan terhipnotis. Dan waktu seakan berhenti berputar…
Dan Nasha berharap waktu benar-benar berhenti sekarang. SEKARANG. Walau
hanya sebentar.
***
Matahari sudah berada jauh diatas kepala saat Nasha dan Tasha
sedang asyik mendengarkan musik ditaman sekolah. Devi dan Wila pergi ke kantor
untuk suatu urusan.
“Nasha, aku kekelas bentar, ya, buat ambil cat kuku. Bentar aja,
kok!”kata Tasha memohon.
Nasha tertawa kecil. Diantara mereka berempat, Nasha memang yang
paling muda. Karena yang paling muda, ia sering dianggap adik kecil oleh
teman-temannya. Semua sahabatnya sangat menyayangi. Ia termasuk orang yang
sabar, ceria, tak pernah marah, suka mengalah, dan agak cerewet. Tapi, ia akan
menjadi pendiam jika ia sedang tidak bersama temannya.
“Ia, kakakku yang cantik! Jangan takut, aku tidak akan kabur! Kamu
pikir aku anak kecil?”kata Nasha dengan nada merajuk, tapi ia tidak merajuk.
Dan Tasha tahu kalau Nasha hanya bercanda.
“Tentu saja, adik kecil! Tenang saja, aku tidak akan lama”Tasha
mencubit kedua pipi Nasha gemas, lalu berlalu pergi.
Nasha kembali tenggelam dalam lautan musik yang sedang
didengarnya. Ia tidak menyadari kalau ada segerombolan perempuan-perempuan borjuis yang datang mendekatinya. Ada 6
orang, dan salah satu diantara mereka membawa balok kayu berukuran sedang.
Pertama-tama, mereka mengambil paksa headset yang sedang dipakainya, menarik paksa Nasha, lalu
mengikatnya di pohon yang paling dekat dengannya. Setelah itu, ia diguyuri
dengan seember air, dilempari telur busuk, dan disiram gandum. Merasa belum
puas, mereka ingin memulukinya dengan balok kayu. Nasha kelihatan pasrah saja
diperlakukan seperti itu. Mau melawan oun rasanya tidak bisa. 1:6 menurutnya
bukan hal yang sebanding. Saat balok kayu itu tinggal beberapa centi lagi mengenai
kepalanya, seseorang datang menyelamatkannya sambil menahan balok kayu itu.
“Apa maksud kalian memperlakukan Nasha seperti ini?” tanya Tasha
garang.
Cewek-cewek itu langsung tertunduk takut.
“Hei, cewek-cewek genit, gue tanya sekali lagi, apa maksud kalian memperlakukan
Nasha seperti ini? Emangnya dia salah apa sama kalian?”tanya Tasha garang. Ia
menatap tajam Dona, cewek yang berlagak seperti ketua dan yang hampir memukul
Nasha dengan balok kayu.
“I, ini semua salah Nasha…”jawab Dona takut-takut.
“Maksudnya?”tanya Tasha meminta penjelasan. Ia melirik Nasha yang
masih diikat dibawah dengan kasihan. Ia lupa menyuruh salah satu diantara
mereka untuk melepaskannya.
“Kalian… lepasin Nasha sekarang juga”perintah Tasha,”Kecuali kamu,
Dona!” ralat Tasha cepat saat Dona mau menghampiri Nasha. “Jelasin apa maksudmu
tadi!”
“Ke, kemarin… aku lihat dia mencuri… Dia mencuri sapu tangan
Fakhri” jelas Dona takut.
Tasha mengangkat alisnya, keningnya berkerut. “Gitu doang? Pasti
ada yang membuat kalian tidak senang sampai kalian menganiaya Nasha! Loe bilang
aja kalau kalian juga melihat kalau Nasha sempat ngobrol bareng sama Fakhri.
Trus, kalian sebagai fans murahan Fakhri cemburu melihatnya sehingga kalian mau
memberikan pelajaran buat Nasha. Gue bener, kan?”tebak Tasha.
Dona mengangguk pelan.
“Gue ingatkan, ya, jangan ada yang berani macam-macam sama Nasha,
karena Nasha teman gue. Kalau ada yang berani mengganggunya lagi, kalian semua
akan berhadapan denganku” ancam Tasha. Mereka mengangguk. “Hari ini, aku
biarkan kalian pergi, tapi lain kali aku akan menghajar kalian 3 kali lebih
sadis dari ini. MENGERTI!!!”. Dona cs mengangguk cepat. “Kalau begitu, kalian
boleh pergi”
Cepat-cepat Dona cs menyingkir dari tempat itu. Mereka terlalu
takut menghadapi Tasha yang mengerikan itu. Bukan tampangnya yang mengerikan.
Tasha cantik. Cantik sekali. Bahkan, ia menjadi cewek idola sekaligus
terpopuler di sekolah ini. Tapi, kalau sudah berurusan dengan mulut, siapapun
tak ada yang berani melawannya karena mulutnya terkenal sangat judes.
“Kalian kok gak bilang kalau dia teman Tasha?”bisik Dona pelan.
Temannya hanya mengangkat bahu tak tahu.
Tasha menghampiri Nasha dengan perasaan khawatir. Ia kelihatan
menggigil kedinginan.
“Nasha, gak pa-pa, kan? Kamu pasti kedinginan”kata Tasha khawatir.
Nasha menggeleng lemah. Ia menatap Tasha penuh haru. Tanpa sadar,
air matanya menetes.
“Nasha, kenapa nangis? Aku salah ngomong, ya? Atau, bila perlu aku
bisa menghajar mereka tadi sekarang juga. Aduh, jangan nangis, dong!”kata Tasha
panik.
Nasha menggeleng. “Bukan, aku hanya terharu saja melihatmu begitu
membelamu”
Tasha tersenyum,”Itu karena kamu adalah temanku, sahabatku. Aku
takkan membiarkan siapapun berani menyakitimu” jelas Tasha.
Nasha menghapus air matanya sambil mencoba untuk tersenyum.
“Kalau gitu, kamu ke toilet duluan, ya! Aku beli baju seragam dulu
di koperasi. Yuk!!!”ajak Tasha.
Nasha mengangguk. “Terima kasih banyak, Tasha!”ucap Nasha tulus.
***
Lagi-lagi siang ini hujan. Awalnya Nasha sempat bete, tapi begitu
melihat cowok yang sempat ia lihat kemarin di depan ruang musik kemarin, rasa
betenya hilang entah kemana.
“Belum pulang?”tanya seseorang yang suaranya tak asing lagi bagi
Nasha.
Nasha menoleh dan mengangguk. Seperti biasa, ia selalu menunggu
kakaknya di koridor kelasnya.
“Kalau begitu, aku duluan, ya!”katanya, lalu berjalan meninggalkan
Nasha. Baru beberapa langkah, ia berbalik berjalan menghampiri Nasha. Nasha
terlihat gugup, jantungnya berdetak tak karuan. Tiba-tiba, rasanya ia tidak
bisa bernapas.
“Soal tadi siang, aku minta maaf! Aku sudah memberi mereka
pelajaran, jadi kamu tidak perlu takut lagi”jelas Fakhri.
Nasha tersenyum,”Terima kasih! Tapi, kamu tau dari mana?”
“Sewaktu kamu pergi ke toilet, Tasha memarahiku habis-habisan di
depan umum. Sampai-sampai, aku jadi malu” Fakhri tertawa kecil. “Dia itu,
sepertinya sayang sekali denganmu. Bukan cuma dia, Devi dan Wila juga. Aku iri
denganmu, punya teman yang begitu menyayangimu karena hati, bukan karena status.
Bukan karena kamu anak orang kaya atau orang populer di sekolah ini, tapi
mereka benar-benar menyangimu sepenuh hati”ujar Fakhri.
Nasha terpana. Bukan hanya karena baru kali ini dia ngomong
panjang dengan Fakhri, tapi cowok didepannya juga curhat dengannya. Curhat?
Benarkah?
Nasha menyentuh bahu Fakhri pelan.
“Suatu saat nanti, aku yakin, kamu pasti akan menemukan seseorang
yang benar-benar mencintaimu sepenuh hati” hibur Nasha.
Fakhri tersenyum padanya, membuat hati Nasha berbunga-bunga.
“Terima kasih, Sha! Semoga kita bisa menjadi teman yang baik”kata
Fakhri tulus.
“Bukankah kita sudah berteman? Kita teman sekelas, kan?”gurau
Nasha.
Dan mereka berdua tertawa bersama dalam nyanyian hujan.
***
“Fakhri, kedepan”perintah Bu Yuni, guru seni, dari mejanya.
Fakhri mendongak, beranjak dari bangkunya, dan berjalan
menghampiri meja guru.
Mereka berbicara sebentar dengan volume yang sangat pelan supaya
tidak terdengar orang lain. Tak lama, Bu Yuni memanggil salah seorang lagi.
“Fanasha, bisa maju sebentar?”tanya Bu Yuni.
Nasha mengangguk, kemudian berjalan menghampiri Bu Yuni.
Jantungnya deg-degan. Seluruh tubuhnya menjadi dingin, sedingin es.
“Ada apa, bu?”tanya Nasha pelan. Bisa ia rasakan kalau Fakhri berusaha
menahan tawanya saat ia merasakan tangan Nasha dingin.
“Kamu bisa main piano, kan? Ibu dengar dari Fak… eh maksud ibu Pak
Ferdi, bapak kamu”
Nasha mengangguk.
“Kalau begitu, kamu bisa kan main berdua dengan Fakhri di
perpisahan sekolah kita nanti?”
Nasha menatap Fakhri ragu. Main berdua dengan Fakhri? Itu seperti
sebuah keajaiban baginya.
“Loh, bukannya perpisahan sekolah masih 9 bulan lagi, bu!”kata
Nasha heran.
“Memang, tapi kalian kan sudah kelas 12. Supaya tidak mengganggu
pelajaran kalian, ibu ingin bisa membentuknya sekarang”jelas Bu Yuni.
“Memangnya Nasha keberatan?”
“Dia pasti bisa, bu! Ya, kan?”kata Fakhri cepat tanpa meminta
persetujuan dari Nasha terlebih dahulu. Lagipula, tanpa meminta persetujuan pun
Nasha pasti setuju.
“Baguslah! Kalau begitu, kalian bisa mulai latihan sepulang
sekolah ini. Mengerti?”
“Mengerti, bu!”kata Nasha dan Fakhri kompak.
“Kenapa? Bu Yuni mau jodohin kamu ama Fakhri, ya?” kata Devi saat
Nasha sudah dibangkunya.
“Maunya gitu!”gumam Nasha tanpa sadar. Namun, beberapa detik
kemudian, ia menutup mulutnya cepat sambil memandang Devi yang sekarang sedang
tersenyum menggoda.
“Kamu bilang apa tadi? Udah, ngaku aja. Aku dengar, kok, kamu tadi
ngomong apa. Kamu suka sama Fakhri, kan?”tanya Devi.
Muka Nasha berubah merah. Ia melirik sekelilingnya, berharap tak
ada orang yang mendengarnya. Setelah ia merasa semuanya aman, baru ia kembali
menatap Devi.
“Devi, jangan keras-keras, dong! Malu tau!”bisik Nasha pelan.
Devi hanya tersenyum. “Tapi, benar, kan?”
Nasha diam sebentar, lalu mengangguk pasrah.
***
‘Tik… tik… tik…’ tetes air yang jatuh dari langit mengetuk-ngetuk
atap sekolah. Seperti biasa, Nasha selalu keluar kelas yang paling akhir karena
terlebih dahulu menyalin catatan yang ada dipapan tulis karena ia tadi harus
menulis terlebih dahulu di papan tulis, baru menyalin di buku. Bukan karena ia
dihukum, tapi ia merupakan sekretaris kelas.
Seperti biasa, Nasha keluar dari ruang kelasnya, dan sekolah sudah
sepi. Tak apa, lagi pula ia harus ke ruang musik untuk latihan persiapan
pertunjukan di perpisahan sekolah nanti bersama Fakhri. Menyebut namanya saja
sudah membuat Nasha gembira.
Nasha berdiri sebentar di lantai 2, melihat ke gedung seberang dan
kembali melihatnya bermain dengan gitar di depan ruang musik. Nasha terpana
melihatnya sampai-sampai ia tak berkedip melihatnya.
“Nasha, cepat kesini”panggilnya sambil melambai-lambaikan tangan.
Nasha baru tersadar. Ia hampir saja lupa kalau hari ini ia harus latihan musik
berdua dengan Fakhri.
“Kita akan menyanyi lagu apa?”tanya Nasha saat dia sudah berada
diruang musik.
“Kamu dengar tidak tadi aku bernyanyi?”tanya Fakhri balik.
Nasha terdiam. “Hanya sedikit. Hujan menghalangi
pendengaranku”jawabnya ragu. “Tapi, aku belum pernah mendengar lagu itu
sebelumnya”lanjutnya.
Fakhri tersenyum. “Itu lagu ciptaanku sendiri. Kau mau
mendengarkannya lagi?”tawar Fakhri.
Nasha mengangguk antusias. Ia sangat senang mendengarkan Fakhri
menyanyi. Fakhri kembali duduk di pinggiran pagar pembatas dan mulai memetik
satu per satu senar gitar. Alunan nadanya terdengar begitu menyentuh, tapi
menurut Nasha ada beberapa nada yang kurang dari situ.
“Kurasa aku harus menambahkan sedikit bumbu dalam musikmu”tukas
Nasha.
“Kalau begitu, kita latihan sekarang?”tanya Fakhri.
Nasha mengangguk. “Dengan senang hati”
***
“Bagaimana?” tanya Devi sambil senyum-senyum.
“Bagaimana apanya?” tanya Nasha bingung. Pandangannya tak lepas
dari buku matematikanya.
“Kamu dengan Fakhri. Gimana, ada kemajuan?”bisik Devi.
Nasha menggigit bibirnya berusaha menahan senyum dan bersikap tak
terjadi apa-apa.
“Biasa aja. Nothing special”
jawab Nasha jujur.
“Masa?”tanya Devi tak percaya.
Nasha mengalihkan pandangannya dari buku ke Devi.
“Look at me! Apakah aku
bohong?” tanya Nasha membuat Devi tak berkutik.
“Lalu, apa yang kalian lakukan selama sebulan ini?”t anya Devi tak
mau kalah.
“Kamu belum memberitahu
siapapun, kan?” tanya Nasha pelan.
Devi mengangguk cepat. Nasha memberi aba-aba pada Devi untuk
mendekat padanya.
“Kami hanya latihan 3 kali seminggu. Itu pun tak lama. Kami hanya
latihan bermain musik sebentar, lalu pulang. Udah. Gak ada yang menarik, kan?” cerita
Nasha.
Devi cemberut sambil memandang Fakhri yang duduk dipojok kanan malas.
“Ihhh… Fakhri gak seru! Masa segitu doang, sih?”omel Devi dengan
volume medium.
Nasha langsung menutup mulut Devi cepat, berharap tak ada orang
yang mendengar. Tapi, terlambat. Fakhri dan kawan-kawannya mendengar apa yang
dikatakan Devi.
“Maksud kamu apa, Dev? Aku gak ngerti. Aku kan gak ganggu kamu
atau teman-temanmu”kata Fakhri tak senang.
Devi memutar-mutar bola matanya malas. Sedangkan, Nasha hanya
terdiam ditempat, tak berani menoleh kearah Fakhri.
“Sorry, gue salah omong”Devi menarik Nasha keluar dari kelas. Ia
tidak ingin berlama-lama dikelas. Takutnya, malah Nasha yang kecipratan
masalah.
“Nasha, maafin aku, ya! Kamu gak apa-apa, kan?”tanya Devi merasa
bersalah.
Ia mengangguk lemah. Ia berharap semuanya akan baik-baik saja.
***
Setiba diruang musik, Nasha tak melihat Fakhri ada disitu. Ia
menjadi khawatir. Apakah masalah tadi masih membuat hati Fakhri sebal? Nasha
menggeleng kuat sambil mengacak rambutnya frustasi. Kalau seperti ini, ia bisa
gila. Menjauh dari Fakhri itu bukanlah hal yang mudah baginya. Tak semudah saat
jatuh cinta.
“Sorry, gue lama”kata Fakhri memecahkan lamunan Nasha.
Nasha berbalik dan melihat Fakhri sedang meletakkan tasnya di
sofa, kemudian mengambil gitar kesayangannya. Tanpa menoleh kearah Nasha, ia
langsung memainkan gitarnya. Nasha menyadari ada sedikit perubahan dari Fakhri.
Tidak biasanya ia memakai bahasa gue pada Nasha. Tapi, sekarang…
“Mau mulai sampai kapan?”tanya Fakhri dingin.
Nasha menatap Fakhri tak percaya. Tadi ia berbicara dingin
padanya. Ini bukan Fakhri yang biasanya. Ada apa dengannya? Apa yang terjadi
sebenarnya?
“Masalah tadi siang, aku minta maaf. Aku yakin Devi tidak
bermaksud begitu padamu”kata Nasha.
Fakhri mengerutkan dahinya bingung.
“Tadi siang? Gak ada kaitannya kali”jawab Fakhri.
“Terus?”tanya Nasha bingung.
“Udah, deh! Mending kita latihan sekarang. Gue mau cepet pulang
nih!”
Nasha memasang tampang bete sambil berjalan keluar. Tepat di depan
pintu, ia berhenti, seraya berkata,”Ya udah, kita pulang sekarang. Gak ada
gunanya kita latihan kalau dingin-dinginan terus”omelnya, kemudian berjalan
keluar.
Fakhri terdiam ditempat, mengamati kepergian Nasha, lalu menoleh
ke arah piano. Diatas sana masih ada tasnya. Fakhri mengacuhkannya dan kembali
bermain gitar. Akan tetapi, setelah 10
menit berlalu, dia tidak juga kembali. Ia merasa khawatir dan pergi menyusul Nasha.
Di depan tangga, ia berhenti sejenak, berusaha memikirkan sesuatu.
Kemana ia akan mencari Nasha? Apakah dia pulang kerumah? Tapi, sepertinya tidak
mungkin. Ia yakin dompet atau handphone ada
didalam tas itu, dan Nasha tak mungkin pulang tanpa membawa tas.
Fakhri berjalan ketoilet wanita. Yang benar saja? Awalnya, ia
sendiri tidak yakin. Tapi, akhirnya ia berusaha untuk mengalahkan rasa egonya.
Lagipula, sekolah sudah sepi dan ia yakin tak ada siapapun di sana. Tidak ada.
Sesuai dengan dugaannya. Fakhri mengacak-acak rambutnya frustasi.
“Harus kemana lagi aku mencarinya?”teriak Fakhri frustasi.
Ia terdiam sebentar, seperti baru teringat sesuatu.
“Ada satu tempat. Semoga saja dia ada disana”kata Fakhri penuh
harap.
***
Langit tiba-tiba berubah mendung dan angin berhembus, menerbangkan
debu-debu dan rambut Nasha pelan. Ia menghapuskan air matanya dengan punggung
tangan. Tadi, ia berniat pulang. Tapi, saat menyadari kalau tasnya tertinggal
diruang musik, ia mengurungkan niatnya dan memilih menangis ditaman sekolahnya.
Ia tak begitu khawatir karena sekolah sudah sepi sejak setengah jam yang lalu.
Ia bangkit dari tempat duduknya, dan beranjak pergi dari situ.
Lagipula, hari sudah sore dan ia juga yakin kalau Fakhri sudah pulang. Jadi, ia
merasa tak perlu khawatir.
‘Sssshhh….’terdengar bunyi sesuatu mendesis. Ia menebarkan pandangannya
keseluruh arah. Tak ada apa-apa. Tiba-tiba perasaannya menjadi tidak enak.
‘Ssshhhh…’bunyi itu terdengar lagi. Dan kini Nasha tahu dari mana
asal bunyi itu. Seekor binatang berjalan kekiri-kanan sambil menjulurkan
lidahnya. Buka seekor, tapi ada tiga ekor. Nasha diam terpaku ditempatnya.
Tubuhnya mendingin. Ingin rasanya ia berteriak, tapi ia sendiri tidak bisa
bersuara.
Akhirnya, Nasha pasrah saja. Ia biarkan binatang-binatang itu
berjalan mendekatinya. Pasrah, ia menutup matanya dengan kedua tangannya dan
berdoa dalam hati supaya ia baik-baik saja.
Beberapa saat, ia mendengar bunyi langkah seseorang mendekatinya
dan berusaha mengusir ular-ular itu cepat. Nasha membuka matanya sedikit dan
melihat punggung laki-laki itu. ia tidak bisa mengenalinya begitu cepat sampai
laki-laki itu berbicara padanya.
“Kenapa tidak lari?”tanyanya sambil berusaha mengusir ular-ular
itu.
Nasha mengenali suara itu. Suara yang sedikit menenanginya, tapi
rasa takut itu lebih kuat.
“Aku… takut…”gumamnya pelan.
Fakhri menoleh kebelakang dan melihat Nasha masih dengan pose
pertamanya.
“Takut?”tanyanya. Nasha mengangguk lemah. Matanya masih terpejam.
Tak ada pilihan lain, Fakhri langsung menarik Nasha. Tapi, saking
takutnya Nasha, sehingga ia sendiri hampir terjatuh. Tanpa pikir panjang,
Fakhri menggendong Nasha ke ruang musik.
“Tenanglah, disini tak ada lagi ular”hibur Fakhri.
Nasha masih memejamkan matanya. Badannya gemetaran hebat. Wajahnya
pucat dan seluruh tubuhnya dingin. Entah mengapa Fakhri jadi kasihan
melihatnya.
“Nasha, maafkan aku! Gara-gara aku, kamu jadi begini”kata Fakhri
dengan perasaan bersalah.
Nasha membuka matanya perlahan, dan melihat sesosok Fakhri yang
sedang tertunduk memandangi lantai ruang musik. Badannya masih gemetaran, tapi
tidak seperti sebelumnya. Perlahan ia menyentuh bahu Fakhri, membuat Fakhri
mendongakkan kepalanya.
“Tak apa… Aku, aku juga… ingin minta maaf”kata Nasha setelah ia
merasa ada tenaga untuk bicara.
Fakhri menyentuh tangan Nasha yang memegang pundaknya sambil
tersenyum manis pada Nasha. Tiba-tiba saja tangan Nasha kembali gemetar. Bukan
karena ia takut atau apa, tapi ini karena Fakhri. Hatinya pun ikut bergetar.
“Sepertinya, latihan hari ini cukup sampai disini. Sebaiknya kita
pulang sekarang. Kamu, mau aku antar pulang?”tawar Fakhri.
Nasha terdiam sebentar, lalu mengangguk.
***
Pintu ruang musik ternyata terkunci. Nasha terpaksa harus menunggu
diluar bersama hujan yang baru saja mengguyuri bumi. Hari ini, Fakhri bilang
latihan dimulai sore. Jadi, mereka pulang terlebih dahulu, setelah itu mereka
kembali lagi kesekolah. Tapi, sampai detik ini Fakhri belum menampakkan batang
hidungnya.
Tanpa Nasha sadari, ia sudah menunggu Fakhri hampir satu jam.
Mungkin Fakhri terlambat karena hujan. Ia bisa memakluminya, karena sampai
sekarang pun hujan belum juga berhenti. Disaat ia hampir tertidur, ia melihat
sosok Fakhri muncul dihadapannya dengan basah-basahan. Ia langsung bangkit,
mengambil tisu dari dalam tasnya, kemudian ia mengelap pakaian Fakhri yang
basah.
“Ya ampun, kenapa bajumu basah?” tanya Nasha membuat Fakhri
tertawa. “Dasar!” tambahnya.
Fakhri menggelengkan kepalanya pelan, lalu menatap Nasha lurus.
“Wajahmu pucat. Kamu sakit? Ah, bukan! Pasti kamu kedinginan
gara-gara menungguku”Fakhri menyentuh pipi Nasha membuat jantung Nasha berdetak
tak karuan. Pipinya yang dingin tadi langsung berubah menjadi panas kalau
Fakhri menyentuh pipinya terus.
“Pipimu dingin. Ah, dasar! Seharusnya kamu memakai jaket tadi. Ah,
bukan, seharusnya aku yang datang lebih cepat tadi.”kini gantian Fakhri yang
mengoceh dan Nasha tertawa kecil. Tiba-tiba saja tubuhnya menjadi hangat. Ia
baru sadar kalau Fakhri memakaikannya jaket. “Aku yakin, kamu lebih
membutuhkannya ketimbang aku”jawab Fakhri saat Nasha memandangnya dengan penuh
tanda tanya.
“Yah, bagaimana ini? Pintu ruang musik terkunci. Sepertinya kita
tidak bisa latihan. Lagipula, hari semakin sore”ujar Nasha. Sedari tadi ia
ingin mengatakan hal itu pada Fakhri.
Fakhri hanya diam. Ia berjalan ke pagar pembatas sambil memandangi
hujan. Nasha pun mengikutinya. Untuk beberapa saat mereka terdiam dalam hujan.
Hanya ada suara kodok yang saling bersahutan, memecah kebisuan diantara mereka
berdua, seolah-olah ada sesuatu yang ingin dikatakan.
Saat hujan mulai berhenti, Fakhri menarik tangan Nasha menuju
motornya. Nasha terlihat pasrah.
“Kita mau kemana?”tanya Nasha saat mereka sudah ada diatas motor.
“Jalan-jalan. Sayang, kan, kalau kita pulang tanpa melakukan
apapun. Pokoknya kamu tenang saja, aku gak bakalan macam-macam kok sama kamu.
Aku janji”ujar Fakhri.
***
Di malam minggu, pasar malam memang selalu ramai. Nasha memandangi
seluruh sudut pasar itu. Betapa senangnya ia malam ini. Ia pergi bersama Fakhri
kepasar malam, malam minggu lagi. Ini seperti ajakan kencan baginya. Tapi, ia
cukup sadar diri kalau ini hanya kebetulan saja.
“Kak, aku mau itu” kata seorang anak laki-laki pada Nasha. Anak
itu menunjuk kearah stan tempat penjualan harum manis.
“Kamu mau?” tawar Nasha sambi tersenyum. Anak itu mengangguk
senang.
Ia bergegas membeli harum manis itu dan memberikannya pada anak
itu.
“Terima kasih, kak” ucap anak itu, kemudian ia melahap harum manis
itu dengan rakusnya.
Nasha mengangguk senang. Aiiihh…
lucunya, pikir Nasha. Tak lama, Fakhri datang.
“Ini, untuk Nasha” seru Fakhri sambil memberikannya secangkir kopi
hangat. Nasha menerima itu dengan perasaan senang.
“Kak Fakhri? Kakak kesini juga? Sama siapa?” seru anak laki-laki
itu pada Fakhri.
Fakhri tampaknya baru sadar saat mendengar ada suara anak
laki-laki itu.
“Fikri?Fikri disini? Sama siapa?” tanya Fakhri.
Nasha tampak bingung. “Loh? Fakhri kenal?”
“Tentu saja. Kami masih saudara. Aku pergi sama mama-papa. Kakak
pergi sama kakak ini?” tanya Fikri sambil menunjuk Fakhri.
Nasha mengangguk malu. Ia melihat mama papa Fikri. Dari
gelagatnya, sepertinya ia mengenali mama Fikri.
“Bu Yuni???” seru Nasha kaget saat Bu Yuni berjalan menghampiri
Fikri.
“Nasha, Fakhri, kalian disini juga?” tanya Bu Yuni tak kalah
kagetnya.
Fakhri dan Nasha mengangguk malu. Bu Yuni pun mengangguk-angguk
penuh arti. Fikri menghampiri mamanya, kemudian ia membisikkan sesuatu. Bu Yuni
mengangguk sambil memandang Nasha dan Fakhri bergantian.
“Nasha, ibu boleh minta tolong, gak?” tanya Bu Yuni dengan nada
ragu.
“Mau… minta tolong apa, Bu?”
“Tolong jaga Fikri, ya!” kata Bu Yuni.
Nasha mengangguk. Fikri tampak senang saat ia melihat mamanya
menuruti kemauannya.
“Kalau masalah pulang, Fakhri bisa antar Fikri, kan?” pinta Bu
Yuni sambil mengerlingkan matanya pada Fakhri.
Fakhri mengangguk sambil memasang tampang bete. Tak lama, Bu Yuni
pun pergi dengan suaminya.
“Nasha, kenapa kamu harus menyetujuinya?” tanya Fakhri sebal.
Nasha menjadi merasa bersalah.
“Umm… Fakhri gak suka, ya? Kalau gak suka, aku bisa bilang ke Bu
Yuni, deh. Eh, tapi, Bu Yuni sudah pergi. Umm… Fikrinya biar aku saja yang
jaga. Kalau Fakhri mau pergi, pergi aja. Nasha gak pa-pa, kok!” ujarnya. Tapi,
Nasha kelihatan sedih.
“Iiihhh… Kak Fakhri pelit amat, sih! Kakak cemburu, ya?” tanya
Fikri dengan nada menggoda.
Cepat-cepat Fakhri menggendong Fikri kemudian mencubit pipi Fikri
gemas.
“Berisik amat, sih!” ujarnya pada Fikri. Lalu, ia menjitak kepala
Nasha pelan. “Bodoh! Kalau aku pergi, kamu siapa yang jaga? Kamu kesini kan
bareng aku. Lagipula, kamu mau antar Fikri pulang kemana?” tanya Fakhri membuat
Nasha menjadi senang.
Seulas senyum terukir dibibirnya. Itu berarti Fakhri tidak marah
padanya.
“Kalau begitu, kita kemana dulu?” tanya Fakhri membuat Nasha
semangat lagi.
***
Nasha menatap langit sore itu dengan sedih. Ditemani hujan, ia tak
henti-hentinya memandangi bulir-bulir air yang jatuh dari langit. Di halaman
sekolah, masih ada beberapa siswa-siswi yang berkeliaran dengan payung-payungnya.
“Masih belum di jemput, ya?” suara Fakhri mengagetkan Nasha.
Ia menoleh ke arah Fakhri, lalu mengangguk lemah.
“Kamu kelihatan sedih sekali. Apa karena hujan?” tanya Fakhri
penasaran. Ia bingung karena sedari tadi Nasha hanya melamun sambil memandangi
langit sore yang gelap.
Nasha menggeleng. Sebenarnya, ia sedih karena hari ini hari
terakhir mereka latihan. Tak terasa waktu cepat berlalu. Dan besok, mereka
sudah mengadakan acara perpisahan. Ia sedih, karena itu artinya ia tak bisa
bertemu dia lagi nanti. Bahkan, selama ini pun ia tak pernah bisa mengungkapkan
perasaanya pada Fakhri. Tapi, baginya tak apa. Asal Fakhri selalu ada
didekatnya, ia akan selalu merasa bahagia. Walau hanya sebentar saja.
“Wah, hujannya sudah berhenti” seru Fakhri memecah lamunan Nasha.
“Lihat, ada pelangi. Baru kali ini aku melihat pelangi di sekolah saat sore
hari. Biasanya, aku tak pernah melihatnya disini, atau aku tak tahu kalau
pelangi itu muncul diam-diam dilangit”.
Nasha hanya tertawa mendengar ocehan Fakhri. Baru kali ini ia
mendengar Fakhri bicara banyak padanya. Tanpa sadar, mata mereka saling bertemu
pandang.
“Ah, kenapa?” tanya Nasha saat ia menyadari mata Fakhri tak lepas memandangannya.
“Kamu tertawa. Akhir-akhir ini kamu murung mulu, sih! Gak dikelas,
saat latihan, kamu terlihat murung. Aku jadi gak semangat latihan juga
melihatnya” ujar Fakhri jujur.
Beberapa saat suasana menjadi hening. Nasha tampak sibuk dengan
pikirannya sendiri. Ia benar-benar tidak menyangka kalau selama ini Fakhri
memperhatikannya. Ia sangat senang. Tapi, ia tidak ingin terlalu senang. Ia
takut, kalau perasaan sukanya pada Fakhri terlalu besar, itu akan membuatnya
semakin sakit. Namun, sampai kapanpun, ia tak akan pernah melupakan cintanya
ini.
“Jalan-jalan, yuk! Mumpung hujannya udah berhenti. Lagipula, ini
latihan terakhir kita. Setelah kelulusan nanti, kita pasti akan berpisah. Umm…
kamu, mau nggak?” tanya Fakhri ragu.
“Kalau Fakhri tidak keberatan, aku mau” sahut Nasha senang.
Dan ini adalah kencan yang kedua kalinya Nasha dengan Fakhri
menurut Nasha.
***
Malam ini sangat dingin. Rintik-rintik hujan masih menghiasi
malam. Dinginnya angin yang bertiup menusuk rusuk. Nasha melangkah maju
kedepan, menerawang jauh ke seluruh jalanan yang tampak ramai di bawah sana.
Pemandangan kota dimalam hari memang sangat indah jika dilihat dari atas bukit.
“Indahnya” komentar Nasha kagum. Ia tak henti-hentinya mengagumi
pemandangan yang dilihatnya malam ini. Ia sama sekali kalau sedari tadi Fakhri
terus saja melihatnya.
“Kamu suka?” tanya Fakhri.
“Iya” jawabnya senang. “Oya, Fakhri kenapa mau kesini?”
“Nggak apa-apa. Lagi pengen aja. Yang penting, Nasha suka. Dan aku
bersyukur ternyata Nasha suka tempat ini” ujar Fakhri.
Nasha menoleh kearah wajah Fakhri yang kelihatan senang. Ingin
rasanya ia jujur pada Fakhri tentang perasaanya ini. Tapi, ia takut di tolak.
Kalau ia ditolak, itu akan membuat hatinya hancur. Lagipula, gak mungkin, kan,
cewek yang ngomong dulu ke cowok.
“Umm… Fakhri, aku ingin mengatakan sesuatu padamu” kata Nasha
akhirnya. Ia lebih memilih menyatakan perasaanya sekarang pada Fakhri. Apapun
resikonya, ia akan terima dengan lapang dada.
“Iya. Ada apa?” tanya Fakhri.
“Umm… se, sebenarnya… aku… Huaaaassyyiiimmm”
“Kamu, kedinginan?” tanya Fakhri khawatir.
Nasha menggeleng dan berusaha untuk tersenyum, tapi Fakhri tetap
saja khawatir. Tanpa ba-bi-bu ia langsung memakaikan jaket pada Nasha. Nasha
hanya diam saja melihat perlakuan Fakhri.
“Oya, tadi mau ngomong apa?” tanya Fakhri yang memecah kebisuan.
“Ahh… itu… Umm… ibuku sms untuk menyuruhku pulang sekarang. Umm…
bisa gak?”. Dalam hati Nasha, ia merutuki semua kata-kata yang diucapkannya. Ia
masih ingin bersama Fakhri, tapi ia malah bilang ingin pulang.
“Baiklah. Kuantar sekarang” seru Fakhri.
Selama perjalanan menuju rumah, mereka hanya diam saja. Entah
mengapa, suasananya menjadi canggung.
“Terima kasih” ucap Nasha saat mereka sudah sampai di depan
rumahnya.
“Kalau begitu, aku pulang sekarang, ya!” kata Fakhri.
Nasha mengangguk. Tapi, jauh di dalam hatinya, dia masih ingin
bersama Fakhri. Ia pun berniat untuk mengungkapkan perasaannya sekarang.
“Fakhri, tunggu!” seru Nasha saat Fakhri baru saja ingin melajukan
motornya.
“Ada apa?”
“Umm…. Jaketmu. Aku ingin mengembalikannya. Ini” Nasha menyerahkan
jaket yang dipinjami Fakhri tadi padanya. Ia diam lagi. Ternyata, menyatakan
perasaan kepada orang yang ia suka itu sangat sulit dari yang ia bayangkan.
“Umm… ada lagi?” tanya Fakhri yang melihat Nasha yang tampak
kebingungan.
“Ada yang ingin kukatakan pada Fakhri” ia diam beberapa saat,
mencoba mengumpulkan keberaniannya. “Fakhri… umm… sebenarnya…. A, aku… Aku
ingin… Fakhri tidak perlu datang kerumah ini besok-besok. Jangan pernah datang
lagi kerumah ini, besok” ujarnya. Nasha merasa ia seperti orang bodoh. Ia
benar-benar tidak tahu apa yang harus ia katakan. Kata-katanya tadi, ia tidak
tahu harus diolah menjadi apa. Tanpa menoleh ke arah Fakhri, ia langsung masuk
kedalam rumahnya meninggalkan Fakhri yang masih terpaku ditempatnya.
***
Hari yang ditunggu-tunggu tiba. Acara perpisahan sekolah terlihat
sangat meriah. Semua siswa-siswi terlihat sangat menikmati event ini. Tapi,
Nasha terlihat begitu lesu.
“Nasha, kenapa kamu kelihatan lesu? Bentar lagi kamu tampilkan?
Kamu tidak latihan dulu bareng Fakhri?” tanya Tasha yang tampak khawatir
melihat keadaan temannya sekarang.
Nasha menghela napas. “Aku gugup”
Wila dan Tasha mengangguk mengerti. Tapi, Devi menatapnya dengan
penuh kecurigaan.
“Nasha, gimana kalau kamu ikut aku sebentar? Mungkin, bisa
menghilangkan rasa gugupmu”
Nasha mengangguk dan segera mengikuti Devi. Ia menoleh kebelakang.
Untung saja Tasha dan Wila tidak ikut. Ia tahu apa tujuan Devi. Makanya, Devi
mengajaknya menjauh dari Tasha dan Wila.
“Kamu ada masalah dengan Fakhri?” tanya Devi penuh selidik.
Nasha terpaksa mengaku. Mau berbohong pun tidak bisa. Devi itu
peka. Kalau ia bohong, Devi akan langsung tahu. Karena, ia tidak pandai
berbohong.
“Kenapa?”
“Aku sudah berkata jahat padanya. Aku malu. Aku tidak tahu harus
memasang wajah apa saat bertemunya nanti. Padahal, sebentar lagi akan tampil.
Tapi, aku malah bikin masalah kemarin” jelas Nasha.
Devi mengangguk mengerti. “Baiklah, aku yang akan bicara padanya”
“Tidak perlu. Biar aku sendiri. Devi sama sekali gak ada kaitannya
dengan masalahku. Tapi, bukan berarti Devi itu tukang ikut campur, loh?”
Devi menggangguk lagi. “Iya, aku mengerti, kok!”
Ini waktunya untuk Nasha dan Fakhri tampil. Nasha sudah naik
keatas panggung. Tapi, Fakhri belum juga naik. Sang MC sudah berkali-kali
memanggil-manggil nama Fakhri. Tapi, ia belum juga naik.
“Aduh, bagaimana ini? Jangan-jangan dia marah padaku. Gawat,
bagaimana ini?” tanya Nasha dalam hati. Ia tapak putus asa dan berniat turun
dari panggung. Dan saat itu, ia melihat Fakhri sudah ada di depan matanya. Ia
sama sekali tidak menyadarinya.
“Baiklah. Karena keduanya sudah naik, bagaimana kita mulai
sekarang saja. Okay, inilah penampilan dari Fakhri dan Nasha. Selamat
menikmati”
Fakhri mengambil gitarnya, sedangkan Nasha duduk dikursi pianonya
sambil memainkan jari-jarinya diatas tuts pianonya. Awalnya, ia merasa canggung
bercampur gugup. Tapi, karena permainan gitar Fakhri sangat indah, ia jadi
menikmati permainannya.
Terlukis indah
diwajahmu
Senyuman manis nan bahagia
Tak dapat kulupakan
Saat-saat indah itu
Bunga-bunga bermekaran dihati
Harum indah tak dapat terucap
Oleh serangkaian kata-kata
Yang ingin ku ucapkan padamu
Butiran air mengalir dipipimu
Kuselipkan tangan dikedua pipimu
Seperti hujan yang datang saat
panas
‘Aku datang tuk dinginkan hatimu’
Izinkanlah aku masuk kekehidupanmu
Takkan kubiarkan kesedihan
menyelimuti dirimu
Akan kuubah itu semua menjadi
senyuman
Senyuman bahagia seperti saat itu…
Cinta takkan membuat kita menderita
Karena cinta telah mewarnai hidupku
Walau kadang terasa pedih
Aku akan tetap berkata,
“Aku tak pernah menyesal telah
mencintaimu”
Puisi “Tentang Perasaan” yang diubah menjadi lagu ini telah
menyadarkan Nasha tentang sesuatu. Tentang perasaannya saat ini, harus ia
ungkapkan sekarang juga. Yak, sekarang!
Nasha berlari menyusul Fakhri yang sudah turun lebih dulu tadi.
Kemarin dan hari ini mereka memang tidak pernah berbicara. Tapi, itu tidak
membuat Nasha menjadi gugup. Gugup, sih! Tapi, demi perasaannya, ia akan
mengatakan ini pada Fakhri.
“Fakhri, tunggu” panggil Nasha. Ia sudah berdiri di depan Fakhri.
“Ada yang ingin kubicarakan” Nasha berusaha mengatur napasnya yang masih
sebelas-dua belas. “Tentang malam itu, aku benar-benar minta maaf. Aku telah
jahat padamu, meninggalkanmu begitu saja. Aku… aku benar-benar ingin minta
maaf” Nasha menunduk, tak berani melihat wajah Fakhri.
Fakhri berjalan mendekat, lalu menyentuh bahu Nasha pelan.
“Jadi, kamu tidak marah denganku?” tanya Fakhri.
Nasha mengangkat wajahnya. “Maksud Fakhri? Aku tidak pernah marah
sama Fakhri. Justru, aku pikir Fakhri yang marah padaku”
Mereka berdua saling berpandangan. Lalu, tertawa. Sepertinya
memang hanya kesalah pahaman.
“Sebenarnya, waktu itu ada yang ingin kukatakan pada Fakhri. Tapi,
aku tidak tau mengatakan apa. Makanya, aku jadi ngomong yang aneh” jelas Nasha.
“Memangnya mau ngomong apa?” tanya Fakhri penasaran.
“Umm…” Nasha kelihatan sangat gugup. “Hei, apa yang ada ditanganmu
itu?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.
“Oh, ini” Fakhri mengangkat kertas itu. “Ini… ini surat beasiswa kuliah
di New York. Bagaimana? Keren, kan? Padahal, aku ingin mengatakan ini pada
Nasha kemarin” ujar Fakhri.
“Hah, benarkah? Kapan perginya?” hati Nasha mulai bergemuruh.
“Ummm… besok” jawab Fakhri.
Hati Nasha membeku. Ia tidak menyangka secepat ini ia berpisah
dengan Fakhri. Ia pikir, kuliah nanti, ia bisa bertemu lagi dengan Fakhri.
Namun ternyata, Fakhri sudah pergi menjauh darinya.
“Ka, kalau begitu, selamat, ya! Kamu hebat bisa kuliah disana”
Nasha tak kuasa menahan air matanya sehingga air mata itu mengalir sendiri di
pipinya.
Fakhri terdiam. “Nasha, kamu… mengapa menangis?”
Nasha menggeleng sambil berusaha menghapus air matanya.
“Tidak, aku tidak menangis. Aku hanya terharu. Aku iri padamu. Aku
juga ingin kuliah disana, tapi ortuku tidak pernah mengizinkan”. Ia merasa
tidak bisa menghentikan air matanya. “Kalau begitu, aku pergi dulu, ya!” Nasha
berlari meninggalkan Fakhri. Jika ia berada disitu terus, itu membuat hatinya
semakin sakit.
Berdebar-debar karena cinta, lalu jatuh terluka. Kemudian terulang
lagi. Berputar-putar di situ saja. Nasha benar-benar tidak tahu bagaimana
caranya melepaskan diri dari cinta yang hilang arah ini.
“Nasha” seru Wila saat ia melihat Nasha menangis di bangku taman.
Nasha mengangkat wajahnya dan langsung mengahambur kearah Wila.
Devi dan Tasha juga tampak khawatir dengan keadaan temannya ini.
“Ada apa, Sha?” tanya Devi.
“Aku… aku tidak pernah bisa mengatakan perasaanku padanya. Aku
sedih karena dia besok akan pergi ke New York. Dan sampai sekarang pun, aku
tetap tidak bisa mengatakan padanya. Aku tidak sanggup. Aku mau dia tahu. Tapi,
aku tidak tahu bagaimana cara menyampaikannya” ujar Nasha.
“Dia? Dia siapa?” tanya Tasha penasaran.
Devi terdiam. Nasha juga. Ia merasa, saat ini ia harus
mengatakannya pada teman-temannya ini.
“Fakhri”
Dan bisa ia bayangkan kalau Tasha dan Wila terkejut mendengarnya.
***
Fakhri masuk keruang kelas. Saat ia ingin mengambil tasnya,
selembar surat jatuh kelantai. Ia pun mengambilnya, kemudian membacanya.
From : Nasha
Dear Fakhri,
Selamat, ya! Akhirnya kamu bisa kuliah di New
York. Tak pernah terbayangkan olehku akhirnya kamu pergi sejauh itu.
Sebenarnya,
di malam itu, aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Tapi, entah mengapa sulit
bagiku untuk mengucapkannya. “Aku mencintaimu”. Aku tidak tau kapan pastinya
aku mencintaimu. Tapi, begitu sadar, ternyata aku telah menyukaimu. Saat kita
bermain musik bersama, saat kita berdua, saat kamu mengajakku jalan-jalan, itu
menjadi momen terindah buatku.
Terima
kasih. Terima kasih karena pernah hadir dalam kehidupanku. Terima kasih, karena
telah mewarnai hariku. Terima kasih, karena kamu, aku bisa merasakan yang
namanya cinta. Cinta ini begitu perih untukku. Padahal, cinta itu tak akan
membuat menderita. Cinta itu indah. Tapi, begitu sadar, aku sudah terjatuh
kedalam cinta yang pedih. Tapi, satu hal yang aku tahu. Dan aku juga ingin kamu
tahu.
“Aku tak pernah menyesal telah mencintaimu”.
Fakhri meremas kertas itu kuat-kuat. Bagaimana bisa hatinya
menjadi begitu sakit saat ini. Ia memegang dadanya kuat. Sesak. Ia sendiri juga
telah berbohong pada perasaannya sendiri. Selama ini, ia selalu menghindari
kenyataan kalau ia suka Nasha. Tanpa sadar, ia sudah berlari mengelilingi
seluruh sekolah. Ia berharap bisa bertemu dengan Nasha sekarang juga. Beberapa
kali ia menelepon ke hp Nasha, tapi tidak pernah tersambung.
“Wila, kamu lihat Nasha tidak?” tanya Fakhri dengan napas
terengah-engah.
“Tadi, dia sudah pulang” jawab Wila. “Ada apa kamu mencari Nasha?”
tanya Wila penuh selidik.
“Ada yang ingin kukatakan” kata Fakhri jujur.
“Dia sudah memberikan surat itu padamu?”
Fakhri mengangguk. “Kalau begitu, terima kasih, ya. Lebih baik,
aku langsung kerumahnya saja”
“Eh, kamu belum tahu. Nasha sudah pindah rumah” kata Wila.
Fakhri terdiam. Ia benar-benar bingung.
“Nanti aku beritahu padanya kalau kamu mencarinya. Kamu ingin
menitipkan pesan padanya?”
Fakhri mengangguk.
“Tolong suruh dia datang kebandara besok jam 8”
***
Suara pesawat begitu memekakan telinga. Fakhri berdiri di depan
pintu masuk bandara menunggu kedatangan Nasha. 5 menit lagi ia akan pergi.
Tapi, Nasha belum juga datang. Ia jadi khawatir. Tapi, jauh didalam hatinya, ia
berharap kalau Nasha akan datang.
“Kak, dia belum datang juga?” tanya Fikri yang sepertinya
kelihatan sedih.
Fakhri mengangguk.
“Fakhri, sebentar lagi pesawatnya akan berangkat. Kamu harus pergi
sekarang” seru mamanya.
Fakhri mengangguk. Ia bingung. Tapi, ia memilih untuk melangkah
maju. Padahal, ada yang ingin ia sampaikan. Tapi, mengapa Nasha belum juga
datang?
***
Nasha berlari sekuat tenaga menuju bandara. Gara-gara macet, ia
jadi telat datang ke bandara. Ia melihat jam yang melingkari tangannya. Sudah
jam setengah 9. Ia sudah benar-benar terlambat. Dari kejauhan, ia bisa melihat
Fakhri berjalan menuju pesawatnya.
“Fakhri” panggil Nasha. Tapi, sama sekali tidak terdengar.
“Fakhri” panggilnya lagi. Tapi, usahanya sia-sia. Fakhri sudah pergi. Tak lama,
pesawatnya juga sudah terbang.
Nasha menangis. Bahkan, disaat-saat terakhir pun ia tak sempat
melihat Fakhri. Ia juga ingin tahu apa yang ingin dikatakan Fakhri padanya.
“Kak” panggil seseorang pada Nasha.
Nasha menoleh dan melihat Fikri berlari menghampirinya.
“Ada apa?” tanya Nasha. Ia memaksakan seulas senyum di bibirnya.
“Ini. Titipan dari Kak Fakhri” Fikri memberinya sebuah buku
berwarna biru.
Nasha menerimanya. Ia sangat penasaran dan membuka buku itu. Di
dalamnya, ada banyak foto-foto dirinya. Dilihat dari penampilannya, sepertinya
foto itu saat ia masih kelas 2 sma. Ia benar-benar terkejut sampai-sampai tak
bisa berbicara apapun. Di bagian belakang album, ada tulisan yang sepertinya di
tuliskan untuk dirinya.
From :
Fakhri
Dear Nasha,
Hai, Nasha. Bagaimana keadaanmu? Dari kemarin
aku khawatir tentangmu. Aku tahu, saat kamu membaca surat ini, aku sudah pergi
kebelahan bumi yang lain.
Suratmu
kemarin sudah kubaca. Aku terkejut. Aku terkejut karena kamu punya keberanian
untuk menyatakan perasaanmu padaku, walaupun tidak secara langsung. Tapi, aku
harap kamu juga tahu bagaimana perasaanku sebenarnya saat kamu melihat foto-foto
yang ada disini.
Yah, aku
mencintaimu. Aku juga mencintaimu. Aku juga bingung sejak kapan aku menyukai.
Aku menyukai hujan. Saat hujan tiba waktu itu, aku melihat kamu yang tampak
bahagianya memandangi langit. Dan mulai saat itu, aku selalu berdebar-debar
saat melihatmu.
Kamu masih
ingat ini, tidak? “Saat melihatnya dibalik tirai-tirai bening yang jatuh dari
langit, untuk kali pertamanya aku terpesona melihatnya dan pandanganku tak bisa
lepas dari pandangannya, bagaikan terhipnotis. Dan waktu seakan berhenti
berputar”. Kata-kata itu aku tuliskan untukmu secara diam-diam. Setiap hari,
setiap saat, aku berharap aku bisa melihat senyum bahagiamu setiap hari.
Maaf, karena
aku tidak bisa mengatakan perasaanku yang sejujurnya. Aku berharap, suatu hari
nanti, aku bisa bertemu lagi denganmu. Aku akan selalu merindukanmu.
Air mata Nasha kembali jatuh. Bagaimana bisa cerita cintanya
seperti ini. Andai saja waktu itu ia mengatakan perasaannya, mungkin, saat ini,
Fakhri ada di sampingnya.
Cinta memang sulit ditebak. Tapi, cinta ini akan terus ia simpan
sebagai memori terindah dalam hidupnya.
***
4 Tahun Kemudian….
Nasha menebarkan pandangannya keseluruh jalan. Sore seperti ini
jalanan sudah sepi. Tanpa sadar, ia menghelakan napas panjang. Ia agak stress beberapa
hari ini. Beberapa pekerjaan harus ia selesaikan hingga larut malam. Bukan hal
yang mudah. Sewaktu SMA, ia tak pernah merasakan lelah seperti ini, walaupun ia
sering begadang hingga tengah malam, tapi tak pernah sampai selelah ini.
SMA. Terbayang di pikirannya masa-masa sma. Masa-masa yang paling
indah saat ia bersama sahabat-sahabatnya, teman sekelasnya, guru-guru, dan yang
terakhir, Fakhri. Menyebut namanya saja sudah membuat jantungnya berdebar cepat.
Ia berjalan menuju salah satu kios yang ada di dekat depan toko
buku. Disana terdapat beberapa majalah, koran, dan beberapa buku cerita, serta
buku pelajara. Nasha memperhatikan satu per satu majalah yang ada di depannya.
Ia mengambil salah satu yang menurutnya menarik, lalu membayarnya. Perlahan ia
berjalan meninggalkan kios tersebut sambil membuka lembar demi lembar majalah
itu.
“Tak ada yang menarik” gumamnya sebal. Lalu membalik halaman
lainnya.
Ia terus membalik halaman itu hingga ia berhenti pada halaman yang
menjadi Tos of topic akhir-akhir ini.
Seorang laki-laki dengan pakaian casual memakai kacamata hitam, membuat
orang-orang sedikit sulit mengenalinya. Tapi, Nasha tau siapa orang itu. Ia
sangat mengenalinya. Seseorang yang selalu ada dipikirannya selama lebih dari 4
tahun ini. Tak pernah sekalipun ia mencoba untuk melupakannya. Walaupun ia
sudah berusaha, bayangan tentang orang itu kembali menghantuinya.
Fakhri Syahreza. Seseorang yang pernah ia sukai sewaktu SMA dulu. Seseorang
yang sangat ia cintai. Tiba-tiba saja darahnya langsung berdesir. Andai saja ia
bisa bertemu lagi dengannya?
‘Tes… tes… tes…’titik air perlahan jatuh membasahi foto Fakhri.
Nasha meraba-raba pipinya, mengira air mata itu jatuh karena air matanya. Tapi,
dugaannya salah. Ia menatap langit dan merasakan tetes demi tetes air hujan
menghujamnya. Ia biarkan wajahnya basah karena hujan. Dengan begini, ia merasa
kembali ke masa lalu, kenangan saat pertama kali ia melihat Fakhri menyanyi di
antara hujan.
‘Jreeenng…’ Nasha membuka matanya, melihat sekitarnya. Nada tadi,
ia pernah mendengarnya. Tapi, dari mana asal suaranya?
‘Jreenngg….’nada itu kembali terdengar, kemudian diikuti dengan
sebuah nyanyian dari seseorang yang tak asing lagi baginya. Samar-samar, ia
melihat seorang laki-laki berjalan mendekat padanya sambil memainkan gitar. Ia
mulai bernyanyi sebuah lagu yang tidak pernah ia dengar sebelumnya. Tapi, nada
ini, suara ini, tidak mungkin ia salah. Fakhri.
Setiap kali kita bertemu, Setiap kali kau melihatku
Apakah kau tahu, aku harus memaksakan diri?
Tahukah kamu?
Meskipun aku mencintaimu,
Meskipun aku merasakan cintamu
tapi jauh di dalam hatiku, aku tidak berani memberitahumu
Aku harap kamu akan tahu
Suatu hari nanti
tapi jauh di dalam hatiku, aku tidak berani memberitahumu
Aku harap kamu akan tahu
Suatu hari nanti
Nasha hanya bisa terdiam di tempat. Benarkah ini Fakhri? Benarkah?
Ia benar-benar tidak bisa mempercayainya. Benarkah ini sebuah kenyataan?
Dan kini tiba saatnya
Kuungkapkan semua rasa
yang dulu sempat terpendam
Padamu…
Dibawah nyanyian hujan yang merdu
Karena hujan telah mempertemukan kita.
Nasha berlari memeluk Fakhri erat dan menangis dibahunya. Fakhri
membalas pelukan Nasha. Ia bisa merasakan suara detak jantung Fakhri yang
berdetak tak karuan arah. Tapi, ia merasa sangat senang dan bahagia. Tak peduli
dengan orang-orang yang sedang bertepuk tangan melihat mereka. Ia hanya bisa
merasakan bahagia, seperti terbang ke langit, terbang bersama.
“Kali ini, aku tak akan membiarkan kamu pergi lagi”kata Nasha
manja.
Fakhri tersenyum senang,”Aku juga”
Mereka kembali berpelukan. Nasha menghapus pipinya yang basah
dengan punggung tangannya. Entah basah karena hujan atau air matanya. Ia tak
peduli, karena akhirnya ia bisa mendapatkan kebahagiaannya selama ini.
~~~SELESAI~~~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar