Rabu, 21 Maret 2012

GUARDIAN ANGEL (10)


BAGIAN YANG HILANG.

Seorang anak perempuan sedang berdiri mematung di tengah jalan saat mobil kijang hitam sedang melaju dengan cepat. Ia memejamkan matanya saat ia tahu mobil itu sudah berada di dekatnya.
“Iin… AWAS!!!” teriak anak cowok yang berdiri di pinggir jalan bersama seorang ibu. Tetapi…
“Buuukk”

“TIIDAAAAAAAAKKK” teriak Alin yang langsung terbangun dari mimpinya.
“Alin, ada apa?” tanya Aldi khawatir. Alin menoleh ke arahnya.
“Sedang apa kamu disini?” tanya Alin sinis. Aldi menyerngit bingung.
“Loe harusnya berterima kasih sama gue karena gue udah bawain loe kesini” ujar Aldi. Alin memalingkan mukanya.
“Huh, bukannya kamu yang sengaja ngelempar aku ke jalan supaya aku bisa di tabrak, terus mati. Iya, kan!” sindir Alin. Aldi mendesah pelan.
“Oke, soal itu gue minta maaf. Beneran, gue gak tau kalau loe terlempar sampai kejalan. Lagipula, loe kan bisa lari begitu lihat ada mobil”
Alin terdiam sebentar, “Masalahnya kaki gue gak bisa diajak kompromi”. Alin meraba kepalanya yang diperban. “Kepala gue kenapa?”
“Kepala loe cuma terbentur trotoar. Untung ada yang nyelamatin loe. Kalau tidak, luka loe lebih parah lagi dari itu” jelas Aldi.
“Siapa? Dimana dia sekarang?”
“Gue gak kenal. Dia dirawat di kamar sebelah”. Alin langsung turun dari ranjangnya dan langsung berlari ke kamar sebelah.
“Ceklekk” Alin membuka pintu itu perlahan dan berjalan menghampirinya. Saat ia sudah mulai dekat, matanya membulat melihat penolongnya.
“Fakhri” pekiknya. Ia langsung memeluk Fakhri yang kini terbaring lemah diranjangnya dan menangis di pelukannya. Aldi yang melihatnya dari luar ruangan yang terdiam. Kemudian, ia pergi entah kemana.

~~~~~~~~
Rahma sedang asyik melukis di taman yang berada tak jauh dari kafe Dessy sambil sesekali melirik beberapa pasangan yang melewatinya.
“Drrttt…drrrttttt” hp Rahma bergetar tanda sms masuk. Ia segera mengambil hp-nya yang berada di sebelah kanannya dan membaca pesannya.
“Hah? Alin kecelakaan?” kata Rahma terkejut. Cepat-cepat ia meringkas peralatan lukisnya dan langsung berlari keluar taman. Karena buru-buru, ia tidak melihat jalan dan menabrak seorang cowok.
“Buuk” mereka berdua terjatuh. Begitu juga dengan peralatan lukis Rahma.
“Maaf, tapi aku buru-buru” ucap Rahma cepat sambil mengambil peralatan lukisnya yang jatuh berserakan. Kemudian, ia langsung berlari meninggalkan cowok itu. Cowok tadi memandang Rahma dengan bingung. Ia mengambil sebuah lukisan bunga yang jatuh. Di sudut kanan bawah, ada tulisan nama Rahma. Cowok itu kembali memandang Rahma yang kini sudah menghilang entah kemana.

~~~~~~~~
Alin sedang berbaring santai saat Devi, Vivi dan Riri datang menjenguknya. Papa dan mamanya sedang keluar mengurus administrasinya. Sedangkan, Aldi sedang pergi keluar untuk makan malam.
“Astaghfirullah, Lin! Kenapa datang-datang ketemu dalam situasi seperti ini” ujar Devi. Alin hanya tertawa pelan.
“Devita, aku tidak apa-apa, kok! Cuma benturan dikit sama trotoar” jelas Alin.
Vivi meraba dahi Alin, “Seberapa kuat kamu terbentur, Lin? Tumben kamu panggil Devi dengan sebutan DEVITA”. Alin kembali tertawa.
“Sudah, jangan interogasi Alin. Kasihan dia! Nih, buah untukmu” kata Riri.
“Thank’s” ucap Alin.
“Ceklekk” Cika dan Rahma masuk dengan nafas tersengal-sengal.
“Kalian berdua kenapa? Habis di kejar setan, ya?” tanya Vivi bingung.
“Hosh..hosh… bukan”. Rahma mengatur nafasnya sebentar. “Kita cuma capek keliling rumah sakit nyariin kamar tempat Alin dirawat”
“Iya! Sampai-sampai, kami tadi masuk ke kamar mayat. Iihh!!! Nggak mau lagi, deh” kata Cika sambil merinding. yang lain tertawa.
“Haha… Kok, bisa?” tanya Alin.
“Tau nih, Rahma” Cika menunjuk Rahma dengan sebal.
“Iya, iya! Aku minta maaf” ucap Rahma sebal.
“Assalamu’alaikum” ucap Dessy saat ia masuk ke kamar tempat Alin dirawat.
“Wa’alaikumsalam” balas mereka berenam kompak.
“Bener ini kamar Alin dirawat?” tanya Dessy ragu. Yang lain mengangguk.
“Syukurlah” Dessy menghela napas lega.
“Memangnya kenapa?” tanya Vivi bingung.
“Nggak apa-apa. Eh, masuk, yuk!” ajak Dessy pada seseorang. Saat cowok itu melangkah masuk, matanya terbelalak melihat Alin. Begitu juga dengan Alin.
“Dinda? Jadi, kamu yang kecelakaan?” tanya Bintang khawatir.
“Dedek, sedang apa kamu disini?” tanya Alin.
“Cuma liburan, bodoh! Emangnya gak boleh?” Bintang memukul kepala Alin.
“Aww… sakit tahu! Kepalaku lagi sakit. Jangan dipukul-pukul!” bentak Alin.
“Hehe… Maaf” ucap Bintang sambil mengelus kepala Alin pelan. Dessy memandang mereka dengan pandanga tidak suka.
“Aku kenapa? Apakah aku cemburu? Hah? Gak … gak mungkin” kata Dessy dalam hati sambil menggeleng kepalanya kuat-kuat.
“Des, kamu kenapa?” bisik Cika. Dessy kembali menggeleng.
“A, aku keluar dulu, ya!” bisiknya dan langsung keluar ruangan.
“Eheem… asyik sendiri! Teman yang lain di cuekin” kata Devi.
“Iya! Kenalin dong ke kita” tambah Rahma.
“Pacar kamu, ya, Lin?” tanya Vivi.

~~~~~~~~
Aldi berjalan dari kantin rumah sakit menuju ke kamar Alin. Sebelum ia sampai ke kamar Alin, ia melihat Dessy keluar dari kamar tempat Alin dirawat sambil menangis. Aldi segera mengikuti Dessy pergi secara diam-diam.
“Des, kamu kenapa?” tanya Aldi saat mereka beradaa di taman rumah sakit. Dessy yang baru sadar kalau Aldi dari tadi mengikutinya terkejut dan cepat-cepat menghapus air matanya. Ia menggeleng kepalanya pelan tanpa berbalik menghadap Aldi. Aldi melangkah menghampiri Dessy. Lalu menepuk bahunya pelan.
“Tidak apa-apa. Aku akan menemanimu disini” hibur Aldi. Dessy berbalik memeluk Aldi, kemudian menangis dipelukannya.

~~~~~~~~
“Mmm… sepertinya aku melupakan sesuatu” kata Bintang tiba-tiba saat semua teman-teman Alin sudah pulang.
Alin menyerngit bingung. “Apa?”
Bintang terlihat berpikir sejenak. Lalu, ia menepuk dahinya pelan. “Astaghfirullah, aku lupa kalau aku kesini bersama Dessy”.
“Dessy? Oh ya, kemana dia sekarang? Cepat cari dia!” perintah Alin.
“Dia udah pulang. Emangnya kenapa?” ucap Aldi datar. Alin meliriknya sinis.
“Masih disini?” tanyanya tidak suka. Aldi hanya mendengus.
“TERPAKSA! Ortu loe lagi ada urusan. So, gue disuruh jagain loe”. Alin mendengus sebal. Bisa-bisanya ortunya menyuruh Aldi menjaganya.
“Bintang, mama-papa udah tau belum kamu kesini?”. Bintang menggeleng. “Pantas” tambah Alin lagi.
“Bintang, mending kamu pulang. Udah malam, nih” saran Aldi. Bintang memandang Alin sebentar. Ia tidak tega meninggalkan Alin. Begitu juga Alin. Tapi, Alin tidak mau kalau keluarga Bintang khawatir padanya.
“Pulanglah” kata Alin akhirnya. “Tapi, besok kamu balik lagi, ya!” lanjut Alin. Bintang mengangguk pelan. Ia segera mendekatkan kepalanya pada Alin.
“Benar tidak apa-apa?” bisik Bintang. Ia terlihat agak khawatir.
“Yeah, ada orang selain dia yang lebih rela jagain aku. Tidak apa-apa” bisik Alin pelan. Aldi memandang mereka dengan penuh tanda tanya.
“Apa sih yang mereka bicarakan?” tanya Aldi dalam hati.
 “Cepat sembuh ya, sis” serunya. Lalu pergi keluar kamar.
Di dalam kamar, kini tinggal mereka berdua. Aldi berdiri kaku. Sedangkan, Alin terlihat sibuk dengan pikirannya sendiri. Entah mengapa, mimpinya yang tadi kini kembali menggerayangi pikirannya. Mimpi seorang anak perempuan yang tertabrak mobil terus berputar-putar dikepalanya seperti kaset rusak. Alin memegang kepalanya, kemudian menjabak rambuknya sambil berteriak frustasi.
“Alin, ada apa?” tanya Aldi panik melihat keadaan Alin. Alin terus berteriak histeris sampai-sampai Aldi harus menutup telinganya.
“Alin, tenang! Kamu tiduran aja dulu, ya!” perintah Aldi sambil perlahan membaringkan Alin. Alin mulai mereda. Ia kemudian berbaring di ranjangnya.
“Tidur yang tenang! Jangan pikir yang macam-macam!” seru Aldi.

~~~~~~~~
Rahma duduk dipinggiran tempat tidurnya sambil melihat-lihat hasil lukisannya hari ini. Satu per satu ia menatap lukisannya dengan bangga. Lukisannya cukup bagus. Kebanyakan lukisannya bertema pemandangan. Rahma berhenti pada lukisan terkhirnya. Ia terlihat baru teringat sesuatu.
“Lukisan itu? Lukisan itu dimana?” tanya Rahma panik. Ia kembali membongkar lukisannya yang ia pegang. Tidak ada. Ia kemudian mengobrak-abrik lukisannya yang terdahulu. Tapi, tetap saja tidak ada.
“Lukisan itu dimana?” tanya Rahma putus asa. Ia kembali teringat sesuatu. Tadi sore, sebelum ia ke rumah sakit untuk menjenguk Alin, ia terburu-buru dan menabrak seseorang. “Apakah lukisan itu jatuh? Kalau benar, besok aku harus pergi mencarinya” kata Rahma semangat.

~~~~~~~~
Dessy duduk termenung di beranda kamarnya. Ia melihat bintang yang sedikit demi sedikit menghilang di telan langit hitam. Air matanya mengalir membasahi pipinya. Entah mengapa, ia merasa ada bagian yang hilang di dalam hatinya.
“Aku kenapa? Ada apa denganku?” tanyanya dalam hati. Ia teringat kenangan saat dirinya bersama Bintang. Kenangan saat ia bertemu Bintang untuk pertama kalinya, kenangan saat ia bersama Bintang di taman dan di bukit. Setiap ia mengingat semua itu, ia terus menitikkan air matanya. Kemudian menghapusnya.
“Dessy, belum tidur, ya?” tanya mamanya dari luar.
Cepat-cepat ia menghapus ai matanya, “Iya, ma! Bentar lagi Dessy tidur” jawabnya. Suaranya terdengar agak parau.
“Des, kenapa suaramu parau? Kamu habis nangis, ya?” tanya mamanya lagi.
“Ehem… gak, kok! Suara Dessy memang agak parau. Mungkin, kelamaan di luar. Udah, Dessy baik-baik aja, kok” ujar Dessy. Terdengar langkah kaki menjauhi kamarnya. Itu berarti mamanya sudah pergi. Dessy menghembuskan napas lega.

~~~~~~~~
 Alin sedang tidur di dekat ranjang Fakhri saat ia merasakan kehangatan sinar matahari pagi yang menerobos masuk melalui jendela. Suster yang membuka jendela kamar Fakhri hanya tersenyum melihat tingkah Alin yang tampak malas untuk bangun. Alin menarik selimut Fakhri, lalu menutupi kepalanya dengan selimut itu. Alin merasakan selimut itu ditarik kembali. Namun, Alin tidak mempedulikannya dan menarik selimut itu kembali.
“Hey, bangun! Udah siang, muka bantal!” bisik seorang cowok ke telinga Alin. Alin tidak mempedulikannya dan kembali menarik selimut itu.
“Woy… BANGUN…” teriaknya ke telinga Alin. Alin bangkit dari tidurnya sambil menutup kedua telinganya.
“Sstt… jangan berisik! Kalau Fakhri bangun gimana?” katanya pelan sambil memandang Aldi dengan kesal. Aldi mendengus.
“Salah sendiri! Dari tadi dibangunin gak bangun-bangun. Btw, sejak kapan loe tidur disini?” tanya Aldi datar, namun volume suaranya agak pelan.
“Gak penting! Yang terpenting sekarang adalah sarapan. Mana sarapan buat gue?” tanya Alin cepat. Aldi menunjuk ke kamar sebelah. Tanpa basa-basi, Alin segera pergi ke kamarnya.
“Harini loe gak sekolah?” tanya Alin tepat di tengah pintu.
“Sekolah. Bentar lagi mau pergi. Loe mau sekolah juga?” ujar Aldi. Alin menggeleng cepat dan langsung pergi ke kamarnya.

~~~~~~~~
Aldi duduk termenung di bangkunya sendiri. Mukanya tampak suntuk. Semua ocehan yang dilontarkan Miss Erma sama sekali tak ada yang masuk ke otaknya. Kepalanya terasa berat, seperti ada sesuatu yang menimpa kepalanya.
“Aldi, are you fine?” tanya Miss Erma datar. Aldi menggeleng.
“Umm, Miss… aldi seems sick. Should I take him to UKS” seru Dessy. Miss Erma mengangguk. Kemudian Dessy membawa Aldi ke UKS.
“Aku baik-baik saja” seru Aldi saat mereka tiba di UKS.
Dessy menggeleng. “No! kamu terlihat sangat tidak baik. Do you having problems?”. Aldi menggeleng pelan. “Come on, tell me your problem” bujuk Dessy.
Aldi menghela napas pelan. “Entah mengapa, mimpi tentang masa lalu itu mulai bangkit kembali” ucap Aldi yang sama sekali tidak dimengerti Dessy.
“Maksudnya?” tanya Dessy bingung.
“Sejak kecelakaan Alin, aku terus bermimpi tentang anak perempuan yang tertabrak mobil. Arrghh….” Aldi memegangi kepalanya yang sakit.
“Kamu mengenal anak itu?” tanya Dessy penasaran.
Aldi mengangguk pelan.
“Siapa?” tanya Dessy lagi.
“Dia… dia…”
“Ceklek…” sebelum sempat Aldi menyelesaikan kata-katanya, pintu UKS dibuka oleh bu Dini, penjaga UKS.
“Kamu sakit apa, Aldi?” tanya bu Dini pada Aldi.
“Sepertinya dia kurang istirahat, bu” ucap Dessy cepat sebelum Aldi membuka mulutnya. Bu Dini mengangguk.
“Lebih baik kamu istirahat dirumah, Aldi. Apakah kamu bisa mengantar dia pulang, Des?” tanya bu Dini. Dessy mengangguk senang. Itu berarti ia bisa punya alasan untuk tidak masuk pelajaran fisika, pelajaran yang paling ditakuti orang-orang. Ditambah lagi guru yang mengajarnya killer banget.
“Kalau begitu, saya izin pulang ya, bu” pamit Dessy. Bu Dini mengangguk.

“Kamu senang, kan?” tanya Aldi saat mereka berada di dalam mobil Dessy.
Dessy mengangguk cepat. “Tentu saja! Setidaknya, hari ini aku bebas dari pelajaran fisika”. Aldi hanya menggelengkan kepala mendengarnya.
“Bisa tolong antar aku kerumah sakit? Aku masih ada urusan disana” ujar Aldi.
“Mengapa?” tanya Dessy bingung.
“Aku hanya merasakan sesuatu pada Alin. Entah itu yang baik ataupun yang buruk” jelas Aldi. Dessy mengangguk cepat.
“Pak, tolong antar kerumah sakit yang kemarin, ya” serunya dari belakang.
“Baik, non!” balas Pak Udin, supir Dessy.

~~~~~~~~
  Alin sedang meletakkan bunga mawar putih kesukaanya dan juga kesukaan Fakhri di vas bunga samping tempat tidur Fakhri. Kadang, Alin tersenyum sendiri melihat bunga mawar putih itu. Alin masih tidak habis pikir bagaimana bisa seorang cowok seperti Fakhri sangat menyukai bunga mawar putih?
“Memangnya salah, ya!” kata Fakhri sambil mendelik kesal saat Alin menanyai alasan mengapa Fakhri sangat menyukai bunga mawar putih. “Lagipula, bunga itu bagus, kan? Sedangkan putih itu melambangkan kesucian” tambahnya lagi.
“Alin… Alin…” suara itu membuyarkan lamunan Alin. Cepat-cepat Alin meletakkan vas bunga itu ketempat semula, kemudian berlari menghampiri Fakhri.
“Fakhri” desis Alin pelan. Ia tidak percaya kalau Fakhri tadi memanggil namanya. Jari-jari Fakhri perlahan mulai bergerak. Kemudian mata Fakhri perlahan bergerak, dan kemudian…
“Alin…” panggilnya pelan.
Alin hanya diam membeku didekatnya. Ia tak percaya dengan penglihatannya.
“Fakhri…” panggil Alin. Air matanya perlahan mengalir membasahi pipnya. “Dokter… dokter…” panggil Alin dengan semangat. Dokter dan suster pun masuk kedalam dan mulai memeriksa keadaan Fakhri.
“Mbak, bisa anda keluar sebentar?” kata suster itu. Alin segera keluar dan duduk di ruang tunggu sambil menghapus air matanya yang terus mengalir.
“Alin, kamu kenapa?” tanya Dessy yang baru saja tiba. Alin segera mendongakkan kepalanya dan memeluk Dessy pelan.
“Fakhri…” bisiknya pelan. Dessy menyerngit bingung. sedangkan, Aldi menatap Alin tak percaya.
“Fakhri kenapa, Lin? Dia… baik-baik aja, kan?” tanya Aldi cepat.
“Fakhri? Maksud kamu Muhammad Fakhri, teman smp kita, ya?” tanya Dessy.
Alin mengangguk, “Iya, Des! Dia…”

~~~~~~~~

Sabtu, 17 Maret 2012

GUARDIAN ANGEL (9)

BINTANG


“Kamu?” cowok itu menunjuk Dessy tidak percaya.
“Kamu?” Dessy membeo perkataan cowok itu sambil menunjuk cowok itu.
“Dessy, lama kita tidak bertemu, ya” katanya senang sambil berjalan menghampiri dessy sambil mengulurkan tangannya.
“Ya, Fakhri! Ternyata kau masih ingat aku” sambil membalas uluran tanganya.
“Eh, dia siapa?” tanya Bintang penasaran. Fakhri menyerngit bingung.
“Oh, namaku Muhammad Fakhri. Kamu, pacarnya Dessy, ya?” tebak Fakhri.
“Bu, bukan! Dia temanku. Btw, sedang apa kamu disini?” tanya Dessy mengalihkan topik. Fakhri menggeleng.
“Ah, nothing! Cuma kebetulan lewat. Kalau begitu, aku pergi dulu, ya” Fakhri berbalik untuk menuruni bukit. Tapi, ia merasakan sesuatu mendarat di kepalanya.
“Pakai tuh jaket biar gak kedinginan. Kelihatannya semua bajumu basah semua” kata Bintang yang melemparkan jaketnya pada Fakhri.
“Thank’s, bro” ucap Fakhri sambil tersenyum.
“Yang tadi itu mantanmu, ya?” tanya Bintang datar. Kini ia duduk sambil bersandar di bawah pohon yang paling dekat dengannya. Dessy menoleh ke arahnya sebentar, lalu ikut bersandar di bawah pohon yang sama dengan Bintang.
“Bukan! Dia itu teman smp-ku. Dulu, dia paling dengan Alinda. Tapi, ntahlah kalau sekarang. Kudengar, Alin pindah sekolah karena ada masalah dengannya” jelas Dessy. Bintang meliriknya sebentar, lalu menghadap langit.
“Oh! Sepertinya hari ini dia lagi senang. Lihatlah, langit pun ikut berbahagia” ujar Bintang. Kini ia tersenyum memandang langit.
“Dia siapa? Dia yang kamu bilang di taman, ya?” tebak Dessy. Bintang mengangguk.
“Kamu sangat suka Bintang?” tanya Dessy lagi. Bintang mengangguk lagi.
“Kau tahu mengapa namaku Bintang?”. Dessy mengangguk. “Itu karena ayah dan ibuku sangat suka bintang. Dan sepertinya, aku menuruni minat mereka. Mereka menamaiku Bintang supaya setiap mereka melihat langit, mereka bisa melihatku, walaupun langit itu tak ada bintang. Jadi, jika kita merindukan seseorang, kita tinggal melihat bintang. Kalau bintang itu tak ada, kita tinggal memejamkan mata kita dan membayangkan orang yang kita rindukan” jelas Bintang.
“Buuk…” Dessy tertidur di bahu Bintang. Bintang hanya memandanginya sebentar sambil mengelus-elus rambut Dessy pelan. Lalu kembali memandang bintang yang kini menyinari mereka.

~~~~~~~~
Devi menghempaskan kamera dan tasnya ke tempat tidur dengan kesal. Lalu turun ke dapur untuk mengambil minuman. Mama Devi yang melihat tingkahnya seperti itu hanya geleng-geleng kepala.
“Devi, kalau minum jangan berdiri!” ingat mamanya. Devi yang tadi minum sambil berdiri di depan kulkas langsung berjalan menuju kursi yang paling dekat dengannya. Ia meneguk habis minumannya. Lalu mengambil lagi minuman, dan kembali meneguknya sampai habis.
“Devi, minumnya pelan-pelan. Jangan kayak orang kesurupan! Lain kali, baca doa dulu” ingat mamanya lagi. Devi meletakkan minumannya di meja makan. Ia pergi kekamarnya sebentar untuk mengambil handuk, lalu kembali lagi kebawah untuk pergi mandi. Baru 3 menit ia di kamar mandi, Kak Kila, kakak perempuan Devi datang sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar mandi.
“Dev, buruan! Kakak juga mau mandi, nih! Lama amat” kata Kak Kila dengan kesal.
“Lama, Kak! Perasaan Devi baru 3 menit masuk” balas Devi tak mau kalah.
“Apa? 3 menit?” sindir kakaknya.
“Sudahlah, Devi! Cobalah kamu sekali-sekali mengalah sama kakakmu” bela mamanya. Tak lama, Devi keluar dari kamar mandi.
“Apa, ma? Sekali-sekali? Devi tuh udah keseringan ngalah, ma, sama Kak Kila. Seharusnya, Kak Kila tuh yang ngalah sekali-sekali sama Devi” protes Devi.
“ Sudahlah” kata mamanya. Kak Kila pun segera berjalan masuk ke kamar mandi.
“Sebentar?” sindir Kak Kila sangat pelan. Tapi, tidak cukup pelan untuk Devi.
“Kenapa, kak? Kakak nggak senang sama Devi?” bentaknya dengan garang.
“Devi, kamu apa-apaan, sih! Kak Kila diam gitu kamu bentak-bentak” kata mamanya. Devi tidak mempedulikannya dan langsung masuk kekamarnya.
“Mama selalu begitu! Dimata mama, Devilah yang salah dan Kak Kila yang benar” kata devi sebelum ia masuk ke kamarnya dan membanting pintu kamarnya dengan keras.
“Astaghfirullah” ucap mamanya pelan sambil mengelus-elus dadanya.
“Sudahlah, ma! Gak usah dengerin omongan Devi. Mungkin, dia lagi kesal” hibur Kak Kila.
“Huh, dasar munafik!” sindir Devi saat ia mendengar omongan Kak Kila yang ada di bawah. Baginya, terlalu kuat Kak Kila berbicara sehingga ia yang berada di dalam kamar pun bisa mendengarnya. Ia menghempaskan dirinya di atas tempat tidur. Lalu mengambil hp-nya. Ada 2 pesan. Ia membukanya satu persatu. Lalu meletakkannya kembali di atas meja, lalu pergi tidur.

~~~~~~~~
Bintang mencubit pipi Dessy pelan. Tak ada  reaksi dari Dessy yang tertidur di bahunya. Lalu, Bintang mencubit hidung Dessy kuat dan…
“Plak!” Dessy terbangun dari tidurnya.
“Aww… sakit” rintih Bintang sambil memegangi pipinya yang tidak sengaja di tampar Dessy.
“Hah? Maaf, aku tidak sengaja” kata Devi merasa bersalah. Ia meniup pipi Bintang yang memerah.
“Masih sakit?” tanya Dessy sambil membelai pipi Bintang pelan. Bintang menggeleng. Ia mengalihkan pandangannya kearah jam tangannya.
“Mmm… ng… kita pulang, yuk! Udah jam 11” kata Bintang canggung.
“Apa? Jam 11? Buruan pulang, yuk! Kalau kelamaan aku bisa dimarahin” kata Dessy panik. Ia melirik jam tangannya.
“Tapi, jam ku menunjukkan angka 9, ya” kata Dessy heran. Ia melirik Bintang yang kini sudah tertawa melihatnya.
“Hei, kamu bohongin aku, ya?”
“Hahaha… maaf, Des! Aku lupa kalau jamku mati..haha..”.
“Bintang! Awas ya, kau!” Dessy memukul bahu Bintang dengan kuat.
“Haha… udah, dong! Bahuku bisa patah gara-gara kamu pukul terus”. Dessy berhenti memukulinya. Dessy mengembungkan pipinya sambil melipat tangannya.
“Kalau kamu tertawa terus, aku bakalan loncat, nih!” ancam Dessy. Bintang berhenti tertawa. Eh, lebih tepatnya menahan tawanya karena senyumnya masih belum hilang.
“Oke, oke. Kita pulang sekarang, yuk!” ajak Bintang. Dessy pun mengangguk.

~~~~~~~~
Alin duduk santai di beranda kamar Lidya sambil memandang bintang.
“Malam ini cerah, ya?” kata Lidya yang tiba-tiba keluar dari kamarnya.
“Lidya, ada sesuatu yang ingin aku tanyakan” kata Alin.
“Apa?”
“Jawab jujur, ya! Di sekolah, Fakhri nanyain sesuatu nggak ke kamu tentang aku?” tanya Alin serius. Lidya mengangguk.
“Baiklah, untukmu aku kasih tahu. Fakhri bilang kemarin malam ia melihatmu datang ke kafeku. Memangnya kenapa?” tanya Lidya bingung. Alin hanya menggeleng sambil tersenyum misterius.

~~~~~~~~
Rahma melirik ke bangku kosong yang ada di sebelah kanan dan kiri Devi secara bergantian. Sedangkan, Cika dan Dessy melirik Riri yang duduk di depan bangku Devi. Devi sendiri menatap bingung 3 orang itu.
“Apa yang kalian lihat?” tanya Devi. Cika dan Dessy hanya menggeleng sambil berpura-pura menulis. Lalu, Devi menatap Rahma dengan rasa ingin tahu.
“Tidak, aku hanya bingung mengapa 2 orang itu tidak masuk sekolah beberapa hari ini” jawab Rahma.
“Kalau yang gak masuk Reza, itu kabar baik untukku. Kalau yang gak masuk Alin, aku jadi khawatir. Jangan-jangan dia ada apa-apanya” ujar Devi.
“Tenang aja! Dia tidak apa-apa” balas Aldi datar, lalu berjalan keluar kelas.
“Cik, Riri kenapa, tuh? Tumben dia senyum, biasanya dia pasang wajah tanpa ekspresi” kata Sasha yang duduk di sebelah Cika. Cika mengangkat bahunya.
“Dia udah dari kemarin-kemarin kayak gitu. Gak tau kenapa” jawab Dessy. Devi dan Rahma yang mendengarnya jadi tertarik. Mereka segera duduk mendekati Cika dan Dessy.
“Nah, itu dia yang aku bingung. Apa dia habis kesambet hantu, ya?” kata Sasha asal.
“Hush, jangan asal ngomong, ya! Gitu-gitu dia teman kita juga” balas Rahma.
“Nah, lain lagi dengan Vivi yang akhir-akhir ini sering menyendiri” kata Devi.
“Iya! Semenjak Alin tidak masuk sekolah, teman-teman kita banyak yang aneh, termasuk Dessy juga” kata Riri tiba-tiba. Ntah sejak kapan ia sudah ada di situ.
“Me?” Dessy menunjuk dirinya sendiri. Yang lain mengangguk.
“Emangnya apa yang aneh dariku?” tanya Dessy bingung.
“Ntahlah, tapi kami merasa hidup akhir-akhir ini menjadi lebih berwarna dari hari-hari sebelumnya” jawab Rahma. Dessy terkekeh pelan.
“Mungkin hanya perasaan kalian saja” balas Dessy sambil tersenyum.

~~~~~~~~
Siang hari di kafe, Alin kembali melihat Fakhri datang mengunjungi kafe. Semenjak hari pertama ia bekerja di kafe, Fakhri jadi sering datang. Dan membuat Alin senang adalah setiap kali Fakhri datang, dialah yang di suruh melayani Fakhri. Fakhri sudah siap di bangku nomor 3, menunggu kedatangan Alin yang membawa pesanannya, yang tanpa di pesan pun Alin sudah tahu karena Fakhri selalu memesan makanan itu. Alin pun datang membawa pesanan.
“Ini tuan pesanan anda” Alin meletakkan pesanan Fakhri diatas meja dan mulai beranjak pergi.
“Mmm… Din, bisa temani aku makan?”. Dia terlihat berpikir.
“Maaf! Tapi saya sedang bekerja, tuan” katanya dengan perasaan bersalah karena tidak bisa menemaninya. Wajah Fakhri merengut.
“Iya, iya! Aku tahu” Alin segera duduk tepat di depan Fakhri. Fakhri memberikan es krim rasa choco vanilla.
“Mau ini?” tawar Fakhri. Alin mengangguk senang dan langsung melahap es krim itu. Fakhri tertawa kecil melihat tingkah Alin yang ke kanak-kanakan itu.
“Mau, tuan?” tawar Alin pada Fakhri dengan mulut belepotan es krim. Fakhri menggeleng. Ia segera mengambil tisu dan membersihkan es krim yang ada di sekitar bibirnya. Alin terdiam membeku saat Fakhri menyentuh wajahnya pelan.
“Yak, selesai” kata Fakhri yang membuyarkan lamunan Alin.
“Te… terima kasih, tuan” ucapnya terbata. Fakhri menyerngit bingung.
“Hei, ini sudah kesekian kalinya aku bilang padamu. Jangan panggil aku tuan! Cukup Fakhri saja” omelnya. Alin mengangguk kecil.
“Iya, iya! Aku tahu” jawab Alin yang kesekian kalinya. Fakhri mencubit pipi Alin gemas. Alin pun terpekik.
“Sakit, tau! Udah, ah! Jangan ganggu orang yang lagi makan” protesnya.

~~~~~~~~
Devi melirik Reza yang baru datang dengan tatapan tidak senang.
“Masih hidup loe?” sindir Devi saat Reza baru saja duduk di bangkunya. Reza meliriknya sebentar, lalu ia membanting tasnya di atas meja.
“Penting? Emangnya loe kira gue mati?” ucap Reza cepat.
“Gue harap sih gitu. Jadi, gak ada lagi SETAN-SETAN yang bergentayangan di sekitar gue” sindir Devi lagi sambil menekankan kata ‘SETAN-SETAN’ pada Reza.
“I DON’T CARE” bisiknya ke telinga Devi, kemudian beranjak pergi dari kelas.

~~~~~~~~
Alin berjalan menyusuri koridor sekolah yang sepi. Sebentar lagi bel pulang berbunyi. Ia harus segera bersembunyi ke salah satu ruangan supaya tak ada yang bisa melihatnya datang ke sekolah. Cara Alin masuk ke sekolah ialah dengan cara memanjat pagar sekolah secara diam-diam.
“Teett…teettt…teetttt” bel pulang berbunyi. Alin melihat sudah banyak orang-orang yang keluar kelas. Ia segera memakai topi dan kacamatanya, lalu masuk ke ruang musik secara diam-diam. Setelah agak sepi, barulah ia keluar. Tujuan Alin datang ke sekolah adalah… Ntahlah! Alin sendiri tak tahu. Ia hanya ingin jalan-jalan.
“Alin” panggil seseorang yang berdiri tak jauh dari Alin. Tanpa menoleh pun Alin tahu itu siapa. Yang ia lakukan adalah berlari menjauh.
“Alin tunggu!” panggil orang itu. Alin tetap tidak mempedulikannya dan terus berlari keluar sekolah. Namun, kaki Alin tak kuat lagi untuk berlari, Ia berhenti di depan gerbang sekolah. Lalu, kemabali berlari. Namun, orang itu sudah terlebih dulu menangkap Alin.
“Aldi, lepaskan aku” Alin memberontak.
“Alin, dengerin dulu! Gue mau ngomong sama loe. Loe harus pulang kerumah. Kasihan orangtua loe yang khawatir dengan keadaan loe” jelas Aldi cepat.
Alin menggeleng, “Aku nggak mau pulang! Aku nggak mau balik lagi kerumah itu”. Untung saja jalan di situ selalu sepi setiap murid-murid pulang sekolah. Jadi, tidak banyak yang melihat pertengkaran Alin dan Aldi. Aldi mencengkram kerah Alin dengan garang.
“Hei, loe pikir dengan melarikan diri bisa menyelesaikan masalah, hah!!! Tau nggak, gara-gara loe nyokap dan bokap loe sakit. Dan gara-gara loe, Deka udah 2 kali hampir bunuh diri. Loe itu egois, gak pernah mikirin orang lain. Yang loe pikirkan hanyalah diri loe sendiri. Sudahlah, terserah loe aja!! Gue udah muak sama tingkah loe”. Aldi melepaskan cengkramannya dan mendorong Alin dengan kasar. Mata Alin sudah banjir air mata saat Aldi bilang mama-papanya sakit. Dan yang membuatnya paling sedih saat Aldi menyebut tentang Deka, teman smp-nya dulu. Ia menggelengkan kepalanya tidak percaya.
Bunuh diri? 2 kali? Benarkah itu, batinnya. Ia segera berlari mengejar Aldi.
“Aldi, tunggu! Apa maksud loe tadi? Benarkah Deka mencoba bunuh diri?” tanya Alin tidak percaya. Tapi, Aldi tidak menghiraukannya.
“Aldi, please! Tolong loe jelasin ke gue!” Alin menahan tangan Aldi kuat.
“Buat apa? Lagian gak penting juga, kan?” katanya sinis lalu mengibas tangannya dengan kuat. Saking kuatnya, Alin sampai terlempar ke jalan.
Sebuah mobil melaju dengan cepat berjalan mendekati Alin. Alin yang melihatnya tak bisa berbuat apa-apa lagi. Kakinya membeku saat jarak antara mobil dan dirinya tinggal beberapa meter. Ia terlihat pasrah. Ia memejamkan kedua matanya. Ntah mengapa, yang ada dipikirannya adalah seorang anak perempuan yang berdiri di tengah jalan. Keadaannya sama dengan Alin. Ia hanya bisa berdiri diam mematung di tengah jalan.
“Awasss” teriak seorang cowok. Kemudian…
“Buuukk” semuanya pun menghitam.

~~~~~~~~

GUARDIAN ANGEL ( 8)


PANGERAN KUDA PUTIH  



“Krieekk…” pintu dapur sekolah terbuka. Seorang cewek melangkah masuk sambil menghentak-hentakkan kakinya dengan kesal.
“ARRGGHHHHHHH!!!!” teriak cewek itu kesal.
“Alinda?” kata Riri terkejut. Alin pun menoleh ke sumber suara.
“Riri? Ngapain kamu disini?” tanya Alin panik. Ia tak tahu kalau ada orang lain di dapur.
“Cuma numpang masak. Btw, kenapa hari ini kamu tidak masuk?” tanya Riri khawatir. Alin menggelengkan kepalanya.
“Bolos, ya?” kata Ferdi sinis.
“Siapa kamu? Sejak kapan kamu disini?” tanya Alin terkejut. Dia sama sekali tidak menyadari kehadiran Ferdi.
“Oh, dia Ferdi. Murid baru yang nyasar gak tau jalan pulang… Aww, sakit” rintih Riri sambil mengelus-elus kepalanya yang sakit.
Alin melirik jam tangannya. Matanya membulat,”Gawat, aku harus balik. Bye” ucap Alin datar sambil berlalu pergi.
“Eh, Lin, tung…” baru saja Riri mau bicara, tetapi Alin sudah keburu pergi.

~~~~~~~~
Alin baru saja tiba di kafe saat ada banyak pelayan ada di dapur mengintip ke dalam ruang kafe. Alin tampak penasaran dan ikut melihatnya. Namun, terlalu sulit karena banyak pelayan yang berdesakan untuk melihatnya.
“Apa yang terjadi?” tanya Alin pada salah satu pelayan kafe.
“Dia… dia ada disini..” kata mereka histeris.
“Dia? Siapa dia?” tanya Alin bingung.
“Astaga, kau tidak tahu siapa dia. Dia, Pangeran kuda putih” pelayan itu mencoba menjelaskannya pada Alin. Namun, Alin tetap tidak mengerti.
“Ah, wajar saja dia tidak tahu. Dia kan baru disini. Jadi, mana mungkin dia tahu” kata pelayan yang satu lagi dengan sinis. Alin tidak mempedulikannya dan langsung mengganti bajunya. Ia keluar dengan penampilan seperti tadi pagi, rambut di kepang 2 dan kacamata. Kemudian, ia kembali bekerja.
“Hei, tolong bawakan piring kotor ini ke dapur” perintah pelayan yang sinis tadi pada Alin. Alin segera menghampirinya yang berada di meja nomor 3 dan langsung membawa piring-piring kotor itu ke dapur.
“Hei, kenapa baru datang sekarang? Kemari-kemarin kamu kemana saja?Oh, ya, mana cewek itu yang selalu jadi bayanganmu?” goda pelayan-pelayan itu pada si pangeran kuda putih. Alin masih tampak penasaran. Ia berusaha melirik si pangeran itu, tapi pelayan itu menghalanginya. Alin berusaha untuk tidak peduli, lalu berjalan ke dapur. Ia kembali lagi ke dalam untuk mengambil piring kotor lagi. Bisa ia lihat meja yang tadinya ramai dikerubuti para pelayan, kini berubah menjadi sepi.
“Kemana orang itu?” tanya Alin dalam hati. Matanya melihat ke sekeliling kafe.
“Buukk… Prangg” Alin menabrak seseorang. Tubuhnya oleng, sehingga piring yang ia bawa pecah. Tapi, seseorang menahan tubuhnya, sehingga ia tidak terjatuh.
“Maaf, aku tidak sengaja” kata orang itu dengan rasa bersalah. Namun, yang ada dipikiran Alin adalah piring pecah yang kini berserakan di lantai.
“Astaghfirullah… Ba… bagaimana ini?” Alin tampak panik. Ia berusaha mengumpulkan pecahan-pecahan piring.
“Biar aku bantu” tawarnya sambil ikut mengumpulkan pecahan-pecahan piring yang berserakan. Alin baru menyadari kehadirannya. Ia menatap orang itu dan piring pecah secara bergantian. Wajah orang itu tidak terlihat karena terhalang oleh topi.
“Siapa laki-laki ini?” tanya Alin dalam hati. Deg! Tiba-tiba, jantungnya berdetak lebih cepat. Alin berusaha mengatur denyut jantungnya.
“Ada apa ini? Kenapa jantungku berdetak seperti ini?” tanya Alin dalam hati. Ia masih teru berusah menenangkan jantungnya. Tanpa sengaja, pecahan piring itu melukai jari telunjuk kanan Alin.
“Aww..’” rintihnya sambil mengibas-ngibas jarinya yang sakit.
“Jarimu berdarah, ya?” tanya cowok itu khawatir. Tanpa basa-basi, ia langsung mengambil jari Alin dan menghisap darah yang keluar. Alin terkejut. Ntah mengapa ia merasa senang dan bahagia. Cowok itu mengeluarkan plester bergambar bintang dan langsung memasangnya di jari Alin. Alin tertunduk malu.
“Yak! Sudah selesai” kata-katanya membuyarkan lamunan Alin. Alin segera mendongakkan kepalanya dan terkejut melihat wajah cowok itu.
“Ka… kamu…”

~~~~~~~~
Devi sedang asyik mengambil gambar-gambar orang yang ikut ekskul basket. Sesekali ia mengambil gambar cowok yang memakai baju bernomor punggung 5 secara diam-diam. Ia tampak senang saat ia dapat mengambil gambarnya.
“Sampai kapan kamu terus mengambil gambarnya diam-diam seperti ini?” tanya Rahma. Devi terlihat tak peduli dan terus mengambil gambarnya.
“Trrrttt…Trrrttt…” hp Devi bergetar. Devi meletakkan kameranya di dalam tas kamera, lalu mengambil hp-nya dan segera mengangkatnya.
“Halo…” katanya senang. Namun ia terdiam sebentar sambil melihat layar hp-nya. Lalu ia kembali mengangkatnya dengan malas.
“Apa?” tanyanya galak. Rahma menatap Devi bingung.
Tolong aku. Perutku… sakit.Aww..”terdengar rintihan suara cowok dari ujung telepon
“Kenapa tidak minta tolong sama yang lain aja?” bentak Devi kesal.
“…..”
“Ya udah. Aku kesana sekarang. Klik” Devi segera berangkat dari situ dan bergegas mengambil motornya.
“Mau kemana?” tanya Rahma.
“Maaf, Rahma. Aku ada urusan mendadak” Devi buru-buru menghidupkan motornya.
“Nggak apa-apa. Ya udah, hati-hati, ya” kata Rahma sambil melambaikan tangannya pada Devi. Devi melambaikan tangannya sambil tersenyum pada Rahma.

~~~~~~~~
“Ka… kamu… “ kata Alin terkejut. Tapi ia menutup mulutnya dan segera berdiri meminta maaf.
“Maafkan saya, tuan. Lain kali saya akan lebih hati-hati” Alin menunduk hormat, kemudian berjalan pergi meninggalkan cowok itu sambil menahan air matanya yang berusaha menerobos keluar.
“Dinda, kamu kenapa?” tanya salah manager kafe. Alin menggeleng pelan.
“Kamu sakit, ya?” manager itu memgang dahi Alin. Alin kembali menggeleng.
“Aku… Aku tidak apa-apa”. Alin mengahpus air matanya yang mulai menetes sambil melirik ke arah dimana ia bertemu cowok itu tadi. Tak ada siapapun disana.
“Maaf, pecahan-pecahan piring ini mau diletakkan dimana?” tanya cowok yang sepertinya Alin kenal. Alin berbalik dan terkejut melihat cowok itu.
“Nih orang rajin amat sampai-sampai pecahan piring yang tadi tidak sengaja ia pecahkan mau diantar sampai sini” batin Alin. Rasa sedihnya tiba-tiba menghilang.
Manager kafe itu menatap Alin dengan dengan penuh selidik. “Kamu memecahkan piring-piring ini?”. Ting tong! Gawat seribu gawat untuk Alin.
“Mmm… bukan. Tadi saya yang menabraknya sehingga piringnya pecah” jelas cowok itu berusaha menyelamatkan Alin.
“Baiklah! Kalau begitu, biar saya yang buang. Alin, kamu layani dia” kata manager kafe sambil mengambil kumpulan pecahan piring yang di bawa cowok itu.
“Ada pesan apa, tuan?” tanya Alin saat manager kafe itu sudah pergi.
“Saya mau anda ikut dengan saya jalan-jalan” cowok itu menarik tangan Alin.
Alin segera menarik tangannya kembali. “Tapi, saya sedang bekerja”
“Bukannya dia menyuruhmu melayaniku?”. Kata-katanya itu membuat Alin kalah telak. Saat cowok itu mengajaknya keluar, bisa Alin lihat kalau banyak pelayan-pelayan kafe yang memandangnya iri.
“Hei, kenapa Si Pangeran Kuda Putih itu pergi dengan pelayan jelek itu?” bisik salah satu pelayan yang ada di dekat pintu masuk. Alin pura-pura tidak mendengarnya dan langsung berjalan keluar bersama cowok itu.
Alin terdiam saat berada di dalam mobil cowok itu. Cowok itu melirik Alin sebentar, lalu mengulurkan tangan kanannya. Tangan kirinya memegang stir mobil.
“Muhammad Fakhri”. Kata-kata cowok itu membuyarkan lamunannya.
“Al.. eh, maksudku Dinda Fakhria” jawab Alin asal sambil membalas uluran tangannya. “Jadi, dia belum mengenaliku? Baguslah kalau begitu” kata Alin dalam hati. Alin segera melepaskan tangannya dan kembali menghadap jendela.
“Kamu sekolah dimana?” tanya Fakhri.
“Di SMA Garuda Internasional. Kenapa nanyain sekolahku?” kata Alin berusaha santai. Ia bingung mengapa Fakhri menanyakan sekolahnya.
“Tidak apa-apa. Nah, sekarang kita sudah sampai” Fakhri segera turun dari mobil dan segera berlari membuka pintu untuk Alin. Alin pun turun dan melihat sekelilingnya. Mereka sekarang berada di pantai yang dulu sering didatanginya bersama Fakhri, Lidya dan Deka.
“Ini…” Alin segera mengehntikan kata-katanya. Ia segera melirik kearah Fakhri yang sekarang memandangnya dengan penuh tanda tanya.
“Kamu tau tempat ini?”. Alin menggeleng.
“Maksudku tempat ini sangat indah” elak Alin. Fakhri tersenyum senang.
“Kalau begitu, kita main yuk!” ajak Fakhri sambil berlari ke arah pantai. Alin mengikutinya dari belakang.
“Fakhri” panggil Alin sambil menyipratkan air pantai pada Fakhri.
“Aww.. Hei.. Awas kau” kata Fakhri sambil berlari mengejar Alin. Fakhri menyipratkan air pada Alin. Begitu juga sebaliknya. Mereka terus bermain air sampai hari mulai berubah menjadi gelap.

~~~~~~~~
“Sampai kapan kau terus menemaniku disini?”tanya Riri dengan ketus.
“Kau sendiri? Mau berapa lama lagi kau mengurung diri di dapur yang pengap ini?” tanya Ferdi balik. Riri menghela nafas pelan.
“Ferdi, aku disini karena aku punya urusan. Kalau kamu disini hanya menemaniku, lebih baik kau pulang saja. Lagipula, kamu belum makan dari tadi, kan?” jelas Riri. Ferdi terlihat sedang memikirkan sesuatu.
“Oke. Aku disini juga punya urusan tersendiri. Lagipula, kamu juga belum makan, kan?” kata Ferdi mengulang pertanyaan Riri tadi. Riri mendesah pelan.
“Ya sudah. Terserah kamu saja” ucap Riri cepat. Ia mengambil kue bolu lapis yang ada di dalam oven dan memotongnya. Ia letakkan di piring kecil, lalu ia berikan kue itu pada Ferdi.
“Nih, untukmu. Sebagai ucapan terima kasih karena sudah membantuku memasak” ucap Riri lagi. Ferdi menerimanya dengan senang, kemudian melahap habis kue itu. Riri ikut memakan kue yang sudah ia potong khusus untuknya.
“Kalau begitu, terima kasih, ya! Lain kali aku akan mengajarimu memasak makanan yang lain” ucap Ferdi sambil berjalan meninggalkan Riri. Riri tersenyum pahit. Entah kenapa, saat Ferdi pergi meninggalkan dapur, ruangan itu menjadi terasa sangat sepi.
“Krieekk…” bunyi pintu dapur terbuka. Ternyata Ferdi kembali lagi ke dapur.
“A, ada apa? Kenapa kau kembali kesini?” tanya Riri gugup.
“Ah, aku pikir tidak baik meninggalkan seorang perempuan sendiri disini saat hari sudah gelap. Terlalu bahaya untukmu” jelas Ferdi sambil tersenyum.
“Hah?” Riri sedikit terkejut namun ia segera mengendalikan diri. “Kalau begitu, bisakah kau membantuku membereskan ini semua supaya kita bisa cepat pulang”
Tanpa basa-basi, Ferdi segera membantu Riri membereskan semuanya.

~~~~~~~~


Dessy duduk di kursi taman itu dengan gelisah. Ia melirik jam tangannya. Pukul 7.30 malam, tapi Bintang belum juga datang.
“Ah, aku lupa tanya jam berapa ketemuannya” kata Dessy dalam hati. Ia merasa bulu kuduknya berdiri. Ada seseorang yang berjalan mendekatinya dari belakang. Ia berusaha mengatur nafasnya, melepaskan sandal yang ia pakai secara perlahan. Saat ia merasakan jarak antara dia dan orang yang ada di belakangnya sudah dekat, ia segera berdiri dan memukulnya secara membabi buta.
“Rasakan in!” kata Dessy sambil terus memukuli orang itu.
“Aww… aww… hentikan! Ini aku, Bintang!” ucapnya cepat. Dessy berhenti memukulinya dan benar, ia memukuli Bintang yang sekarang meringis kesakitan.
“Maaf! Aku kirain orang jahat tadi” kata Dessy merasa bersalah.
“Ah, tidak apa-apa! Maaf sudah mengagetkanmu. Aku juga minta maaf sudah membuatmu menunggu lama” ucap Bintang merasa bersalah. “Dan sebagai gantinya, maukah kau ikut denganku ke suatu tempat?” tawarnya. Tanpa pikir panjang Dessy mengangguk.

~~~~~~~~
Alin menggosok-gosok tangannya yang dingin saat mereka sudah berada di dalam mobil. Bajunya basah semua. Penampilannya pun berantakan.
“Kamu kedinginan?” tanya Fakhri. Alin mengangguk. Bibirnya membiru.
“Kamu sih mainnya kelamaan. Lihat, kamu jadi seperti ini. Bagaimana kalau nanti kamu masuk angin?” cerocos Fakhri. Ia segera menepikan mobilnya.
“Pakailah ini” Fakhri segera memakaikan jaket pada Alin. Lalu ia menggosok-gosok kedua telapak tangan Alin. Wajah Alin tiba-ba memanas.
“Sudah merasa hangat?” tanya Fakhri. Alin mengangguk. Ia tidak bisa berkata apa-apa. Lebih baik ia diam dan menikmati waktu bersama Fakhri.
“Kacamatamu, apa tidak mengganggu?”. Alin menggeleng.
“Sebaiknya dibuka saja” tangan Fakhri memegang gagang kacamata. Alin segera menahan tangan Fakhri.
“Ja, jangan! Kalau dibuka, itu lebih menggangguku” cegah Alin. Ia baru tersadar kalau wajahnya hanya berjarak beberapa senti dari wajah Fakhri.
“Ah, baiklah kalau begitu” kata Fakhri. Ia kembali melajukan mobilnya.

~~~~~~~~
“WAAWW! INI MENAKJUBKAN” teriak Dessy dari atas bukit. Bintang hanya tersenyum melihat tingkah Dessy.
“Kau ini sangat lucu” kata Bintang sambil mencubit kedua pipi Dessy dengan gemas. Dessy meringis kesakitan.
“Aww, sakit tau. Nih, rasakan” balas Dessy sambil mencubit pipi Bintang. Bintang kembali mencubit pipi Dessy. Mereka sekarang main cubit-cubitan.
Tiba-tiba seseorang datang dan mengejutkan Dessy dan Bintang.
“Kalian, apa yang kalian lakukan disini?” tanya cowok itu.
Bintang dan Dessy menoleh serempak ke arah sumber suara.
“Kamu?” cowok itu menunjuk Dessy tidak percaya.
“Kamu?” Dessy membeo perkataan Cowok itu. Ia juga menunjuk cowok itu tidak percaya.

~~~~~~~~

GUARDIAN ANGEL (7)

COOKING  ˆˆ


Pagi-pagi di sekolah, Devi, Riri dan Cika sedang berjalan santai menyusuri koridor. Tiba-tiba Dessy berlari ke dalam kelas melewati mereka bertiga begitu saja.
“Sepertinya ada yang aneh, deh, dengan Dessy hari ini” kata Cika.
“Apa?” tanya Riri penasaran.
“Mungkin, karena dia datang pagi hari ini, ya” jawab Devi asal.
Cika menatap Devi aneh, “Bukannya Dessy biasanya datang pagi, ya? Justru kamu tuh yang aneh. Tumben kamu datang pagi”.
“Oh, iya, ya” kata Devi sambil senyum-senyum gak jelas.
“Trus, apa yang aneh dari Dessy?” tanya Riri.
“Gak tau, ah! Masuk, yuk” ajak Cika.

~~~~~~~~
Lidya memandangi Alin yang sedang mendadani dirinya sendiri di depan kaca dengan kasihan. Rambutnya ia kepang dua dengan kacamata serta setelan baju pelayan kafe milik keluarga Lidya membuatnya seperti orang lain.
“Loe serius mau bekerja sebagai pelayan di kafe gue?” tanyanya tak yakin.
Alin berbalik memandangi Lidya yang sedang memandanginya.
“Gue butuh pekerjaan ini buat hidup gue, Lid” jawab Alin.
“Tapi, gimana dengan sekolah loe?” tanyanya kasihan.
“Gue udah bilang sama teman gue kalau untuk beberapa hari ini gue gak masuk sekolah” jawabnya santai, lalu kembali memandangi dirinya di kaca.
“Gimana kalau ada yang tahu kalau loe kerja di kafe gue?” tanya Lidya lagi.
“Lidya, coba loe lihat gue. Apakah gue terlihat sebagai Alinda Jovanka?” tanya Alin balik. Lidya menggeleng.
“Itu berarti gak bakalan ada orang yang bakal tahu tentang gue. Lagian, loe niat gak sih bantuin gue?” kata Alin sebal.
‘Niat, sih. Tapi, gak kayak gini deh caranya” jawab Lidya.
“Ya udah, gue cari kerja di tempat lain aja, deh” kata Alin sambil berpura-pura ngambek.
“Bu..bukan gitu maksud gue, Lin. Kita kan udah lama bersahabat. Gue udah nganggap loe kayak saudara gue sendiri. Jadi, kalau loe butuh apa-apa, gue bisa langsung kasih ke elo. Bukan kayak gini” jelas Lidya. Alin tersenyum.
“Lidya, gue juga udah nganggap loe kayak saudara gue sendiri. Tapi, gue juga gak mau ngerepotin loe. So, please, jangan bahas lagi, ya. Sekarang, antar gue ke kafe. Gue mau kerja dulu. Ingat, jangan panggil gue Alin” kata Alin. 

~~~~~~~~
“Aduh, Alin mana, ya? Kok jam segini belum datang juga” kata Devi dari tempat duduknya sambil melirik kursi kosong yang ada di sebelah kanannya.
“Yang benar aja, udah jam 9 gak mungkin Alin datang ke sekolah, tau” cetus Rahma yang duduk tepat di belakangnya.
“Katanya, untuk beberapa hari ini dia gak masuk sekolah” jawab Reza yang duduk sebangku dengan Devi. Devi menatapnya ingin tahu.
“Tahu dari mana? Kok dia gak ngabarin kami, ya?”
“Ini juga mau di bilangin, tam. Loe gak perlu sentimen gitu” kata Reza.
“Berisik, rus! Lagian, badan gue gal hitam-hitam amat kali” balas Devi.
“Merasa, ya?” tanya Reza sambil mencatat tulisan yang ada di papan tulis.
Devi menatap Reza kesal, lalu memukuli bahunya dengan sebal. Beginilah keseharian mereka. Selalu saja bertengkar.  Dessy dan Cika memandangi tingkah mereka sambil menahan tawa mereka.
“Liat tuh mereka, selalu begitu. Tunggu aja, aku harap mereka bisa jadian deh” bisik Dessy pada Cika. Namun, sepertinya Devi bisa mendengar bisikan Dessy itu. Lalu, dia memandangi Dessy dengan pandangan sebal.
“Apa,? Jadian sama dia, jangan mimpi! Gak bakal, deh” ketus Devi. Reza yang mendengarnya hanya tersenyum.
“Kenapa loe senyum-senyum? Lucu, hah?” bentaknya. Reza tidak mempedulikan dan tetap melanjutkan catatannya. Tanpa mereka tahu, Aldi yang mendengarnya hanya bisa terdiam. Ia hanya memandangi buku diary Alin yang ada di bawah laci mejanya dengan perasaan bersalah.

~~~~~~~~
Alin mengganti seragam pelayannya dengan pakaian biasa di ruang ganti. Siang ini dia mau jalan-jalan mencari angin. Dia sudah meminta izin pada manager untuk izin jalan-jalan dan managernya pun sudah memberinya izin. Ia pun keluar kafe dan mulai berjalan-jalan. Ia terus berjalan hingga kakinya berhenti di depan SMA-nya. Alin memandangi sekolahnya itu dengan sedih. Bagaimana bisa ia di jodohkan dengan anak kepala sekolah SMA-nya yang ternyata teman sebangkunya yang paling menyebalkan sekaligus tetangga rumahnya. Sepertinya sekolahnya sudah sepi. Hanya ada orang-orang yang ikut ekskul basket dan voli yang masih tersisa. Alin pun segera memasuki sekolah dan berjalan ke ruang musik. Perlahan Alin membuka pintu ruang musik yang ternyata tidak dikunci. Di dalamnya terdapat berbagai macam alat music, termasuk piano. Alin memandangi piano itu dengan senang dan segera menghampirinya. Satu persatu ia menekan tuts-tuts piano itu. Kemudian ia duduk didekat piano itu, lalu mulai memainkan sebuah lagu kesukaanya yang berjudul “Bunda” dari Melly Goeslaw.

~~~~~~~~
“Tektektek…” Riri sedang asyik memotong kacang panjang di dapur sekolah. Hari ini ia mau membuat kejutan untuk kakak perempuannya yang hari ini pulang dari Singapura setelah 2 tahun tidak pulang ke rumah karena sibuk menjalani kuliahnya. Ia terus memotong tanpa tahu kalau ada seorang cowok yang nyasar di koridor dapur sekolah. Tiba-tiba air mata Riri menetes pelan dan mulai membasahi pipinya. Cowok yang nyasar itu pun terkejut melihat Riri tiba-tiba menangis itu.
“Kamu, kenapa tiba-tiba menangis?” tanya cowok itu dari balik jendela yang tembus pandang itu. Jendelanya tidak terlalu tinggi sehingga cowok itu bisa melihat Riri yang ada di dalam dapur. Riri menatap cowok itu dengan bingung sambil menghapus air matanya.
“Siapa yang nangis?” tanya Riri cuek.
“Kamu” jawabnya singkat. Riri kembali menatapnya.
“Kamu gak liat ya aku lagi ngapain” kata Riri dengan kesal.
“kamu lagi motong, kan…” cowok itu terdiam sebentar sambil melirik benda apa yang di potong. “…emm… bawang, ya?” katanya malu. Riri hanya meliriknya sebentar, lalu kembali memotong bawang.
“Mau aku ajarin memasak?” tawarnya. Tanpa sengaja, jari telunjuk kiri Riri teriris pisau hanya karena terkejut mendengar tawaran cowok itu.
“Aww…” rintihnya sambil mengibas-ngibas tangannya yang teriris pisau.
“Hei, kamu tidak apa-apa, kan?” tanya cowok itu khawatir. Ia menerobos masuk ke dapur dan menghampiri Riri, lalu mengambil jari Riri yang terluka.
“Ah, kamu ini orangnya tidak hati-hati. Lihat, tanganmu terluka, kan” kata cowok itu. Hal yang lebih mengejutkan Riri adalah, cowok itu tiba-tiba langsung menghisap darah Riri. Cowok itu mengeluarkan sapu tangannya, kemudian ia balutkan ke jari Riri. Riri hanya membiarkan cowok itu mengobati lukanya.
“Selesai! Lain kali hati-hati, ya!” ingatnya. Lalu mengulurkan tangannya pada Riri. “Ferdian Juliansyah”
Ragu-ragu Riri menerima uluran tangannya, “Riri Alfarizy”. Ia pun akhirnya menyambut uluran tangannya.
“Oh, Riri. Senang berkenalan dengamu” kata Ferdi senang.
“Sama-sama, cowok nyasar!”

~~~~~~~~
Aldi berjalan mengelilingi sekolahnya dengan malas. Sesekali ia menarik-narik rambutnya dengan frustasi. Entah apa yang ia pikirkan, namun tampaknya ia sangat stress. Tiba-tiba langkahnya terhenti. Sayup-sayup ia mendengar alunan suara piano dari ruang musik. Ia pun segera melangkah menuju ruang musik. Aldi sekarang berdiri di depan ruang musik dengan bimbang. Entah mengapa, permainan piano yang ia dengar semakin menyedihkan. Temponya sangat lamban untuk dimainkan. Kadang-kadang berhenti, kemudian terdengar lagi. Ia sangat penasaran dan segera membuka pintu itu dengan pelan. 1 centi pintu itu terbuka, samar-samar ia melihat seorang sedang bermain-main dengan piano itu. 2 centi pintu terbuka, samar-samar ia melihat cewek berambut panjang menggunakan pakaian santai. 3 centi pintu terbuka, seseorang memegang bahunya yang membuatnya terkejut. Tanpa sadar, ia menutup pintu ruang musik dengan keras membuat orang yang memegang bahunya ikut terkejut. Aldi membalikkan badannya dan melihat Reza sedang menatap heran.
“Loe kenapa, sih? Apa yang loe lakukan disini?” tanya Reza penasaran.
“Bukan urusan loe” jawab Aldi cuek. Aldi tidak lagi mendengar bunyi piano di mainkan. Ia mengintip sebentar ke dalam dan tidak melihat siapapun.
“Ada apa, sih di dalam?” tanya Reza ingin tahu. Ia juga ikut mengintip ke ruang musik. Aldi cuek dan segera pergi meninggalkan Reza.
“Ada sesuatu yang ingin gue tanyakan ke elo. Ini tentang…” Reza melirik ke kiri-kanan. Tidak ada orang, “…ini tentang Alin”. Aldi menghentikan langkahnya.
“Untuk apa loe tanya tentang Alin ke gue?” tanya Aldi tanpa berbalik.
“Gue hanya penasaran aja kenapa semalam dia berkeliaran di jalan” ujarnya.
Aldi membalikkan badannya,”Loe gak perlu tahu urusan orang lain” lalu ia berbalik pergi.
“Gue bisa kasih tau loe dimana kemungkinan dia berada sekarang…” tawar Reza. “…asal loe bisa kasih tau gue apa yang sedang terjadi antara loe dan Alin”. Aldi kembali menghentikan langkahnya.
“Itu bukan urusan loe. Gue bisa cari tahu sendiri dimana Alin berada” kata Aldi lalu berjalan pergi.
“Krieekk” bunyi pintu ruang musik terbuka. Reza langsung berbalik dan terkejut melihat siapa yang berdiri di depan pintu ruang musik.
“Gue udah bilang, kan! Jangan kasih tau keberadaan gue kepada siapapun! Kenapa loe mau kasih tau dia, hah? Dan satu hal lagi, loe gak perlu tahu apapun yang berkaitan tentang gue! Loe gak berhak apapu!!!” bentak Alin marah dan langsung pergi meninggalkan Reza. Reza hanya berdiri mematung di depan pintu dengan perasaan penuh penyesalan.
“Arrghh… harusnya gue gak perlu penasaran tentang masalah orang lain”

 ~~~~~~~~
“Darimana kamu tahu aku nyasar?” tanya Ferdi. Tangannya masih memegang tangan Riri. Riri melirik tangannya sebentar.
“Lepas dulu tanganku!” kata Riri sebal. Ferdi pun melepas tangannya.
“Eh, sorry” katanya malu. Riri melipat tangannya.
“Kamu tahu, aku sudah berkali-kali melihatmu melewati koridor ini dengan ekspresi wajah bingung. Kamu murid baru, ya?” tanya Riri. Ferdi mengangguk malu sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Tap…tap…tap…” bunyi langkah kaki mendekati dapur. Riri dan Ferdi terdiam sebentar. Lalu, mereka berubah panik.
“Gimana, nih?” tanya Riri.
“Kenapa?” bisik Ferdi pelan.
“Aku pikir tidak ada orang. Bagaimana kalau aku ketahuan masukdapur sekolah tanpa izin?” Riri semakin panik.
“Apa?” Ferdi terkejut. Ia semakin panik.
“Krieekk…”
 ~~~~~~~~

GUARDIAN ANGEL (6)

MALAM YANG PANJANG -___-“


“Hup” dengan cepat orang itu menangkap Alin sebelum Alin jatuh ke tanah. Perlahan Alin membuka matanya. Topi yang orang itu kenakan membuat Alin susah mengenalinya, ditambah lagi suasana yang gelap dan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Cowok itu melepas topinya, membuat Alin terkejut melihatnya.
“Kamu…” Alin menutup mulutnya. Ia tak percaya melihat cowok di depannya.
“Alin…” sepertinya cowok itu sama kagetnya dengan Alin.
“Reza, apa yang kamu lakukan disini?” tanya Alin pada teman sekelasnya itu.
“Kamu sendiri?” tanyanya balik. Alin hanya memutar bola matanya malas.
“Lepaskan aku!” Alin mencoba berdiri, lalu berjalan meninggalkan Reza.
“Yang benar saja. Kamu mau keliling kota dengan penampilan seperti itu” teriak Reza dari belakang. Ia berlari menyusul Alin. Alin berhenti sejenak.
“Ikut aku” katanya sambil menarik Alin ke dalam mobilnya yang berada tak jauh dari mereka berdiri. Mereka pun masuk kedalam mobil dan segera meluncur pergi dari situ.
“Kita mau kemana?” tanya Alin ketus. ia memandangi jendela sampingnya.
“Santai aja, Lin. Gue bukan orang jahat, kok” kata Reza dengan santai.
“Kalau gitu, loe hanya perlu antar gue ke kafe ‘Green Love’. Gue mau ketemu seseorang disana” kata Alin yang masih cuek dengan Reza.
“Tapi…” Reza terlihat ragu.
“Gak usah tapi-tapian. Kalau mau, ayo! Kalau enggak, turunin gue disini. Gue bisa minta bantu sama orang lain” ketusnya. Reza hanya diam menuruti perintahnya.

~~~~~~~~
Dessy berjalan keluar kafe dengan sebal sambil membawa sebuah kardus.
“Arrghh… selalu begitu. Egois, gak pernah mau mengalah. Apa sih hebatnya?” omel Dessy. Ia terus berjalan menulusuri zebra cross yang ada di depannya tanpa menoleh kiri-kanan terlebih dahulu. Tanpa ia sadari, sebuah mobil yang melaju cepat sudah ada di dekatnya.
“Awas…” teriak seseorang lalu menarik tubuh Dessy ke tepi jalan. Kardus yang ia bawa entah terlempar kemana.
“Ckiitt…” bunyi rem mendecit. Pemilik mobil itu menghentikan mobilnya.
“Hei, lain kali kalo nyebrang pakai mata, ya! Jangan main nyelonong aja” omel pemilik mobil itu, lalu segera memacu mobilnya kembali.
“Anda tidak apa-apa, nona?” tanya cowok yang telah menyelamatkan nyawa Dessy. Dessy perlahan membuka matanya dan terpana melihat cowok yang ada di depannya. Cute banget, batinnya. Cowok itu tampak tersipu malu.
“Umm… maaf, nona. Jangan memandangi saya seperti itu”. Dessy langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain sambil membersihkan bajunya kotor.
“Eh, maaf. Yah, saya tidak apa-apa” tanyanya. Ah, formal sekali, batin Dessy.
“Bintang Legiansyah” kata cowok itu tiba-tiba sambil mengulurkan tangannya.
“Eh… Mmm… Dessy Maria Septa” kata Dessy malu-malu sambil membalas uluran tangannya. Dessy tampak senang saat ia membalas uluran tangannya.
“Kamu orang sini?” tanya Bintang sambil tersenyum membuat Dessy yang melihatnya gemas pengen mencubit pipinya.
“Iya” Dessy berusaha mengatur denyut jantungnya. “Kenapa aku deg-degan?” tanya Dessy dalam hati.
“Kalau begitu, bisa temaniku jalan-jalan? Aku ingin tahu daerah sini” ajaknya.
Dessy terdiam. Sepertinya ia memikirkan sesuatu.
“Sorry, ya. Aku gak bis...”
“Gak apa-apa” kata Bintang sedikit kecewa. Lalu, berjalan pergi.
“Eh, tunggu!” panggil Dessy. Bintang segera menghentikan langkahnya.
“Aku belum selesai ngomong. Maksudku, ‘Aku gak bisa nolak’, tau” kata Dessy usil, lalu berjalan menyusul Bintang, kemudian pergi jalan-jalan berdua.

~~~~~~~~
Reza menghentikannya tepat di depan kafe ‘Green Love’. Alin segera turun dari mobil dan berjalan memasuki kafe. Tapi, Reza menahan tangannga.
“Bersihkan dulu pakaianmu dan pakai ini” Reza membersihkan tubuh Alin yang terkena telur dan memakaikan jaket pada Alin.
“Terima kasih” ucap Alin. Reza tersenyum memandanginya.
“Maaf, karena aku menyusahkanmu. Aku juga ingin minta maaf karena tadi udah marah-marahin kamu” tambah Alin.
“Santai aja, Lin. Loe kan temen sekelas gue. Gue gak mungkin ngebiarin temen cewek gue berkeliaran malam-malam. Digangguin lagi” ujar Reza.
“Ya udah, gue masuk dulu, ya.. Oh ya, 1 lagi. Aku mohon padamu jangan ceritakan masalah ini sama teman-teman, termasuk teman 7 AppLe. Juga, tolong bilang sama Aldi, jangan ceritakan masalah malam ini pada siapapun”
“Kenapa?” tanya Reza bingung.
“Mungkin untuk beberapa hari aku tidak akan masuk sekolah” ujarnya.
”Memangnya ada masalah apa?” tanya Reza lagi. Alin memelototinya.
“Oke, aku tidak akan tanya apapun lagi. Aku akan melaksanakan semua yang anda perintahkan, tuan putri. Selamat malam” kata Reza sambil berlalu pergi.
Alin berbalik memandangi kafe itu. Terakhir ia kesini bersama Aldi. ia menghembuskan nafasnya, lalu berjalan memasuki kafe. Ia melihat sekeliling kafe. Sepi. Alin melirik jam tangannya. Hari menunjukkan pukul 21.00 WIB, tapi kafe ini sudah sepi. Biasanya kafe ini tutup pukul 22.00 WIB.
“Kenapa bengong? Duduk aja dulu” kata seseorang yang ada di belakangnya.
Alin berbalik, “Hah, Lidya, gue kangen loe” Alin berlari memeluk lidya. Lidya segera menahannya.
“Stop, disitu! Bau tau. Loe belum mandi berapa hari?” ujar Lidya sambil menutup hidungnya. Alin berubah cemberut. Lidya tertawa melihatnya.
“Bercanda, kok! Gue juga kangen loe” kata Lidya sambil memeluk erat Alin.
“Loe kemana aja, sih? Kok tiba-tiba hilang. Sekarang, tiba-tiba muncul. Loe sekarang tinggal dimana? Sekolah dimana? Banyak gak teman loe disana? Gue kesepian tau semenjak loe hilang. Loe tau gak, Fakhri nanyain loe terus. Sepertinya dia juga merasa kehilangan loe” cerocos Lidya. Ekspresi wajah Alin berubah sedih.
“Maaf, ya, Lidya. Aku telah membuat kalian khawatir. Satu hal lagi, gue mohon loe jangan kasih tau soal ini pada Fakhri” kata Alin.
“Kenapa? Padahal, Fakhri loh yang paling sewot soal loe” ujar Lidya.
“Pokoknya gak boleh. Mmm.. gue gak mau buat dia khawatir tentang gue. Plisss” mohonnya. Lidya pun mengangguk.
“Thank you, my bestie” kata Alin sambil memeluk Lidya kembali.
“Udah, deh. Ngomong-ngomong, kenapa penampilan loe ancur begini?” tanya Lidya. Ia melihat penampila Alin yang amburadul dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.
Alin memandangnya dengan cemberut,”Aku dibilangin orang gila sama anak kecil. Padahal gue cantik gini” kata Alin dengan manja.
Lidya tertawa mendengarnya. “Huahaha… wajar aja loe dibilangin orang gila. Pasti loe ngomel-ngomel sendiri di jalan. Apalagi penampilan loe aneh begini..haha”.
“Bagus!!! Ketawa aja terus sampai loe puas” kata Alin dengan sebal.
“Udah, gak usah ngambek. Mending kita pulang kerumah gue, mandi, ganti baju, terus tidur. Jangan lupa loe ceritain semuanya ke gue, oke” cerocos Lidya. Alin mengangkat jempolnya tanda setuju.

~~~~~~~~
Aldi menatap buku diary Alin yang ia temukan di bawah meja belajar Alin saat ia hendak menyusul Alin ke kamarnya untuk berbicara. Ia penasaran dengan isi yang di dalam diary itu. Berkali-kali ia berniat untuk membuka diary itu. Tetapi, ia takut membayangkan bagaimana ekspresi wajah Alin saat ia tahu buku diarynya dibuka orang lain. Mungkin, kalau ia menjadi Alin, ia akan memarahi orang itu, memberinya pelajaran, dan sebagainya asal orang itu berjanji tidak akan melakukannya lagi.
“Tapi, dia kan tidak tahu” kata hati nuraninya. Ia mengangguk, lalu berniat membuka diary itu.
“Tapi, yang diatas kan tahu” kata hati nuraninya yang lain. Aldi mengurungkan niatnya. Ia jadi bingung sendiri.
“Kalau hanya melihat isinya tidak apa-apa, kan. Lagian, gue gak bakal ngasih tau orang lain, kok” putusnya. Kemudian dia membuka halaman demi halaman isi diary itu. Hanya puisi, batinnya. Kemudian ia sampai ke halaman terakhir yang ditulis Alin. Sepertinya masih baru. Judulnya ‘Malam Yang Panjang’. Ia mulai membacanya.

“Malam Yang Panjang”

Memandang langit yang begitu kelam
Tanpa cahaya, sunyi ku rasa
Setiap malam aku memandangnya
Tak pernah letih, ku terus memandangnya

Mengapa ini terjadi padaku
Hampa terasa diriku tanpamu
Tahukan engkau aku disini
Terus menunggumu, sepi sendiri

Dinginnya malam menusukku dari belakang
Menghembus jantungku, perihku rasa
Kini mengalir bersama air mata rindu
Yang bercucuran melawan hembusan angin

Dapatkah kau merasakannya?
Kesunyian bergetar untukmu
Dapatkah kau temaniku?
Walau hanya lewat mimpi

“Malam ini memang malam yang panjang buat kita. Gue harap loe bisa jalanin hari loe yang sepi itu” kata Aldi pada diary Alin. Aldi menutup buku diary Alin dan meletakkannya di atas meja belajarnya yang berada di samping tempat tidurnya. Kemudian ia mematikan lampu kamarnya dan pergi tidur.

~~~~~~~~
Dessy sekarang sedang berbaring di ranjangnya. Kadang ia membolak-balikkan badannya ke kiri, kanan, tengkurap, dan telentang. ia senyum-senyum sendiri mengingat kejadian tadi saat ia jalan-jalan bersama Bintang.
Dessy dan Bintang sedang berjalan-jalan mengelilingi taman yang berada tak jauh dari kafe. Mereka berjalan menuju kursi yang ada di taman itu.
“Kau haus?” tanya Bintang pada Dessy. Dessy mengangguk.
“Kalau begitu aku pergi sebentar untuk membeli minuman” katanya lalu pergi meninggalkan Dessy. Tak lama, ia kembali dengan membawa 2 kaleng minuman.
“Ini untukmu” ia memberikan sekaleng minuman dan langsung duduk di samping Dessy. Dessy segera membukanya dan meneguk isinya.
“Malam ini sangat sepi, bukan?” tanyanya tiba-tiba. Dessy menatap Bintang bingung. Ia melihat Bintang sedang menatap langit dengan ekspresi wajah sedih.
“Maksudmu apa?” Dessy benar-benar tidak mengerti maksud perkataan Bintang. Bintang hanya memandangnya sebentar, lalu kembali menatap langit. Dessy pun ikut memandang langit yang tak bersinar itu.
“Yah, sepertinya kau benar. Malam ini memang sangat sepi” ujar Dessy. Sepertinya ia mulai mengerti maksud perkataan Bintang.
“Sepertinya aku bisa melihatnya menangis kesepian disana. Kasihan dia, harus mengalaminya sendiri” gumam Bintang. Dessy kembali menatapnya bingung.
“Kamu lagi ngomongin siapa, sih?” tanya Dessy penasaran.
“Seseorang… mungkin, kau mengenalnya” pandangan tak lepas dari langit.
“Seseorang? Siapa dia?” Dessy semakin penasaran. Bintang mengalihkan pandangannya dari langit ke arah Dessy sambil tersenyum.
“Jangan terlalu di pikirkan. Suatu saat nanti, kau akan mengetahuinya” ucapnya misterius. Dessy mengangguk, walaupun ia masih penasaran.
“Kamu tinggal dimana?” tanya Dessy mengalihkan topik.
“Di hotel dekat sini” jawabnya singkat.
“Hotel? Gak punya rumah, ya?”. Bintang tertawa mendengarnya. Lesung pipi yang muncul di pipinya membuatnya tampak semakin manis membuat Dessy benar-benar ingin mencubitnya.
“Aku kesini hanya pergi liburan, sekaligus mengunjungi seseorang” jelas Bintang. Dessy hanya ber-“O”. Ia tampak sedikit kecewa.
“Pacarmu?” tanya Dessy lagi.
 “Sudah kubilang, kau pasti akan mengetahuinya” kata Bintang sambil mengerlingkan matanya pada Dessy. Deg! Jantung Dessy tiba-tiba berdetak tak menentu. Pipinya memanas. Ia langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain.
“Umm… baiklah. Kalau begitu, sekolah dimana?” Dessy masih berusaha mengatur denyut jantungnya yang kini semakin menggebu-gebu.
“Aku sekolah di Sma Palembang kelas 11. Dari tadi kamu nanyain aku terus. Sekarang gantian, aku nanyain kamu. Pertanyaan pertama, kafe yang ada di dekat sini punya kamu, bukan?”. Dessy mengangguk. Pandangannya tetap lurus ke depan.
“Kedua, kamu sekolah dimana dan boleh tau siapa saja teman dekatmu?”

“Aku sekolah di SMA Garuda Internasional kelas 11. Teman dekatku keluarga 7 AppLe, yaitu Alinda Jovanka, Cika Jessica, Devita Ananda, Rahma Oktriyanti, Riri Alfarizy, dan Olivia Aliana. Adakah diantara mereka orang yang kamu maksud itu?”.
Bintang hanya mengangkat bahunya, lalu menatap jam tangannya.
“Ah, sepertinya sudah malam. Aku pulang dulu, ya” Bintang segera berjalan meninggalkan Dessy. Namun, baru beberapa meter ia berjalan, berbalik menghampiri Dessy.
“Ini nomor Hp-ku. Aku ingin kita bertemu lagi besok. Sampai bertemu besok malam, ya” setelah memberikan sebuah kertas yang sudah tertulis nomor hp-nya, ia segera pergi meninggalkan Dessy.

 Dessy memandangi kertas yang tertera nomor Bintang sambil tersenyum. Ia membayangkan bagaimana Bintang tersenyum padanya saat ia akan pergi. Senyum manis yang tak kan ia lupakan sampai ia terbawa ke dalam mimpi.

~~~~~~~~