Pagi-pagi di sekolah, Devi, Riri dan Cika sedang berjalan santai
menyusuri koridor. Tiba-tiba Dessy berlari ke dalam kelas melewati mereka
bertiga begitu saja.
“Sepertinya ada yang aneh, deh, dengan Dessy hari ini” kata Cika.
“Apa?” tanya Riri penasaran.
“Mungkin, karena dia datang pagi hari ini, ya” jawab Devi asal.
Cika menatap Devi aneh, “Bukannya Dessy biasanya datang pagi, ya? Justru
kamu tuh yang aneh. Tumben kamu datang pagi”.
“Oh, iya, ya” kata Devi sambil senyum-senyum gak jelas.
“Trus, apa yang aneh dari Dessy?” tanya Riri.
“Gak tau, ah! Masuk, yuk” ajak Cika.
~~~~~~~~
Lidya memandangi Alin yang sedang mendadani dirinya sendiri di depan
kaca dengan kasihan. Rambutnya ia kepang dua dengan kacamata serta setelan baju
pelayan kafe milik keluarga Lidya membuatnya seperti orang lain.
“Loe serius mau bekerja sebagai pelayan di kafe gue?” tanyanya tak
yakin.
Alin berbalik memandangi Lidya yang sedang memandanginya.
“Gue butuh pekerjaan ini buat hidup gue, Lid” jawab Alin.
“Tapi, gimana dengan sekolah loe?” tanyanya kasihan.
“Gue udah bilang sama teman gue kalau untuk beberapa hari ini gue gak
masuk sekolah” jawabnya santai, lalu kembali memandangi dirinya di kaca.
“Gimana kalau ada yang tahu kalau loe kerja di kafe gue?” tanya Lidya
lagi.
“Lidya, coba loe lihat gue. Apakah gue terlihat sebagai Alinda Jovanka?”
tanya Alin balik. Lidya menggeleng.
“Itu berarti gak bakalan ada orang yang bakal tahu tentang gue. Lagian,
loe niat gak sih bantuin gue?” kata Alin sebal.
‘Niat, sih. Tapi, gak kayak gini deh caranya” jawab Lidya.
“Ya udah, gue cari kerja di tempat lain aja, deh” kata Alin sambil
berpura-pura ngambek.
“Bu..bukan gitu maksud gue, Lin. Kita kan udah lama bersahabat. Gue udah
nganggap loe kayak saudara gue sendiri. Jadi, kalau loe butuh apa-apa, gue bisa
langsung kasih ke elo. Bukan kayak gini” jelas Lidya. Alin tersenyum.
“Lidya, gue juga udah nganggap loe kayak saudara gue sendiri. Tapi, gue
juga gak mau ngerepotin loe. So, please, jangan bahas lagi, ya. Sekarang, antar
gue ke kafe. Gue mau kerja dulu. Ingat, jangan panggil gue Alin” kata Alin.
~~~~~~~~
“Aduh, Alin mana, ya? Kok jam segini belum datang juga” kata Devi dari
tempat duduknya sambil melirik kursi kosong yang ada di sebelah kanannya.
“Yang benar aja, udah jam 9 gak mungkin Alin datang ke sekolah, tau”
cetus Rahma yang duduk tepat di belakangnya.
“Katanya, untuk beberapa hari ini dia gak masuk sekolah” jawab Reza yang
duduk sebangku dengan Devi. Devi menatapnya ingin tahu.
“Tahu dari mana? Kok dia gak ngabarin kami, ya?”
“Ini juga mau di bilangin, tam. Loe gak perlu sentimen gitu” kata Reza.
“Berisik, rus! Lagian, badan gue gal hitam-hitam amat kali” balas Devi.
“Merasa, ya?” tanya Reza sambil mencatat tulisan yang ada di papan
tulis.
Devi menatap Reza kesal, lalu memukuli bahunya dengan sebal. Beginilah
keseharian mereka. Selalu saja bertengkar.
Dessy dan Cika memandangi tingkah mereka sambil menahan tawa mereka.
“Liat tuh mereka, selalu begitu. Tunggu aja, aku harap mereka bisa
jadian deh” bisik Dessy pada Cika. Namun, sepertinya Devi bisa mendengar
bisikan Dessy itu. Lalu, dia memandangi Dessy dengan pandangan sebal.
“Apa,? Jadian sama dia, jangan mimpi! Gak bakal, deh” ketus Devi. Reza
yang mendengarnya hanya tersenyum.
“Kenapa loe senyum-senyum? Lucu, hah?” bentaknya. Reza tidak
mempedulikan dan tetap melanjutkan catatannya. Tanpa mereka tahu, Aldi yang mendengarnya
hanya bisa terdiam. Ia hanya memandangi buku diary Alin yang ada di bawah laci
mejanya dengan perasaan bersalah.
~~~~~~~~
Alin mengganti seragam pelayannya dengan pakaian biasa di ruang ganti. Siang
ini dia mau jalan-jalan mencari angin. Dia sudah meminta izin pada manager
untuk izin jalan-jalan dan managernya pun sudah memberinya izin. Ia pun keluar
kafe dan mulai berjalan-jalan. Ia terus berjalan hingga kakinya berhenti di
depan SMA-nya. Alin memandangi sekolahnya itu dengan sedih. Bagaimana bisa ia
di jodohkan dengan anak kepala sekolah SMA-nya yang ternyata teman sebangkunya
yang paling menyebalkan sekaligus tetangga rumahnya. Sepertinya sekolahnya
sudah sepi. Hanya ada orang-orang yang ikut ekskul basket dan voli yang masih
tersisa. Alin pun segera memasuki sekolah dan berjalan ke ruang musik. Perlahan
Alin membuka pintu ruang musik yang ternyata tidak dikunci. Di dalamnya
terdapat berbagai macam alat music, termasuk piano. Alin memandangi piano itu
dengan senang dan segera menghampirinya. Satu persatu ia menekan tuts-tuts
piano itu. Kemudian ia duduk didekat piano itu, lalu mulai memainkan sebuah
lagu kesukaanya yang berjudul “Bunda” dari Melly Goeslaw.
~~~~~~~~
“Tektektek…” Riri sedang asyik memotong kacang panjang di dapur sekolah.
Hari ini ia mau membuat kejutan untuk kakak perempuannya yang hari ini pulang
dari Singapura setelah 2 tahun tidak pulang ke rumah karena sibuk menjalani
kuliahnya. Ia terus memotong tanpa tahu kalau ada seorang cowok yang nyasar di
koridor dapur sekolah. Tiba-tiba air mata Riri menetes pelan dan mulai
membasahi pipinya. Cowok yang nyasar itu pun terkejut melihat Riri tiba-tiba
menangis itu.
“Kamu, kenapa tiba-tiba menangis?” tanya cowok itu dari balik jendela
yang tembus pandang itu. Jendelanya tidak terlalu tinggi sehingga cowok itu
bisa melihat Riri yang ada di dalam dapur. Riri menatap cowok itu dengan
bingung sambil menghapus air matanya.
“Siapa yang nangis?” tanya Riri cuek.
“Kamu” jawabnya singkat. Riri kembali menatapnya.
“Kamu gak liat ya aku lagi ngapain” kata Riri dengan kesal.
“kamu lagi motong, kan…” cowok itu terdiam sebentar sambil melirik benda
apa yang di potong. “…emm… bawang, ya?” katanya malu. Riri hanya meliriknya
sebentar, lalu kembali memotong bawang.
“Mau aku ajarin memasak?” tawarnya. Tanpa sengaja, jari telunjuk kiri
Riri teriris pisau hanya karena terkejut mendengar tawaran cowok itu.
“Aww…” rintihnya sambil mengibas-ngibas tangannya yang teriris pisau.
“Hei, kamu tidak apa-apa, kan?” tanya cowok itu khawatir. Ia menerobos masuk
ke dapur dan menghampiri Riri, lalu mengambil jari Riri yang terluka.
“Ah, kamu ini orangnya tidak hati-hati. Lihat, tanganmu terluka, kan”
kata cowok itu. Hal yang lebih mengejutkan Riri adalah, cowok itu tiba-tiba
langsung menghisap darah Riri. Cowok itu mengeluarkan sapu tangannya, kemudian
ia balutkan ke jari Riri. Riri hanya membiarkan cowok itu mengobati lukanya.
“Selesai! Lain kali hati-hati, ya!” ingatnya. Lalu mengulurkan tangannya
pada Riri. “Ferdian Juliansyah”
Ragu-ragu Riri menerima uluran tangannya, “Riri Alfarizy”. Ia pun
akhirnya menyambut uluran tangannya.
“Oh, Riri. Senang berkenalan dengamu” kata Ferdi senang.
“Sama-sama, cowok nyasar!”
~~~~~~~~
Aldi berjalan mengelilingi sekolahnya dengan malas. Sesekali ia
menarik-narik rambutnya dengan frustasi. Entah apa yang ia pikirkan, namun
tampaknya ia sangat stress. Tiba-tiba langkahnya terhenti. Sayup-sayup ia
mendengar alunan suara piano dari ruang musik. Ia pun segera melangkah menuju
ruang musik. Aldi sekarang berdiri di depan ruang musik dengan bimbang. Entah
mengapa, permainan piano yang ia dengar semakin menyedihkan. Temponya sangat
lamban untuk dimainkan. Kadang-kadang berhenti, kemudian terdengar lagi. Ia
sangat penasaran dan segera membuka pintu itu dengan pelan. 1 centi pintu itu
terbuka, samar-samar ia melihat seorang sedang bermain-main dengan piano itu. 2
centi pintu terbuka, samar-samar ia melihat cewek berambut panjang menggunakan
pakaian santai. 3 centi pintu terbuka, seseorang memegang bahunya yang
membuatnya terkejut. Tanpa sadar, ia menutup pintu ruang musik dengan keras
membuat orang yang memegang bahunya ikut terkejut. Aldi membalikkan badannya
dan melihat Reza sedang menatap heran.
“Loe kenapa, sih? Apa yang loe lakukan disini?” tanya Reza penasaran.
“Bukan urusan loe” jawab Aldi cuek. Aldi tidak lagi mendengar bunyi
piano di mainkan. Ia mengintip sebentar ke dalam dan tidak melihat siapapun.
“Ada apa, sih di dalam?” tanya Reza ingin tahu. Ia juga ikut mengintip
ke ruang musik. Aldi cuek dan segera pergi meninggalkan Reza.
“Ada sesuatu yang ingin gue tanyakan ke elo. Ini tentang…” Reza melirik
ke kiri-kanan. Tidak ada orang, “…ini tentang Alin”. Aldi menghentikan
langkahnya.
“Untuk apa loe tanya tentang Alin ke gue?” tanya Aldi tanpa berbalik.
“Gue hanya penasaran aja kenapa semalam dia berkeliaran di jalan”
ujarnya.
Aldi membalikkan badannya,”Loe gak perlu tahu urusan orang lain” lalu ia
berbalik pergi.
“Gue bisa kasih tau loe dimana kemungkinan dia berada sekarang…” tawar
Reza. “…asal loe bisa kasih tau gue apa yang sedang terjadi antara loe dan Alin”.
Aldi kembali menghentikan langkahnya.
“Itu bukan urusan loe. Gue bisa cari tahu sendiri dimana Alin berada”
kata Aldi lalu berjalan pergi.
“Krieekk” bunyi pintu ruang musik terbuka. Reza langsung berbalik dan
terkejut melihat siapa yang berdiri di depan pintu ruang musik.
“Gue udah bilang, kan! Jangan kasih tau keberadaan gue kepada siapapun!
Kenapa loe mau kasih tau dia, hah? Dan satu hal lagi, loe gak perlu tahu apapun
yang berkaitan tentang gue! Loe gak berhak apapu!!!” bentak Alin marah dan
langsung pergi meninggalkan Reza. Reza hanya berdiri mematung di depan pintu
dengan perasaan penuh penyesalan.
“Arrghh… harusnya gue gak perlu penasaran tentang masalah orang lain”
~~~~~~~~
“Darimana kamu tahu aku nyasar?” tanya Ferdi. Tangannya masih memegang
tangan Riri. Riri melirik tangannya sebentar.
“Lepas dulu tanganku!” kata Riri sebal. Ferdi pun melepas tangannya.
“Eh, sorry” katanya malu. Riri melipat tangannya.
“Kamu tahu, aku sudah berkali-kali melihatmu melewati koridor ini dengan
ekspresi wajah bingung. Kamu murid baru, ya?” tanya Riri. Ferdi mengangguk malu
sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Tap…tap…tap…” bunyi langkah kaki mendekati dapur. Riri dan Ferdi terdiam
sebentar. Lalu, mereka berubah panik.
“Gimana, nih?” tanya Riri.
“Kenapa?” bisik Ferdi pelan.
“Aku pikir tidak ada orang. Bagaimana kalau aku ketahuan masukdapur
sekolah tanpa izin?” Riri semakin panik.
“Apa?” Ferdi terkejut. Ia semakin panik.
“Krieekk…”
~~~~~~~~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar