DIARY JJJ
Alin berjalan menyusuri perumahan kumuh. Matahari yang menyinarinya membawa
semangat untuknya. Ia terus berjalan sampai ia berhenti di depan rumah yang
terletak paling ujung di gang ini. Rumah itu terbuat dari papan yang sudah banyak
lubang-lubang yang menghiasi papan itu. Atapnya terbuat dari daun rumbia.
Awalnya, Alin tampak terkejut saat melihat rumah ini sewaktu ia kabur dari kafe
malam itu. Ia tidak menyangka bisa melihat secara langsung rumah beratapkan
daun rumbia. Tampak seorang anak yang ia temui waktu itu keluar dari rumah itu
dengan wajah bahagia. Alin yang masih menggunakan seragam sekolahnya dengan
rela memeluk anak laki-laki itu yang bajunya tampak kumal.
“Kakak… aku kangen sama kakak. Terima kasih sudah mau datang lagi kesini”
ujar anak itu terharu.
“Tentu. Kakak kan sudah janji. Mana yang lain?” tanya Alin sambil
celingak-celinguk melihat sekitarnya.
“Di dalam, kak. Masuk aja” sambil menarik tangan Alin masuk kedalam
rumah.
“Selamat datang, kak!” sambut yang lain saat Alin dan anak laki-laki itu
masuk kedalam. Kira-kira, ada 10 orang, termasuk anak-laki-laki bersamanya yang
ada dirumah ini. Alin langsung memeluk semua anak-anak yang ada disitu.
“Kakak senang bisa beremu kalian lagi” kata Alin. Tanpa sadar air mata Alin
menetes. Cepat-cepat Alin menghapus air matanya lalu melepaskan pelukannya.
“Hari ini kakak mau mengajari kalian matematika. Gio, tolong bantu kakak
membawa kardus yang ada diluar, ya” pinta Alin pada anak laki-laki tadi.
“Siap, kak! Dedi, bantu aku” Gio dan Dedi keluar dan kembali lagi sambil
membawa kardus yang berisi buku-buku tulis serta buku-buku bekas. Anak-anak
langsung berebut mengambil buku-buku itu. Alin terlihat sangat senang melihat
semangat belajar mereka. Wajah-wajah ceria mereka selalu terkembang, walaupun
hidup mereka susah.
“Kita mulai sekarang, kak?” tanya Gio yang memcahkan lamunan Alin. Alin
mengangguk dan mulai menulis angka-angka di papan tulis kecil yang ia bawa dari
rumah. Yang lain pun sibuk ikut menulis angka-angka yang ada di papan tulis.
~~~~~~~~
Alin berjalan mengendap-endap memasuki rumahnya dan membuka pintu depan.
“Krieek…” Alin menghentikan gerakan tangannya.
“Sepi” batinnya melihat lampu ruang depannya mati. Lalu perlahan
memasuki rumahnya. Baru saja ia mau menginjakkan kakinya menaiki tangga,
mendadak lampu ruang depan menyala. Alin menghentikan langkahnya di tangga
pertama.
“Masalah besar” katanya pelan dan kemudian ia bisa mendengar suara
papanya.
“Dari mana saja kamu? Jam segini baru pulang. Kamu tau sekarang jam berapa,
hah?” bentak papanya.
Alin membalikkan badannya menghadap papanya. Bisa ia lihat usaha mamanya
untuk menenangkan papanya. Alin pun menunduk lemas.
“Maaf, pa. Tadi ada tugas kelompok yang harus dikerjain. Jadi, Alin
pulangnya agak telat” Alin member alasan. Ia tetap menunduk, takut melihat
wajah papanya.
“Apa? Kerja kelompok? Jangan bohong kamu. Tadi, ada teman papa yang lihat
kalau kamu sedang bermain dengan anak gelandangan” papa Alin menatapnya tajam.
Alin tetap menunduk. Ia tidak tau harus berkata apa-apa lagi.
“Kamu papa hukum. Ingat! Selama seminggu ini kamu tidak boleh keluar
rumah. Pulang sekolah kamu akan di jemput. Dan kalau ada tugas sekolah,
kerjakan disini saja. Mengerti!!! Sekarang, masuk kamar!” perintah papa Alin. Alin
segera memasuki kamar dan langsung mengunci pintu kamarnya.
~~~~~~~~
Suasana sekolah tampak sepi saat Aldi baru tiba di sekolah. Ia melangkah
dengan malas menuju ruang kelasnya. Baru saja ia mau melangkahkan kakinya
memasuki kelas, tiba-tiba ada seseorang yang tidak ia percaya bisa bertemu di
sekolah ini.
“ALDI” panggil Alin sambil berlari menyusul dirinya.
Aldi terus melangkah mengabaikan Alin.
“Aldi, tunggu dulu” Alin segera menyusul Aldi yang sudah duduk
dibangkunya sambil mengeluarkan buku tulis. Alin segera meletakkan tasnya di
sebelah Aldi.
“Loe sekolah disini juga?” tanya Aldi tak percaya saat melihat Alin
mengenakan seragam sekolah yang sama dengannya.
Alin mentapnya bingung, “Kok kamu, eh. loe nanya kayak gitu, sih?”
“Sudahlah, gue gak peduli. Mending loe keluar dari kelas gue” usir Aldi.
Alin ternganga mendengarnya.
“Kenapa loe masih disini. Keluar sana” Aldi mengambil tas Alin yang ada
di sebelahnya, lalu ia lempar tas itu pada Alin.
“GAK MAU!!!” tolak Alin.
“Kenapa?” tanya Aldi bingung.
“Soalnya ini kelas gue. Dan, gue duduk disini” Alin menunjuk bangkunya
dan kembali meletakkan tasnya. Kemudian, ia duduk di bangkunya.
“Jadi, orang resek yang duduk di sebelah gue itu elo” kata Aldi yang
masih tidak percaya.
“OH MY GOD! Jadi, selama ini loe bener-bener gak tau kalau gue duduk
sebangku sama loe. BEGO!!!” Alin memukul kepala Aldi dengan buku tulis Aldi
yang ada di mejanya.
“Aww… sakit, tau. Loe gak ada hak buat mukul kepala gue pakai buku gue
lagi” kata Aldi sambil mengelus-elus kepalanya yang sakit.
“Udahlah. Bukan itu tujuan gue ngomong sama loe. Gue pengen nanya kenapa
dari hari loe ngajak gue pergi sampai kemari loe gak masuk? Loe sakit, ya?”
“Itu bukan urusan loe” jawab Aldi acuh.
“Loe jahat banget, sih. Loe tau gak, gue merasa bersalah banget
gara-gara loe gak masuk seminggu lebih. Gue pikir… gara-gara kejadian waktu itu…
” nada suara Alin semakin pelan. Tapi, Aldi masih bisa mendengarnya. Ia juga
bisa menangkap nada suara Alin yang sedih saat ia mengatakan ‘kejadian waktu
itu’.
“Bukan, kok. Sama sekali gak ada kaitannya sama loe. Walaupun… ya ada,
sih! Loe buat gue gak bisa tidur tau gak! Udah, deh, loe gak usah cari masalah
sama gue lagi” Aldi menoleh ke bangku sebelahnya. Ia tidak melihat Alin di
bangkunya maupun dikelas.
“Jadi, dari tadi gue ngomong sendiri?” tanyanya dalam hati dengan kesal.
~~~~~~~~
“Cik, kamu udah ngomong belum sama Robby?” tanya Alin saat mereka semua
berkumpul di kantin.
“Belum, sih! Rencananya pulang sekolah nanti aku ngasih taunya. Tapi,
aku bingung gimana cara ngasih taunya” kata Cika dengan nada khawatir.
“Tenang aja, kita bisa bantu kok” kata Devi memberi semangat.
“Iya… Bila perlu, biar aku saja yang bilang ke Robby supaya dia bisa
jaga jarak sama kamu” tambah Dessy.
“Lagian, kenapa sih mereka pada sewot banget kayak gitu. Lihat, deh sih
Elda itu. Dia biasa aja. Kenapa mereka yang sok pahlawan?” kata Riri kesal.
“Ya udahlah, gak usah di ladeni orang kayak gitu. Biarin aja” kata Vivi.
“Pokoknya, pulang sekolah ini, kamu harus kasih tau dia. Jangan
tunda-tunda lagi!” ingat Rahma.
“Tapi, aku gak ikutan, ya. Soalnya, aku disuruh pulang cepat hari ini.
Kata papaku hari ini ada acara. Jadi, aku harus segera mempersiapkannya” kata
Alin.
“Gak apa-apa, kok! Santai aja” kata Cika sambil tersenyum pada Alin.
~~~~~~~~
Alin sedang berdiri termenung di beranda kamarnya sambil menatap langit
kelam yang sama sekali tak berbintang. Bisa ia rasakan kesunyian malam tanpa
nyanyian jangkrik ia selalu mengusik kesunyiannya. Ia berjalan memasuki
kamarnya dan segera duduk di kursi dekat meja belajarnya. Alin mengambil buku
yang berukuran sedang yang merupakan buku diarynya dan mulai sesuatu disitu. Ia
berhenti menulis saat pintu kamarnya diketuk.
“Alinda, apakan kamu sudah siap? Sebentar lagi tamu papamu akan datang”
tanya mamanya lembut.
“Iya, ma. Alin lagi ganti baju. Bentar lagi keluar, kok” jawab Alin dari
dalam.
“Ya udah. Nanti, kalau tamu papa udah datang, mama panggilkan, ya” lalu
mama meninggalkan kamar Alin.
~~~~~~~~
Alin berjalan menuruni tangga untuk menyambut kedatangan tamu papanya
yang sudah menunggu di ruang tamu. Namun, heels
yang ia gunakan membuatnya berkali-kali hampir jatuh dari tangga sehingga
ia harus berjalan dengan hati-hati.Gaun sepanjang bawah lutu berwarna baby blue
dengan motif polkadot membuatnya tampak terlihat imut dengan hiasan rompi
berlengan panjang yang warnanya senada dengan gaunnya. Saat ia sudah sampai di
ruang tamu, papanya segera memperkenalkan Alin pada tamunya.
“Perkenalkan, ini anak saya. Namanya Alinda Jovanka. Alin, ini Pak Aji Winata,
kepala sekolah SMA kamu” kata papa Alin.
“Malam, pak!” Alin menunduk malu. Ini pertama kalinya ia melihat kepala
sekolahnya.
“Oh, iya. Anak bapak tadi kemana?” tanya mama Alin.
“Ada, kok! Nah itu dia” Pak Aji menunjuk seseorang yang ada di belakang
Alin. Pak Gofar, papa Alin, dan Pak Aji bangkit dari sofa. Alin menoleh
kebelakang.
“Kamu?” tanya Alin tidak percaya. Ia terkejut melihat cowok yang ada di
depannya.
“Nama saya Aldi Winata. Senang bertemu dengan anda, Alinda” Aldi segera
memperkenalkan dirinya, lalu berjalan menghampiri Pak Aji.
“Oke, silahkan duduk lagi” kata Pak Gofar sopan.
Alin segera tersedar dan ikut duduk di samping papa dan mamanya.
“Baiklah, berhubung semuanya sudah berkumpul disini, saya langsung pada
pokok permasalahannya. Sebenarnya, saya kesini mengundang Pak Aji dan nak Aldi
untuk membahas masalah perjodohan…”
“Perjodohan siapa?” potong Alin. Ia merasakan firasat buruk
menghampirinya.
“Perjodohan antara kamu dan Aldi” jawab papanya tenang.
Alin terkejut mendengarnya. Begitu juga dengan Aldi.
“Papa gila, ya! Kita kan masih sma. Kenapa mesti di jodoh-jodohin, sih!
Aku gak mau di jodoh-jodohin. Apalagi dengan dia” protes Alin.
“Alin, jaga sikapmu” bentak papanya.
“Enggak, pa. aku nggak mau di giniin terus. Cukup sudah aku menuruti semua
keinginan papa. Aku bukan boneka papa yang bisa papa mainkan seenaknya” balas
Alin.
“Dasar anak kurang ajar! Plak” papa Alin menamparnya keras sampai-sampai
Alin terjatuh. Mama Alin berusaha menenangkan papanya. Tapi, emosi papanya
sudah tak terkendalikan lagi.
“Jangan ganggu aku” bentak papa saat mama berusaha menengkan papa Alin. “Anak ini tidak bisa di kasih ampun. Lihat,
gara-gara di main dengan anak gelandangan itu, dia sekarang bisa melawan
orangtuanya. Sudah merasa hebat kamu, hah? Kamu tidak pernah mengerti perasaan
papa…”
“Apa? Mengerti perasaan papa? Papa yang nggak pernah mengerti perasaan
Alin. Papa nggak pernah…. Plak” satu tamparan lagi untuk Alin. Mata Alin mulai
memanas. Air mata sudah sampai di pelupuk matanya. Tanpa berkata apapun lagi,
ia langsung naik tangga dan masuk kekamarnya.
“Alin, tunggu! Papa belum selesai bicara” teriak papanya. Tapi, tak ada
respon dari Alin.
“Tunggu, om! Biar saya saja yang bicara dengan Alin” Aldi segera
menyusul Alin ke kamarnya.
“Tok..tok..tok… Alin, buka pintunya. Gue mau bicara”. Tak ada respon.
“Alin..”cobanya lagi. Namun, hasilnya nihil.
“Miaaww…” terdengar suara kucing dari dalam kamar. Lalu, “Buukk” bunyi
sesuatu jatuh. Aldi segera membuka pintu kamar Alin yang tidak terkunci dan
masuk kedalamnya. Tak ada siapapun, kecuali kucing Alin yang pernah nyasar dirumah
Aldi itu. Aldi berjalan keluar beranda dan melihat ada tali yang terkait di
teralis beranda.
“Terlambat” batinnya, lalu berjalan masuk. Tanpa sadar, ia menginjak
sesuatu yang ternyata buku milik Alin.
‘Buku apa ini?” tanya Aldi penasaran, lalu membuka halaman pertamanya.
“Diaryku” baca Aldi. “Hah, Diary” ulangnya lagi.
“Dimana Alin sekarang?” tanya mama Alin khawatir membuat ALdi terkejut.
“Maaf, tante. Dia sudah kabur” kata Aldi tampak merasa bersalah. Ia
sembunyikan buku Alin yang ia temukan di belakangnya.
~~~~~~~~
“Huup.. Aww..” Alin merintih kesakitan saat ia meloncat turun ke bawah.
“Sial… Aku lupa kalau aku masih pakai yang beginian. Apakah aku ganti
baju sama sepatu dulu, ya?” pikir Alin.
“Tok..tok..tok… Alin, buka pintunya. Gue mau bicara” teriak Aldi dari
luar.
“Ah, gak perlu, deh! Gak ada waktu” Alin langsung pergi meninggalkan
rumah.
~~~~~~~~
Suasana malam ini tampak kelam bagi Alin. Sama seperti malam biasa,
selalu sendiri. Alin terus berjalan menyusuri trotoar yang sepi. Kadang-kadang
ia hampir jatuh gara-gara heels yang
ia gunakan.
“Neng, mau kemana?” tanya om tukang ojek yang kebetulan lewat di
depannya dengan genit. Alin tidak mempedulikannya dan terus berjalan.
“Sombong amat jadi cewek. Huh, mentang-mentang anak orang kaya” tambah
om itu. Alin tetap cuek dan terus berjalan, walaupun emosinya sudah
meluap-luap. Untungnya, tukang ojek itu tidak mengikutinya. Ia sedikit lega,
namun ia masih kesal.
“Arrghh… jodoh? Papa kira ini jamannya Siti Nurbaya, pakai jodoh-jodoh.
Siti Nurbaya aja gak mau. Apalagi aku. Arrghh… Aku benci papa” omelnya.
Tiba-tiba…
“Bukk..” ada 3 anak kecil yang melemparnya dengan telur.
“Orang gila… Orang gila…” ejek mereka.
“Hei, aku ini bukan orang gila tau!” bentaknya. Namun, mereka tetap
melempari Alin. Alin hanya berdiri melindungi kepalanya. Matanya mulai memanas.
“BERHENTI!” teriak seorang cowok didepannya. Alin menutup matanya
menahan air matanya. Anak kecil itu behenti melempari Alin dan langsung kabur.
“Kamu tidak apa-apa?” tanya cowok itu dengan nada khawatir.Alin tetap
diam. Badannya melemas. Tiba-tiba Alin jatuh pingsan. Tapi,..
“Hup” dengan cepat orang itu menangkap Alin sebelum Alin jatuh ke tanah.
Perlahan Alin membuka matanya. Topi yang orang itu kenakan membuat Alin susah
mengenalinya, ditambah lagi suasana yang gelap dan air mata yang menggenang di
pelupuk matanya. Cowok itu melepas topinya membuat Alin terkejut melihatnya.
“Kamu…”
~~~~~~~~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar