“Hup” dengan cepat orang itu menangkap Alin sebelum Alin jatuh ke tanah.
Perlahan Alin membuka matanya. Topi yang orang itu kenakan membuat Alin susah
mengenalinya, ditambah lagi suasana yang gelap dan air mata yang menggenang di
pelupuk matanya. Cowok itu melepas topinya, membuat Alin terkejut melihatnya.
“Kamu…” Alin menutup mulutnya. Ia tak percaya melihat cowok di depannya.
“Alin…” sepertinya cowok itu sama kagetnya dengan Alin.
“Reza, apa yang kamu lakukan disini?” tanya Alin pada teman sekelasnya
itu.
“Kamu sendiri?” tanyanya balik. Alin hanya memutar bola matanya malas.
“Lepaskan aku!” Alin mencoba berdiri, lalu berjalan meninggalkan Reza.
“Yang benar saja. Kamu mau keliling kota dengan penampilan seperti itu”
teriak Reza dari belakang. Ia berlari menyusul Alin. Alin berhenti sejenak.
“Ikut aku” katanya sambil menarik Alin ke dalam mobilnya yang berada tak
jauh dari mereka berdiri. Mereka pun masuk kedalam mobil dan segera meluncur
pergi dari situ.
“Kita mau kemana?” tanya Alin ketus. ia memandangi jendela sampingnya.
“Santai aja, Lin. Gue bukan orang jahat, kok” kata Reza dengan santai.
“Kalau gitu, loe hanya perlu antar gue ke kafe ‘Green Love’. Gue mau
ketemu seseorang disana” kata Alin yang masih cuek dengan Reza.
“Tapi…” Reza terlihat ragu.
“Gak usah tapi-tapian. Kalau mau, ayo! Kalau enggak, turunin gue disini.
Gue bisa minta bantu sama orang lain” ketusnya. Reza hanya diam menuruti
perintahnya.
~~~~~~~~
Dessy berjalan keluar kafe dengan sebal sambil membawa sebuah kardus.
“Arrghh… selalu begitu. Egois, gak pernah mau mengalah. Apa sih
hebatnya?” omel Dessy. Ia terus berjalan menulusuri zebra cross yang ada di depannya tanpa menoleh kiri-kanan terlebih
dahulu. Tanpa ia sadari, sebuah mobil yang melaju cepat sudah ada di dekatnya.
“Awas…” teriak seseorang lalu menarik tubuh Dessy ke tepi jalan. Kardus
yang ia bawa entah terlempar kemana.
“Ckiitt…” bunyi rem mendecit. Pemilik mobil itu menghentikan mobilnya.
“Hei, lain kali kalo nyebrang pakai mata, ya! Jangan main nyelonong aja”
omel pemilik mobil itu, lalu segera memacu mobilnya kembali.
“Anda tidak apa-apa, nona?” tanya cowok yang telah menyelamatkan nyawa
Dessy. Dessy perlahan membuka matanya dan terpana melihat cowok yang ada di
depannya. Cute banget, batinnya.
Cowok itu tampak tersipu malu.
“Umm… maaf, nona. Jangan memandangi saya seperti itu”. Dessy langsung
mengalihkan pandangannya ke arah lain sambil membersihkan bajunya kotor.
“Eh, maaf. Yah, saya tidak apa-apa” tanyanya. Ah, formal sekali, batin Dessy.
“Bintang Legiansyah” kata cowok itu tiba-tiba sambil mengulurkan
tangannya.
“Eh… Mmm… Dessy Maria Septa” kata Dessy malu-malu sambil membalas uluran
tangannya. Dessy tampak senang saat ia membalas uluran tangannya.
“Kamu orang sini?” tanya Bintang sambil tersenyum membuat Dessy yang
melihatnya gemas pengen mencubit pipinya.
“Iya” Dessy berusaha mengatur denyut jantungnya. “Kenapa aku deg-degan?”
tanya Dessy dalam hati.
“Kalau begitu, bisa temaniku jalan-jalan? Aku ingin tahu daerah sini”
ajaknya.
Dessy terdiam. Sepertinya ia memikirkan sesuatu.
“Sorry, ya. Aku gak bis...”
“Gak apa-apa” kata Bintang sedikit kecewa. Lalu, berjalan pergi.
“Eh, tunggu!” panggil Dessy. Bintang segera menghentikan langkahnya.
“Aku belum selesai ngomong. Maksudku, ‘Aku gak bisa nolak’, tau” kata
Dessy usil, lalu berjalan menyusul Bintang, kemudian pergi jalan-jalan berdua.
~~~~~~~~
Reza menghentikannya tepat di depan kafe ‘Green Love’. Alin segera turun
dari mobil dan berjalan memasuki kafe. Tapi, Reza menahan tangannga.
“Bersihkan dulu pakaianmu dan pakai ini” Reza membersihkan tubuh Alin
yang terkena telur dan memakaikan jaket pada Alin.
“Terima kasih” ucap Alin. Reza tersenyum memandanginya.
“Maaf, karena aku menyusahkanmu. Aku juga ingin minta maaf karena tadi
udah marah-marahin kamu” tambah Alin.
“Santai aja, Lin. Loe kan temen sekelas gue. Gue gak mungkin ngebiarin
temen cewek gue berkeliaran malam-malam. Digangguin lagi” ujar Reza.
“Ya udah, gue masuk dulu, ya.. Oh ya, 1 lagi. Aku mohon padamu jangan
ceritakan masalah ini sama teman-teman, termasuk teman 7 AppLe. Juga, tolong
bilang sama Aldi, jangan ceritakan masalah malam ini pada siapapun”
“Kenapa?” tanya Reza bingung.
“Mungkin untuk beberapa hari aku tidak akan masuk sekolah” ujarnya.
”Memangnya ada masalah apa?” tanya Reza lagi. Alin memelototinya.
“Oke, aku tidak akan tanya apapun lagi. Aku akan melaksanakan semua yang
anda perintahkan, tuan putri. Selamat malam” kata Reza sambil berlalu pergi.
Alin berbalik memandangi kafe itu. Terakhir ia kesini bersama Aldi. ia
menghembuskan nafasnya, lalu berjalan memasuki kafe. Ia melihat sekeliling
kafe. Sepi. Alin melirik jam tangannya. Hari menunjukkan pukul 21.00 WIB, tapi
kafe ini sudah sepi. Biasanya kafe ini tutup pukul 22.00 WIB.
“Kenapa bengong? Duduk aja dulu” kata seseorang yang ada di belakangnya.
Alin berbalik, “Hah, Lidya, gue kangen loe” Alin berlari memeluk lidya.
Lidya segera menahannya.
“Stop, disitu! Bau tau. Loe belum mandi berapa hari?” ujar Lidya sambil
menutup hidungnya. Alin berubah cemberut. Lidya tertawa melihatnya.
“Bercanda, kok! Gue juga kangen loe” kata Lidya sambil memeluk erat
Alin.
“Loe kemana aja, sih? Kok tiba-tiba hilang. Sekarang, tiba-tiba muncul.
Loe sekarang tinggal dimana? Sekolah dimana? Banyak gak teman loe disana? Gue
kesepian tau semenjak loe hilang. Loe tau gak, Fakhri nanyain loe terus.
Sepertinya dia juga merasa kehilangan loe” cerocos Lidya. Ekspresi wajah Alin
berubah sedih.
“Maaf, ya, Lidya. Aku telah membuat kalian khawatir. Satu hal lagi, gue
mohon loe jangan kasih tau soal ini pada Fakhri” kata Alin.
“Kenapa? Padahal, Fakhri loh yang paling sewot soal loe” ujar Lidya.
“Pokoknya gak boleh. Mmm.. gue gak mau buat dia khawatir tentang gue.
Plisss” mohonnya. Lidya pun mengangguk.
“Thank you, my bestie” kata Alin sambil memeluk Lidya kembali.
“Udah, deh. Ngomong-ngomong, kenapa penampilan loe ancur begini?” tanya
Lidya. Ia melihat penampila Alin yang amburadul dari ujung rambut sampai ujung
kaki dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.
Alin memandangnya dengan cemberut,”Aku dibilangin orang gila sama anak
kecil. Padahal gue cantik gini” kata Alin dengan manja.
Lidya tertawa mendengarnya. “Huahaha… wajar aja loe dibilangin orang
gila. Pasti loe ngomel-ngomel sendiri di jalan. Apalagi penampilan loe aneh
begini..haha”.
“Bagus!!! Ketawa aja terus sampai loe puas” kata Alin dengan sebal.
“Udah, gak usah ngambek. Mending kita pulang kerumah gue, mandi, ganti
baju, terus tidur. Jangan lupa loe ceritain semuanya ke gue, oke” cerocos
Lidya. Alin mengangkat jempolnya tanda setuju.
~~~~~~~~
Aldi menatap buku diary Alin yang ia temukan di bawah meja belajar Alin
saat ia hendak menyusul Alin ke kamarnya untuk berbicara. Ia penasaran dengan isi
yang di dalam diary itu. Berkali-kali ia berniat untuk membuka diary itu.
Tetapi, ia takut membayangkan bagaimana ekspresi wajah Alin saat ia tahu buku
diarynya dibuka orang lain. Mungkin, kalau ia menjadi Alin, ia akan memarahi
orang itu, memberinya pelajaran, dan sebagainya asal orang itu berjanji tidak
akan melakukannya lagi.
“Tapi, dia kan tidak tahu” kata hati nuraninya. Ia mengangguk, lalu
berniat membuka diary itu.
“Tapi, yang diatas kan tahu” kata hati nuraninya yang lain. Aldi
mengurungkan niatnya. Ia jadi bingung sendiri.
“Kalau hanya melihat isinya tidak apa-apa, kan. Lagian, gue gak bakal
ngasih tau orang lain, kok” putusnya. Kemudian dia membuka halaman demi halaman
isi diary itu. Hanya puisi, batinnya.
Kemudian ia sampai ke halaman terakhir yang ditulis Alin. Sepertinya masih
baru. Judulnya ‘Malam Yang Panjang’. Ia mulai membacanya.
“Malam Yang Panjang”
Memandang langit yang begitu kelam
Tanpa cahaya, sunyi ku rasa
Setiap malam aku memandangnya
Tak pernah letih, ku terus memandangnya
Mengapa ini terjadi padaku
Hampa terasa diriku tanpamu
Tahukan engkau aku disini
Terus menunggumu, sepi sendiri
Dinginnya malam menusukku dari belakang
Menghembus jantungku, perihku rasa
Kini mengalir bersama air mata rindu
Yang bercucuran melawan hembusan angin
Dapatkah kau merasakannya?
Kesunyian bergetar untukmu
Dapatkah kau temaniku?
Walau hanya lewat mimpi
“Malam ini memang malam yang panjang buat kita. Gue harap loe bisa
jalanin hari loe yang sepi itu” kata Aldi pada diary Alin. Aldi menutup buku
diary Alin dan meletakkannya di atas meja belajarnya yang berada di samping
tempat tidurnya. Kemudian ia mematikan lampu kamarnya dan pergi tidur.
~~~~~~~~
Dessy sekarang sedang berbaring di ranjangnya. Kadang ia
membolak-balikkan badannya ke kiri, kanan, tengkurap, dan telentang. ia
senyum-senyum sendiri mengingat kejadian tadi saat ia jalan-jalan bersama
Bintang.
Dessy dan Bintang sedang
berjalan-jalan mengelilingi taman yang berada tak jauh dari kafe. Mereka
berjalan menuju kursi yang ada di taman itu.
“Kau haus?” tanya Bintang pada
Dessy. Dessy mengangguk.
“Kalau begitu aku pergi sebentar
untuk membeli minuman” katanya lalu pergi meninggalkan Dessy. Tak lama, ia
kembali dengan membawa 2 kaleng minuman.
“Ini untukmu” ia memberikan
sekaleng minuman dan langsung duduk di samping Dessy. Dessy segera membukanya
dan meneguk isinya.
“Malam ini sangat sepi, bukan?”
tanyanya tiba-tiba. Dessy menatap Bintang bingung. Ia melihat Bintang sedang
menatap langit dengan ekspresi wajah sedih.
“Maksudmu apa?” Dessy benar-benar
tidak mengerti maksud perkataan Bintang. Bintang hanya memandangnya sebentar,
lalu kembali menatap langit. Dessy pun ikut memandang langit yang tak bersinar
itu.
“Yah, sepertinya kau benar. Malam
ini memang sangat sepi” ujar Dessy. Sepertinya ia mulai mengerti maksud
perkataan Bintang.
“Sepertinya aku bisa melihatnya
menangis kesepian disana. Kasihan dia, harus mengalaminya sendiri” gumam
Bintang. Dessy kembali menatapnya bingung.
“Kamu lagi ngomongin siapa, sih?”
tanya Dessy penasaran.
“Seseorang… mungkin, kau
mengenalnya” pandangan tak lepas dari langit.
“Seseorang? Siapa dia?” Dessy
semakin penasaran. Bintang mengalihkan pandangannya dari langit ke arah Dessy
sambil tersenyum.
“Jangan terlalu di pikirkan.
Suatu saat nanti, kau akan mengetahuinya” ucapnya misterius. Dessy mengangguk,
walaupun ia masih penasaran.
“Kamu tinggal dimana?” tanya
Dessy mengalihkan topik.
“Di hotel dekat sini” jawabnya
singkat.
“Hotel? Gak punya rumah, ya?”.
Bintang tertawa mendengarnya. Lesung pipi yang muncul di pipinya membuatnya
tampak semakin manis membuat Dessy benar-benar ingin mencubitnya.
“Aku kesini hanya pergi liburan,
sekaligus mengunjungi seseorang” jelas Bintang. Dessy hanya ber-“O”. Ia tampak
sedikit kecewa.
“Pacarmu?” tanya Dessy lagi.
“Sudah kubilang, kau pasti akan mengetahuinya”
kata Bintang sambil mengerlingkan matanya pada Dessy. Deg! Jantung Dessy
tiba-tiba berdetak tak menentu. Pipinya memanas. Ia langsung mengalihkan
pandangannya ke arah lain.
“Umm… baiklah. Kalau begitu,
sekolah dimana?” Dessy masih berusaha mengatur denyut jantungnya yang kini
semakin menggebu-gebu.
“Aku sekolah di Sma Palembang
kelas 11. Dari tadi kamu nanyain aku terus. Sekarang gantian, aku nanyain kamu.
Pertanyaan pertama, kafe yang ada di dekat sini punya kamu, bukan?”. Dessy
mengangguk. Pandangannya tetap lurus ke depan.
“Kedua, kamu sekolah dimana dan
boleh tau siapa saja teman dekatmu?”
“Aku sekolah di SMA Garuda
Internasional kelas 11. Teman dekatku keluarga 7 AppLe, yaitu Alinda Jovanka,
Cika Jessica, Devita Ananda, Rahma Oktriyanti, Riri Alfarizy, dan Olivia
Aliana. Adakah diantara mereka orang yang kamu maksud itu?”.
Bintang hanya mengangkat bahunya,
lalu menatap jam tangannya.
“Ah, sepertinya sudah malam. Aku
pulang dulu, ya” Bintang segera berjalan meninggalkan Dessy. Namun, baru
beberapa meter ia berjalan, berbalik menghampiri Dessy.
“Ini nomor Hp-ku. Aku ingin kita
bertemu lagi besok. Sampai bertemu besok malam, ya” setelah memberikan sebuah
kertas yang sudah tertulis nomor hp-nya, ia segera pergi meninggalkan Dessy.
Dessy memandangi kertas yang
tertera nomor Bintang sambil tersenyum. Ia membayangkan bagaimana Bintang
tersenyum padanya saat ia akan pergi. Senyum manis yang tak kan ia lupakan
sampai ia terbawa ke dalam mimpi.
~~~~~~~~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar